Wednesday, October 10, 2018

Tsunami, Pajak, dan Rasa Iba


Bagaimana kita tidak menangis? Menangis karena gawatnya bencana alam. Menangis karena sesama manusia terbawa hanyut seolah menjadi sampah di antara sampah untuk menuju tempat arwah entah di mana ….


Namun bagaimana, usai menangis, pilu, dan duka, lihat bagaimana bencana itu direaksi? Dengan menonton wawancara saksi. Ya, derita menjadi berita. Dengan seruan ke langit; meyambut sorak-sorai kaum saleh menyuruh kita berserah diri; tanpa menyadari kita seolah disuruh menyerah. Atau dengan penggalangan dana donasi; melihat lembar Rp 100.000 ditelan kotak sumbangan kita sudah merasa lega; seolah menjadi dermawan. Ya, bencana hanya dijadikan sarana untuk merayakan kadar emosi, mencari jalan ke surga atau meningkatkan rasa percaya diri.


Menurut saya, harus dilihat lebih jauh. Rasa iba kita harus diubah menjadi sikap yang konkret, berjangka panjang. Sebagaimana baru-baru ini dijelaskan oleh Dillon dan Tabor (Jakarta Post, 3/10/2018), Indonesia kini sudah terklasifikasi sebagai negara berpenghasilan menengah. Hal ini berarti bahwa perekonomian Indonesia sudah dapat menghasilkan surplus yang semestinya diarahkan ke kebijakan sosial —misalnya mitigasi bencana— atau ke kegiatan pembangunan jangka panjang. Namun, ternyata hingga kini mustahil dilakukan. Karena, menurut Dillon dan Tabor, pungutan pajak negara kini bukanlah naik, seperti diharapkan, melainkan turun. Turun untuk pertama kali di bawah 10 persen dari GDP, yaitu pada tahap negara-negara berpenghasilan sangat rendah (least-developed countries), sedangkan Indonesia sudah berstatus negara berpenghasilan sedang (middle-income). Apa sebabnya? Karena sikap kaum elite, kata mereka.


Memang, bila kita melihat realitas sosial, kaum elite terasa hidup di dunia “lain”. Bila Anda, seperti saya sekarang ini, berada di sebuah hotel di Jakarta yang terletak antara Kuningan dan Kemang, Anda tidak perlu lama menyadari bahwa kaum elite Indonesia hanya sibuk dengan satu hal saja: menciptakan jarak sosial. Seolah acuannya pada sila ke-5 Pancasila adalah “joke” yang konyol.


Cobalah mengunjungi mal besar sebagai pejalan kaki, seperti saya lakukan baru-baru ini. Langsung kentara bahwa areal masuk sengaja dibuat sedemikian rupa, seakan-akan terbaca kesan menjauhkan wong cilik. Karena akses masuknya dibuat rumit. Adapun para satpam fungsinya tak dapat diragukan lagi: sebagai tukang bungkuk bagi bos yang mendadak bisa menjelma menjadi tukang pukul bagi Anda.


Adapun kaum elite muda yang kita temui di kafé-kafé lebih parah lagi: saya berani bertaruh bahwa banyak di antaranya lebih akrab dengan suasana di Santa Barbara atau Singapura daripada di Pasar Senen atau Kampung Melayu di DKI Jakarta. Anak gedongan ini tidak pernah berada di tengah khalayak, yang kerap disebutnya “mereka” itu. Jarak sosial ini tidak dirasakannya sebagai sesuatu yang memalukan, tetapi keniscayaan yang membanggakan.


Berkaca pada kaum elite yang demikian, bagaimana mengembangkan perangkat institusional yang mampu mengangkat rasio pungutan pajak sampai 20 persen GDP demi instrumen pembangunan dan kebijakan sosial (dan penanggulangan bencana) yang layak dan lebih efisien. Sangat sulit. Dibutuhkan kemauan politik dari para pemimpin serta kesadaran dari —paling sedikit— sebagian dari kaum elite.


Orang Indonesia memang pinter berkongko-kongko. Tetapi, bagaimana mungkin, 73 tahun setelah merdeka, tawar-menawar politik nasional masih tetap lebih sering berlangsung di seputar masalah “identitas” dan representasi etno-religius daripada di seputar keadilan sosial. Sementara masalah etno-religius justru muncul dari kegagalan menanggulangi masalah sosial di dalam kompleksitasnya.


Kegagalan memahami situasi ini bisa dibayar mahal. Bila tetap gagal, jangan heran bila pada suatu hari, sistem donasi “orang baik-baik” bagi kaum papa dan korban bencana tidak lagi dianggap cukup untuk menutupi amarah dari mereka yang rumahnya terisap bumi seperti di Sigi atau gubuknya tidak layak lagi untuk dihuni. Semoga elite Indonesia sadar sebelum hal ini terjadi. Semoga.

Jean Couteau
Penulis Kolom Udar Rasa
KOMPAS, 7 Oktober 2018