Tuesday, November 3, 2009

Sebuah Kisah tentang Korupsi


Burung kenari berkekah
Berkekah di tengah padang
Jika tidak berani menjarah
Tiada syah menjadi hulubalang

Penggalan puisi itu dibawakan Budi Darma, seorang sastrawan, dalam diskusi di harian Kompas tahun 2003, di mana saya ikut hadir. Diterangkanlah makna puisi itu bahwa untuk menjadi hulubalang waktu itu, seseorang harus berani menjarah. Dan untuk mempertahankan jabatannya, orang itu juga harus berani menjarah. Menjarah uang negara dan menjarah uang rakyat.

Melacak jejak korupsi di bumi Nusantara juga bisa dilihat dalam penuturan Budi Darma ke masa kolonial. Ia mengutip pengakuan Nicolaas Engelhard, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa, dalam memorinya 15 April 1805. Berdasarkan pengisahan Dukut Imam Widodo, penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe, Engelhard kaya raya karena sogokan orang pribumi yang menginginkan jabatan. Engelhard tinggal memilih upeti terbesar untuk menentukan siapa yang layak diberi jabatan.

Pendapat bahwa korupsi menjadi bagian dari keseharian menimbulkan silang pendapat. Ada yang menolak, tetapi ada pula yang mendukung. Wakil Presiden Mohammad Hatta termasuk yang mendukung pendapat korupsi telah menjadi bagian dari keseharian kita. ”Korupsi di Indonesia telah menjadi bagian dari kebudayaan,” kata Hatta (Jurnal Aksara, Tempo, 19 Februari 2001).

Penulis buku yang populer di Indonesia, Samuel P Huntington, mengaitkan antara budaya dan korupsi. Bersama Lawrence E Harrison dalam buku Culture Matters: How Values Shape Progress (2000), Huntington menulis, ”… Di antara yang paling korup adalah Indonesia, Rusia, dan beberapa negara Amerika Latin dan Afrika….


Huntington menulis, korupsi paling rendah di negara Eropa bagian utara dan persemakmuran Inggris yang Protestan. Negara penganut Konghucu kebanyakan berada di tengah-tengah. Tapi Huntington mengecualikan Singapura sebagai negara yang bersih sejajar dengan Denmark, Swedia, dan Finlandia. ”Anomali Singapura adalah kepemimpinan Lee Kuan Yew,” tulis Huntington.

Di Indonesia, ada keinginan kuat memberantas korupsi, tetapi ada juga yang sebenarnya ingin tetap mempertahankan tata hubungan sosial yang korup. Namun nyatanya, kekuasaan Orde Baru berakhir karena korupsi. Era reformasi datang. Di jalan-jalan dan di ruang sidang parlemen, 10 tahun lalu, terdengar teriakan, ”Hukum mati koruptor!” Perlu aturan soal pembuktian terbalik! Dari gedung MPR lahir Ketetapan MPR No XI/1998 yang salah satunya meminta pengusutan terhadap koruptor dan mewajibkan penyelenggara negara melaporkan kekayaan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lahir sebagai anak kandung reformasi.

Kehadiran KPK amat diharapkan. KPK lahir karena ada ketidakpercayaan kepada lembaga penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan. KPK menggebrak. Ada mantan Kepala Polri diadili, ada politisi tertangkap basah, ada jaksa tertangkap tangan sedang memperdagangkan perkara. Jurus KPK membuat banyak pihak jengah. Namun, indeks korupsi Indonesia membaik. Pemberantasan korupsi adalah pencapaian signifikan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.


Namun, karena gebrakan KPK itu pulalah, KPK kini menjadi musuh bersama. Ia diserang. Pengadilan korupsi dinyatakan tidak konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi sampai 19 Desember 2009. DPR dan pemerintah berkewajiban memberikan landasan hukum soal pengadilan korupsi. Namun, alih-alih memperkuat eksistensi Pengadilan korupsi, politisi DPR dengan dalih ”menata sistem” malah berniat mengamputasi kewenangan KPK, melucuti kewenangan penuntutan.

Teriakan hukum mati koruptor tak lagi terdengar. Dari Senayan kini malah terdengar teriakan, ”Kembalikan kewenangan penuntutan kepada kejaksaan”. ”Penyadapan harus izin ketua pengadilan”. ”Janganlah KPK merasa paling jujur”.

KPK dirundung masalah. Ketua KPK Antasari Azhar segera menjadi terdakwa. Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri atas tuduhan penyalahgunaan wewenang ketika mencekal Anggoro Widjojo dan Djoko Tjandra. Keduanya buronan! Publik ragu atas tuduhan itu. Namun, menjadi kewajiban Polri untuk membuktikan tuduhannya. Jika gagal, reputasi Polri yang lagi naik karena pemberantasan terorisme akan hancur.

Korupsi adalah perang yang belum mampu kita menangi. Ia telah menjadi sesuatu yang banal, sesuatu yang biasa. Tidak ada kondisi sosial yang cenderung melawan korupsi (indignation), di mana masyarakat tidak bisa menerima atau protes terhadap perilaku korupsi pejabat yang menumpuk kekayaan secara ilegal.


Haryatmoko dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan menggambarkan situasi indignation seperti saat setelah Revolusi Perancis. Di sana, para bangsawan, orang kaya tidak berani menunjukkan diri bahwa mereka kaya. Mereka takut dikejar-kejar rakyat karena dianggap pengisap rakyat, koruptor, dan menyalahgunakan kekayaan negara.

Sebagaimana ditulis Huntington, jika korupsi diterima sebagai budaya atau terkait dengan budaya, maka faktor kepemimpinanlah yang akan menentukan. Kepemimpinan yang kokoh, dan kondisi sosial yang melawan korupsi, bisa menjadi bekal perang melawan korupsi. Perkembangan sepekan ke depan akan mengindikasikan apakah kita sedang dalam arus balik pemberantasan korupsi.

Budiman Tanuredjo
KOMPAS, 26 September 2009

Korupsi dan Budaya


Sebuah radio swasta baru-baru ini menyiarkan isu politik uang pada suatu pemilihan kepala daerah. Salah seorang yang diduga terlibat dengan enak berkata, "Juru parkir saja menerima upah, masakan seseorang yang menaikkan orang lain menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak dapat apa-apa?" Lalu, dengan enak dia bercerita mengenai jumlah uang muka yang diterima dan jumlah uang lain setelah dua pejabat itu lulus uji publik. Gayanya benar-benar enak.

Jangan heran mengenai isu politik uang dalam soal jabatan. Nenek moyang kita dulu pernah menciptakan puisi yang tampaknya main-main namun serius: "Burung kenari berkekah/berkekah di tengah padang//Jika tidak berani menjarah/tiadasyah menjadi hulubalang". Demikianlah, untuk menjadi hulubalang seseorang harus mempunyai keberanian menjarah. Tentu saja menjarah agar memperoleh kedudukan hulubalang. Dan, mudah diterka, untuk mempertahankan jabatannya, dia selamanya harus menjarah. Siapa yang dijarah mudah diterka: mula-mula rakyat, lalu, bila sudah menjabat, uang negara dan uang rakyat.

Jangan heran pula manakala kita merenungkan kembali pengakuan Nicolaas Engelhard, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa, dalam memorinya tanggal 15 April 1805. Sebagaimana dikisahkan Dukut Imam Widodo, penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe, Engelhard menjadi kaya raya karena uang sogokan orang-orang pribumi yang menginginkan jabatan. Seorang pribumi yang ingin memperoleh jabatan memberi upeti kepada dia berupa uang, barang, dan jasa lain, yang jumlahnya sesuai jenjang jabatannya. Untuk satu jabatan yang diincar beberapa orang, dia mendapat upeti dari semua orang itu. Dia tinggal memilih pemberi upeti terbesar untuk menentukan siapa yang layak diberi jabatan.

Ceritanya sama, untuk menyogok, dia harus mengambil uang rakyat. Dan, bila sudah menjabat dia akan mengambil uang negara dan uang rakyat. Jabatan, dengan demikian, bukan amanah untuk kemaslahatan orang banyak, bukan pula untuk kebanggaan demi pengabdian. Jabatan identik dengan uang. Karena itu, harus dibeli dengan uang juga.


Ada pula sebuah kejadian lucu, juga terjadi pada sebuah pemilihan kepala dan wakil kepala daerah. Waktu itu tampil seorang tokoh yang terkenal karismatis dan kata-katanya banyak dijadikan pedoman. Dengan gencar dia membuat pernyataan bahwa Si Bilun harus menjadi kepala daerah. Publik pun meramalkan Si Bilun pasti akan menang. Sebab, bukankah pendukungnya adalah orang terkenal yang amat karismatis? Maka, berjalanlah proses pemilihan. Si Bilun kalah, padahal, menurut banyak isu, dia sudah mengeluarkan banyak uang. Betapa banyak pun dia sudah mengeluarkan uang, kata orang, dia kalah karena lawannya sanggup mengeluarkan uang lebih banyak lagi. Tokoh karismatis pun bisa kehilangan karismanya karena uang.

Para tokoh
Seseorang yang akan menjadi pejabat, pemimpin, atau entah apa pun namanya, pokoknya yang punya kedudukan, pasti seorang tokoh, paling tidak merasa dirinya sebagai tokoh. Lalu, lihatlah apa yang terjadi sejak tahun 1980-an. Begitu banyak buku biografi terbit. Tentu saja, seseorang yang layak diterbitkan biografinya adalah seorang tokoh. Namun, bila disimak, ternyata banyak di antara mereka yang menerbitkan buku biografinya itu tidak dikenal. Kalau pun dikenal hanya di kalangan kecil yang tidak cukup signifikan manakala autobiografinya diterbitkan dalam bentuk buku, lalu dijual di kedai-kedai buku.


Tentu saja tanda tanya bisa muncul. Pertama, orang-orang yang mengupah orang lain untuk membuat buku biografinya itu pasti seorang tokoh dan ketokohannya layak dijadikan teladan bagi masyarakat luas. Kedua, mungkin orang-orang itu hanya merasa dirinya sebagai tokoh. Ketokohannya diukur dengan seleranya sendiri dan kalangan kecil di sekitarnya yang pada hakikatnya tidak mewakili siapa-siapa. Maka, lahirlah tokoh-tokohan.

Ketidaksadaran kolektif
Ada suatu peristiwa pada Mei 1998 yang mungkin menarik. Tanpa ada yang menggerakkan, di lapangan terbuka di sebuah kampus PTN di Surabaya, dalam waktu singkat, sekonyong-konyong ratusan mahasiswa berkumpul, dengan spontanitas tinggi, tanpa direncanakan. Lalu, dengan serempak mereka berjalan mengelilingi kampus dengan menyanyikan lagu Menanam Jagung yang liriknya secara spontan pula diubah menjadi lirik antipemerintahan Orde Baru saat itu.

Mengapa ada gerakan yang demikian spontan? Tak lain, inilah yang dinamakan ketidaksadaran kolektif. Para mahasiswa, sebagai bagian masyarakat luas, selama bertahun-tahun tidak sadar bahwa mereka sebetulnya sudah tidak lagi menyukai pemerintahan Orde Baru. Begitu ketidaksadaran ini mencapai titik puncak inkubasi, meledaklah gerakan spontan dibumbui nada geram. Inilah yang terjadi pada masa reformasi: ketidaksadaran bersama telah menggerakkan masyarakat luas untuk bersatu padu.

Apa yang terjadi dalam proses reformasi adalah, antara lain, lahirnya tokoh-tokoh kecil. Munculnya tokoh-tokoh kecil ini tidak sekonyong-konyong, tetapi didahului embrionya mulai awal tahun 1980-an ketika tokoh maupun tokoh-tokohan gemar mengupah orang lain untuk menuliskan biografi mereka.

Oleh karena itu, jangan heran bila kemudian muncul sekian banyak partai gurem, yang tentu saja, dipimpin oleh mereka yang merasa dirinya tokoh. Alasannya bisa bermacam-macam, misalnya, keprihatinan terhadap kebobrokan negara, obsesi untuk menyumbangkan tenaga, dan pikiran guna membangun kembali bangsa melalui partai, serta berbagai macam idealisme lain.

Tentu saja alasan-alasan itu bisa benar. Namun, seandainya para tokoh atau tokoh-tokohan itu tidak ingin dianggap sebagai tokoh, tentu ada jalan lain untuk membangun kembali negara ini.


Budaya burung kenari berkekah
Embrio munculnya banyak calon presiden (capres) sebetulnya sudah hadir dalam atmosfer Indonesia sejak awal tahun 1980-an: begitu banyak orang yang merasa dirinya tokoh. Munculnya banyak capres tidak lain kelanjutan dari munculnya sekian banyak partai. Semuanya berkaitan, saling berhubungan.

Tentu saja, seperti munculnya banyak partai dengan berbagai alasan idealisme, muncul pula begitu banyak capres yang juga dilandasi alasan idealisme. Namun, mungkin juga ada gejala lain: seseorang menjadi capres karena diminta, bukan meminta, pikir mereka sendiri. Seseorang yang diminta tentu dipandang mampu. Berdasar keyakinan merasa mampu itulah, sekian banyak capres bermunculan.

Marilah kita tengok olok-olok Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, pujangga awal kita, yang diklaim sebagai pujangga awal Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Ia mengkritik para raja saat itu karena kerja mereka adalah menindas rakyat. Berbagai macam korupsi -antara lain penarikan pajak yang berat- mereka lakukan dengan enak.

Pernyataan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi tak lain adalah masalah budaya: kekuasaan bukan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi demi kekuasaan itu sendiri dan demi harta. Upeti untuk mendapat jabatan, sebagaimana dikemukakan Nicolaas Engelhard, tidak lain merupakan masalah budaya, demikian pula makna puisi Burung Kenari Berkekah.


Jalan tak ada ujung
Dalam novel Jalan Tak Ada Ujung, Mochtar Lubis berkisah mengenai keadaan periode awal revolusi Indonesia di Jakarta. Semua orang saat itu terbawa arus keadaan, tanpa mempunyai kemampuan untuk menciptakan keadaan dengan atmosfer baru. Kita juga terbawa arus. Karena itu, setidaknya kata orang, korupsi makin berlarut-larut. Jabatan adalah, kata orang lagi, lahan paling enak untuk korupsi.

Lalu, tengok novel Ernest Hemingway, The Sun Also Rises. Perang Dunia I telah menjerumuskan dunia Barat ke ambang kehancuran moral dan spiritual. Begitu kelamnya keadaan pada waktu itu sehingga, tampaknya, Matahari tidak akan terbit lagi esok pagi.

Namun, akhirnya, dalam keadaan porak-poranda, optimisme masih muncul juga: The Sun Also Rises, Matahari bagaimana pun akan terbit kembali, demikian juga segala macam kebobrokan dalam Jalan Tak Ada Ujung.

Kapan kita menemukan ujung jalan? Dan, kapan Matahari segar akan terbit kembali?

Budi Darma, Sastrawan
KOMPAS, 3 September 2003