Monday, September 22, 2014

Jangan Mempermainkan Pendidikan


Menjelang pembentukan kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla tercetus aneka ide spekulatif tentang berbagai bidang kehidupan. Sejauh menyinggung pendidikan, ada kehendak memecah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berdasarkan pertimbangan tertentu.

Mengenai kehendak itu, izinkan saya mengingatkan: wahai, jangan main-main dengan pendidikan. Melalui pendidikan, yang kita pertaruhkan adalah masa depan Indonesia melalui ketepatan fungsionalisasi pembangunan jiwa dan badan anak-anak kita. Jangan jadikan mereka kelinci percobaan aneka ide politis bertopeng pedagogis. Risikonya terlalu besar, bahkan fatal, bagi eksistensi negara-bangsa kita.

Usaha membangun satu sistem pendidikan nasional pada dasarnya adalah jawaban bagi pertanyaan: “how should we live” atau “what kind of educated people do we want our citizens to be?” Kedua pertanyaan itu pada gilirannya merupakan respons kreatif terhadap tantangan masa depan seperti apa yang seharusnya kita bangun guna mampu sintas di tengah gejolak dunia mendatang yang serba kompleks.


Manusia terdidik
Pada hemat saya, kita diniscayakan membangun sistem pendidikan nasional yang dapat menghasilkan (1) satu tipe manusia terdidik ideal (atau fungsional) di tengah-tengah tantangan dan ancaman ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) abad XXI, (2) sejenis berpikir melebihi (transendental) berpikir sekadar terpuji di zaman iptek abad XX dan sebelumnya.

Maka, tipe ideal dari manusia terdidik untuk abad XXI dan selanjutnya adalah manusia yang mampu mengubah (mengolah/mengembangkan) informasi jadi pengetahuan, pengetahuan jadi ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan jadi kearifan, baik kearifan praktis maupun teoretis.

Yang dimaksud dengan “berpikir lebih” adalah bukan sekadar (a) punya opini atau pengertian tentang apa saja; (b) memiliki ide mengenai sesuatu atau keadaan tertentu; (c) rasiosinasi, yaitu pengembangan serangkaian premis yang menjurus ke arah satu kesimpulan absah; atau (d) berpikir par excellence (konseptual, analitis, dan sistematis) sebagaimana menurut pemikir rasionalis.

Berpikir seperti yang disebutkan dalam poin (a)-(d) tak berarti tidak efektif untuk menghasilkan buah pikiran yang serba praktis/berguna atau membantu memecahkan aneka masalah kondisional, termasuk menyempurnakan kemampuan bertindak dalam memecahkan teka-teki dan rahasia alam. Adapun “berpikir lebih” daripada sekadar yang disebut dari (a) sampai dengan (d) tadi lebih merupakan sikap hidup berupa suatu respons dari pihak yang berpikir terhadap panggilan yang datang dari the nature of things —dari hidup, kehidupan, dan keber-Ada-an (Being) itu sendiri. Artinya, “berpikir” itu ditentukan sekaligus oleh apa-apa yang harus dipikirkan dan oleh sang pemikir itu sendiri.


Perbuatan berpikir itu melibatkan tidak hanya penerimaan manusia terhadap yang Ada, tetapi juga penerimaan yang Ada terhadap manusia. Jadi, kemampuan berpikir tidak seluruhnya bergantung pada kemauan dan kehendak kita, meski banyak ditentukan kesiapan kita menangkap panggilan berpikir saat panggilan itu terdengar mengajak kita memberi respons yang relevan.

Dengan kata lain, “berpikir lebih” seperti ini dalam dirinya berupa suatu kesadaran tentang siapa kita sebagai makhluk manusia dan ketergolongan kita pada makhluk itu. Berpikir seperti ini juga merupakan suatu pemusatan keseluruhan diri kita pada apa-apa yang ada di depan kita dan menempatkannya dalam keseluruhan nalar dan hati agar bisa menemukan di dalam semua itu hakikat serta kebenarannya.

Bila demikian “berpikir lebih” itu, pertama harus bersifat reseptif: kita membuka diri mendengarkan tantangan yang ada, mendengarkan apa adanya. Kemudian, secara aktif memberikan respons yang bersifat menyeluruh: kita bersedia melihat kaitan-kaitan yang ada.

Walaupun kita berada di titik yang lain, kita sadar merupakan bagian dari suatu keseluruhan. Bumi adalah an indivisible whole, sama dengan setiap diri kita yang merupakan juga suatu keseluruhan yang tidak terbagi-bagi. Alam di mana kita tergolong tidak terbuat dari bagian-bagian di dalam suatu keseluruhan. Ia terbentuk oleh keseluruhan dalam keseluruhan. Inilah filosofi dasar berpikir sistematik, inti berpikir yang mencerahkan, yang diamanatkan Pancasila.

Jadi, “berpikir lebih” itu tidak hanya berpikir secara ilmiah, yaitu dari (a)-(d) tadi, tetapi lebih luas dan transenden, berpikir reseptif, aktif, dan holistik. “Berpikir lebih” ini, bila dibiasakan, dapat sangat membantu kita kalau kita memang berkemauan baik, mengembangkan Pancasila menjadi satu applied political and social moralities demi kesehatan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di zaman iptek abad XXI dan selanjutnya.


Bagian integral
Sejauh mengenai sistem pendidikan nasional yang ideal bagi hidup dan kehidupan sekarang dan mendatang, yaitu sistem yang dapat menghasilkan “manusia terdidik” ideal dan kebiasaan “berpikir lebih” yang juga ideal, adalah pendidikan yang tetap merupakan bagian integral dari kebudayaan (sistem nilai). Berarti ia suatu proses belajar-mengajar yang membiasakan anak didik sedini mungkin menggali, mengenal, memahami, menguasai, menghayati, dan mengamalkan nilai yang disepakati bersama sebagai terpuji, dikehendaki, dan berguna bagi kehidupan dan perkembangan diri pribadi, masyarakat, bangsa dan negara.

Nilai adalah genus dan salah satu spesies vital yang dicakupnya dalam proses pendidikan adalah semangat ilmiah. Dengan kata lain, pendidikan yang kita bina dan laksanakan lebih berupa suatu pencarian ketimbang sebagai suatu keadaan keberadaan (state of being). Maka, itu ada ide pendidikan sepanjang hayat, life long education, in order to be more, tidak puas dengan sekadar to have more, di tengah-tengah kehidupan universal yang terus menerus menyempurnakan diri.

Kebudayaan adalah sistem nilai yang dihayati. Mengaitkannya dengan pendidikan tidak berarti membonsaikannya. Dengan membuat pendidikan bagian integral dari kebudayaan, bukan bermaksud membebani kebudayaan demi membesarkan pendidikan. Justru pendidikan inilah, selaku usaha resmi, kegiatan informal (familly education) dan aksi nonformal (community education) yang mengolah dan mentransmisikan nilai-nilai yang memanusiawikan manusia.

Nilai ini ada yang berwujud benda —candi, rumah adat, serta bangunan keagamaan dan bersejarah; ada pula yang tidak berbentuk: ide vital, norma, adat-istiadat, ketuhanan, kawruh, pengetahuan, ilmu pengetahuan, skills, yang diperlukan orang untuk bisa imajinatif, jadi “Homo poeta,” makhluk pencipta makna dan nilai.


Pewayangan yang dikenal di Jawa sejak tahun saka 700 (778 M), yang ditanggap keluarga (perhelatan pribadi), digelar komunitas (hajatan desa) adalah pola pendidikan informal pada era tidak adanya pendidikan formal, diakui Dr Stutterheim, sarat dengan makna dan pesan serta tetap aktual bagi pengembangan (karakter) manusia di setiap generasi dari zaman ke zaman.

Apakah kita bisa bicara tentang scientific culture? Istilah ini berlebihan dan menyesatkan jika implikasinya, moral dan politik, antara lain, scientific progress, tidak kita renungi sungguh-sungguh. Mengenai inovasi teknologis, misalnya, siapa yang dilayaninya dan untuk apa?

Lembaga pendidikan, terutama di jenjang universiter, merupakan tempat merenungi makna kebudayaan pada era teknologi modern. Bukan kebetulan kalau pada era modern, ketika pendidikan formal telah berkembang, sang ilmuwan Einstein bahkan masih mengingatkan betapa penting siswa memahami dan menghayati nilai. Dia harus mendapatkan suatu makna distingtif tentang apa-apa yang indah dan baik menurut moral. Bila tidak, dia dengan pengetahuannya yang serba spesialistis lebih mirip a well-trained dog ketimbang a harmoniously developed person. Bisa begitu karena nilai yang dihayati sangat menentukan karakter.

Jadi, kebijakan mengaitkan pendidikan dan kebudayaan telah membuat kedua jenis kegiatan itu tidak mengambang, tidak bergerak dalam vakum. Kebijakan itu malah mengukuhkan keduanya dalam konteks keuniversalan, sebab yang universal itu bukanlah natur human kita, melainkan kemampuan kita menciptakan realitas kultural dan kemudian kita berperilaku menurut term itu.


Merupakan satu keniscayaan bahwa urusan pendidikan dan kebudayaan ditetapkan di bawah satu atap menjadi tanggung jawab seorang menteri. Demikian pula dengan proses pendidikan itu sendiri sebab ia merupakan satu keseluruhan pedagogis yang berkesinambungan walau berjenjang, sejak pendidikan awal, yaitu prasekolah (TK/taman bermain), sampai dengan jenjang tertinggi (S-3). Dengan kata lain, Dikdasmen dan perguruan tinggi tidak dipisah, tidak dikelola oleh dua kementerian yang berbeda.

Ide tentang kebudayaan mengandung ide supremasi manusia terhadap warga negara. Manusia adalah manusia sebelum menjadi warga negara, tetapi dia mentransendenkan pula kualitas kewargaannya. Jadi, ada komplementaritas antara pendidikan dan sistem nilai yang dihayati.

Komplementaritas konstruktif ini menunjukkan bahwa penduduk tidak identik dengan warga negara. Penduduk hanya “terlibat”, tetapi tidak merasa terikat, tidak mewajibkan diri. Maka, percuma berbicara “bonus kependudukan” selama penduduk tidak berupa warga negara. Kewarganegaraan adalah suatu mindset yang ditempa oleh nilai-nilai (kebudayaan) selama dalam proses pendidikan, terutama di jalur formal dan informal.

Jadi, jangan main-main dengan pendidikan!

Daoed Joesoef,
Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
KOMPAS, 17 September 2014

Friday, September 5, 2014

Kalah-Menang Terhormat


Hidup bukan sekadar perkara kalah-menang. Juga bukan hanya urusan takut-berani. Kaum muda remaja mungkin boleh berpikir seperti itu.

Mereka boleh menjadikan takut-berani dan kalah-menang itu sebagai parameter kehidupannya, tetapi orang dewasa tidak. Kompetisi dalam hidup, pengembangan karier, dan pertarungan politik ukurannya memang kalah-menang itu. Tapi bagi mereka yang menjadikan hidupnya sebagai “proyek” pematangan diri, kecanggihan berpikir filosofis tentang keharusan untuk adil dan benar, jujur dan manusiawi, kalah-menang dalam pertarungan apapun, tidak menjadi masalah.

Ada yang sedih jika kalah. Ada yang gembira dan bangga jika menang. Itu layak dan manusiawi. Tapi bagi mereka yang kalah, kekalahan bukanlah akhir segalanya. Dan, pihak yang menang bukan berarti telah mencapai puncak dari segenap puncak prestasi hidup. Kalah-menang hanya konsekuensi wajar dari tiap jenis permainan. Di sana tak ada konsep kalah bersama, atau menang bersama, kecuali gagasan aneh yang pernah disampaikan Bardosono pada 1980-an dalam dunia sepak bola.

Tak mengherankan bila Bardosono pun kemudian menjadi sasaran kritik pedas dalam masyarakat. Orang bijak meninggalkan pesan bijak pula: bila takut terkena badai, jangan berumah di tepi pantai. Ini petuah tentang kewajaran hidup. Di pantai selalu berangin kencang. Dan, kemungkinan-kemungkinan tak menyenangkan itu dengan segenap kewajarannya sudah terkalkulasi. Angin segar kita terima dengan rasa syukur. Kita jadi sehat. Tapi badai yang bisa meluluh-lantakkan segala yang di sana juga harus diterima sebagai kewajaran alam.


Lagi pula, bukankah sudah kita perhitungkan? Tak mungkin, dan tak bakal terjadi dalam sejarah bumi, yang hanya sekeping ini, bahwa pantai hanya menawarkan kesegaran. Tidak mungkin. Badai selalu ada. Begitu pula kewajaran politik dalam tiap kompetisi, pertandingan dan segala jenis ujian tentang kompetensi teknis yang kita miliki. Di sana, sayang sekali, harus ada ukuran tentang siapa yang lebih unggul, dan menang. Sebaliknya, selalu ada temuan tentang yang kurang unggul, dan ditempatkan di dalam kotak yang “kalah”.

Betapa wajarnya perkara kalah-menang dalam hidup kita. Di sini lalu bisa lahir sejenis petuah bijak, bagi yang tak siap kalah, dan tak bisa menerima kekalahan, sebaiknya jangan pernah mencoba memasuki gelanggang pertandingan, kompetisi dan berbagai jenis pertempuran untuk menguji tingkat kompetensi kita. Ini solusi paling damai. Pihak yang menang pun bisa hancur jika dia tak bisa menghayati arti kemenangannya.

Pemenang yang kemudian sombong, dan merasa paling mumpuni, tak lama lagi akan menjadi pihak yang kalah, dan bisa kalah total dalam arti sebenarnya. Jika pemenang bersikap “menang tanpa ngasorake”, jelas bisa menjadi pemenang yang baik. Jika sang pemenang bisa bersikap “the winner takes nothing”, dia pemenang yang baik. Syukur kemudian bersahabat dengan yang kalah. Dan pihak yang kalah pun tak merasa jari kakinya diinjak oleh yang menang.

Dengan begitu, wawasan keduanya serupa: kalah-menang itu perkara wajar. Pemenang tidak lalu merasa dirinya unggul seperti dewa-dewa. Dan yang kalah pun bukan sisa-sisa yang terbuang. Lebih-lebih bila yang menang itu menjadi pemenang karena semata memang punya kelebihan dan jujur sejujur-jujurnya. Ini pemenang sejati yang kita dambakan. Dan, ini pribadi yang kita cari. Menang dengan cara yang baik, tanpa melukai nilai kejujuran, memang tidak mudah. Godaan dalam hidup banyak sekali. Jarang orang bisa melewatkan godaan secara mulus. Kita tahu, Puntadewa, raja Amarta itu orang yang jujur sejujur-jujurnya.


Dia ukuran dan sekaligus simbol kejujuran. Tak ada yang mampu melebihi kejujurannya. Dia pun manusia bijak tanpa tandingan. Tapi dalam perang besar yang disebut Bharatayudha, dia pernah tergoda bujukan untuk menomorsatukan kemenangan biarpun itu bertentangan dengan nuraninya sendiri. Ini akibat bujukan Kresna yang bertubi-tubi menggodanya. Kresna meminta dia untuk mengatakan Aswatama mati, biarpun sebenarnya Aswatama belum mati.

Dia mengatakannya dengan pelan, dan menyebut nama gajah yang mati dalam perang, yang namanya Estitama. Dia menyebutkan nama itu di bawah pengaruh Kresna untuk membuat Durna bingung. Dan benar, akibat ucapannya itu Durna memang menjadi bingung. Kereta orang jujur ini berada sejengkal di atas tanah. Roda keretanya tak menyentuh tanah seperti roda kereta raja-raja biasa. Lalu apa akibatnya bagi orang yang menjadi simbol kejujuran itu? Parah sekali. Dan dahsyat.

Biasanya, tiap naik kereta kerajaannya, roda keretanya sejengkal mengambang di atas tanah. Pendeknya, roda-roda keretanya tak menyentuh tanah. Sekarang, sesudah dia dianggap menodai kejujuran, roda-roda keretanya kini menjadi kereta biasa, yang menyentuh tanah dan kotor. Orang jujur, yang menjadi ikon kejujuran ini pernah berbuat tidak jujur. Dia dipermalukan para dewa. Sekali lagi, bila dulu roda-roda kereta sejengkal mengambang di atas tanah, kini tidak lagi. Kini dia dianggap sama dengan orang biasa. Dia malu. Bisakah kita menjadi lain, dan tak sama dengan Puntadewa? Mungkin berat urusan kita. Puntadewa terlalu mulia.

Tapi sekadar menjadi pihak yang kalah tanpa merasa terbuang, mestinya kita bisa. Dan menjadi pemenang yang bersikap “menang tanpa ngasorake ” atau “the winner takes nothing” kayaknya tak begitu sulit. Dengan begitu menang-kalah tetap terhormat. Ini seharusnya menjadi warna kehidupan kita. Juga kehidupan dalam politik.

Mohamad Sobary,
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi

KORAN SINDO, 2 September 2014