Thursday, November 27, 2014

Pahlawan Kesiangan


Tulisan ini kesiangan. Hari Pahlawan sudah lewat, kok baru nulis tentang pahlawan? Dalam dunia pers istilahnya “sudah lewat momentumnya”. Tetapi memang saya tidak bermaksud mengejar momentum, apalagi “kejar tayang”.

Saya justru ingin melihat apa saja yang dilakukan oleh anak-anak bangsa ini untuk memperingati Hari Pahlawan di era Revolusi Mental ini. Adakah perubahan perilaku atau masih sama saja dengan yang dulu-dulu? Tetapi persis seperti yang sudah saya duga, acara Hari Pahlawan masih yang itu-itu juga, misalnya peragaan perang di Surabaya tanggal 10 November 1945.

Dengan Bung Tomo mengepalkan tangan ke atas, dan anak-anak sekolah berpakaian ala seragam tentara rakyat yang sudah tertanam di benak mereka, yaitu seragam warna cokelat khaki, dengan simbol merah-putih di dada, dan ikat kepala merah-putih terbuat dari ikat leher Pramuka (walaupun zaman itu belum ada Pramuka). Tidak aneh, kalau keesokan harinya, pasca-peringatannya, orang sudah lupa lagi pada hari Pahlawan, apalagi pada makna kepahlawanan itu sendiri.

Konon, Dr Philip Zimbardo adalah psikolog sosial paling kondang saat ini.

Pada tahun 2008, di sebuah Kongres Psikologi Internasional di Berlin, Jerman, saya menghadiri sebuah paparan tentang heroisme (kepahlawanan) oleh psikolog sosial paling kondang saat ini, Dr Philip Zimbardo. Dalam paparan yang dihadiri sekitar 1.000 psikolog sedunia itu, Dr Zimbardo menayangkan sebuah rekaman CCTV singkat yang sangat mencekam.

Dalam CCTV itu, tampak suasana di sebuah stasiun Metro (kereta api bawah tanah) di London, dengan sebuah kereta api sedang meluncur dari kegelapan dan sudah terlihat lampunya akan segera masuk kawasan stasiun. Tiba-tiba seorang balita terjatuh dari kereta dorong ibunya yang berdiri terlalu di pinggir peron (tempat tunggu penumpang). Balita itu pun jatuh langsung masuk di tengah-tengah dua rel yang sekejap lagi akan dilewati kereta api.

Seketika semua orang menjerit histeris, dan tentu saja ibu yang malang itu berteriak paling histeris. Semua panik. Sebentar lagi si balita akan remuk digilas kereta api. Tetapi tiba-tiba sesosok laki-laki meloncat turun dari peron ke rel dan segera bertiarap dengan memeluk balita. Sekejap kemudian kereta api Metro menderu lewat di atas kepala mereka, dan ketika kereta itu berhenti, balita dan laki-laki itu sama-sama selamat, tidak ada yang terluka sedikit pun.

Pasca peristiwa itu laki-laki penolong itu diwawancara, dan ternyata dia sendiri punya dua anak. Satu di antaranya masih balita. Ia mengatakan bahwa tidak berpikir panjang ketika menolong balita. Spontan ia meloncat saja untuk melindungi balita, dan akhirnya memang balita itu selamat. Dr Zimbardo kemudian memberikan analisisnya tentang perilaku kepahlawanan.

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Seorang pahlawan itu, kata Dr Zimbardo, hanya mau menolong orang lain, atau menyelamatkan orang banyak, tanpa memikirkan keselamatan, apalagi keuntungan untuk dirinya sendiri. Arti kepahlawanan (heroisme dari kata Yunani kuno hero) itu sendiri adalah keberanian atau pengorbanan diri sendiri yang ditunjukkan seseorang dalam keadaan yang sangat berbahaya, atau dari posisinya yang sangat lemah, namun tetap berani mengambil risiko demi kebaikan yang lebih besar untuk keseluruhan kelompok yang lebih besar atau umat manusia.

Awalnya istilah ini hanya untuk dunia militer (perang), tetapi belakangan banyak digunakan dalam kaitannya dengan nilai-nilai moral. Dalam kaitannya dengan nilai-nilai moral inilah saya dan beberapa teman dari sebuah kelompok WA (WhatsApp) pada hari Senin, 10 November 2014 yang lalu, menyelenggarakan sebuah diskusi kecil di Gedung Joang, Jakarta, dengan para pemuka agama (lintas agama) untuk menggali nilai-nilai kepahlawanan baru untuk dikembangkan ke masa yang akan datang.

Nilai kepahlawanan zaman sekarang adalah antikorupsi. Semua orang tahu bahwa bukan barang gampang untuk tidak korupsi di tengah lingkungan yang semua orang korupsi. Diperlukan keberanian, kenekatan, dan yang jelas pengorbanan untuk bersikap antikorupsi di zaman sekarang.

Karena itu, tokoh-tokoh yang berani antikorupsi seperti Ahok harus kita dorong, karena mereka itulah pahlawan yang sebenarnya. Tokoh seperti inilah yang harus dijadikan ikon pahlawan hari ini, yaitu tokoh yang jadi fans-nya generasi muda, bukan lagi Bung Tomo yang (dengan segala hormat kepada beliau) sudah menjadi masa lalu.

Abraham Samad dan Joko Widodo.

Berdasarkan definisi Dr Zimbardo seperti di atas, siapa pun bisa tiba-tiba menjadi pahlawan kalau ada situasi-situasi yang mendadak mendesak seperti yang dialami bapak penolong tadi. Dengan definisi Dr Zimbardo, setiap orang bisa jadi pahlawan asalkan dia mau mengorbankan dirinya sendiri untuk kepentingan yang lebih besar atau orang lain.

Namun, tampaknya bukan itu yang dipahami oleh para penggembira di dalam perayaan 10 November 2014 yang baru lalu di Jakarta. Di ruangan lain dari Gedung Joang, ada beberapa ibu yang katanya mau demo ke salah satu direktorat jenderal, karena katanya rumah salah satu ibu itu digusur oleh instansi ditjen itu, padahal ibu itu janda pahlawan yang mendapat bintang jasa dari pemerintah.

Sementara itu, di jalanan, ribuan buruh berdemo minta kenaikan UMR, karena mereka merasa sudah berjasa bekerja untuk negeri ini sehingga layaklah kalau upahnya dinaikkan. Dan, lebih banyak lagi anggota ormas yang berdemo karena merasa sudah menertibkan Ibu Kota dari kemaksiatan sehingga merasa dirinya sudah jadi pahlawan dan menuntut agar Ahok turun dari jabatan gubernur DKI.

Seperti itulah orang-orang Indonesia yang merayakan Hari Pahlawan. Mereka merasa dirinya adalah pahlawan, padahal tidak ada pahlawan yang merasa dirinya sendiri pahlawan, kecuali pahlawan kesiangan.

Sarlito Wirawan Sarwono,
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 16 November 2014

Friday, November 21, 2014

Kebudayaan yang Mendidik


Apa yang beberapa kali saya kritik (juga otokritik) dari tim editor majalah Time Asia, yang memasang foto close up bagus dari Joko Widodo, sebenarnya semata soal tajuk di sampul majalah paling ternama dunia itu, “A New Hope”.

Pertama, tajuk itu memberi kesan kuat bangsa yang sejak kemerdekaan modernnya sudah bisa dianggap lanjut usia ini ternyata hanya sukses memproduksi harapan. Sebagaimana masyarakat rajin menempatkan tajuk itu dalam plang nama toko, media massa, perumahan, hingga bengkel dan panti pijat.

Apa yang dilakukan oleh bangsa ini, mungkin, selebihnya hanya pertikaian, konflik, dan tipu daya atau sekurangnya, bangsa ini belum mampu bekerja untuk menghasilkan bukti yang mengisi karung-karung harapan itu. Bangsa kalahan, yang selalu menghibur diri, “Ah... masih ada harapan, kok”, melulu sebagai basis apa yang disebut optimisme.

Hal kedua, yang saya semula tidak setuju, memosisikan Jokowi sekadar sebuah harapan belaka, bukan sebagai kata atau hasil kerja. Artinya, kita memilih presiden baru itu melulu dengan pertimbangan yang spekulatif, imajinatif, bahkan kadang ilusif dan absurd sebagaimana posisi harapan berada. Tidak. Jokowi (seharusnya) adalah sebuah kerja, atau sekurangnya lokomotif dari gerbong-gerbong yang bergerak (bekerja) ke satu tujuan yang sama. Bahwa hasilnya sesuai dengan harapan atau keinginan (idealisme atau ideologi) adalah soal berikutnya. Yang utama adalah bangsa ini berkeringat. Harus berkeringat, tidak hanya biologis, tetapi juga psikologis, pun spiritualistis.


Sebagai pihak yang merasa menjadi kuncen kebudayaan, karena kebudayaan sudah tiga perempat mati akibat percobaan pembunuhannya yang berulang dan sistematik, saya merasa tergerak untuk (juga menghela banyak pihak) lebih berkeringat untuk memberi kehidupan penuh, me-recharge, reviving apa pun namanya, kebudayaan kita. Namun, begitu nomenklatur kabinet baru —yang juga diberi julukan “kerja”— diumumkan, saya sudah letih bahkan sebelum tetes pertama keringat saya keluar.

Untuk pertama kalinya, dalam sejarah negeri ini, mungkin juga sejarah pemerintahan dunia, ada satu kata (lema, terma) yang sama digunakan oleh dua instansi atau kementerian dalam satu tim kerja atau kabinet. Saya kehilangan akal untuk memaknai perbedaan dari penempatan atau penggunaan nama atau istilah itu. Termasuk berpikir keras, apakah yang satu itu sifatnya makro yang kedua mikro, yang satu abstrak satunya konkret, yang satu suprastruktur, lainnya infrastruktur. Ajaib. Saya sungguh ingin bertanya atau belajar dari the thinkers yang ada di balik separasi institusional itu.

Hal yang lebih dalam lagi, apa sebenarnya yang kita, terutama pengelola negara (pemerintah keseluruhannya karena parlemen ikut menyetujui nomenklatur baru itu), pahami tentang “kebudayaan”. Apa pemahaman itu mengimperasikan pemisahan yang akan menciptakan “gegar” –sebagaimana diindikasikan oleh banyak pengamat— kebudayaan dari pendidikan tinggi? Ajaib. Banyak pemikir kebudayaan di balik presiden baru yang ajaib, dalam arti memiliki pemahaman yang bisa jadi luar biasa atau penuh terobosan sehingga ia bisa melanggar tradisi yang dioperasikan umat manusia sepanjang usia peradabannya, di seluruh dunia.


Kebudayaan idealistik
Sebagai konservatif —mengikuti peristilahan ilmu kontinental— karena menjadi pengikut dari tradisi yang menjunjung keluhuran kebudayaan dengan manusia senantiasa menjadi subyek utama yang ditingkatkan kualitas kemanusiaannya, maqam spiritual atau keilahiannya, saya berpegang pada pemahaman bahari saya tentang kebudayaan sebagai sebuah kerja idea(listik) dari satu kelompok (manusia) memusyawarahkan (melakukan diskursus dalam terminologi modern) sebuah mufakat (konsensus) hal-hal fundamental yang dapat dijadikan acuan utama (main references) bagi pemuliaan sub-spesies mamalia bernama manusia alias dirinya sendiri.

Acuan fundamental dari hasil permufakatan itu tentu saja tidak bersifat material atau tangible. Ia adalah ide-ide abstrak yang kemudian diformasi menjadi nilai, norma-norma, moralitas, etika, dan akhirnya estetika. Seluruh pegangan mental-spiritual, intelektual, dan fisikal manusia yang ingin mengembangkan (aktualisasi) dirinya. Hingga kalau bisa menjadi “tuhan” dalam ambisi ilmu pengetahuan-terukur (sains) dalam tradisi pemikiran kontinental.

Dengan semua acuan itulah, kemudian manusia yang berbudaya menciptakan produk-produknya di semua dimensi kehidupan, yang ketika ia lengkap, bertahan (sustainable), teruji, dan mapan (established), lalu dapat menjadi landasan sebuah peradaban. Jadi, sebaiknya tidak menggolongkan politik, perdagangan, kerajinan tangan, museum, bahkan korupsi atau perjudian sebagai “kebudayaan”. Semua itu produk, yang karena dibuat oleh manusia, bisa berbentuk atau bersifat destruktif bisa pula konstruktif.

Dalam sebuah analogi: sebuah gadget atau mesin pemanas atau roket peluncur rudal tidaklah dapat disebut teknologi apalagi sains atau ilmu pengetahuan. Semua itu adalah produk keras dari teknologi, dengan sains adalah acuan di belakangnya. Kebudayaan dalam analogi ini adalah sains atau ilmu pengetahuan yang berisi ide-ide abstrak dimana sebuah kerja praktis dan nyata dimungkinkan. Kebudayaan seperti ketentuan-ketentuan agama (syariah, fikih, dan sebagainya) yang berisi ideal-ideal dari praksis religius atau spiritual kita. Lebih luas lagi, kebudayaan semacam kitab suci yang tidak berhenti pada cetakan dan kata-kata, tetapi ayatullah yang harus dibaca (iqra) dari seluruh realitas dan fenomena yang ada di semesta, di keseharian kita.

Semua hanya analogi, tidak harus diberi ukuran tingkat sakralitas atau dominasinya secara struktural dalam hidup kita. Komprehensi semacam ini hanya untuk membuat kita jernih, apa dan mengapa, di bagian mana, untuk apa, dan bagaimana caranya kebudayaan itu (sebaiknya) dilangsungkan. Termasuk menjadi urusan penyelenggara negara, termasuk sebagai job description dari sebuah kementerian, misalnya.


Pendidikan yang membudayakan
Melalui kejernihan komprehensi itu, antara lain, kita dapat mafhum apabila kerja kebudayaan sesungguhnya dioperasikan oleh seluruh matra kerja manusia. Di berbagai bidang dan dimensinya. Ada dalam persoalan bisnis, berlaku politik atau memainkan manuver politik, berhubungan dengan orang lain, membangun industri, sistem pertahanan, diplomasi antarbangsa, hingga mengelola kehutanan atau aparatur negara.

Di dalam proses berbudaya itu, yang terjadi sebenarnya adalah (juga) transmisi dari acuan-acuan fundamental itu (nilai hingga estetika) dari yang lebih tahu, lebih kuasa, lebih tua, dan lebih dipercaya (dan seterusnya) kepada mereka yang “tidak lebih” atau kurang.

Maka, semua orang yang dipercaya menjadi pejabat negara/publik dituakan (sesepuh, orangtua), atau bahkan orang yang secara sukarela mengabdi (berdedikasi) pada kemaslahatan umum secara otomatis mendapat imperasi sebagai transmitor dari kebudayaan kita bersama. Artinya, apabila mereka yang tergolong dalam kategori-kategori sosial di atas tidak mampu menunjukkan kapasitas dan kualitas yang ber(adab dan) budaya, dia adalah minor atau “tidak lebih” alias harus dikurangi bahkan disingkirkan dari ketinggian posisi sosialnya tadi.

Paparan di atas hanya sekadar menunjukkan, dalam kata kebudayaan sesungguhnya sudah terintegrasi sebuah kerja (dan pemahaman) tentang pendidikan, dalam pengertian lapang pengajaran, tempat transmisi nilai (juga pengetahuan) berlangsung. Insan yang berbudaya adalah insan yang mendidik, langsung maupun tidak langsung. Lewat modul, sistem kelas, sorogan, atau hanya sekadar contoh perbuatan (cara hidup).

Dalam dunia formal, katakanlah dalam lingkup penyelenggara negara, kebudayaan adalah sebuah kerja mendidik atau mengajar (dalam proses dialogis ajar-mengajar) yang dilangsungkan melalui institusi-institusi legalnya (sekolah, madrasah, perguruan, dan lain-lain).

Makna ringkasnya, apa yang disebut pendidikan adalah proses membudayakan atau —dalam bahasa gaulnya— melakukan transmisi kultural antara seorang pengajar dan siswa ajar. Untuk semua hal atau bidang kehidupan yang nyata (existence) dalam keseharian kita. Sebuah kurikulum boleh saja mengkhususkan siswa ajar pada bidang tertentu, tetapi jangan sampai ia lalai atau alpa dengan dimensi-dimensi hidup lainnya. Karena, apabila tidak, ia akan menjadi manusia-budaya (man of culture) yang tidak lengkap.


Kerja yang tak usai
Dengan penalaran sederhana di atas, tentu dengan mudah kita mafhumi bahwa pendidikan dalam arti formal atau pengajaran dalam makna yang lapang adalah sebuah kerja yang tak akan pernah selesai, juga tidak memiliki yurisdiksi material atau fisikawinya. “Belajarlah hingga ke negeri Tiongkok”, “Belajar itu hingga ke liang lahat,” adalah peribahasa yang arif kita miliki, baik dari tradisi agama maupun istiadat kita.

Entah apakah ini cukup memadai untuk memberi pemahaman, betapa muskil apabila kita membayangkan proses pembudayaan manusia ini berhenti atau terpisah setelah seseorang memasuki usia dewasa alias tergolong mahasiswa. Apalagi membiarkan dan menyerahkan anak-anak kita, para siswa ajar itu, ke dalam sebuah skema pengetahuan dan keahlian yang hanya menjadi hamba industri atau pragmatisme dan oportunisme materialistik, dengan libido keserakahan menjadi engine utamanya. Apakah sebuah pemerintahan mampu bertanggung jawab pada sejarah, konstitusi, apalagi anak-cucu-buyut mereka nanti, akan terjerembabnya anak-anak kebudayaan kita menjadi motor atau mesin-mesin dari the greediness of politic and economy saat ini?

Hal yang paling tentu, dan gampang sekali kita sadari, siapa pun orang yang berada dalam tanggung jawab “pembudayaan” (pendidikan dan pengajaran) di atas, tentulah seseorang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Bukan mereka yang masih membutuhkan pemolesan atau lipstik pencitraan diri, atau tokoh yang masih harus melakukan “pembangunan manusia” (oh... kenapa frase ini terpisah dari kebudayaan yang melingkupinya) atau “revolusi mental” pada dirinya sendiri. Apalagi, duh... betapa akan menggiriskan nasib generasi kita nanti jika penanggung jawab kerja besar di atas mengerti tugas mereka sekadar “memperbanyak tari-tarian” atau hanya “banyak mengunjungi museum dan situs purba”.

Janganlah rendahkan kehebatan kultural bangsa ini, yang tidak dikarbit seperti Amerika Serikat, tetapi ditandur dan disemai dengan tekun oleh nenek moyang melewati milenium yang lebih banyak dari sebagian besar bangsa di atas bumi ini. Saya mafhum, sesungguhnya presiden baru kita pun mafhum. Namun... (ah, saya mewajibkan diri untuk berhenti di sini).

Radhar Panca Dahana,
Budayawan
KOMPAS, 13 November 2014

Wednesday, November 5, 2014

Jerusalem, Jerusalem


Setiap kali ingat Jerusalem, setiap kali pula ingat yang ditulis pemazmur, “Berdoalah untuk kesejahteraan Jerusalem: biarlah orang-orang yang mencintaimu mendapatkan sentosa.” Setelah beberapa kali melihat dan mengunjungi Jerusalem, benar yang dikatakan pemazmur: Jerusalem memang harus didoakan.

Sesuai namanya, Jerusalem adalah “Kota Perdamaian”. Namun, inilah ironisnya, justru di kota ini perdamaian nyaris tak pernah tinggal begitu lama walaupun hadir. Padahal, Jerusalem adalah kota tempat Pangeran Perdamaian akan datang nanti di akhir zaman. Namun, di kota yang menjadi awal mula kebahagiaan ini, cinta diagungkan sekaligus kebencian dipelihara.

Hari Kamis pagi lalu menjadi saksi betapa kebencian dipelihara, bahkan disuburkan, orang-orang Israel. Pada hari itu, Israel menutup wilayah yang dikelola umat Muslim di Kompleks Masjid al-Aqsha. Ini kali pertama sejak tahun 2000 ketika Ariel Sharon yang kemudian menjadi perdana menteri disertai 1.000 polisi memasuki kompleks yang oleh umat Muslim disebut Haram al-Syarif, yang di dalamnya berdiri Masjid al-Aqsha dan Dome of the Rock.


Tindakan Sharon itulah yang kemudian melahirkan gerakan perlawanan, Intifadah kedua, yang sering disebut Intifadah al-Aqsha, 28 September 2000 hingga 8 Februari 2005, dengan 3.000 orang Palestina dan 1.000 orang Israel tewas, ditambah 64 orang asing.

Tindakan Israel, Kamis lalu, adalah buntut dari bentrokan antara para remaja Palestina dan polisi Israel. Bentrokan terjadi menyusul tewasnya Moataz Hejazi, pria Palestina yang ditembak polisi. Ia dituduh menembak aktivis Israel, Yehuda Glick, yang mengkampanyekan agar orang Yahudi diperbolehkan berdoa di Kompleks Masjid al-Aqsha.

Kompleks al-Aqsha, Jerusalem Timur, dan Tepi Barat direbut Israel pada perang tahun 1967. Setelah perang usai, Kompleks al-Aqsha dikembalikan dan dikontrol oleh Kementerian Wakaf Jordania. Meski demikian, orang Yahudi boleh masuk ke kompleks masjid, tetapi dilarang sembahyang di dalamnya. Inilah yang dituntut oleh kelompok Yehuda Glick dan didukung kelompok ultrakanan.

Meski PM Israel Benjamin Netanyahu menyatakan tidak akan mengubah keadaan yang sudah berlaku sejak tahun 1967, tindakan penutupan kompleks tersebut telah menyulut api permusuhan.


Harap diketahui bahwa tidak ada tempat di Jerusalem yang lebih sensitif dibandingkan dengan Temple Mount (Bukit Kuil) atau Haram al-Syarif itu, yang dalam bahasa Ibrani oleh orang Yahudi disebut Har haBayit, Tempat yang Sangat Suci. Inilah tempat paling suci di Jerusalem Kuno, Jerusalem Timur. Paling tidak empat agama menggunakan tempat ini sebagai tempat ibadah: Yudaisme, Kristen, Romawi (dahulu), dan Islam.

Sedikit api terpercik di sini, maka dalam waktu cepat akan berkobar, membakar tak terkendali. Perang besar, yang bahkan bisa lebih besar dari perang di Gaza, akan pecah di titik terpanas di Jerusalem itu apabila kedua belah pihak tak mampu menahan diri dan mendinginkan hati. Proses perdamaian yang sudah bertahun-tahun dilakukan pun akan tak ada gunanya.

Jerusalem akan terbakar lagi untuk kesekian kali.

Trias Kuncahyono,
Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 5 November 2014