Sunday, April 26, 2020

Teori Bandit, Kekuasaan, dan Demokrasi di Masa Pandemi


Teori bandit bertutur dan menganalisis bagaimana proses evolusi kekuasaan mulai dari anarki sampai menjadi demokrasi dengan fondasi dasar serta dukungan rule of law. Pada dasarnya evolusi kekuasaan bermula dari bandit berkuasa dengan merampok di dalam sistem anarki, yang kemudian bertransformasi menjadi menjadi sistem demokrasi dan peradaban dengan formal dari para politisi, pemimpin, dan negarawan di dalam sistem demokrasi.

Saya dalam tulisan ini juga bertujuan untuk mengingatkan melalui ilmu pengetahuan dan teori ekonomi politik bahwa situasi pandemi Covid-19 yang tidak normal seperti sekarang ini bisa tergelincir keluar rel demokrasi. Karena itu, check and balance dan kritik atas kekuasaan harus terus dilakukan agar kekuasaan tetap dijalankan dengan cara-cara demokratis, dengan aturan main yang baik dan benar (rule of law).

Evolusi tahap awal dan asal muasal kekuasaan adalah sistem anarki di mana tidak ada sistem pemerintahan dan tanpa demokrasi. Di dalam sistem anarki seperti ini yang berkuasa adalah orang kuat secara fisik, memiliki senjata dan mereka berkelompok sesama orang kuat. Tidak ada aturan main, tidak ada hukum, yang ada hukum rimba; yang kuat yang berkuasa.


Sekelompok orang yang paling awal berkuasa adalah bandit berpindah (roving bandit theory). Bandit ini adalah bandit yang tidak punya otak cerdas karena memakai kekuasaan hanya dengan merampok dan menghancurkan desa-desa atau kota-kota untuk diambil hartanya. Akhirnya dengan cara banditisme seperti ini sumber daya di daerah tersebut habis musnah.

Tetapi ada di antara mereka yang cerdas, kalau begini terus yang mati juga mereka sendiri karena sumber daya yang dirampas lama-lama habis, tidak sustainable. Lalu terjadi evolusi pemikiran kelompok bagaimana agar kehidupan secara kolektif tetap berkesinambungan. Ide ini dikembangkan, lalu terjadi proses transformasi dari bandit berpindah (roving bandit) menjadi bandit yang menetap (stationary bandit).

Evolusi tahap kedua ini adalah bandit menetap, yakni transformasi dari bandit sebelumnya untuk melanggengkan sumber daya ekonomi dan juga dalam rangka melanggengkan kekuasaan. Pada tahap ini sistem anarki sudah bergeser menjadi sistem yang lebih teratur tetapi aturan main masih dikendalikan oleh para bandit menetap tersebut. Jadi kekuasaan masih tetap dijalankan dengan cara banditisme.

Evolusi tahap ini terjadi karena pikiran yang lebih beradab, lebih cerdas dari sebagian bandit itu. Bandit yang berpindah kini tidak lagi berpindah, merampok, dan menghancurkan semuanya tetapi mulai menetap dan tidak merusak semuanya (stationary bandit). Sebagian dari sumber daya tersebut diambil melalui upeti dan sisanya dibiarkan menjadi modal untuk kegiatan ekonomi selanjutnya sehingga ekonomi bisa tumbuh dan berkembang. Sebagian upeti yang diambil tersebut terutama adalah untuk bandit penguasa.


Sejalan dengan waktu, semakin banyak orang cerdas dan para bandit itu pun mempunyai pemikiran transformatif untuk menyerap aturan main bersama untuk membangun sedikit peradaban (rule of law). Para bandit itu pada tahap ini masuk ke dalam siklus permulaan peradaban sebagai sistem universal yang terbaik, yakni demokrasi. Di dalam sistem demokrasi universal muncul sistem norma sosial politik, undang-undang, parlemen, pemerintahan, oposisi, check and balance, dan lain-lain.

Jadi, asal muasal kekuasaan adalah banditisme dan memang di dalam kekuasaan ada perilaku banditisme, yang hilang, lenyap, dan tidak muncul karena kehadiran peradaban, rule of law, demokrasi, check and balance. Tanpa itu semua, maka kekuasaan dan penguasa kembali lagi masuk ke tahap satu atau tahap dua ––banditisme, otoritarianisme, dan anti demokrasi.

Orang yang anti kritik, anti check and balance dilihat dari logika teori ini tergolong anti demokrasi dan pro bandit meskipun dengan alasan mencintai penguasa, yang menjadi tokoh idolanya. Kita sebagai warga bangsa perlu melakukan kritik dengan argumen yang baik. Kritik yang buruk sesungguhnya terselip sifat bandit kecil (little bandit). Kritik buruk tidak perlu direspons berlebihan, diberangus, dan dipenjara karena tidak akan mengganggu kekuasaan.


Kekuasaan sekarang mempunyai dua pendukung instrumen, yang legal formal dan yang ekstra legal di bawah tanah. Instrumen yang pertama adalah polisi, tentara, birokrasi yang sah dan bertugas untuk negara. Instrumen pendukung kedua bersifat ekstra legal, mereka dibiayai menjadi buzzer untuk mendukung kekuasaan dan memberangus kritikus. Ini adalah banditisme di dalam kekuasaan yang sedang berjalan dan potensial menghancurkan demokrasi.

Mengapa banyak sistem demokrasi masuk lagi ke dalam otoritarianisme? Jawabannya jelas, karena aturan main diberangus, check and balance dinihilkan dan kritik ditindas.

Teori bandit yang menceritakan bagaimana proses evolusi kekuasaan dari anarki menuju demokrasi tidak selalu linear, tetapi bisa melingkar dan kembali lagi ke sistem anarki dan sistem kekuasaan yang otoriter. Pasukan ekstra legal di bawah tanah itu adalah hama bagi demokrasi, dan merupakan rayap yang merusak demokrasi.


Kita perlu analisis lebih jauh dari teori tersebut bahwa perilaku banditisme dengan kekuasaan adalah pasangan dan dua unsur kimiawi yang sangat cocok dan akan mudah untuk bersatu, bersenyawa ketika tidak ada rule of law, anti kritik, tak ada check and balance, memberangus kritikus, mengerahkan intel, juga pasukan polisi mirip komunis Soviet lama (USSR).

Bagaimana dengan demokrasi kita sekarang? Adakah rasa otoriter yang muncul ke permukaan? Adakah proses balik menuju ke belakang menjauhi demokrasi yang baru dibangun?

Tentu saja, kita harus jaga bersama demokrasi kita selamanya. Dan semoga kecenderungan demokrasi balik ke anarki banditisme tidak terjadi.

Didik J Rachbini
Guru Besar Ilmu Ekonomi,
Pendiri INDEF
detikNews, 20 April 2020