Sunday, May 12, 2019

Politik Kambing Hitam


“Kambing hitam” dan “kuda hitam”. Istilah “kambing hitam” menunjuk kepada obyek yang dianggap sebagai asal muasal masalah, entah itu kekerasan, entah itu huru-hara, entah apa pun itu. Padahal, tidak bersalah; bukan sumber masalah.

“Kuda hitam”, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti peserta pertandingan (perlombaan; bisa kontestasi dalam politik) yang semula tidak diperhitungkan akan menang, tetapi akhirnya menjadi pemenang. Jadi jelas bedanya antara kambing hitam dan kuda hitam.

Seringkali “kambing hitam” dirujuk sebagai obyek yang sebenarnya bukan pelaku sesungguhnya, hanya pengalihan, sekadar orang yang dipersalahkan. Inilah salah satu bentuk sikap tidak bertanggung jawab. Dirinya atau kawannya, atau kelompoknya atau golongannya, atau partainya sendiri yang bersalah, tetapi melemparkan kesalahan kepada orang lain, pihak lain, partai lain, dan golongan lain.

Sikap semacam itu, dalam bahasa politik, disebut sebagai politik kambing hitam. Politik kambing hitam merepresentasikan sikap tak mau bertanggung jawab, lari dari kesalahan yang sudah dilakukan, dan lebih memilih posisi aman.


Hal itu, menyangkut masalah integritas dan kejujuran. Spencer Johnson (1938 –  2017), seorang penulis sekaligus motivator dari Amerika Serikat, suatu ketika mengatakan, “Integritas adalah menceritakan kebenaran pada diri sendiri; kejujuran menceritakan kebenaran kepada orang lain.

Apa yang dikatakan oleh Spencer Johnson tersebut rasanya sekarang sedang mendapatkan pembenaran di negeri ini. Masalah “integritas” dan “kejujuran” menjadi persoalan besar di negara ini, akhir-akhir ini. Banyak kejadian yang berkait dengan “integritas” dan “kejujuran.” Kadang kala, rendahnya kualitas seseorang berkait dengan “integritas” dan “kejujuran” yang tercermin, baik dari tindakan maupun ucapannya; juga dari hal-hal sederhana yang dilakukan dan dikatakan.

Kualitas integritas seseorang, misalnya, dapat dilihat dari seberapa berani orang itu mempertanggungjawabkan tindakannya atau omongannya. Mengelak dari tanggung jawab itu mudah, tetapi menghindar dari akibat perbuatan itu, tidak akan bisa.


Kerap kali terjadi, orang melepas tanggung jawab (tidak berani mempertanggungjawabkan atas apa yang sudah dilakukan atau dikatakannya) dengan melemparkan tanggung jawab pada orang lain; menuding orang lain sebagai pihak yang harus mempertanggungjawabkan tindakannya. Sikap semacam inilah yang sering disebut sebagai mencari kambing hitam.

Sikap mencari kambing hitam berarti tidak berani mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan. Dengan kata lain menunjukkan rendahnya integritas. Selain itu, menunjukkan rendahnya kualias kejujuran. Oleh karena tidak berani mengakui, menceritakan kebenaran kepada orang lain. Tetapi memilih untuk menyalahkan orang lain; menjadikan orang lain sebagai kambing hitam persoalan, penyebab persoalan.

Kebiasaan menuding orang lain, bukan hanya menunjukkan tiadanya sikap kesatria, tetapi juga mengurangi kesadaran terhadap akar masalah. Jika seseorang mengalami frustrasi dan tidak dapat menemukan alasannya atau tidak dapat mengatasi sumber penyebab dari frustrasi itu, orang akan mencari kambing hitam untuk dijadikan sebagai sasaran prasangka dan agresinya.


Orang-orang mengalami frustrasi apabila maksud-maksud, keinginan-keinginan, atau ambisi, atau nafsu yang diperjuangkan dengan intensif menemui hambatan atau kegagalan. Sebagai akibat dari frustrasi itu, mungkin timbul perasaan-perasaan jengkel atau perasaan-perasaan agresif. Perasaan-perasaan agresif ini kadang-kadang dapat disalurkan kepada upaya yang positif tetapi sering kali perasaan tersebut meluap-luap dan mencari penyalurannya, jalan keluarnya, sampai dipuaskannya dengan tindakan-tindakan yang agresif. Brutal. Dan, kebrutalan tidak bisa dilawan.

Apabila seseorang secara pribadi mengalami frustrasi yang ingin dipuaskannya secara agresif, ia mungkin menendang kursinya, atau memukul meja tanpa sebab, atau memperlihatkan kejengkelannya dengan cara lain. Akan tetapi, apabila segolongan orang mengalami frustrasi tertentu yang menimbulkan agresi, maka dengan sangat mudah perasaan-perasaan agresif tersebut dihadapkan kepada segolongan lain yang diprasangkainya yang lalu diserangnya secara kurang atau lebih intensif.

Tidak mampu menahan emosi dari kemarahannya adalah ciri-ciri manusia yang tidak mampu menahan diri dari keinginan hawa nafsu dan telah takluk oleh ego dirinya sendiri. Seorang manusia yang kuat, bukanlah orang yang menaklukkan banyak orang, melainkan orang yang bisa menaklukkan dirinya sendiri.


Apa yang kita saksikan belakangan ini, mengarah ke arah pemraktikan teori kambing hitam (Kambing Hitam Teori Rene Girard, Sindhunata, 2006). Tindakan-tindakan semacam itu —dengan sangat mudah menuding orang atau pihak lain sebagai sumber persoalan— bukan berdasarkan alasan-alasan yang rasional, bukan berdasarkan akal sehat, pikiran waras, melainkan berdasarkan perasaan-perasaan tertentu semisal amarah dan kejengkelan yang tidak dapat disalurkan secara wajar, adalah bentuk dari politik kambing hitam. Politik kambing hitam ini digunakan sebagai pengalihan persoalan, sekadar ada orang yang bisa dipersalahkan karena ketidakmampuan diri.

Selama masih ada kecemburuan, kekerdilan pikiran dan nalar, ketidakwarasan pikiran, kesempitan hati untuk mengakui keberhasilan pihak lain, maka selalu ada kambing hitam di tengah-tengah kita. Maka benar yang dikatakan Mahatma Gandhi, “Berperilaku jujur memang sulit. Namun, bukan berarti tidak mungkin dilakukan.

Trias Kuncahyono,
Wartawan Kompas 1988-2018
KOMPAS, 2 Mei 2019