Wednesday, April 17, 2013

Tiga Pertanyaan untuk SBY


Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Sanur Bali yang diduga akan diwarnai ketegangan antarfaksi yang bertarung, yaitu faksi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Anas Urbaningrum, ternyata berlangsung adem-ayem dan berakhir dengan keputusan aklamasi memilih SBY sebagai ketua umum Partai Demokrat sampai 2015.

Meskipun proses pemilihan SBY sebagai ketua umum Partai Demokrat menggantikan Anas Urbaningrum berlangsung lancar, bukan berarti Partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilu 2009 otomatis bebas dari persoalan politik. Justru menurut hemat penulis, tampilnya Presiden SBY sebagai ketua umum Partai Demokrat akan memunculkan persoalan baru di tengah belum tuntasnya persoalan lama.

Apabila dikalkulasi beberapa soal krusial yang melekat dalam tubuh Partai Demokrat satu tahun menjelang Pemilu 2014, setidaknya ada tiga pertanyaan yang patut dijawab Partai Demokrat di bawah kepemimpinan SBY.

Pertama, mampukah Demokrat menaikkan elektabilitasnya setelah langsung dipimpin SBY? Kedua, mampukah Demokrat di bawah kepemimpinan SBY merangkul faksi-faksi yang saling bertikai? Ketiga, di bawah pelukan dan arahan dari SBY apakah Partai Demokrat dapat menjadi partai modern yang mandiri atau akan tetap menjadi partai yang tidak bisa lepas dari nama besar SBY dan keluarganya?


Peran SBY
Persoalan pertama, terpilihnya SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat menggantikan Anas Urbaningrum ini oleh para pendukungnya dianggap sebagai suatu kebutuhan yang mendesak, sebab hanya beliaulah yang dianggap mampu mengarahkan Partai Demokrat untuk kembali menjadi partai pemenang sekaligus mendongkrak elektabilitas yang tengah terjun bebas.

Meskipun argumen ini terlihat kuat, karena SBY merupakan Presiden yang terpilih dalam dua kali masa jabatan, namun pandangan ini bukan tanpa kelemahan. Realitasnya, turunnya elektabilitas Partai Demokrat tidak terpisah dengan persepsi publik terhadap kinerja Kabinet di bawah pimpinan Presiden SBY. Seperti diutarakan dalam riset Lingkaran Survei Indonesia (5 Februari 2013) bahwa buruknya persepsi publik terhadap kinerja kabinet SBY mempengaruhi turunnya elektabilitas Partai Demokrat.

Lebih jauh LSI menjelaskan bahwa sebanyak 42,56% publik tidak puas terhadap kinerja menteri dari Partai Demokrat. Pendeknya bahwa turun gunungnya SBY akan mendongkrak elektabilitas partai belum tentu solusi yang tepat, mengingat kepemimpinan SBY dalam mengelola pemerintahan turut menyumbang jatuhnya elektabilitas Partai Demokrat.

Apalagi sentimen publik baik terhadap SBY maupun demokrat bisa mengarah negatif ketika secara obyektif mereka melihat bahwa di tengah banyaknya persoalan yang ia hadapi sebagai presiden, ia masih mengambil jabatan sebagai ketua umum Partai. Rakyat akan bertanya-tanya di tengah tumpang tindihnya peran dan jabatan. Siapakah yang didahulukan? Kepentingan bangsa atau kepentingan golongan?


Benturan Antarfaksi
Persoalan kedua yang patut dikemukakan terkait dengan konflik di internal Partai Demokrat adalah bahwa para pendukung SBY di lingkup internal Partai Demokrat mempercayai bahwa tampilnya SBY akan menjadi perekat dan merangkul semua kelompok. Sehingga setiap pihak yang bertikai akan segan terhadap SBY untuk melakukan manuver-manuver bagi persoalan konflik di internal PD.

Namun demikian jawaban seperti ini juga mengandung persoalan. Dengan tetap mengandalkan figur SBY setiap ada keretakan ataupun faksionalisasi politik, maka Demokrat akan kehilangan kesempatan membangun mekanisme organisasi dan sistem yang dapat menjadi sarana rekonsiliasi konflik antara faksi-faksi di dalamnya.

Sangat disayangkan proses pembangunan kelembagaan politik yang telah dibangun pilarnya pada masa kepemimpinan Anas Urbaningrum, terancam runtuh kembali ketika figur dikedepankan kembali (SBY) di atas mekanisme institusional. Sementara itu kembalinya elite-elite Partai Demokrat kepada SBY ketika ada persoalan, menunjukkan dan mempertontonkan bahwa proses rekrutmen kepemimpinan tidak berjalan dengan baik.

Kondisi ini menunjukkan kepada publik, bahwa tidak ada figur di dalam Partai Demokrat yang mampu mengelola konflik dan memimpin partai di tengah gelombang badai konflik. Apabila dibiarkan terus seperti ini Partai Demokrat hanya akan memproduksi model politisi yang tak bisa menyapih dan tak bisa disapih, bukan negarawan yang handal.

Dalam perkembangan politik di Indonesia, di mana publik semakin lama semakin melek politik dan semakin memiliki pendidikan politik yang baik, maka konsekuensinya akan semakin sedikit publik yang akan melirik apalagi memilih partai berlambang mercy ini.

Hatta Rajasa dan Aulia Pohan, dua besan SBY.

Konsolidasi Dinasti
Problem ketiga yang muncul setelah dipilihnya SBY sebagai Ketua Umum adalah Partai Demokrat berpotensi menjadi partai yang mengonsolidasikan kekuatan dinasti SBY. Apalagi saat ini SBY sebagai ketua umum masih bersanding dengan sekjen, yaitu anaknya sendiri, Eddy Baskoro alias Ibas.

Memang benar bahwa politik dinasti terjadi di mana-mana, tidak saja di Indonesia namun juga di India bahkan di negara demokrasi matang seperti Amerika Serikat. Bagi mereka yang menghalalkan politik dinasti dengan argumen bahwa di Amerika Serikat juga mengadopsi model politik dinasti yang sama, mereka melupakan faktor sejarah.

Di masa awal pembangunan demokrasi di Amerika Serikat setiap sanak saudara dalam keluarga yang terjun dalam politik selalu dalam partai yang berbeda. John Quincy Adams menjadi presiden pada tahun 1824 setelah 24 tahun sebelumnya ayahnya John Adams gagal menjadi presiden dari partai yang berbeda.

Presiden OBAMBANG dan Presiden OBAMA.

Sementara Franklin Roosevelt menjadi presiden pada 1932 setelah dua puluh empat tahun sebelumnya sepupunya Theodore Roosevelt menjadi presiden juga dari partai yang berbeda. Tradisi politik dinasti satu partai baru muncul setelah kelembagaan politik demokrasi mapan sehingga regulasi bisa dijalankan tanpa pilih kasih.

Misalnya ketika seorang kulit hitam kaum akademisi dan aktivis progresif seperti Obama mampu menghadang kekuatan dinasti Clinton yang mencalonkan Hillary di Partai Demokrat AS. Di sinilah letak problem politik dinasti di Indonesia khususnya seperti yang dialami Partai Demokrat. Intervensi SBY ke partai justru mengonsolidasikan kekuatan dinasti politiknya ke dalam partai secara utuh di tengah lemahnya kelembagaan partai dan seruan-seruan mengiba dari kader-kader di dalam yang bergantung pada pilihan politik Pak Presiden.

Demikianlah agaknya Demokrat bukanlah perkecualian, tetapi ini masih menjadi miniatur politik Indonesia. Pada akhirnya sungguhlah aneh ketika umumnya ketua partai berjuang untuk menjadi presiden, di Partai Demokrat ada seorang presiden yang justru ingin mengambil peran sebagai ketua umum berdampingan dengan anaknya yang menjadi sekjen Partai Demokrat.

Airlangga Pribadi Kusman;
Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga,
Kandidat PhD di Asia Research Center Murdoch University, Australia

KORAN SINDO, 4 April 2013


Tonggak Rapuh

“Siapa bilang ngurus Indonesia itu sulit. Lihatlah mereka yang bertanggung jawab ngurus negeri ini bisa melaksanakannya hanya sebagai sambilan.” (KH Mustofa Bisri)

Komentar KH Mustofa Bisri yang akrab dipanggil Gus Mus (1/4/2013) itu sungguh tepat menggambarkan perilaku elite partai politik di Indonesia yang memegang jabatan rangkap di pemerintahan dan di partai.

Harian Kompas (2/4/2013) di halaman dua secara gamblang membuat tabel rangkap jabatan beberapa tokoh partai, yakni Partai Demokrat (PD), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).


Rangkap jabatan tokoh politik di partai dan pemerintahan bukanlah suatu hal yang baru dalam politik di Indonesia. Ini sudah terjadi sejak era demokrasi parlementer. Hingga kini juga tidak ada aturan perundang-undangan yang melarang seorang ketua umum partai menduduki jabatan rangkap di partai dan di pemerintahan.

Pro-kontra mengenai hal ini juga sudah sering jadi wacana di negeri ini, tetapi tak ada kata putus untuk mengharamkan rangkap jabatan tersebut. Dengan kata lain, rangkap jabatan adalah sesuatu yang lumrah dalam sejarah politik di Indonesia. Namun, sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diputuskan secara aklamasi sebagai ketua umum Partai Demokrat pada kongres luar biasa di Sanur, Bali, 30 Maret 2013, ia menjadi pemegang rekor rangkap jabatan di Indonesia.

Pertama kalinya dalam sejarah Indonesia seorang presiden memiliki begitu banyak jabatan di partainya, mulai dari ketua majelis tinggi, ketua dewan pembina, ketua dewan kehormatan, sampai ketua umum. Presiden Soekarno tidak menjadi ketua partai apa pun saat menjadi Presiden RI karena alasan ia ingin “menempatkan diri di atas semua golongan”. Presiden Soeharto juga tidak pernah menjadi Ketua Umum Golkar dan hanya sebagai ketua dewan pembina. Soeharto juga tidak ikut campur tangan langsung mengelola Golkar. Presiden BJ Habibie juga bukan Ketua Golkar. Presiden Abdurrahman Wahid hanya menjadi petinggi Majelis Syuro PKB dan tidak merangkap ketua Tanfidziah. Namun Megawati Soekarnoputri juga menduduki jabatan rangkap, yakni sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan dan Presiden RI.

EE Mangindaan, Marzuki Alie, dan Syarief Hasan.

Demokrasi ala SBY
Apa yang terjadi saat ini adalah gambaran benar-benar diterapkannya gagasan kekuasaan dalam kebudayaan Jawa di masa lalu yang menganggap kekuasaan itu harus bulat dan tidak terbagi-bagi. Ini tidak sejalan dengan gagasan distribusi kekuasaan, apalagi pemisahan kekuasaan agar terjadi saling mengimbangi dan saling mengecek (checks and balances).

Meskipun ada pendelegasian wewenang sebagian kepada Ketua Harian DPP Partai Demokrat Syarifuddin Hasan, Wakil Ketua Majelis Tinggi Marzuki Alie, dan Wakil Ketua Dewan Pembina EE Mangindaan, tetap saja masih ada konsentrasi kekuasaan dari hulu sampai ke hilir di Partai Demokrat. Jabatan-jabatan rangkap itu juga bertentangan dengan petuah Presiden pada Oktober 2012 bahwa tahun 2013 adalah tahun politik dan para menteri yang berasal dari parpol harus fokus pada pelaksanaan kerja kabinet dan jangan fokus mengurusi partai.

Para kader Demokrat dan rakyat secara umum diharapkan mafhum pada situasi di Partai Demokrat yang amat darurat. Pertanyaannya, seberapa daruratkah situasinya sehingga Presiden harus turun gunung langsung menangani operasional partai?

Kesediaan SBY menjadi ketua umum menjadikan para kader semakin bergantung pada figur SBY. Tidakkah ini memperpanjang proses menuju kedewasaan berpolitik di Partai Demokrat yang kini sudah berusia 12 tahun? Tidakkah ini menunjukkan betapa SBY tidak percaya kepada kader-kader senior di Partai Demokrat untuk memegang tampuk kepemimpinan di partai?

Pasangan Bapak SBY dan Ibu Ani, zaman dulu dan saat ini.

Preseden Buruk
Terlepas dari sifat kesementaraan jabatan SBY sebagai ketua umum Partai Demokrat, satu setengah atau dua tahun, hal ini tetap menjadi preseden buruk dalam mengelola pemerintahan dan partai di Indonesia. Seperti dikatakan Gus Mus, seakan mengurus Indonesia itu tidak sulit sehingga bisa sebagai sambilan. Ini menunjukkan betapa SBY meletakkan fondasi yang rapuh dalam mengelola pemerintahan dan partai. Di masa akhir jabatannya yang sampai 20 Oktober 2014, sepatutnya Presiden SBY fokus pada kinerja kabinetnya sehingga ia bisa meninggalkan warisan yang apik kepada rakyat dan bangsa Indonesia.

Impian agar elektabilitas Partai Demokrat meningkat sejak SBY terpilih menjadi ketua umum juga harus dibuktikan kemudian. SBY pada Pemilu Presiden 2004 harus diakui memiliki medan magnet yang kuat untuk menyerap dukungan rakyat. Kemudian pada pemilu legislatif dan Pemilu Presiden 2009, SBY juga semakin menjadi medan magnet yang kuat. Alhasil Partai Demokrat menjadi pemenang pemilu legislatif dan SBY terpilih kembali menjadi presiden RI.

Namun, SBY pada 2014 belum tentu memiliki kekuatan magnet tersebut. Dikarenakan ia tidak bisa lagi menjadi calon presiden dan adanya persepsi buruk Partai Demokrat di mata sebagian masyarakat sebagai partai paling korup. Seorang jenderal pensiunan sepatutnya memang menjauh dari urusan-urusan kemiliteran dan politik serta memberikan tampuk kepemimpinan kepada generasi muda.

Ikrar Nusa Bhakti;
Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta
KOMPAS, 4 April 2013

Sunday, April 7, 2013

Meluruskan Bias “Kesatria”

Sprindik Anas dan Anggota Kopassus

Pekan ini ada dua kabar menggegerkan. Pertama, terungkapnya pelaku penyebaran surat perintah penyelidikan (sprindik) KPK terhadap Anas Urbaningrum. Kedua, terkuaknya pelaku pembunuhan brutal di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Yogya.

Saat jantung berulang kali berdegup lebih kencang saban kali menyimak berita tentang dua kegemparan tadi, ada dua kata sifat yang membuat dahi berkerut. Pelaku skandal sprindik mengaitkan aksinya dengan “idealisme”, sementara pelaku insiden Cebongan disebut melakukan tindakan “kesatria” dengan mengakui perbuatannya.

Pascakeluar dua kata sifat tersebut, “idealisme” dan “kesatria”, situasi yang semula bermakna tunggal terang benderang berubah menjadi ambigu samar-samar. Siapa pun individunya, apalagi ketika menampilkan perilaku keliru, besar kemungkinan akan bereaksi melindungi keamanan egonya. Penyimpangan kognitif yang lazim berlangsung untuk maksud tersebut adalah meng-kambing hitam-kan pihak lain ketika berhadapan dengan situasi yang tak menyenangkan.

"Kesatria" Oknum Bertopeng dan "Idealisme" Wiwin Suwandi

Sebaliknya, tatkala berada dalam situasi yang ideal, individu akan mengklaim dirinya sendiri sebagai pihak pencipta keadaan tersebut. Namun, ada dua kendala yang menghambat fundamental attribution bias tersebut. Dalam skandal sprindik, karena impitan waktu dan karena Komisi Etik mengonfrontasi pelaku dengan kumpulan data lengkap, kognisi si pelaku tidak bisa menemukan data lain (konkretnya, pihak ketiga) yang dapat ditudingnya.

Begitu pula dalam insiden Cebongan, proses investigasi yang berbasis pada pencarian bukti —bukan asumsi— tidak bisa dielakkan hanya dengan mengandalkan “siasat” kognitif berupa pencarian pihak lain yang bisa disalahkan. Meski demikian, individu secara kodrati tidak akan langsung menyerah. Kognisi pelaku skandal sprindik dan insiden Cebongan menampilkan bias dengan versi lain. Kali ini adalah egocentric bias.

Dikaitkannya aksi pembocoran sprindik dengan “idealisme” dan operasi balas dendam dengan “kesatria” merupakan cerminan bias keakuan tersebut. Kognisi pelaku lagi-lagi bekerja menyimpang: ihwal positif langsung tersedia dalam ingatan, sedangkan ihwal negatif terbenamkan. Bias kognitif itu terjadi karena para pelaku masih harus memberikan respons dalam waktu yang sangat sempit dalam rangka melindungi dirinya, setelah fundamental attribution bias tak bisa dikerahkan.

Di situ terlihat bagaimana dua tipe proses berpikir manusia. Tipe pertama adalah jalan pintas mental (mental shortcut) yang dipresentasikan melalui penyebutan “idealisme” dan “kesatria”. Tipe kedua yaitu penalaran menyeluruh (rational thought) yang dilakukan Komisi Etik KPK dan Tim Investigasi TNI. Kedua tipe proses berpikir tersebut saling bergelut, dan proses berpikir yang utuh keluar sebagai pemenang.

Anas dan sprindik yang dibocorkan oleh sekretaris Abraham Samad

Agar konstruksi pemaknaan atas kasus sprindik dan insiden Cebongan tidak lagi ambigu serta kembali jernih, perlu diajukan kontrabias. Kontrabias dimunculkan dengan membenturkan perilaku para pelaku dengan status masing-masing organisasi tempat mereka bekerja. Dalam skandal sprindik, pelaku bekerja di sebuah institusi yang memerangi korupsi. Korupsi adalah penyimpangan. Dengan kedua premis tersebut, suatu perilaku baru dapat dikatakan ideal apabila selaras, alias tidak menyimpang, dengan arah institusi yang bersangkutan. Atas dasar itu, klaim “idealisme” sebagai latar aksi pembocoran sprindik justru tampak menyimpang.

Sulit, bahkan mungkin tidak ada, untuk menemukan justifikasi yang menopang dalih etis yang diangkat pelaku manakala tindakan yang ia lakukan secara resmi sudah dinyatakan sebagai pelanggaran berat etika. Anggaplah manfaat pembocoran sprindik masih bisa diperdebatkan. Namun, pada saat yang sama telah terdapat penilaian final bahwa aksi pembocoran itu sudah merupakan bentuk penyimpangan. Klaim “idealisme” tak pelak menjadi absurd. Senyatanya ironi; pelaku adalah individu yang telah melakukan korupsi “kekuasaan” di lembaga yang menjadi tumpuan harapan bangsa dalam pemberantasan korupsi.

Tragedi Cebongan pun serupa. Kalau sebutan “kesatria” ingin disematkan kepada para pelaku berdasarkan kejujuran atau pengakuan atas perbuatan mereka, kejujuran itu faktanya bertolak belakang dengan serangkaian tindakan yang berasosiasi dengan ketidakjujuran. Mulai dari mengenakan penutup muka, menunjukkan surat palsu kepada petugas lapas, dan merusak CCTV. Tambahan lagi, aksi pencederaan terhadap petugas lapas selaku orang sipil dan tak bersalah semakin nyata menunjukkan kekontrasan perbuatan para pelaku dengan reputasi kesatria sejati.

Mayjen (TNI) Hardiono Saroso dan Brigjen (Pol) Sabar Rahardjo

Para pelaku dalam kasus Cebongan adalah para profesional yang ditugasi mengamankan tanah tumpah darah dari Sabang sampai Merauke berikut seluruh penghuninya. Yang seharusnya takut pada mereka adalah musuh Republik Indonesia. Ketakutan yang sama tidak sepantasnya menggenang dan meluber kemana-mana, termasuk ke hati rakyat Indonesia yang Merah Putih sejati. Sungguh mengerikan membayangkan bahwa siapa pun yang “berurusan” dengan oknum-oknum korps tersebut bisa langsung mengalami nasib nahas tanpa didahului proses hukum.

Dendam pribadi para oknum korps tadi barangkali terlunaskan lewat butiran pelor. Tapi, apakah ekspresi kesumat dalam insiden Cebongan berhasil menjaga nama baik korps mereka sendiri? Jika itu tujuan operasi, itu lebih tepat disebut sebagai operasi yang gagal total. Keterbukaan Tim Investigasi TNI dalam mengumumkan temuan tentang pelaku kasus Cebongan menunjukkan bahwa merekalah kesatria sejati.

Kesatria sejati adalah mereka yang sanggup menghukum anak-anak kandung mereka sendiri demi supremasi hukum dan martabat korps. Demikian pula, KPK-lah, lewat Komisi Etiknya, yang sesungguhnya sudah memperagakan sikap istiqamah (pada idealisme!), yakni dengan mengeluarkan rekomendasi pemecatan atas stafnya sendiri demi tegaknya etika dan kehormatan lembaga.

Reza Indragiri Amriel;
Pakar Psikologi Forensik,
Penerima Asian Public Intellectuals Fellowship,
Mantan Ketua Delegasi Indonesia pada Program Pertukaran Pemuda Indonesia Australia

KORAN SINDO, 6 April 2013