Wednesday, December 12, 2012

Oligopoli Media dan Masa Depan Demokrasi


"Dominasi adalah awal hegemoni," kata Gramsci.

Dalam satu pertemuan tertutup dengan salah satu pemimpin grup media televisi, teman saya sempat bertanya, "Itu iklan salah satu partai politik yang sering muncul di televisi Anda, berita atau iklan yang seolah-olah dibuat menjadi berita?" Mendengar pertanyaan polos ala mahasiswa semester awal, sontak para hadirin tertawa dalam ruangan tersebut.

Bagi saya, pertanyaan itu menyiratkan pesan mendalam akan kegelisahan publik terhadap kualitas media televisi kita hari ini, terutama irisan kepentingan pemilik media dan isi pemberitaan yang dalam persepsi publik tidak ada hubungannya dengan kepentingan publik, tetapi menyiarkannya lewat frekuensi milik publik.

Di era yang bertransformasi menjadi The Age of Media Society saat ini, peran media massa tidak hanya sebagai ikon penanda kemajuan zaman, tetapi juga sebagai penjaga roh demokratisasi agar tetap berpedoman pada pemenuhan hak-hak warga negara. Film James Bond, Tomorrow Never Dies, sebetulnya telah memberikan gambaran bagi publik bagaimana bahayanya bila media telah memonopoli kebenaran, mempengaruhi publik hingga mencoba mendominasi informasi.


Pada bagian awal film, diceritakan ihwal Cerver, raja media yang memiliki sejumlah media massa, yang dengan kekuasaannya mampu meletupkan sebuah isu sehingga menjadi besar dan bisa menjatuhkan pemerintahan dengan sebuah berita. Meski hanya cerita film, ada baiknya cerita tersebut direfleksikan dalam konteks kepemilikan media di Indonesia, terutama terjadinya konglomeratisasi serta pemusatan kepemilikan yang mengarah pada oligopoli oleh segelintir kelompok tertentu yang tidak jarang berafiliasi dengan partai politik.

Berdasarkan penelitian Nugroho (2012), di Indonesia terdapat 12 grup media yang mengontrol hampir semua saluran media massa Indonesia, termasuk media penyiaran, media cetak, dan media online. Mereka adalah MNC Group, Kompas Gramedia Group, Elang Mahkota Teknologi, Visi Media Asia, Jawa Pos Group, Mahaka Media, CT Group, Beritasatu Media Holdings, Media Group, MRA Media, Femina Group, dan Tempo Inti Media.

Grup MNC memiliki tiga saluran televisi gratis, merupakan yang terbesar dengan jaringan 14 televisi lokal dan 22 jaringan radio di bawah anak perusahaan Sindo Radio, serta koran Harian Seputar Indonesia (Sindo). Grup Jawa Pos memiliki 171 perusahaan media cetak, termasuk grup Radar. Sementara itu, Kompas yang terkenal sebagai salah satu surat kabar berpengaruh di Tanah Air telah mengembangkan jaringannya ke penyedia konten televisi dengan mendirikan Kompas-TV, di samping 12 saluran radio di bawah anak perusahaan Sonora Radio Network, dan 89 perusahaan media cetak lainnya termasuk grup Tribun yang terdiri atas 27 jaringan surat kabar. Visi Media Asia berkembang menjadi dua saluran televisi terestrial (ANTV dan TV One) serta media online vivanews.com.


Dalam penelitian tersebut disimpulkan, oligopoli media yang terjadi selama ini telah membahayakan hak warga terhadap informasi, karena industri media telah semata-mata berorientasi mencari laba, dan perusahaan media dapat "dibentuk" atau diintervensi oleh kepentingan pemiliknya serta sangat bermanfaat bagi orang-orang yang mencari kekuasaan (politik).

Kasus ini terutama terjadi pada sejumlah pemilik media yang juga terafiliasi dengan dunia politik. Contohnya Visi Media Asia atau Viva Group, yang dikendalikan oleh keluarga Aburizal Bakrie yang notabene adalah Ketua Umum Partai Golongan Karya. Kemudian MNC Group milik Hary Tanoesoedibjo serta Media Group milik Surya Paloh, yang bersama-sama bergabung di dalam Partai Nasdem (Nasional Demokrat).

Ada persepsi yang terus berkembang, bahwa para pemilik media tersebut menggunakan medianya sebagai alat kampanye untuk mempengaruhi opini publik dan pada saat yang bersamaan mengambil keuntungan bisnis dari hal tersebut.


Akhirnya semangat agar terjadi demokratisasi penyiaran dengan prinsip diversity of content dan diversity of ownership hanya menjadi pajangan indah dalam perundang-undangan akibat tidak jelasnya mekanisme yang mengatur.

Pada masa mendatang, dalam revisi Rancangan Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang sedang disusun DPR RI –yang sebelumnya sudah disetujui sebagai inisiatif dari Komisi I DPR RI– sudah saatnya tidak ada lagi pasal karet yang kemudian dijadikan pembenaran bagi terjadinya monopoli media.

Desakan dan kawalan dari publik, aktivis media, jurnalis progresif, serta mahasiswa sangat mendesak dalam konteks demokratisasi penyiaran ini. Tidak hanya dalam jangka pendek ketika kita akan melaksanakan Pemilu 2014. Dalam jangka panjang, tentunya kita juga tak ingin demokrasi yang diperjuangkan selama ini lewat air mata, keringat, darah, dan nyawa banyak aktivis, ternyata telah dibajak oleh para pemilik modal yang dengan sesukanya memonopoli informasi kepada warga negara.

Ardinanda Sinulingga
Aktivis dan Peneliti Indonesia Media Watch (IMW)
KORAN TEMPO, 7 Desember 2012


Perang Politik di Media Televisi

Tersiar kabar, Hary Tanoe, bos MNC Group sekaligus Ketua Dewan Pakar Partai Nasional Demokrat (Nasdem), membeli mayoritas saham Metro TV milik Surya Paloh, tokoh yang digadang-gadang dari Partai Nasdem untuk menjadi presiden pada Pemilu 2014.

Jika rumor ini benar, pertarungan politik menuju istana nanti bakal diwarnai juga dengan “perang media televisi”. Ini karena di seberang lain, bisnis keluarga Aburizal Bakrie yang tergabung dalam Viva Group juga sudah menguasai beberapa media televisi lainnya.

Corong politik media massa bukan hanya televisi. Ada juga media cetak, radio, dan —tidak kalah dahsyatnya— internet dengan jejaring sosial di dalamnya, juga media-media online dalam bentuk portal-portal berita, blog, dan lain-lainnya.

Ada ungkapan yang menyebutkan: siapa yang menguasai media, dialah yang akan menjadi raja atau penguasa. Bisa jadi, karena itulah Surya Paloh dan Aburizal Bakrie berusaha menggunakan sebanyak mungkin media sebagai corong politik, selain tentu saja untuk bisnis, media hanya menjadi alat atau kendaraan untuk menapaki karier politik tertinggi: menjadi pemimpin nomor satu negeri ini alias menuju tampuk kekuasaan sebagai RI-1.

Pertanyaan dasarnya kemudian adalah, dalam konteks media televisi, seberapa efektifkah media ini mempengaruhi para penonton untuk menjatuhkan pilihan? Jangkauan televisi yang jauh lebih luas hingga pelosok-pelosok kampung dibandingkan media internet yang belum sejauh itu, memang cukup menjanjikan harapan. Setidaknya, sosialisasi seorang tokoh bisa jauh lebih mudah.


Semakin sering seorang tokoh ditampilkan di televisi, maka orang akan semakin mengenalnya. Tentu saja, tokoh yang ditampilkan di televisi selalu dari sisi positifnya, begitulah pencitraan, begitulah tokoh politik diiklankan.

Dilihat dari sudut pandang promosi periklanan, M Wayne De Lozier, seorang pakar komunikasi dan pemasaran Amerika, menyebutkan enam kelebihan televisi. Pertama, pengiklan dapat menjangkau audiensi yang lebih besar hanya dengan satu pesan iklan.

Kedua, efisiensi biaya atau cost per exposure is relatively low. Jutaan orang biasa menonton televisi secara teratur dan jangkauan televisi yang demikian luas menyebabkan efisiensi biaya per kepala. Televisi juga mampu menjangkau khalayak yang tidak terjangkau media cetak.

Ketiga, televisi menggunakan tampilan, suara, gerak dan warna untuk menyampaikan seluruh pesannya. Ini menyebabkan televisi memiliki dampak yang kuat terhadap khalayaknya.


Keempat, at the moment of exposure, a television advertisement excludes competing advertising messages. Televisi memiliki pengaruh yang kuat untuk mempengaruhi khalayak karena khalayak sebagai “calon pembeli” lebih mempercayai televisi sebagai media rujukan.

Kelima, television can reach a select market target. Televisi dapat menjangkau target pasar yang diinginkan.

Keenam, televisi dapat mempengaruhi perhatian penonton secara psikologis, membuatnya akan selalu ingin menontonnya daripada harus berpindah ke program-program lainnya.

Dari sisi tersebut, televisi tampaknya cukup efektif dan ampuh sebagai corong politik dalam mensosialisasikan seorang tokoh sekaligus “menyerang” tokoh lain yang menjadi kompetitornya. Aburizal Bakrie, tokoh yang secara resmi sudah didaulat Partai Golkar sebagai kandidat calon presiden 2014 tentu tidak akan pernah ditampilkan oleh media yang dikuasainya dari sisi negatip atau kekurangannya.

Tetapi, media lain yang di luar kuasanya akan dengan mudah menyerangnya. Kasus semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo tidak pernah diberitakan media-media miliknya, tetapi oleh media-media lawan-lawannya.


Independensi Media
Independensi media memang acapkali gagal ketika berkompromi dengan kepentingan pemilik media, terutama ketika sang pemilik juga merupakan tokoh atau bagian dari sekrup politik. Ini karena media memang dikuasai untuk menjadi corong politik bagi sang tokoh.

Orientasi politik menjadi lebih besar porsinya dibanding orientasi bisnis terutama menjelang perhelatan politik nasional (Pemilu). Maka benarlah kata salah seorang politikus Partai Demokrat, bahwa satu-satunya kelemahan partai ini adalah tidak adanya media televisi yang dimiliki, sehingga partai ini dengan begitu mudah dipojokkan dan menjadi bulan-bulanan lewat berbagai pemberitaan.

Kasus korupsi, misalnya, yang mendera beberapa kader Partai Demokrat, begitu massif diberitakan. Padahal, kasus-kasus korupsi juga ada dalam partai-partai lain. Maka boleh jadi, pemberitaan-pemberitaan itu memang bentuk serangan terhadap lawan politik, sekaligus menutupi kebobrokan partai tertentu yang menguasai media televisi.

Publik digiring untuk beropini bahwa yang korupsi seakan-akan hanya partai ini, tidak partai itu. Padahal, berbagai survei menunjukkan, hampir semua partai politik telah menjadi sarang bagi para koruptor atau tempat yang nyaman untuk melakukan praktik-praktik koruptif.


Dalam “perang media” seperti ini rasanya tidak mudah menemukan media yang netral atau obyektif. Padahal, ini yang sesungguhnya diperlukan masyarakat agar mereka tercerahkan. Tetapi, apakah memang ada media yang sungguh-sunguh netral? Maksudnya, tidak berafiliasi pada kepentingan politik tertentu dan hanya berorientasi pada bisnis semata. Atau masih adakah media-media yang independen dan berpegang kuat pada prinsip-prinsip jurnalisme? Tentunya masih ada.

Media-media seperti ini memang seharusnya tidak ditunggangi atau dikendalikan oleh kepentingan politik tertentu, tetapi memanfaatkan momen-momen politik, karena dianggap layak diliput dan layak tayang sebagai “lahan bisnis” bagi meraup untung.

Dalam proses pematangan demokrasi dan pendidikan politik rakyat (publik), netralitas, independensi, dan obyektivitas media tentu saja sangat urgen. Media-media semacam ini selain dapat membongkar topeng kepalsuan yang disandang para tokoh, juga bisa menjadi saluran kritik yang efektif terhadap praktik-praktik politik kotor yang sarat manipulasi.

Kritik yang tentu saja konstruktif dan bertanggung jawab dari media-media inilah yang sesungguhnya diharapkan menjadi pilar keempat demokrasi dalam rangka mengontrol proses politik agar jalannya pemerintahan tetap berada di jalurnya, yakni demi memperjuangkan kepentingan rakyat.

Fajar Kurnianto
Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta
SINAR HARAPAN, 7 Desember 2012

Saturday, December 1, 2012

Islam dan Transformasi Sosial Eknomi


Menuliskan “kata pembuka” untuk buku Prof Dr M Dawam Rahardjo (MDR) merupakan kehormatan tersendiri. Mas Dawam –demikian ia biasa dipanggil oleh kalangan dekatnya– adalah mentor dan pembimbing, khususnya bagi banyak mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, pada awal 1980-an. Fachry Ali, Komaruddin Hidayat, Hadimulyo, Azyumardi Azra, Iqbal Abdurrauf Saimima (almarhum), Hari Zamharir, Ahmad Rifai Hassan (Pipip), dan saya sendiri, adalah sebagian dari mereka yang beruntung memperoleh tutorial langsung darinya.

Pada tahun-tahun itu, setiap hari Rabu siang, kami bertemu di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) –sebuah lembaga studi prestisius yang pernah dimotori oleh beberapa pemikir dan aktivis yang mempunyai asal usul sosial, bahkan mungkin genealogis, PSI dan Masyumi. Di situ, kami diperkenalkan secara lebih lanjut dengan sejumlah teori sosial –termasuk ide-ide Richard Falk tentang peace research, Andre Gunder Frank, Cardoso, dan Johan Galtung tentang teori ketergantungan, atau de-schooling society-nya Ivan Illich.

Meskipun demikian, adalah jauh dari maksud Dawam untuk menjadikan kami sebagai students of social sciences. Alih-alih, yang dikehendakinya adalah membukakan pintu bagi kami untuk mempertim-bangkan pentingnya perspektif ilmu-ilmu sosial dalam pengembangan akademik kami yang berlatar belakang agama itu.

Demikianlah, maka yang justru sering menjadi agenda kami adalah diskusi tentang agama (Islam), baik yang menyangkut aspek filsafat, teologi, fiqh siyasah, sejarah, atau pemikiran Islam pada umumnya. Al-Quran pun –khususnya dalam hal bagaimana kitab suci ini dipahami– tak luput dari perbincangan kami.

Tak puas menjadikan kami sebagai counterpart dalam mendiskusikan al-Quran (kendatipun sudah ada Pipip yang sering dijadikannya sandaran ensiklopedik, dengan menggunakan Mu’jam al-Mufahrasy li al-fadh al-Quran sebagai rujukan). Dawam mendatangkan Ustadz Isa Bugis yang dinilainya memiliki pendekatan alternatif.


Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa perhatian Dawam terhadap pemikiran keagamaan Islam bukan sesuatu yang tumbuh pada masa-masa itu.  Ia sendiri lahir di lingkungan santri di desa Tempursari, Solo. Beserta keluarganya, ia tidak saja akrab dengan pranata-pranata sosial kemasyarakatan Islam, seperti Pondok Pesantren Jamsaren, Perguruan al-Islam, Pesantren Krapyak, atau organisasi Islam perkotaan Muhammadiyah, tetapi juga dekat dengan kyai-kyai berpengaruh seperti KH Imam Ghozali, KH Ali Darokah, Ustadz Abdurrahman –orang-orang yang mengajarkannya bahasa Arab, Fiqh, Tafsir, Hadits, dan Tajwid di tingkat dini. Walaupun dalam hal karir akademiknya, orang lebih mengenalnya sebagai “jebolan sekolahan” yang pernah mengenyam –melalui program American Field Service (AFS)- pendidikan SMA di Boisie, Idaho, Amerika Serikat, dan berhasil menggondol gelar sarjana ekonomi dari UGM.

Kalau Solo merupakan tempat di mana Dawam mendapatkan dasar-dasar pemahaman mengenai Islam, maka di Yogyakarta-lah minatnya terhadap pemikiran ke-Islam-an berkembang. Setidak-tidaknya ada tiga hal penting yang perlu disebut sehubungan dengan yang terakhir ini. Pertama adalah situasi sosial-keagamaan dan politik Indonesia. Sebanding dengan periode-periode sebelumnya, Indonesia pada dasawarsa 1960-an masih disibukkan oleh antagonisme ideologis dan politis antara Islam dan negara. Situasi demikian muncul antara lain karena idealisme dan aktivisme para pemikir dan praktisi politik Islam generasi pertama yang tempo-tempo kental nuansa formalistik dan legalistiknya. Kecenderungan demikian telah mendatangkan implikasi-implikasi sosial-politik yang tidak menguntungkan komunitas Islam. Inilah kemudian yang menimbulkan dialektika pemikiran dan aktivisme baru, yang dikembangkan oleh generasi yang lebih muda, untuk menemukan sintesa yang memungkinkan dalam soal hubungan antara Islam dan politik/negara. Dalam kerangka itulah, mereka merasa perlu melakukan kajian ulang atas posisi agama (Islam) dalam kehidupan sosial-ekonomi dan politik keseharian –khususnya yang menyangkut dasar-dasar teologisnya.

Kedua, keterlibatan Dawam di dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Yogyakarta. Sebagai organisasi mahasiswa Islam kota terbesar pada waktu itu, HMI tidak kebal dari pengaruh-pengaruh situasional seperti digambarkan di atas. Sebaliknya, aktivis-aktivis HMI justru memainkan peranan penting dalam memberikan respons terhadap situasi sosial-politik Indonesia. Hal ini tampak dalam wacana yang dikembangkan oleh para tokohnya, baik yang ada di Yogyakarta maupun di Jakarta, yang berusaha untuk mengkaitkan Islam dengan persoalan-persoalan keseharian yang lebih empirik sifatnya. Meskipun secara keorganisasian, keharusan untuk mengembangkan dialektika pemikiran dan aktivisme baru ini tidak pernah menjadi kebijakan resmi organisasi, tetapi HMI tetap memberikan semacam institutional leverage kepada para kadernya melalui training-training yang diselenggarakannya secara periodik. Untuk itu, tidak terlalu berlebihan jika Victor Tanja mengingatkan bahwa dalam kurun-kurun itu HMI memiliki posisi ideologis penting dalam pengembangan wacana pemikiran baru.


Ketiga, aktivitas Dawam di dalam kelompok diskusi yang dipimpin Prof. Dr. Mukti Ali –Limited Group. Kelompok diskusi yang dihadiri secara rutin oleh, antara lain, Syu’bah Asa, Saifullah Mahyuddin, Djauhari Muhsin, Kuntowijoyo, Syamsuddin Abdullah, Muin Umar, Kamal Muchtar, Simuh, Wadjiz Anwar –di samping Djohan Effendi, Ahmad Wahib, Mansyur Hamid, dan Dawam Rahardjo sendiri, ini terbiasa membahas masalah-masalah keagamaan, sosial, politik dan sebagainya secara terbuka, tanpa perlu merasa takut untuk dicap telah keluar dari kaidah-kaidah religius dan teologis yang lazim.

Ketiga faktor ini memberikan Dawam –bersama-sama aktivis dan pemikir Islam muda lainnya, termasuk Djohan Effendi dan Ahmad Wahib– kesempatan untuk melihat Islam dalam konteks ke-Indonesia-an secara lebih empiris. Ia tak lagi tertarik untuk memahami Islam dalam konteks tekstual per se tetapi dalam konteks persoalan yang berkembang di bumi Nusantara. Ia pun tak lagi melihat al-Quran dalam perspektif Ilmu Tajwid saja, tetapi membacanya dan membahasakannya dalam konteks kebutuhan-kebutuhan yang lebih riil. Karenanya, ketika kebuntuan hubungan ideologis antara Islam dan negara masih saja terasakan, ia misalnya menulis dalam majalah Islam yang didirikan dan dipimpin Buya Hamka, Panji Masyarakat, tentang hal ini. Tulisnya, “meskipun Islam –sebagai agama– mengandung ajaran-ajaran sosial politik, ia dalam dirinya sendiri bukanlah sebuah ideologi. Ideologi Islam [pada dasarnya] tidak pernah ada.

Ketika kehidupan mahasiswa dan HMI-nya usai (akhir 60-an), Dawam pindah ke Jakarta. Pada mulanya ia membina karir dengan bekerja di Bank of America. Barangkali bekerja di lembaga perbankan memang bukan habitatnya. Setelah hanya dua tahun berada di Bank of America, ia memutuskan untuk keluar dan memilih bergabung dengan LP3ES. Di lembaga inilah sebenarnya tempat Dawam dalam pergumulan pemikiran Islam Indonesia terumuskan. Kesediaannya untuk membimbing sejumlah mahasiswa IAIN Jakarta pada awal tahun 1980-an memberinya kesempatan untuk secara prolifik mendiskusikan dan menuliskan kaitan-kaitan antara Islam ideal dengan Islam historis atau empiris.


Akan tetapi, posisinya sebagai aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengharuskannya untuk melangkah lebih jauh, sehingga membuat Islam tampak lebih relevan bagi kebutuhan publik sehari-hari. Dalam konteks inilah ia –bersama-sama dengan Sudjoko Prasodjo, Adi Sasono, dan Utomo Danandjaja– memilih untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih konkrit, sebagai ekspresi dari semangat kesantriannya di satu pihak, dan pemahamannya atas persoalan-persoalan kerakyatan di pihak lain.

Sebenarnya Dawam menyadari bahwa masalah yang dihadapi umat Islam lebih banyak bersumber pada persoalan politik. Pemikiran dan praktik politik Islam lama ikut mempengaruhi pandangan pemerintah terhadap komunitas Islam. Demikian kuatnya pengaruh itu sehingga baik pemerintahan Soekarno maupun Soeharto sampai pada kesimpulan untuk melakukan domestikasi terhadap Islam. Akibatnya, tidak saja Islam ditolak sebagai dasar ideologi dan agama negara, tetapi komunitasnya berkali-kali diperlakukan sebagai “kelompok minoritas” atau “kelompok luar” dalam kehidupan sosial-ekonomi dan politik nasional. Pendeknya, seperti pernah disinggung oleh Donald K. Emerson, Islam telah berhasil dikalahkan sepanjang sejarah politik Indonesia moderen, baik secara konstitusional, fisik, birokratis, elektoral maupun simbolik. Di atas itu, yang paling menyedihkan adalah bahwa Islam seringkali menjadi sasaran ketidakpercayaan, dicurigai menentang ideologi negara Pancasila.

Fenomena seperti ini mempunyai implikasi sosial-ekonomi dan politik yang sangat luas. Demikian buruknya perlakuan yang diterima oleh komunitas Islam, sehingga dalam persepsi almarhum Mohammad Natsir, negara telah memperlakukan Islam seperti “kucing kurap.”

Dalam pandangan Dawam, apa yang dilakukannya sejak akhir 1960-an bersama-sama pemikir dan aktivis Islam lainnya, khususnya mereka yang tergabung dalam HMI, adalah untuk mengubah situasi politik yang tidak menguntungkan ini. Dalam konteks ini, menurutnya ada tiga mazhab pemikiran. Pertama, pembaharuan keagamaan / teologis yang memfokuskan diri pada pencarian dasar-dasar teologi baru yang memungkinkan terciptanya sintesa yang memungkinkan antara Islam dan negara, terutama dilihat dari sudut hubungan politiknya. Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, Harun Nasution, Abdurrahman Wahid, dan Munawir Syadzali merupakan tulang punggung aliran ini. Kedua, pembaharuan politik / birokrasi yang bertujuan untuk menjembatani hubungan antara Islam dan pemerintah, sehingga kecurigaan-kecurigaan politik dan ideologis bisa dikikis –paling tidak dikurangi. MS Mintaredja, Sulastomo, Akbar Tanjung, Bintoro Tjokroamidjojo, Mar’ie Muhammad, Sya’dillah Mursid merupakan sebagian dari aktivis yang bergerak di jalur ini. Ketiga, aliran transformasi sosial-ekonomi dan kemasyarakatan. Perhatian utama kelompok ini adalah melakukan pemberdayaan sosial-ekonomi dan politik masyarakat bawah, baik yang ada di pedesaan maupun perkotaan. Sudjoko Prasodjo, M. Dawam Rahardjo, Tawang Alun, Utomo Danandjaja, dan Adi Sasono adalah pionir gerakan ini.


Secara konkordan, ketiga aliran di atas terbukti telah bergerak secara sinerjik –meskipun benturan dan gesekan antara satu aliran dengan aliran yang lain seringkali tak terhindarkan. Akan tetapi, periode akhir 1980-an atau awal 1990-an menunjukkan bahwa kerja keras mereka selama kurang lebih dua dasawarsa membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Kecurigaan menipis, dan akomodasi negara atas sejumlah aspirasi Islam terlaksana.

Untuk pihak-pihak tertentu, pengelompokan di atas sebenarnya merupakan sesuatu yang tidak bersifat clear cut. Dawam sendiri, sejak awal telah menaruh perhatian yang cukup besar pada dua aliran pertama –pembaharuan keagamaan dan politik / birokrasi. Meskipun dalam hal yang terakhir ini (i.e. pembaharuan politik / birokrasi), ia lebih banyak terlibat dalam pengembangan wacana, dan bukandlm kegiatan praktis –sampai kemudian ia bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN) di era reformasi (1998).

Seperti telah disebutkan, LP3ES merupakan lingkungan kerja yang kondusif bagi Dawam untuk menempatkan transformasi sosial-ekonomi dan kemasyarakatan sebagai prioritas perhatiannya. Dalam kerangka ini, pada awal tahun 1970-an, bersama Sudjoko Prasodjo yang bergerak melalui lembaga Pendidikan Tinggi Dakwah Islam (PTDI) dan Tawang Alun yang juga bekerja di LP3ES, mereka merupakan figur yang menonjol yang mengawali program-program transformasi sosial-ekonomi dan kemasyarakatan.

Dalam hal ini, mula-mula Dawam mengembangkan program industri kecil –sesuatu yang dianggapnya mempunyai makna strategis-ekonomis untuk diperkenalkan kepada masyarakat bawah. Di situ secara inheren juga tercakup semangat perlunya meningkatkan daya kewirausahaan rakyat. Yang relatif monumental adalah agenda pengembangan masyarakat melalui pondok pesantren. Ia melihat lembaga pendidikan tradisional Islam ini jumlahnya banyak. Melalui serangkaian program pemberdayaan, tak pelak pesantren akan mampu berperan sebagai agent of change –demikian istilah yang paling populer ketika itu– bagi masyarakat di tingkat paling lokal. Ini diyakini akan mempunyai dampak sosial-ekonomi yang cukup berarti di tingkat akar rumput.

Agar kegiatan-kegiatan seperti ini berhasil, Dawam percaya bahwa hal itu tidak bisa dilakukan “sendirian”. Keterlibatan pemerintah, yang memang mempunyai networking birokratis dan program pembangunan yang sebanding, adalah perlu. Untuk itu, ia melihat Departemen Perindustrian, Departemen (waktu itu) Nakertranskop, dan Departemen Agama sebagai partner yang layak untuk dilibatkan. Bahkan ia berusaha memasukkan program pembangunan masyarakat melalui pesantren ke dalam agenda resmi Departemen Agama untuk dijadikan proyek nasional. Menarik untuk disebutkan, ketika itu Departemen Agama dipimpin oleh Mukti Ali –mentor dan pembimbingnya di kelompok diskusi Limited Group.


Demikianlah, pesantren-pesantren di seluruh Indonesia diramaikan dengan berbagai program Pendidikan dan Latihan Ketrampilan (Diklatram). Sejumlah program ketrampilan diselenggarakan untuk memberdayakan pesantren secara sosial-ekonomi. Karena program seperti ini, banyak pesantren yang antara lain mulai mengembangkan peternakan ayam, sapi, dan kambing; melakukan sejumlah kegiatan pertanian yang mempunyai nilai ekonomis; bahkan menyelenggarakan kegiatan perbengkelan, fotografi, dan sebagainya. Intinya adalah memberdayakan potensi sosial-ekonomi rakyat.

Meskipun bersifat sosial-ekonomis, bidang yang digeluti Dawam ini bukan tanpa intonasi politis. Dalam konteks tertentu, apa yang dilakukannya –tentu beserta teman-temannya– sebenarnya dapat juga disebut sebagai the political arm dari mazhab pembaharuan keagamaan/teologis yang memang tidak mempunyai “kaki.” Sebab, salah satu tujuan utama dari kegiatan transformasi sosial-ekonomi dan kemasyarakatan ini adalah untuk menciptakan suatu infrastruktur yang kuat. Dalam hal ini adalah, membangun basis politik Islam yang sesungguhnya pada tingkat akar rumput, yang dapat mendukung sebuah sistem politik yang terbuka dan partisipatif.

Karenanya, agenda transformasi sosial-ekonomi dan kemasyarakatan ini juga dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan dan kesadaran masyarakat luas (societal empowerment). Syukur-syukur, strategi ini dapat menciptakan kelas menengah yang otonom –unsur pokok dalam pembentukan masyarakat yang kuat dalam hubungannya dengan negara. Dalam kerangka teoritis, keberadaan kelas menengah yang otonom atau masyarakat madani yang kuat merupakan faktor penting bagi pengembangan kehidupan politik yang demokratis.

Meskipun demikian, itu semua diagendakan bukan dalam konteks persaingan antara masyarakat dan negara. Apalagi diwarnai oleh kebencian-kebencian yang tidak kontributif terhadap negara –sesuatu yang sering dituduhkan pemerintah Orde Baru kepada kalangan intelektual-aktivis. Alih-alih, Dawam –sambil tetap berlaku kritis– menunjukkan pentingnya bahu-membahu dengan negara demi kepentingan rakyat yang sebenarnya, seperti yang ia tunjukkan dalam kerjasamanya dengan sejumlah departemen di atas.

Di sinilah, saya kira, letak sinerginya pendekatan dan “proyek” yang dipilih Dawam dengan agenda pembaharuan keagamaan/teologis di satu pihak, dan pembaharuan politik/birokratis di pihak lain. Masing-masing bekerja sesuai dengan bidangnya, untuk mencapai sesuatu yang telah digariskan bersama.

Bahtiar Effendy
Dosen Pasca-Sarjana IAIN Jakarta.
Kata Pengantar dalam Buku M. Dawam Rahardjo,
Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi,
Penerbit LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat),
Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1999.