Artikel yang ditulis oleh Svolik di atas langsung menarik perhatian saya karena apa yang ia tulis sedikit-banyak "nyambung" dengan keadaan di Indonesia saat ini.
Tesis Svolik sederhana saja: sekarang telah terjadi "democracy breakdown", merosotnya demokrasi di berbagai negara, dan ini diakibatkan antara lain oleh polarisasi politik yang tajam dalam masyarakat. Jika dihadapkan kepada dua pilihan antara demokrasi di satu pihak dan "kepentingan politik" di pihak lain, biasanya publik yang sudah mengalami polarisasi akan lebih mendahulukan kepentingan politik mereka ketimbang membela nilai-nilai demokrasi.
Dahulu, ancaman demokrasi umumnya datang dari kudeta militer. Di era pasca-Perang Dingin, ancaman justru datang dari arah lain, yaitu polarisasi dalam masyarakat yang begitu mendalam, di mana "political cleavages", pembelahan politik dalam masyarakat, begitu akut sehingga sulit dijembatani.
Dalam situasi seperti ini, publik yang semula —dalam keadaan normal— mendukung demokrasi, tak segan-segan memilih kepentingan politik yang diperjuangkan oleh kandidat dan tokoh politik mereka ketimbang membela nilai-nilai demokrasi yang cenderung "netral" dan "abstrak" itu. Demikian secara singkat tesis yang dikemukakan oleh Svolik.
Artikel Svolik ini mengungkap banyak hal menarik. Pertama, setelah berlalunya era Perang Dingin, sebagian besar democracy breakdown terjadi bukan melalui kudeta militer, melainkan apa yang dia sebut sebagai executive take-over, kudeta sistem yang dilakukan justru oleh presiden atau kepala pemerintahan yang sedang berkuasa. Dengan kata lain, kudeta oleh petahana.
Dia mengemukakan data yang menarik: dari 197 kasus terjadinya kemunduran demokrasi periode 1973-2018, terdapat 88 kasus yang disebabkan oleh executive take-over itu. Salah satu kasus yang menarik dan masih dekat dengan kita saat ini adalah Turki. Setelah berhasil berkuasa melalui proses yang demokratis dan bertahan dalam kekuasaan selama lebih dari satu dekade, PM dan kemudian Presiden Recep Tayyip Erdogan pelan-pelan melakukan "kudeta sistem" dari "dalam" dengan mengadopsi kebijakan yang justru berlawanan dengan demokrasi.
Watak Erdogan yang kian otoriter makin tampak akhir-akhir ini, terutama kebijakannya yang amat brutal dalam menghadapi lawan-lawan politiknya. Lawan politik yang menjadi korban kebijakan Erdogan saat ini tentu saja adalah kelompok Fethullah Gulen.
Kasus terpilihnya Presiden Donald Trump di Amerika Serikat adalah contoh terbaru yang masih segar. Sudah tentu Trump terpilih melalui prosedur yang demokratis, melalui pemilu terbuka.
Namun, setelah terpilih, Trump mulai menunjukkan tendensinya yang antidemokrasi. Para pendukung Trump yang fanatik tetap memberikan sokongan meski Trump melakukan tindakan-tindakan yang melawan keadaban politik.
Kasus terakhir adalah twit Trump yang dengan brutal mem-bully Elijah Cummings, seorang anggota DPR dari sebuah distrik di Maryland.
Di Indonesia, kita mengalami kondisi yang nyaris serupa: kita menyaksikan polarisasi politik yang tajam antar dua kubu: "cebong" dan "kampret". Dalam polarisasi semacam ini, posisi tengah yang sedikit agak netral bisa diserang oleh kedua belah pihak yang sedang berseteru.
Dalam situasi semacam ini, setiap pihak bisa mendukung secara militan platform atau kebijakan politik kandidat yang ia pilih, karena platform itu menguntungkan kepentingan kelas mereka, walau dilihat dari segi lain, kebijakan itu bisa saja mengandung ancaman atas demokrasi.
Salah satu kelemahan artikel Svolik itu: tidak menyebut secara jelas kenapa terjadi polarisasi yang tajam dalam perkembangan demokrasi sekarang. Menurut saya, salah satu penyumbang terbesar dalam polarisasi ini adalah media sosial.
Pelajaran penting dari artikel Svolik adalah ancaman terbesar atas demokrasi saat ini bukan datang dari kudeta militer, melainkan justru dari "dalam" demokrasi itu sendiri, yaitu pertentangan dan polarisasi yang tajam di masyarakat. Komunikasi digital saat ini menjadi elemen penting yang menggerakkan polarisasi-tajam ini.
Dalam kadar yang normal, konflik ini menjadi "lifeblood", darah yang menghidupi demokrasi agar segar-bugar. Akan tetapi, jika konflik ini "dipelintir" secara masif melalui percakapan media sosial atau platform lain yang penuh dengan kebencian dan caci-maki, ia bisa berubah menjadi ancaman disintegrasi.
Ulil Abshar Abdalla
Pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Jakarta
KOMPAS, 6 Agustus 2019