Tuesday, December 15, 2009

Uranium Ilegal dari Tambang Batu Bara


Tailing batu bara dari Kalimantan Barat diketahui mengandung bahan-bahan tambang berharga, di antaranya zirconium dalam jumlah relatif besar. Tailing yang dianggap limbah itu ternyata bisa diurai menjadi bahan radioaktif, antara lain menjadi uranium dan thorium, bahkan juga termasuk emas (aurum). Teknologi penguraian ini antara lain dimiliki Afrika Selatan. Dengan adanya potensi bahan berharga itu, diperlukan pengaturan bagi ekspor tailing tersebut.

Hal ini disampaikan Aries Kelana dari Badan Pengawasan Teknologi Nuklir (Bapeten) di sela acara Pertemuan Eksekutif Bapeten dengan pemegang izin program proteksi radiasi dan keamanan sumber radioaktif di Jakarta, Kamis (3/12). Bahan tailing itu, lanjut Aries, sejak 2005 diekspor ke China dengan harga Rp 200 (dua ratus rupiah) per kilogram. Padahal, jika dilakukan pengolahan zirconium menjadi uranium dan thorium, nilainya bisa 20 kali lipat lebih.


Menurut Kepala Bapeten As Natio Lasman, dalam bahan tambang biasanya terdapat unsur sampingan bernilai tinggi. Seperti dalam tambang timah terkandung pula logam tanah yang walaupun jarang, namun bernilai tinggi, yakni uranium dan thorium. Namun, ia menyayangkan, hingga kini tidak ada aturan untuk mengawasi dan melarang pengambilannya.

Semestinya, lanjutnya, kandungan bahan tambang ikutan itu harus ditimbun lagi, seperti yang dilakukan pada pertambangan timah di Malaysia. Menurut As Natio, pihaknya akan membuat payung hukum yang mengatur penambangan kawasan tambang yang mengandung uranium dan thorium. Penyusunannya akan melibatkan instansi terkait.

KOMPAS, 7 Desember 2009


Catatan:
Tailing, adalah material yang tersisa setelah proses ekstraksi bijih, yakni pemisahan antara fraksi berharga dan fraksi tak berharga dari bahan material yang ditambang. Dengan kata lain, tailing adalah bahan yang tertinggal setelah pemisahan fraksi bijih yang bernilai dalam proses penambangan. Secara umum tailing sering kali hanya dianggap sebagai limbah atau sampah yang tak berguna.

Ekstraksi mineral dari bijih biasanya ditumbuk menjadi partikel halus, sehingga tailing yang dihasilkan berukuran kecil, mulai dari seukuran butiran pasir hingga hanya beberapa mikron. Tailing tersebut biasanya berbentuk bubur yang merupakan campuran partikel halus dengan mineral-mineral dalam air.

Tuesday, November 3, 2009

Sebuah Kisah tentang Korupsi


Burung kenari berkekah
Berkekah di tengah padang
Jika tidak berani menjarah
Tiada syah menjadi hulubalang

Penggalan puisi itu dibawakan Budi Darma, seorang sastrawan, dalam diskusi di harian Kompas tahun 2003, di mana saya ikut hadir. Diterangkanlah makna puisi itu bahwa untuk menjadi hulubalang waktu itu, seseorang harus berani menjarah. Dan untuk mempertahankan jabatannya, orang itu juga harus berani menjarah. Menjarah uang negara dan menjarah uang rakyat.

Melacak jejak korupsi di bumi Nusantara juga bisa dilihat dalam penuturan Budi Darma ke masa kolonial. Ia mengutip pengakuan Nicolaas Engelhard, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa, dalam memorinya 15 April 1805. Berdasarkan pengisahan Dukut Imam Widodo, penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe, Engelhard kaya raya karena sogokan orang pribumi yang menginginkan jabatan. Engelhard tinggal memilih upeti terbesar untuk menentukan siapa yang layak diberi jabatan.

Pendapat bahwa korupsi menjadi bagian dari keseharian menimbulkan silang pendapat. Ada yang menolak, tetapi ada pula yang mendukung. Wakil Presiden Mohammad Hatta termasuk yang mendukung pendapat korupsi telah menjadi bagian dari keseharian kita. ”Korupsi di Indonesia telah menjadi bagian dari kebudayaan,” kata Hatta (Jurnal Aksara, Tempo, 19 Februari 2001).

Penulis buku yang populer di Indonesia, Samuel P Huntington, mengaitkan antara budaya dan korupsi. Bersama Lawrence E Harrison dalam buku Culture Matters: How Values Shape Progress (2000), Huntington menulis, ”… Di antara yang paling korup adalah Indonesia, Rusia, dan beberapa negara Amerika Latin dan Afrika….


Huntington menulis, korupsi paling rendah di negara Eropa bagian utara dan persemakmuran Inggris yang Protestan. Negara penganut Konghucu kebanyakan berada di tengah-tengah. Tapi Huntington mengecualikan Singapura sebagai negara yang bersih sejajar dengan Denmark, Swedia, dan Finlandia. ”Anomali Singapura adalah kepemimpinan Lee Kuan Yew,” tulis Huntington.

Di Indonesia, ada keinginan kuat memberantas korupsi, tetapi ada juga yang sebenarnya ingin tetap mempertahankan tata hubungan sosial yang korup. Namun nyatanya, kekuasaan Orde Baru berakhir karena korupsi. Era reformasi datang. Di jalan-jalan dan di ruang sidang parlemen, 10 tahun lalu, terdengar teriakan, ”Hukum mati koruptor!” Perlu aturan soal pembuktian terbalik! Dari gedung MPR lahir Ketetapan MPR No XI/1998 yang salah satunya meminta pengusutan terhadap koruptor dan mewajibkan penyelenggara negara melaporkan kekayaan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lahir sebagai anak kandung reformasi.

Kehadiran KPK amat diharapkan. KPK lahir karena ada ketidakpercayaan kepada lembaga penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan. KPK menggebrak. Ada mantan Kepala Polri diadili, ada politisi tertangkap basah, ada jaksa tertangkap tangan sedang memperdagangkan perkara. Jurus KPK membuat banyak pihak jengah. Namun, indeks korupsi Indonesia membaik. Pemberantasan korupsi adalah pencapaian signifikan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.


Namun, karena gebrakan KPK itu pulalah, KPK kini menjadi musuh bersama. Ia diserang. Pengadilan korupsi dinyatakan tidak konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi sampai 19 Desember 2009. DPR dan pemerintah berkewajiban memberikan landasan hukum soal pengadilan korupsi. Namun, alih-alih memperkuat eksistensi Pengadilan korupsi, politisi DPR dengan dalih ”menata sistem” malah berniat mengamputasi kewenangan KPK, melucuti kewenangan penuntutan.

Teriakan hukum mati koruptor tak lagi terdengar. Dari Senayan kini malah terdengar teriakan, ”Kembalikan kewenangan penuntutan kepada kejaksaan”. ”Penyadapan harus izin ketua pengadilan”. ”Janganlah KPK merasa paling jujur”.

KPK dirundung masalah. Ketua KPK Antasari Azhar segera menjadi terdakwa. Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri atas tuduhan penyalahgunaan wewenang ketika mencekal Anggoro Widjojo dan Djoko Tjandra. Keduanya buronan! Publik ragu atas tuduhan itu. Namun, menjadi kewajiban Polri untuk membuktikan tuduhannya. Jika gagal, reputasi Polri yang lagi naik karena pemberantasan terorisme akan hancur.

Korupsi adalah perang yang belum mampu kita menangi. Ia telah menjadi sesuatu yang banal, sesuatu yang biasa. Tidak ada kondisi sosial yang cenderung melawan korupsi (indignation), di mana masyarakat tidak bisa menerima atau protes terhadap perilaku korupsi pejabat yang menumpuk kekayaan secara ilegal.


Haryatmoko dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan menggambarkan situasi indignation seperti saat setelah Revolusi Perancis. Di sana, para bangsawan, orang kaya tidak berani menunjukkan diri bahwa mereka kaya. Mereka takut dikejar-kejar rakyat karena dianggap pengisap rakyat, koruptor, dan menyalahgunakan kekayaan negara.

Sebagaimana ditulis Huntington, jika korupsi diterima sebagai budaya atau terkait dengan budaya, maka faktor kepemimpinanlah yang akan menentukan. Kepemimpinan yang kokoh, dan kondisi sosial yang melawan korupsi, bisa menjadi bekal perang melawan korupsi. Perkembangan sepekan ke depan akan mengindikasikan apakah kita sedang dalam arus balik pemberantasan korupsi.

Budiman Tanuredjo
KOMPAS, 26 September 2009

Korupsi dan Budaya


Sebuah radio swasta baru-baru ini menyiarkan isu politik uang pada suatu pemilihan kepala daerah. Salah seorang yang diduga terlibat dengan enak berkata, "Juru parkir saja menerima upah, masakan seseorang yang menaikkan orang lain menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak dapat apa-apa?" Lalu, dengan enak dia bercerita mengenai jumlah uang muka yang diterima dan jumlah uang lain setelah dua pejabat itu lulus uji publik. Gayanya benar-benar enak.

Jangan heran mengenai isu politik uang dalam soal jabatan. Nenek moyang kita dulu pernah menciptakan puisi yang tampaknya main-main namun serius: "Burung kenari berkekah/berkekah di tengah padang//Jika tidak berani menjarah/tiadasyah menjadi hulubalang". Demikianlah, untuk menjadi hulubalang seseorang harus mempunyai keberanian menjarah. Tentu saja menjarah agar memperoleh kedudukan hulubalang. Dan, mudah diterka, untuk mempertahankan jabatannya, dia selamanya harus menjarah. Siapa yang dijarah mudah diterka: mula-mula rakyat, lalu, bila sudah menjabat, uang negara dan uang rakyat.

Jangan heran pula manakala kita merenungkan kembali pengakuan Nicolaas Engelhard, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa, dalam memorinya tanggal 15 April 1805. Sebagaimana dikisahkan Dukut Imam Widodo, penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe, Engelhard menjadi kaya raya karena uang sogokan orang-orang pribumi yang menginginkan jabatan. Seorang pribumi yang ingin memperoleh jabatan memberi upeti kepada dia berupa uang, barang, dan jasa lain, yang jumlahnya sesuai jenjang jabatannya. Untuk satu jabatan yang diincar beberapa orang, dia mendapat upeti dari semua orang itu. Dia tinggal memilih pemberi upeti terbesar untuk menentukan siapa yang layak diberi jabatan.

Ceritanya sama, untuk menyogok, dia harus mengambil uang rakyat. Dan, bila sudah menjabat dia akan mengambil uang negara dan uang rakyat. Jabatan, dengan demikian, bukan amanah untuk kemaslahatan orang banyak, bukan pula untuk kebanggaan demi pengabdian. Jabatan identik dengan uang. Karena itu, harus dibeli dengan uang juga.


Ada pula sebuah kejadian lucu, juga terjadi pada sebuah pemilihan kepala dan wakil kepala daerah. Waktu itu tampil seorang tokoh yang terkenal karismatis dan kata-katanya banyak dijadikan pedoman. Dengan gencar dia membuat pernyataan bahwa Si Bilun harus menjadi kepala daerah. Publik pun meramalkan Si Bilun pasti akan menang. Sebab, bukankah pendukungnya adalah orang terkenal yang amat karismatis? Maka, berjalanlah proses pemilihan. Si Bilun kalah, padahal, menurut banyak isu, dia sudah mengeluarkan banyak uang. Betapa banyak pun dia sudah mengeluarkan uang, kata orang, dia kalah karena lawannya sanggup mengeluarkan uang lebih banyak lagi. Tokoh karismatis pun bisa kehilangan karismanya karena uang.

Para tokoh
Seseorang yang akan menjadi pejabat, pemimpin, atau entah apa pun namanya, pokoknya yang punya kedudukan, pasti seorang tokoh, paling tidak merasa dirinya sebagai tokoh. Lalu, lihatlah apa yang terjadi sejak tahun 1980-an. Begitu banyak buku biografi terbit. Tentu saja, seseorang yang layak diterbitkan biografinya adalah seorang tokoh. Namun, bila disimak, ternyata banyak di antara mereka yang menerbitkan buku biografinya itu tidak dikenal. Kalau pun dikenal hanya di kalangan kecil yang tidak cukup signifikan manakala autobiografinya diterbitkan dalam bentuk buku, lalu dijual di kedai-kedai buku.


Tentu saja tanda tanya bisa muncul. Pertama, orang-orang yang mengupah orang lain untuk membuat buku biografinya itu pasti seorang tokoh dan ketokohannya layak dijadikan teladan bagi masyarakat luas. Kedua, mungkin orang-orang itu hanya merasa dirinya sebagai tokoh. Ketokohannya diukur dengan seleranya sendiri dan kalangan kecil di sekitarnya yang pada hakikatnya tidak mewakili siapa-siapa. Maka, lahirlah tokoh-tokohan.

Ketidaksadaran kolektif
Ada suatu peristiwa pada Mei 1998 yang mungkin menarik. Tanpa ada yang menggerakkan, di lapangan terbuka di sebuah kampus PTN di Surabaya, dalam waktu singkat, sekonyong-konyong ratusan mahasiswa berkumpul, dengan spontanitas tinggi, tanpa direncanakan. Lalu, dengan serempak mereka berjalan mengelilingi kampus dengan menyanyikan lagu Menanam Jagung yang liriknya secara spontan pula diubah menjadi lirik antipemerintahan Orde Baru saat itu.

Mengapa ada gerakan yang demikian spontan? Tak lain, inilah yang dinamakan ketidaksadaran kolektif. Para mahasiswa, sebagai bagian masyarakat luas, selama bertahun-tahun tidak sadar bahwa mereka sebetulnya sudah tidak lagi menyukai pemerintahan Orde Baru. Begitu ketidaksadaran ini mencapai titik puncak inkubasi, meledaklah gerakan spontan dibumbui nada geram. Inilah yang terjadi pada masa reformasi: ketidaksadaran bersama telah menggerakkan masyarakat luas untuk bersatu padu.

Apa yang terjadi dalam proses reformasi adalah, antara lain, lahirnya tokoh-tokoh kecil. Munculnya tokoh-tokoh kecil ini tidak sekonyong-konyong, tetapi didahului embrionya mulai awal tahun 1980-an ketika tokoh maupun tokoh-tokohan gemar mengupah orang lain untuk menuliskan biografi mereka.

Oleh karena itu, jangan heran bila kemudian muncul sekian banyak partai gurem, yang tentu saja, dipimpin oleh mereka yang merasa dirinya tokoh. Alasannya bisa bermacam-macam, misalnya, keprihatinan terhadap kebobrokan negara, obsesi untuk menyumbangkan tenaga, dan pikiran guna membangun kembali bangsa melalui partai, serta berbagai macam idealisme lain.

Tentu saja alasan-alasan itu bisa benar. Namun, seandainya para tokoh atau tokoh-tokohan itu tidak ingin dianggap sebagai tokoh, tentu ada jalan lain untuk membangun kembali negara ini.


Budaya burung kenari berkekah
Embrio munculnya banyak calon presiden (capres) sebetulnya sudah hadir dalam atmosfer Indonesia sejak awal tahun 1980-an: begitu banyak orang yang merasa dirinya tokoh. Munculnya banyak capres tidak lain kelanjutan dari munculnya sekian banyak partai. Semuanya berkaitan, saling berhubungan.

Tentu saja, seperti munculnya banyak partai dengan berbagai alasan idealisme, muncul pula begitu banyak capres yang juga dilandasi alasan idealisme. Namun, mungkin juga ada gejala lain: seseorang menjadi capres karena diminta, bukan meminta, pikir mereka sendiri. Seseorang yang diminta tentu dipandang mampu. Berdasar keyakinan merasa mampu itulah, sekian banyak capres bermunculan.

Marilah kita tengok olok-olok Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, pujangga awal kita, yang diklaim sebagai pujangga awal Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Ia mengkritik para raja saat itu karena kerja mereka adalah menindas rakyat. Berbagai macam korupsi -antara lain penarikan pajak yang berat- mereka lakukan dengan enak.

Pernyataan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi tak lain adalah masalah budaya: kekuasaan bukan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi demi kekuasaan itu sendiri dan demi harta. Upeti untuk mendapat jabatan, sebagaimana dikemukakan Nicolaas Engelhard, tidak lain merupakan masalah budaya, demikian pula makna puisi Burung Kenari Berkekah.


Jalan tak ada ujung
Dalam novel Jalan Tak Ada Ujung, Mochtar Lubis berkisah mengenai keadaan periode awal revolusi Indonesia di Jakarta. Semua orang saat itu terbawa arus keadaan, tanpa mempunyai kemampuan untuk menciptakan keadaan dengan atmosfer baru. Kita juga terbawa arus. Karena itu, setidaknya kata orang, korupsi makin berlarut-larut. Jabatan adalah, kata orang lagi, lahan paling enak untuk korupsi.

Lalu, tengok novel Ernest Hemingway, The Sun Also Rises. Perang Dunia I telah menjerumuskan dunia Barat ke ambang kehancuran moral dan spiritual. Begitu kelamnya keadaan pada waktu itu sehingga, tampaknya, Matahari tidak akan terbit lagi esok pagi.

Namun, akhirnya, dalam keadaan porak-poranda, optimisme masih muncul juga: The Sun Also Rises, Matahari bagaimana pun akan terbit kembali, demikian juga segala macam kebobrokan dalam Jalan Tak Ada Ujung.

Kapan kita menemukan ujung jalan? Dan, kapan Matahari segar akan terbit kembali?

Budi Darma, Sastrawan
KOMPAS, 3 September 2003

Tuesday, October 20, 2009

Bagaimana Defisit Meledakkan Pasar?


Krisis Anggaran defisit yang besar memiliki daya rusak yang dahsyat pula. Karena itulah Dana Moneter Internasional, sebagai pemantau perekonomian negara-negara anggotanya, mengingatkan soal pentingnya menjalankan disiplin anggaran. Dengan kata lain, jangan ada pengeluaran yang lebih besar dari penerimaan yang melampaui batas yang proporsional.

Salah satu kawasan yang amat ketat memantau besaran defisit anggaran adalah Uni Eropa (UE), khususnya 16 negara pengguna mata uang tunggal euro (zona euro). Lewat Pakta Stabilitas Pertumbuhan, UE menggariskan bahwa defisit anggaran tidak boleh melampaui 3 persen dari produksi domestik bruto (PDB).

Batasan defisit anggaran maksimal 3 persen dianggap aman. Defisit anggaran antara lain ditutupi dengan utang walau terkadang juga ditutupi dengan mencetak uang yang berdampak pada tingginya inflasi. Dengan batasan 3 persen itu, kemampuan membayar utang di kemudian hari dianggap kuat atau aman.

Karena itu, setiap kali ada anggota zona euro memiliki defisit anggaran yang melampaui batasan itu, maka peringatan otomatis dimunculkan atau dipublikasikan. Perancis, Spanyol, Malta, dan Italia termasuk anggota zona euro yang sekarang ini melampaui batasan itu.

Mengapa defisit begitu diperhatikan? Karena defisit itu memiliki daya rusak yang besar, sebagaimana pernah dituliskan di sebuah makalah yang diterbitkan The Brookings Institution yang bermarkas di Washington, AS, pada 5 Januari 2004.

Makalah itu berjudul Sustained Budget Deficits: Longer-Run U.S. Economic Performance and the Risk of Financial and Fiscal Disarray Budget Deficit, U.S. Economy, Federal Budget ditulis oleh Allen Sinai (Chief Global Economist), Peter R Orszag (Senior Fellow), dan Robert E Rubin (Office of the Chairman). Ketiganya termasuk think-tank di lembaga tersebut.


Tali-temali
Dikatakan, defisit yang besar dan amat substansial bisa merusak ekspektasi dan kepercayaan pasar. Hal selanjutnya mengakibatkan munculnya dampak-dampak negatif yang akan mengacaukan pasar uang dan kegiatan ekonomi.

Jika pedagang di pasar uang dan bursa, investor, serta kreditor makin khawatir bahwa pemerintah sengaja menaikkan inflasi dengan tujuan menekan nilai riil utang, akibat akumulasi defisit anggaran, atau jika pemerintah sudah dianggap buntu dan tidak bisa mengatasi defisit, kepercayaan investor bisa anjlok sedemikian buruknya.

Keadaan ini bisa terjadi jika sebuah pemerintahan sudah tidak mampu mengatasi beban utang, untuk menutupi defisit, dan kemudian mengatasinya dengan menaikkan inflasi yang bertujuan mengurangi nilai riil utang.

Defisit anggaran yang mengakibatkan ketidakseimbangan neraca transaksi berjalan (current account), di mana beban atau kewajiban luar negeri lebih besar dari pendapatan luar negeri, juga bisa membuat makin hilangnya kepercayaan pelaku di pasar uang dan pasar kredit internasional.

Defisit anggaran terkadang bisa mengakibatkan ketidakseimbangan current account. Ini terjadi karena utang itu ada kalanya atau bahkan sering ditutupi dengan meminjam ke luar negeri. Jika utang ini menumpuk terus, beban pembayaran utang luar negeri makin tinggi. Hal inilah yang menjadi sumber ancaman current account.

Jika ketidakseimbangan current account terjadi, para pelaku di pasar itu makin diingatkan tidak saja soal bahaya defisit, tetapi juga soal defisit neraca transaksi berjalan. Hilangnya kepercayaan investor dan juga kepercayaan para pemberi kredit, untuk menutupi defisit, maka aliran kredit bisa terhenti dan negara yang mengalami defisit akan makin susah menutupi defisit itu.

Sekarang ini defisit terbesar di dunia dialami Amerika Serikat. Hilangnya kepercayaan pelaku pasar dan kreditor pada AS, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, soal kemampuan menangani defisit anggaran dan current account, bisa membuat investor dan kreditor memindahkan dana-dana dari investasi berbasis dollar AS ke mata uang lainnya.

Hal ini selanjutnya bisa menyebabkan depresiasi atau pelemahan kurs dollar AS, sebagaimana telah terjadi. Jika investor dan kreditor melakukan itu, bisa saja AS menaikkan suku bunga untuk memberikan rangsangan pada kreditor untuk mempertahankan aset dalam dollar AS. Namun, selanjutnya hal ini hanya akan menambah beban baru berupa kenaikan beban utang yang dipakai untuk menutupi defisit tersebut.


Kekacauan di bursa
Naiknya suku bunga, terjadinya depresiasi dollar AS, anjloknya kepercayaan investor, selanjutnya akan menjungkalkan harga-harga saham. Dampak lain dari itu semua, kemakmuran warga akan anjlok pula.

Kenaikan suku bunga juga akan membuat biaya berbisnis menjadi lebih mahal. Jika bisnis anjlok, peran swasta sebagai salah satu penggerak ekonomi akan anjlok pula.

Terjadinya disrupsi di pasar uang akan menghambat peran pasar sebagai intermediasi antara peminjam dan kreditor, yang justru amat vital bagi perekonomian. Hal ini akan mengganggu kesinambungan aliran kredit, termasuk aliran utang-utang berjangka panjang.

Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah dampak psikologis defisit anggaran pada kepercayaan konsumen. Jika konsumen melihat ada bahaya defisit dan menganggap pemerintah tidak bisa mengatasinya, konsumen akan bersikap hati-hati berbelanja karena ekonomi dianggap dalam bahaya. Jika ini terjadi, peran konsumen sebagai salah satu pendorong ekonomi akan anjlok pula.

Tali-temali kekacauan pasar ini tidak saja akan terjadi di negara yang mengalami defisit. Pada zaman modern, di mana perekonomian global telah menyatu, destabilisasi di satu negara akan menyebar ke berbagai sudut dunia.

Hal inilah yang membuat ekonom A Tony Prasetiantono mengingatkan agar Indonesia juga mulai mengambil sikap waspada dengan potensi kehancuran pasar global akibat defisit AS yang lambat atau cepat juga berdampak pada Indonesia.

KOMPAS, 9 Oktober 2009

Monday, October 12, 2009

Salah Kaprah Paten Budaya


Tajuk Rencana Kompas (3/10) berjudul ”Batik Milik Dunia” berisi: ”Untuk menghindarkan klaim negara lain terhadap produk budaya nasional, Indonesia perlu segera mematenkannya di lembaga internasional”. Pernyataan ini sangat mengejutkan, paling tidak karena tiga perkara.

Pertama, paten adalah perlindungan hukum untuk teknologi atau proses teknologi, bukan untuk seni budaya seperti batik. Kedua, tak ada lembaga internasional yang menerima pendaftaran hak cipta atau paten dan menjadi polisi dunia di bidang hak kekayaan intelektual (HKI). Ketiga, media terus saja mengulangi kesalahan pemahaman HKI yang mendasar bahwa seolah-olah seni budaya dapat dipatenkan.

Dalam urusan HKI, ada sejumlah hak yang dilindungi, seperti hak cipta dan paten dengan peruntukan yang berbeda. Hak cipta adalah perlindungan untuk ciptaan di bidang seni budaya dan ilmu pengetahuan, seperti lagu, tari, batik, dan program komputer. Sementara hak paten adalah perlindungan untuk penemuan (invention) di bidang teknologi atau proses teknologi. Ini prinsip hukum di tingkat nasional dan internasional. Paten tidak ada urusannya dengan seni budaya.

Jadi, pernyataan ”perlu mematenkan seni budaya” adalah distorsi stadium tinggi. Penularan distorsi pemahaman oleh media ini menjalar lebih cepat daripada flu burung. Tidak kurang dari Sultan Hamengku Buwono X menyatakan bahwa produk budaya dan seni warisan leluhur idealnya dipatenkan secara internasional (Antara, 25/8/2009) atau Gubernur Banten yang akan mematenkan debus (Antara, 28/8/2009).


Distorsi ini sangat berbahaya karena memberikan pengetahuan yang salah kepada publik secara terus-menerus, akibatnya kita terlihat sebagai bangsa aneh karena di satu sisi marah-marah karena merasa seni budayanya diklaim orang lain, tetapi di sisi lain tak paham hal-hal mendasar tentang hak cipta dan paten.

Salah kaprah lain adalah keinginan gegap gempita untuk mendaftarkan warisan seni budaya untuk memperoleh hak cipta. Para gubernur, wali kota, dan bupati berlomba-lomba membuat pernyataan di media bahwa terdapat sekian ribu seni budaya yang siap didaftarkan untuk mendapat hak cipta. Tampaknya tak disadari bahwa dalam sistem perlindungan hak cipta, pendaftaran tidaklah wajib. Apabila didaftarkan, akan muncul konsekuensi berupa habisnya masa berlaku hak cipta, yakni 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Jadi, seruan agar tari Pendet didaftarkan adalah berbahaya karena 50 tahun setelah pencipta tari Pendet meninggal dunia, hak ciptanya hilang dan tari Pendet dapat diklaim siapa saja.

Kita harus hati-hati menggunakan kata klaim apabila terkait urusan sebaran budaya. Adanya budaya Indonesia di negara lain tidak berarti negara itu secara langsung melakukan klaim atas budaya Indonesia. Karena apabila ini kerangka berpikir kita, kita harus siap-siap dengan tuduhan bangsa lain bahwa Indonesia juga telah mengklaim budaya orang lain; misalnya bahasa Indonesia yang 30 persen bahasa Arab, 30 persen bahasa Eropa (Inggris, Belanda, dan Portugis) serta 40 persen bahasa Melayu. Bagaimana dengan Ramayana yang oleh UNESCO diproklamasikan sebagai seni budaya tak benda India? Apakah Indonesia telah mengklaim budaya India sebagai budaya kita karena di Jawa Tengah sendratari Ramayana telah menjadi bagian budaya?

Dalam narasi proklamasi UNESCO atas wayang sebagai seni tak benda Indonesia, disebutkan ”Wayang stories borrow characters from Indian epics and heroes from Persian tales”. UNESCO menyatakan kita meminjam budaya orang lain dalam wayang kita. Apakah meminjam sama dengan mengklaim? Rabindranath Tagore dalam Letters from Java justru terharu dan bangga melihat budaya India dilestarikan di Jawa, bukannya menganggap ini sebagai klaim Indonesia, lalu marah dan meneriakkan perang.


Solusinya
Pertama, media sebagai kekuatan sosial politik keempat harus berani belajar untuk menyajikan substansi yang benar tanpa takut kehilangan rating. Kedua, pemerintah daerah perlu memberdayakan aparat mereka agar paham masalah-masalah HKI. Upaya mudah dan murah, kalau mau.

Ketiga, database tentang seni budaya Indonesia dikumpulkan di satu instansi tertentu, lalu disusun dengan klasifikasi kategorisasi sesuai standar Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO). Keempat, database ini dilindungi instrumen hukum nasional, lalu dijadikan rujukan dalam perjanjian bilateral guna membatalkan pemberian hak cipta yang meniru seni budaya Indonesia.

Kelima, Indonesia bersama negara-negara berkembang terus melanjutkan keberhasilan perundingan di Sidang Majelis Umum WIPO pada 1 Oktober 2009 yang memutuskan bahwa WIPO akan menegosiasikan suatu instrumen hukum internasional yang akan mengatur perlindungan masalah pengetahuan tradisional, ekspresi budaya tradisional, dan sumber genetika.

Mari bekerja keras dengan nasionalisme yang cerdas.

Arif Havas Oegroseno, alumnus Harvard Law School
KOMPAS, 9 Oktober 2009

Sunday, September 27, 2009

Dinasti Soeharto Berlanjut Lagi ?


Pasca pemilu, apapun yang terjadi, analisa mendalam perlu diambil demi masa depan bersama. Ibarat mengedit sebuah film berjudul Pemilu 2009, saya harus memutuskan dari mana film dimulai, dan di mana film itu berakhir, dengan meninggalkan sebuah pesan kepada penontonnya. Film tersebut kita tonton bersama lalu kita coba menangkap pesan dari film tersebut, pesan itu menjadi bahan referensi bagi kita bersama, untuk melangkah ke film seri berikutnya.

Di tengah proses editing, ternyata saya merasa perlu menampilkan flashback atau cuplikan-cuplikan film, 5 bahkan 10 tahun yang lalu. Bahkan lebih dari itu, karena sesungguhnya, sejarah masa kini dan yang akan datang, adalah sebuah sinetron kehidupan yang perlu dilihat secara keseluruhan, jika kita ingin memahami film tersebut secara utuh.

Beberapa bulan sebelum pemilu legislatif, beberapa talkshow menampilkan topik visi misi partai secara proporsional, mungkin semua partai peserta pemilu mendapat kesempatan yang sama dalam menyampaikan visi misinya. Dan semua visi misi partai (selain Partai Demokrat) adalah kritik terhadap pemerintahan yang sedang berjalan, tidak terkecuali visi misi partai PAN, PKS, PKB dan PPP, (empat partai yang kemudian ternyata berkoalisi dengan partai yang dikritiknya). Semuanya mengkritik kinerja pemerintahan yang sedang berjalan.


Materi kritik antara lain tentang hutang yang terus bertambah, pengelolaan sumber daya alam dan pembagian hasilnya yang selalu lebih menguntungkan pihak asing. Ada pula yang menyinggung tentang sumber dana kampanye yang belum transparan yang memungkinkan dana asing masuk dengan konsekuensi yang diperkirakan akan merugikan rakyat Indonesia.

Ajakan untuk kembali ke konstitusi UUD ‘45 adalah salah satu solusi yang mereka tawarkan waktu itu, salah satunya pasal 33 yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam oleh Negara dan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ibarat pertempuran dunia persilatan, Partai Demokrat dikeroyok rame-rame oleh para pengkritiknya.

Namun apa yang terjadi setelah pemilu legislatif usai dan dimenangkan oleh Partai Demokrat? PKB dan PPP tanpa pikir panjang langsung merapat untuk berkoalisi dengan partai yang beberapa bulan sebelumnya mereka kritik itu. Khusus PAN dan PKS beberapa saat mengalami pergolakan internal antara kubu yang memilih untuk tidak berkoalisi vs kubu yang menganggap koalisi merupakan pilihan yang lebih bijak.

Kemudian kedua partai tersebut mengajukan cawapres, mungkin dengan maksud untuk mengawal kebijakan-kebijakan presiden terpilih di masa datang. Sambil menunggu jawaban, kedua partai dengan sekuat tenaga mencoba meredam konflik internal partai masing-masing.

Tanpa mereka sadari cawapres yang mereka tawarkan ternyata tidak pernah sedikit pun diperhatikan, apa lagi dipertimbangkan untuk diterima. Jauh sebelum keputusan itu diambil, SBY mengatakan sudah mengantongi sebuah nama, namun baru akan ia buka pada saatnya nanti.

Saya baru sadar sekarang, strategi untuk terus memberi harapan kepada kedua partai tersebut adalah sebuah strategi jitu untuk tetap memegang buntut PKS dan PAN agar supaya tidak lari ke partai atau koalisi lain.


Satu lagi kemungkinan yang hampir pasti, alasan SBY menunda pengumuman cawapres pilihannya adalah untuk menghindari manuver The King Maker “Amien Rais” yang sangat ditakuti lawan-lawan politiknya. Sampai pada hari terakhir pendaftaran calon presiden pada pukul 7 malam, yang artinya tinggal 12 jam sebelum hari H, barulah nama Boediono muncul.

Dan benar perkiraan Demokrat, ada perlawanan dari PAN mupun PKS, tapi sudah tidak cukup waktu lagi bagi mereka untuk berimprovisasi. The King Maker Amien Rais pun tidak bisa lagi melakukan manuvernya.

Kampanye pun akhirnya dilakukan oleh semua capres dan cawapres. BLT adalah senjata pamungkas Partai Demokrat. Penawaran yang lebih bagus dari BLT yang ditawarkan oleh partai lain, karena waktu yang terlalu singkat membuat tawaran menarik itu tak sempat terdengar oleh seluruh rakyat.

Banyak yang menganggap tim sukses pemenang pemilu mempunyai strategi yang hebat, bagi saya mereka biasa-biasa saja. Kalau kita lihat data BPS, lebih dari 60% rakyat Indonesia adalah rakyat miskin, sebagian besar malah tinggal di pedesaan, alhasil waktu menonton televisi mereka tidak banyak, karena waktu mereka sudah habis untuk bekerja mencari sesuap nasi.

Ditambah lagi TV nasional kita yang belum 100% independen, buktinya banyak iklan Mega Pro yang ditolak. Pola pikir mereka simple saja, pilih lagi SBY, maka BLT dilanjutkan. Mereka tidak tahu kalau sebenarnya dana BLT hanya sampai bulan September atau Oktober saja, seperti yang dengan jujur diakui oleh tim sukses SBY dalam salah satu acara di Metro TV seusai pemilu Pilpres.


Bagi saya pada saat BLT dibagikan di situlah kampanye partai Demokrat sudah dimulai. Itulah sebabnya survey yang dilakukan sebelum pemilu oleh beberapa lembaga menunjukkan tingkat elektabilitas SBY yang tinggi. Dan elektabilitas yang tinggi itu perlahan-lahan menurun seiring dengan penyampaian visi misi partai-partai lain yang mencoba mencerahkan kepada publik tentang bagaimana keadaan Indonesia apa adanya.

Yang menarik, elektabilitas JK menjelang pemilu menunjukan grafik yang menanjak naik cukup cepat. Bahkan salah satu penyelenggara survey mengatakan, jika pemilu diundur beberapa bulan lagi, kemungkian JK bisa menang. Bila itu yang terjadi, berarti kampanye Golkar sebenarnya sukses, dengan pertimbangan, dalam waktu singkat bisa mempengaruhi elektabilitas SBY yang dibangun jauh sebelum Pemilu, yakni pada saat BLT mulai dibagikan.

Khusus mengenai BLT saya yakin itu adalah ciptaan JK, karena saya meliput pembahasannya sekitar 3 tahun lalu, dan master filmnya pun mungkin masih ada di Kantor Pos Pusat dekat Lapangan Banteng. Tapi design JK tentang BLT waktu itu dananya diambil dari penghematan dana subsidi BBM, bukan dari pinjaman asing seperti temuan BPK belakangan ini.

Tapi sekali lagi rakyat miskin tidak punya waktu untuk memikirkan siapa yang menciptakan BLT dan dari mana sumber dana BLT, yang ada dalam benak mereka adalah simple saja, pilih lagi SBY maka BLT dilanjutkan.

Rakyat miskin pun tidak punya waktu memikirkan kontrak karya pengelolaan sumber daya alam kita yang lebih meguntungkan pihak asing, mereka juga tidak terlalu memikirkan hutang Negara yang bertambah 400 triliun seperti yang diinformasikan oleh Rizal Ramli, salah satu capres independen. Padahal hutang itu akan membebani kita semua hingga ke anak cucu kita di kemudian hari, dengan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok dan barang lain pada umumnya sebagai akibat berkurangnya subsidi untuk membayar hutang.


Singkatnya, mereka juga tidak percaya pada janji-janji capres lain yang sesungguhnya lebih bagus dari sekedar BLT. Mereka lebih percaya dengan apa yang sudah dan sedang berjalan yaitu BLT.

Satu lagi imajnasi saya tentang kemenangan Demokrat, baik pada Pemilu 2004 maupun Pemilu 2009 adalah, mungkin … sebenarnya yang mewarisi tahta Dinasti Soeharto adalah SBY, bukan Golkar, dan apalagi Prabowo mantan mantunya. Khusus di tahun 2004, saya yakin sekali Soeharto waktu itu masih merupakan tokoh yang bisa menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin Indonesia. Ibarat organisasi mafia di Itali, ia masih merupakan Godfather yang dari tempat tidurnya bisa mengatur pergerakan para pengikutnya.

Saya teringat dalam suatu talkshow-nya AA Gym, saat AA Gym sebagai presenter menanyakan apakah SBY akan mengusut kasus Soeharto, baik itu penelusuran hartanya di luar negeri maupun kasus-kasus yag lainnya? Pada waktu itu SBY diam saja, tidak menjawab! Bahkan beberapa detik sempat terjadi … hening … tanpa ada suara, sebelum akhirnya AA Gym menegur, “ Halo, halo pak … kok diem?” SBY tetap diam dan akhirnya iklan masuk sebagai penyelamat dan mencairkan suasana yang kaku. Dan setelah iklan berlalu AA Gym mengalihkan pertanyaan ke topik yang lain. Bukti lainnya adalah di kedua Pemilu baik tahun 2004 maupun 2009, Demokrat selalu menang di daerah Cendana.

So, kalau benar prediksi saya, tanpa Amien Rais sadari, dan juga mungkin tanpa PKS sadari, mereka telah berkoalisi dengan pewaris tahta musuh lamanya di kala reformasi. Menurut saya sebaikya kedua partai itu berkoalisi dengan Golkar “Baru” atau dengan Gerindra. Namun sayang sekali, seperti yang telah saya uraikan di atas, mereka semua kini sudah terjerat dan kehabisan waktu untuk berimprovisasi.


Akhir kata saya ingin mengingatkan kepada rekan-rekan sebangsa dan setanah air, bahwa seburuk apapun pemerintahan yang ada sekarang, yang menjadi musuh kita adalah their mind, pola pikirnya, sedang orang-orangnya adalah tetap saudara sebangsa yang mesti kita cintai juga. Pertanyaannya sekarang, bisakah kita berperang dengan their mind tanpa melukai orang-orangnya? Demi persatuan dan kesatuan bangsa, jawabnya adalah: harus bisa!!!

Dan mungkin juga demikianlah yang ada dalam benak saudara-saudara kita di PAN dan di PKS, mereka akan mengkoreksi dari dalam. Betapapun sulitnya mereka pasti akan mengeluarkan segenap kemampuannya demi kepentingan rakyat Indonesia. Hal yang sama juga akan dilakukan oleh beberapa partai oposisi untuk selalu mengontrol dengan ketat jalannya pemerintahan.

Dan semua yang mereka lakukan itu pastilah demi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dengan tanpa melupakan Persatuan Indonesia. Semoga begitu.
Amiiin ….
Wassalam.

Rudi Imam, 14 Juli 2009
http://rudiimam.blogdetik.com/2009/07/14/dinasti-soeharto-berlanjut-lagi/

Tuesday, April 28, 2009

Kebijaksanaan Cendol


Karena akan menerima tamu dari Thailand, maka Kiai itu merasa harus menyuguhkan Jawa. Segala yang nampak pada Pondok Pesantren yang dipimpinnya, sebenarnya relatif sudah mengekspresikan tradisional Jawa. Potret desa, model-model bangunan dan irama kehidupannya. Sang tamu besok mungkin akan mendengarkan para santri berbincang dalam bahasa Arab atau Inggris. Tapi itu bukan masalahnya. Yang penting Kiai kita ini tidak akan mungkin menyediakan Coca Cola ke depan hidung tamunya dari tanah Thai itu.

Demikianlah akhirnya sekalian santriyah yang tergabung dalam Qismul Mathbah (Departemen Dapur) bertugas memasak berbagai variasi menu Jawa. Dari sarapan grontol, makan siang nasi brongkos, malam gudeg, besoknya pecel, lalu sayur asem dengan snack lemet dan limpung.

Sang Kiai sendiri “cancut tali wondo” mempersiapkan suguhan siang hari yang diperkirakan bakal terik. Ia dengan vespa kunonya melaju, membawa semacam tempat sayur yang besar. Empat kilometer ditempuh, dan sampailah ia ke warung kecil di tepi jalan. Seorang Bapak tua penjual cendol. Sang Kiai sudah memperhitungkan waktunya untuk sampai pada bapak cendol ini pada dinihari saat jualannya. Yakni ketika stock masih melimpah.

Terjadilah dialog dalam bahasa Jawa krama-madya.

"Masih banyak, pak?"
"Masih Den, wong baru saja bukak beberan"
"Alhamdulillah, ini akan saya beli semua. Berapa?"

Pak Cendol kaget, "Lho, Jangan Den!" jawabnya spontan
Sang Kiai pun tak kalah kagetnya: "Kok jangan?"
"Lho, kalau dibeli semua, bagaimana saya bisa berjualan?"
Sang Kiai terbelalak. Hatinya mulai knocked-down, tapi belum disadarinya.

"Lho, kan saya beli semuanya, jadi bapak nggak perlu repot-repot berjualan lagi di sini hari ini."
Pak Cendol tertawa dan sang Kiai makin terperangah.

"Orang jualan kan untuk dibeli. Kalau sudah laku semua kan malah beres?"
Pak Cendol makin terkekeh.

"Panjenengan ini bagaimana tho Den! Kalau dagangan saya ini dibeli semua, nanti kalau orang lainnya mau beli bagaimana! Mereka kan tidak kebagian!"

Knock-Out-lah Sang Kiai.

Ia terpana. Pikirannya terguncang. Kemudian sambil tergeregap ia berkata: "Maafkan, maafkan saya pak. Baiklah sekarang bapak kasih berapa saja yang bapak mau jual kepada saya."

Seperti seorang aktor di panggung yang disoraki penonton, ia kemudian mendapatkan vespanya dan ngeloyor pulang.

Sesampainya di Pondok ia langsung memberikan cendol ke dapur dan memberi beberapa penugasan kepada santriyah, kemudian ia menuju kamar, bersujud syukur dan mengucapkan istighfar, lantas melemparkan tubuhnya di ranjang.

Alangkah dini pengalaman batinku gumamnya dalam hati. Sembahyang dan latihan hidupku masih amat kurang. Aku sungguh belum apa-apa di depan orang luar biasa itu. Ia tidak silau oleh rejeki nomplok. Ia tidak ditaklukan oleh sifat kemudahan-kemudahan memperoleh uang. Ia terhindar dari sifat rakus. Ia tetap punya dharma kepada sesama manusia sebagai penjual kepada pembeli-pembelinya.

Ia bukan hanya seorang pedagang. Ia seorang manusia!

Emha Ainun Nadjib, dalam arsip kumpulan buku: “Indonesia Bagian Dari Desa Saya”.

Wednesday, January 28, 2009

Tanaman Badri Tumbuh Jadi 2 Tulisan


Menanam untuk Sempurnakan Hari

”Untuk menanam pohon itu, terutama yang diperlukan adalah niat orangnya. Di mana saja, sebenarnya kita dapat menanam. Perhatikan sekitar rumah atau lingkungan kita, pasti ada tempat untuk ditanami pohon,” kata Badri Ismaya.

Badri Ismaya adalah pelopor penghijauan di lereng- lereng bukit di kawasan Puncak yang rusak akibat penjarahan besar- besaran pada awal era reformasi tahun 1998. Warga Kampung Caringin, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, ini nyaris setiap hari ke luar dari rumah. Ia berkelana dari satu lereng ke lereng lain untuk menanam pohon.

Bagi laki-laki berkulit gelap ini menanam adalah hal yang mudah. Ia hanya perlu berbekal ”senjata” kecil yang disebutnya coredan. Dengan coredan, Badri membuat lubang kecil di tanah dan merobek kantung plastik (polybag) berisi bibit. Bibit pohon itu lalu ditekannya hingga melesak masuk ke dalam lubang. Tangan sedikit kotor, tetapi itu juga bagian dari asyiknya menanam. ”Sehari saya menanam sepuluh pohon, lama-lama lahan terbuka itu ketutup juga,” katanya.

Demikianlah yang dipraktikkan Badri dalam keseharian hidupnya. Dia terus menanam pohon sejak 1975. Badri akan merasa pusing dan tak sempurna menjalani hari jika ia tidak menanam pohon. Bahkan, ketika dia benar-benar sakit, menanam pohon adalah obatnya.

Ke mana pun pergi, ketika diundang desa tetangga atau institusi lain sebagai pembicara, Badri sengaja membawa bibit pohon untuk ditanam di tempat itu. Ia bahkan memiliki peta kawasan penanaman pohon, hasil dari penjelajahannya di sekitar Puncak saat menghijaukan lahan rusak.

”Semoga Allah memberi saya panjang umur dengan badan sehat. Masih banyak lokasi di Cisarua ini yang ingin saya tanami. Anak bungsu saya kayaknya mengikuti jejak saya, dia suka menanam. Dia suka menemani saya menanam. Kadang dia pergi sendiri membawa bibit, entah menanam di mana,” katanya.

Ia merasa bersyukur, masalah penghijauan tidak asing lagi bagi masyarakat meski tingkat partisipasinya masih rendah. Menurut Badri, pada acara seremonial gerakan menanam akan lebih bermakna jika para tokoh panutan masyarakat benar-benar memperlihatkan cara menanam, mulai dari menggali lubang sampai menutup bibit pohon dengan tanah.

”Kalau sekarang kan lubang sudah disediakan, bahkan sekitar lubang diberi karpet agar sepatunya tidak kotor. Bukan begitu mencontohkan cara menanam,” katanya.

Namun, Badri tak mau menyalahkan. Ia justru berusaha memahami dengan berpikir mungkin proses kesadaran menanam saat ini baru sebatas seremonial. Ia yakin suatu saat nanti menanam akan menjadi kebiasaan masyarakat.

Ini sama seperti proses panjang yang Badri alami sampai dia dikenal sebagai penyelamat lingkungan hulu Sungai Ciliwung dan mendapat berbagai penghargaan atas usahanya melestarikan lingkungan.

Ditegur pohon
Badri bertutur, ia pernah jadi perusak hutan kawasan Puncak. Dulu, demi menghidupi keluarga, ia bersama beberapa teman suka masuk hutan dan menebangi pohon untuk dicuri kayunya. Semua itu dilakoninya tahun 1975-1979 sehingga ratusan pohon musnah di tangannya.

Dia berhenti merusak alam setelah mendapat teguran halus dari ”korbannya”, sebatang pohon yang ditebangnya pada Jumat, 6 Oktober 1979. Pada tengah hari bolong itu, Badri seharusnya melaksanakan shalat Jumat, tetapi ia justru sibuk menebang pohon.

”Setetes air jatuh di kepala saya. Hanya setetes, tetapi membuat badan saya segar. Keletihan saya menebang dan memikul kayu langsung hilang. Saya cari-cari dari mana asal tetes air itu, ternyata dari akar pohon yang saya tebang. Saya terkejut. Saya duduk terdiam, merenungkan tetes air itu,” tuturnya.

Sejak Jumat itu dia menjadi gundah. Selama satu tahun kemudian, Badri masuk-keluar hutan sekadar membuktikan bahwa pohon benar-benar menyimpan air. Ia korek bagian bawah pohon untuk menemukan akarnya. Dia potong sedikit akar itu untuk melihat air yang keluar dari ujung akar yang terpotong.

”Akar-akar itu memang mengeluarkan air. Ada yang sedikit, ada yang banyak. Saya tampung air yang keluar dari akar dengan kantung plastik. Sejak tahun itu pula saya berjanji tidak lagi menebang pohon dan akan terus menanam pohon sampai ajal menjemput,” kata laki-laki yang memiliki empat anak dan tiga cucu ini.

Keputusan Badri itu tentu saja mendatangkan masalah. Dahlia, sang istri, sempat marah karena penghasilan Badri menjadi tak efektif untuk membiayai rumah tangga. Bukan itu saja, Badri juga kerap dianiaya biong (spekulan) tanah dan para penjaga keamanan vila-vila di kawasan Cisarua. Sebab, dia akan menanam pohon apa saja di lahan kosong atau telantar yang ternyata ”milik” atau diincar biong tanah. Bahkan, Badri pernah disekap di pos keamanan sebuah vila.

Namun, Badri tak kapok. Lambat laun, setiap orang di sekitar dia, yang dulu memusuhi dan keberatan dengan pilihan hidupnya, belakangan ini justru menggebu-gebu dukungannya.

Ia sering mendapat kiriman buah yang ternyata hasil dari pohon yang bertahun-tahun lalu ditanamnya. Dari menanam jamur merang, ia mendapat kucuran rezeki. Kebahagiaan pada usia senjanya ini ditambah dengan lulusnya dua dari empat anaknya sebagai sarjana komputer dan sarjana kimia.

”Saya tidak pernah memaksa orang lain untuk menanam pohon. Saya hanya ingin menanam pohon sebab saya yakin pohon adalah sumber kehidupan. Saya ingin menyempurnakan hari-hari yang saya jalani ini dengan menanam pohon, sesuai janji kepada Tuhan,” katanya.

Sumur resapan
Selain menjadi pelopor penanam pohon di lahan kritis sekitar Cisarua, Badri juga yang memulai pembuatan dan penggunaan sumur resapan di kawasan itu. Sekitar 1985, saluran air yang berada di sisi jalan di atas kampung tersumbat. Airnya membanjiri rumah Badri.

Ia lalu berinisiatif membuat lubang di halaman rumah dan diisinya dengan bebatuan, ijuk, dan material lain. Air buangan selokan dia arahkan masuk ke sumur resapan tersebut. Setelah itu, banjir tak datang lagi.

”Sejak itu mulailah para tetangga ikut membuat (sumur resapan). Saya juga sering dipanggil ke daerah lain, seperti Jakarta sampai Palembang. Saya diundang untuk bicara di Malaysia dan Singapura tahun 2001, juga ke Filipina pada 2005,” kata Badri yang senang berbagi pengalaman dengan siapa pun yang menginginkannya. (NELI TRIANA/ J WASKITA UTAMA)

Ratih P Sudarsono, KOMPAS, 19 Januari 2009


Badri

Setitik air menetes ke kepalanya, dan sejak saat itu Badri seakan-akan dilahirkan kembali. Ia jadi seseorang yang baru.

Kisahnya saya baca dalam Kompas 19 Januari yang lalu. Kisah itu membuat saya percaya bahwa jangan-jangan ada mukjizat, kata lain dari sesuatu yang menakjubkan. Mukjizat dalam versi ini tak datang ke dunia secara spektakular. Ia menyusup dalam berkas-berkas kecil.

Badri tinggal di sebuah kampung yang merupakan bagian dari Desa Tugu Utara, di Kecamatan Cisarua, Bogor. Bertahun-tahun lamanya, lelaki yang kini berumur 60 tahun itu jadi tukang babat hutan. Bersama beberapa temannya, ia ke luar masuk kawasan Puncak yang waktu itu rimbun dan sejuk. Dengan gergaji dan parang mereka tebangi pohon-pohon untuk dipotong-potong dan dijual sebagai kayu bakar. Empat tahun lamanya, sejak tahun 1975, sejak ia berumur 36 tahun, Badri mendapatkan nafkahnya dengan merusak hutan.

Tapi sesuatu terjadi di sebuah hari di bulan Oktober tahun 1979.

Siang itu ia tak pergi bersembahyang Jum’at. Sejak pagi ia terus saja menebangi pohon. Di tengah hari, ketika siang jadi terik, ia beristirahat sejurus. Ia duduk. Mendadak, katanya, seperti dikutip Kompas, setetes air jatuh ke kepalanya.

“Hanya setetes,” katanya, “tetapi membuat badan saya segar. Keletihan saya menebang pohon dan memikul kayu langsung hilang.”

Ia pun melihat ke sekeliling, mencari dari mana tetes air itu datang. Ternyata, butir bening yang sejuk itu jatuh dari pokok yang baru ditebangnya. “Saya terkejut”, kata Badri. “Saya duduk terdiam, merenungkan tetes air itu.”

Sejak hari itu – ia ingat tanggalnya dengan persis, 6 Oktober 1979 – ia gundah. Ia kembali masuk ke luar hutan, tapi kali ini tidak untuk menebang, melainkan untuk membuktikan bahwa pohon-pohon memang menyimpan air di tubuh mereka, di akar mereka yang masuk ke tanah. Setelah ia menemukan kenyataan itu sendiri, ia pun yakin. Ia pun bertekad. “Sejak tahun itu pula saya berjanji tidak lagi menebang pohon”, tuturnya. Bahkan ia bersumpah akan terus menanam sampai akhir hidupnya.

Maka hampir tiap hari ia membawa coredan, alat pembuat lobang kecil di tanah tempat akan dipendamnya bibit. Hampir tiap hari, dengan tubuhnya yang tua, kurus tapi liat, dilapisi kulit yang hitam legam terbakar matahari, Badri mengembalikan ke bukit-bukit di Puncak daun dan dahan dan akar hutan tropis. Ia menebus. Ia memulihkan. Ia tak mau lelah. Kakek itu menampik sakit.

Janji itu tak mudah. Ia kehilangan sumber nafkahnya: sang pencuri kini jadi sang pemberi. Isterinya marah. Hidupnya sendiri tak selamanya aman. Badri menciptakan musuh. Beberapa kali ia ditangkap dan dianiaya para spekulan tanah dan petugas keamanan villa-villa di kawasan Cisarua. Sebab ia tak ragu untuk menanam pohon apa saja di tanah kosong mana saja – yang tak jarang kepunyaan orang tapi dibiarkan terlantar atau sedang dibidik untuk diperjual-belikan.

Ia melakukan itu sejak 1979. Sampai sekarang: sebuah kesetiaan non-institusional. Yang mengarahkannya bukanlah satu program, satu lembaga, atau ajaran, melainkan sebuah “kejadian”.

Kata “jadi” – sebuah kata dalam bahasa Indonesia yang tak mudah diterjemahkan — menggambarkan perubahan yang-potensial ke dalam yang-aktual, yang-belum ke dalam yang-sudah. “Kejadian” juga mensugestikan sesuatu yang tak rutin dan terkadang menakjubkan. Jika yang dialami Badri dan yang membuat dirinya berubah kita sebut sebuah mukjizat itu karena semuanya berlangsung di sebuah masa ketika hal demikian sungguh tak lazim. Inilah masa ketika orang berbuat segala sesuatu konon dipacu oleh kepentingan-diri.

Kita bayangkan Badri: tetesan air itu membuatnya terguncang, tapi dengan segera jadi sebuah tekad, pada 6 Oktober 1979 itu. Dengan itu Badri tak merasa perlu bertanya untuk siapa dia menanam pohon tiap hari selama tiga dasawarsa.

Ia seorang militan. Tapi seorang militan lain mungkin akan mengorbankan dirinya untuk sesuatu yang tertutup, misalnya kaum atau pihaknya sendiri. Militansi Badri tidak demikian: ia bekerja untuk sesuatu yang tak berpuak. Ia menjangkau sesuatu yang secara universal terbuka. Pohon-pohon itu tumbuh dan hutan itu akan kembali rimbun untuk siapa saja, bahkan untuk manusia dalam geografi dan generasi yang tak akan ia kenal.

Mungkin orang akan mencemooh Badri: ia naif. Ia tak berpikir bahwa bila Puncak jadi hijau kembali, bila hutan tumbuh dan menyimpan air, yang akan menikmatinya terutama orang yang berduit dan berkuasa. Pendeknya, niat untuk menjangkau sesuatu yang universal itu bodoh, melupakan bahwa “sesama” tak pernah “sama”, kecuali sebagai angka statistik.

Tapi saya tak akan mencemooh Badri. Ia mungkin tahu tapi mungkin juga tidak bahwa orang-orang kaya di Jakarta adalah perusak hutan yang lebih buas ketimbang para pencuri batang pohon seperti dia sebelum 1979. Orang-orang berduit dan berkuasa membangun vila dan membedah lereng, memakai mobil dengan karbon dioksida yang paling ganas, dan mengkonsumsi sandang-pangan dengan rakus hingga segala yang alami dikorbankan. Tapi salahkah Badri bila ia terus menanam pohon di bukit itu?

Saya kira kita perlu melihat bahwa kisah orang ini, yang bernama lengkap Badri Ismaya (dan “Ismaya” adalah Semar dalam wayang, jelata yang juga dewata), adalah sebuah cerita penebusan yang mendasar: di zaman yang dibentuk oleh keserakahan manusia, Badri jadi sebuah antidot. Ia menangkal kerakusan. Ia tak mengambil. Ia menyumbang.

Agaknya ia tak ingin kita membunuh diri dengan saling menghancurkan, setelah putus asa melihat diri sendiri sebagai unsur yang keji di planet bumi. Agaknya ia ingin manusia seperti pohon hutan: makhluk yang luka tapi memberi tetes air dan keajaiban.

Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir Majalah Tempo Edisi 26 Januari 2009