Saturday, December 26, 2020

Maudy Berbicara Kepada Pohon


Akhir-akhir ini aktris Maudy Koesnaedi sering berbicara kepada pohon. Ketika hari terik, ia dekati pohon-pohon di sekitar rumahnya, lalu berkata, “Everything is okay guys, tapi kalau misalnya lagi berhujan, kebasahan enggak, kelembaban enggak? Kalau ada yang kuning, kamu kenapa? Kalau ada yang tumbuh beda, kamu kenapa beda sendiri?

Pohon-pohon tak langsung menjawab. Keesokan harinya, ketika Maudy kembali mengunjungi pot-pot di mana pohon-pohon itu tumbuh, ia mendapati suasana yang berbeda. Terkadang muncul tunas-tunas baru atau daun-daun yang makin menghijau.

Maudy seolah mendapatkan harapan baru di tengah situasi pandemi yang tak mudah dilewati. Setidaknya, ia mendapatkan hari-harinya dilumuri kegembiraan walau telah lebih dari delapan bulan hanya berdiam diri di rumah saja.

Danarto dan Kecubung Pengasihan.

Tak mudah melalui hari-hari di rumah sendiri. Ketika kecemasan dan ketakutan terhadap sergapan Covid-19 menjelma jadi kepanikan, banyak orang berharap pada pohon. Sejak beberapa bulan terakhir, Maudy menumpahkan segala keresahannya kepada pohon.

Banyak orang juga menanam dan merawat pohon dalam pot-pot yang cantik, lalu diletakkan di sekitar rumah. Tempat-tempat penjualan pohon di ruas-ruas jalan selalu penuh di akhir pekan. Ini pertanda banyak orang menemukan “kasih sayang” dari pohon-pohon.

Ketika berbicara kepada orang, apalagi orang asing, dianggap sebagai ancaman, maka kenyamanan dan keteduhan itu dipancarkan oleh pohon-pohon. Ingat cerpen berjudul “Kecubung Pengasihan” dari Danarto? Perempuan bunting merasa jauh lebih aman berbicara dengan bunga-bunga yang tumbuh mekar di sebuah taman, ketimbang bercerita kepada para lelaki di sekitarnya.

Sapaan pertama kali yang selalu ia dapatkan justru dari gerumbul pohon bunga di taman itu. Perempuan bunting bahkan meneruskan hidup sebelum mencapai pencerahan dengan memakan bunga-bunga kecubung. Penderitaan sebagai perempuan bunting, yang bahkan tak kebagian makanan di tong sampah, terobati oleh bunga-bunga kecubung.

Siddharta Gautama bertapa di bawah pohon bodhi.

Aku jadi ingat kisah Siddharta Gautama ketika memutuskan pergi bertapa ke hutan Gaya, yang terletak di tepi Sungai Neranjara. Siddharta kemudian memilih menuju sebuah pohon, yang kelak dikenal dengan pohon bodhi. Di bawah pohon bodhi, Siddharta melakukan tapa semadi untuk menghilangkan keterikatan dirinya pada nafsu-nafsu yang menjerumuskan manusia pada penderitaan.

Ketika benar-benar memperoleh pencerahan, Siddharta melakukan apa yang disebut dengan “menatap tanpa berkedip”. Siddharta selama seminggu menatap pohon bodhi yang telah memberikan keteduhan dan melindungi dirinya dari kekejaman hutan Gaya. Ia mengucapkan rasa terima kasih tak terhingga kepada pohon bodhi dan meneguhkan janji tak akan memasuki pintu nirwana, sebelum makhluk lain mencapai pencerahan.

Kelak kau akan mengenal istilah bodhisatwa, seseorang yang menyerahkan diri dengan segala welas asih yang ada pada dirinya untuk kebahagiaan makhluk lain. Bodhisatwa berasal dari pohon bodhi, yang telah menjelma menjadi simbol pencerahan, dan satwa tak lain adalah bermakna dirimu dan makhluk-makhluk Tuhan di sekitar dirimu. Kisah yang berlangsung tahun 588 SM ini, telah menjadi catatan penting untuk menandai relasi intim antara manusia dengan pepohonan.

Pohon cemara sebagai simbol Pohon Natal.

Tahun 1830, menurut cerita, para pemeluk Nasrani di Jerman mulai mendekorasi rumah-rumah mereka dengan pohon Natal atau cemara saat memasuki bulan Desember. Pohon Natal, kemudian menjelma menjadi simbol “kehijauan” rohaniah yang terus menerus tumbuh, bahkan ketika musim salju.

Ia tidak hanya mengabarkan aura kebahagiaan dan kegembiraan, tetapi menjadi harapan peningkatan dunia rohaniah umat manusia. Jika hari-hari ini kau menemukan begitu banyak pohon Natal menghias sudut-sudut kota atau plasa sebuah mal, semoga hari-hari ini juga ikatan kita kepada pohon semakin lekat.

Kalau kau pergi ke negeri tetangga seperti Singapura, hampir seluruh ruas jalan meriah oleh lampu kerlap-kerlip, dengan pohon Natal yang tiba-tiba tumbuh di bulan Desember. Betapa pun artifisialnya, kau tak perlu terlalu risau, karena begitulah cara kita dewasa ini menghayati pertemanan kita dengan pohon-pohon.

Penjor menghiasi jalanan di Bali.

Jika hutan-hutan telah ludes oleh tumbuhnya gedung-gedung di kotamu, di desaku orang-orang masih merayakan hari raya pohon. Kami menyebutnya sebagai Tumpek Uduh, sebuah hari raya penghormatan terhadap pepohonan.

Tumpek Uduh selalu dirayakan pada hari Saniscara Kliwon Wariga, sebuah pertemuan hari dalam perhitungan kalender Bali, di mana Dewa Sangkara akan turun ke Bumi memberi berkat kepada pohon-pohon agar tumbuh subur, hijau, dan memberi manfaat.

Pada prakteknya, nenekku selalu pergi ke teba (kebun) di sudut barat laut, di mana Dewa Sangkara “bermukim” dalam kosmologi Bali, untuk berbicara dengan pohon. Aku masih ingat nenek selalu berhadap-hadapan “muka” dengan pohon mangga golek yang tumbuh besar dan rimbun.

Masyarakat Bali, memuliakan pohon (tumbuhan, tanaman).

Dengan terbata-bata nenek berucap, “Nini Nini, buin selae dina Galungan, mabuah apang nged nged… nged… nged….” Doa sederhana ini artinya,"Nenek Nenek, 25 hari lagi Galungan, berbuahlah yang lebat selebat-lebatnya …."

Lalu nenek biasanya, komat-komat dan menepuk-nepuk batang pohon mangga seolah-olah sedang menyentuh kaki seorang tua yang ia hormati. Kalau aku hanya diam saja, nenek memerintahkan kepadaku untuk menatap lekat-lekat pohon mangga golek, dari akar-akarnya sampai kepada pucuk-pucuk daunnya.

Nyatanya, pohon mangga golek yang besar dan rimbun itu selalu memberi buah tanpa henti. Kendati begitu, nenek tak pernah menjualnya. Ia selalu meminta kepada para cucunya, kalau mengunjunginya ke kebun, yang jaraknya kira-kira 10 kilometer dari rumahku di kota Negara, agar melihat apakah mangga golek sudah ada yang matang. “Kalau sudah matang, silakan kau petik, sisakan kepada saudara yang lain,” selalu begitu kata nenek.


Dalam perayaan Tumpek Uduh, memandang pohon sebagai Nini, menjadi semacam pengakuan bahwa pohon-pohon diposisikan sebagai “leluhur”, sebagai cikal-bakal atau asal mula. Kitab Bhagawadgita menyebutkan: patram, puspam phalam toyam// yo me bhaktya prayacchati/tad aham bhakti-upahrtam/asnami prayatatmanah// (Siapa saja yang sujud kepada-Ku dengan persembahan/setangkai daun, sekuntum bunga, sebiji buah atau seteguk air/Aku terima sebagai bakti/persembahan dari orang yang tulus hati).

Sloka ini menempatkan daun (patram), bunga (puspam), buah (phalam), dan air (toyam), sebagai inti dari persembahan kepada Tuhan. Sudah pasti kau tahu, bahwa daun, bunga, buah, dan air adalah bagian tak terpisahkan dari sebatang pohon.

Kita bisa menafsirkannya, jika kitab suci meletakkan bagian-bagian dari pohon sebagai inti dari persembahan, maka sudah selayaknya manusia menghormati pohon sebagai simpul yang menghubungkannya dengan sifat-sifat ketuhanan.

I Lubdaka bersembunyi di atas pohon.

Pada bagian ini, aku harus mengutip kisah mitologi yang amat populer di Bali tentang seorang pemburu bernama I Lubdaka. Sebagai pemburu hewan di hutan, Lubdaka dicap telah “menimbun” dosa yang begitu besar.

Pekerjaannya tiada lain seorang pembunuh, yang memburu hewan-hewan liar lalu dagingnya diperjual-belikan. Kau tahu, membunuh sesama makhluk Tuhan adalah salah satu yang dilarang dalam ajaranku.

Suatu hari, I Lubdaka sudah jelajahi seisi hutan, tetapi ia tak mendapatkan hewan buruan satu pun. Sore hari ketika lamat-lamat ia menemukan bayangan seekor kijang, ia coba memburunya. Kijang yang lincah itu seketika menghilang di balik rerimbunan hutan. Ketika hari benar-benar gelap dan suara-suara hutan menggema menyeramkan, membuat bulu kuduk I Lubdaka berdiri.

Auman suara harimau, telah membawanya memanjat sebuah pohon rindang yang tumbuh di tepi sebuah telaga. Lubdaka menyelamatkan diri dari sergapan hewan buas dengan duduk di sebuah dahan pohon bilva. Karena takut jatuh jika tiba-tiba ia terserang rasa kantuk, Lubdaka memetik daun-daun bilva dan kemudian menjatuhkannya satu per satu.

Pohon Bilva, Bila atau Maja.

Tanpa sengaja daun-daun bilva yang melayang itu menyentuh bagian-bagian tubuh (lingga) Dewa Siwa yang sedang melakukan tapa semadi di bulan mati. Siapa pun yang melakukan laku bakti dengan cara "bergadang" dan merapal ayat-ayat suci semalam suntuk di saat Dewa Siwa sedang melakukan tapa semadi, seluruh dosa-dosanya akan dibersihkan. Benar, ketika I Lubdaka meninggal dunia, ia memperoleh surga, karena dinilai telah melakukan penyucian diri saat hari suci, yang kemudian disebut sebagai Siwaratri.

Secara populer kemudian hari raya Siwaratri diperingati setahun sekali, tepat pada Purwaning Tilem atau panglong ping 14 sasih Kepitu (bulan ketujuh) sebelum bulan benar-benar mati. Biasanya, Siwaratri jatuh sekitar bulan Januari dalam penanggalan Masehi. Pada malam Siwaratri, umat Hindu memanjatkan doa dan bergadang semalam suntuk dengan membaca sloka-sloka kitab suci untuk menebus dosa.

Oleh sebab itu, Siwaratri kemudian dikenal sebagai malam peleburan dosa. Daun-daun pohon bilva, di Indonesia dikenal dengan pohon bila, yang dipetik dan diluncurkan Lubdaka, menjadi representasi sloka-sloka suci yang dilantunkan untuk memuja kebesaran Dewa Siwa.


Kalau akhir-akhir ini di sekitar dirimu banyak yang menanam, merawat, dan bahkan berbicara dengan pohon-pohon di pekarangan rumahnya, hendaknya jangan kau cap sebagai keanehan, apalagi “kebodohan”. Jika kau lihat Maudy menayangkan gambar-gambar pohon di akun media sosialnya, itu pertanda ia sungguh-sungguh mencintai pohon. Bahkan kalau ia bangun di pagi hari, pohon-pohon selalu menjadi yang pertama ia pikirkan, sebelum menyapa, “Hai … semoga kalian baik-baik saja ….

Sudah pasti aktivitas ini menjadi pengalihan yang jitu akibat penerapan social distancing dan ketakutan berbicara kepada orang asing. Pohon-pohon akan memberimu aura persahabatan, kebahagiaan, dan kedamaian, lewat daun, bunga, dan buah-buahnya yang segar dan ranum.

Luangkanlah waktumu setiap hari untuk berbicara kepada pohon-pohon, ia akan dengan setia mendengarkan segala keresahan, kecemasan, dan ketakutanmu di saat pandemi seperti sekarang ini.

Putu Fajar Arcana,
Wartawan Kompas
KOMPAS, 9 Desember 2020

Thursday, November 26, 2020

Madu Asli dan Palsu Sulit Dibedakan

Pakar madu yang juga peneliti produk-produk lebah madu di Laboratorium Rekayasa Industri Bio Proses, Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik Unversitas Indonesia, Dr Muhammad Sahlan mengakui sulit membedakan madu asli dan palsu yang ada di Indonesia, terutama bagi masyarakat umum.

Hal itu karena banyaknya jenis madu yang ada di Indonesia. Pria yang akrab disapa Sahlan ini menyebutkan sedikitnya ada tiga jenis lebah penghasil madu di Indonesia.

Yakni lebah madu hutan liar (Apis dorsata), yakni madu hutan liar yang diambil dengan cara diburu (belum bisa dibudidaya).

Selanjutnya lebah madu budi daya (Apis mellifera dan Apis cerana) dan lebah tidak menyengat (Stingless bee).

Kemudian rasa dan khasiat madu sangat dipengaruhi oleh tanaman sumber nektarnya. Sehingga variasi jenis madu di Indonesia sangat banyak,” kata Sahlan kepada Kompas.com melalui pesan WhatsApp, Kamis (12/11/2020) malam.

Salah kaprah cara cek madu asli
Sahlan yang juga menjabat wakil ketua Bidang Riset dan Pelatihan dari Asosiasi Perlebahan Indonesia ini mengungkapkan bahwa cara sederhana untuk membedakan madu asli dan palsu yang selama ini sering dilakukan masyarakat umum sebenarnya tidak efektif untuk mendeteksi keaslian madu. Bahkan, ia menyebut cara itu salah karena keaslian madu tetap masih bisa dimanipulasi.

Cara pertama yang umum dilakukan adalah dengan uji coba semut. Pandangan umum menyebutkan bahwa madu asli tidak disukai semut. Menurut Sahlan, cara ini adalah salah karena semut juga menyukai madu. “Semut adalah salah satu hama lebah madu, karena mengambil madu dari sarang lebahnya,” kata Sahlan.

Metode lainnya adalah dengan menambahkan air ke madu dan digoyang-goyang. Kalau madu itu asli akan membentuk heksagonal (seperti sarang lebah). Namun cara ini pun masih sulit untuk membedakan madu asli dan palsu. Sebab, dengan ditambahkan gula cair yang kental pun memiliki fenomena yang sama, sehingga metode ini dinilai tidak tepat.

Metode selanjutnya adalah dengan cara dibakar. Madu disebut asli bila mudah terbakar karena menghasilkan oksigen. Namun, madu Indonesia yang sifatnya encer (karena berada di daerah dengan kelembaban tinggi), oksigen yang dihasilkan belum bisa mengalahkan airnya sehingga sulit untuk dibakar.

Metode disimpan di dalam kulkas juga tidak bisa dipakai, karena ada banyak jenis madu yang memang sifatnya mengkristal seperti madu karet (berasal dari nektar bunga karet),” katanya.

Lalu bagaimana cara sederhana untuk membedakan madu asli dan palsu, Sahlan menyebutkan metode yang paling mudah bagi masyarakat adalah dengan membeli ke penjual yang sudah dipercaya, atau sudah berpengalaman. Sebab, orang yang sudah berpengalaman akan mengenali keaslian madu tertentu melalui aroma dan rasanya.

Sebaiknya masyarakat umum berusaha mengenali satu atau dua jenis madu supaya ketika membeli produknya bisa merasakannya apabila terjadi perubahan rasa atau aroma,” katanya.

Namun mengenali madu asli dari aroma pun hanya bisa dilakukan untuk jenis madu yang memiliki sumber nektar satu.

Untuk jenis multiflora tetap akan sulit karena rasanya akan berbeda-beda, tergantung dari jenis tanamannya dan juga keberlimpahan tanaman atau bunganya.

Jenis madu palsu
Sahlan mengatakan, ada tiga jenis madu palsu yang saat ini biasa beredar di masyarakat. Ketiga jenis tersebut antara lain:

1. Madu yang benar-benar dibuat dari bahan-bahan yang ada, seperti gula cair, soda kue, putih telur dan sebagainya.

2. Madu oplosan. Madu asli yang ditambah bahan lain sehingga kuantitasnya bertambah banyak.

3. Madu sirupan. Yaitu madu yang dihasilkan oleh lebah namun lebahnya digelonggong dengan gula. Sirupan ini digunakan peternak lebah ketika musim tidak ada bunga (paceklik) supaya lebahnya tetap hidup, tidak punah.

Model pemalsuan nomor 3 saat ini juga marak di Indonesia, seiring dengan permintaan madu sarang (madu yang masih di dalam sarang) yang terus meningkat," katanya.

Soal madu palsu, Sahlan mengatakan sebenarnya ini menjadi isu global karena permintaan dan penawarannya (supply and demand) tinggi. Isu tersebut menjadi topik utama pada acara Apimondia di Montreal, Kanada, tahun lalu (2019). Sahlan juga terlibat dalam kegiatan tersebut.

Dampak madu palsu
Sahlan mengatakan, madu palsu sebenarnya tidak berdampak signifikan pada kesehatan tubuh. Sebab, madu palsu ini dibuat dengan menggunakan bahan makanan yang secara prinsip aman.

Hanya konsumen tidak mendapatkan khasiat madu yang diinginkan. Karena ketika lebah mengambil nektar senyawa, senyawa lainnya juga terambil. Senyawa inilah yang memiliki banyak manfaat,” kata alumnus ITB jurusan teknik kimia ini.

Menurut Sahlan, madu asli memiliki banyak manfaat untuk tubuh. Dari mulai meningkatkan stamina tubuh, menghangatkan badan, meningkatkan daya tahan tubuh, anti-inflamasi, dan lain sebagainya.

Dampak lain dari madu palsu adalah terkait dengan ekonomi. Konsumen tidak bisa membeli madu asli yang notabene harusnya berharga murah. Sementara di sisi lain, produsen madu sulit untuk menjual produknya.

Belilah kepada penjual madu yang bisa dipercaya. Baca kemasan madu dengan seksama. Kritis pada penjualnya,” saran Sahlan.

Pendekatan AI
Karena untuk membedakan madu asli dan palsu tidak bisa dilakukan secara sederhana, kata Sahlan, maka diperlukan pendekatan teknologis untuk mendeteksi keaslian madu secara akurat.

Salah satunya adalah dengan pendekatan artificial intelligence (kecerdasan buatan).

Kita perlu mengembangkan diagnostik dengan mengumpulkan data-data madu baik asli maupun palsu, kemudian diolah dengan pendekatan AI, sehingga sistem AI tersebut bisa membedakan mana yang asli dan mana yang palsu,” kata peneliti yang rutin mengikuti konferensi perlebahan tingkat dunia ini.

Saat ini, menurut Sahlan, pihaknya sedang mengembangkan pendekatan AI dengan menggunakan database dari spektrum sinar infra merah (infrared).

Kami membuat database spektrum sinar infra merah dari madu asli dan palsu kemudian diolah sehingga dengan spektrum sinar infra merah (infrared) ini bisa dibedakan mana madu yang asli dan mana madu yang palsu,” ujarnya.

Untuk mendapatkan data tentang madu, ia mengatakan perlu berkolaborasi dengan banyak peternak dan pemburu madu yang terpercaya. Mereka diminta mengumpulkan sampel madunya untuk dimasukkan ke database.

Kemudian dari informasi teknik pemalsuan madu yang beredar, kita bisa membuat madu palsu tersebut,” jelasnya.

Sahlan mengatakan, pihaknya kini sedang meneliti metode deteksi keaslian madu dengan infrared. Bahkan, pihaknya sudah memiliki alat tersendiri yang ditempatkan di Laboratorium Jasa Departemen Teknik Kimia pada Fakultas Teknik UI.

Sistemnya sudah didaftarkan ke lembaga paten. Sementara penelitiannya sudah dipublikasikan di sejumlah jurnal.

Editor: Farid Assifa
Kompas.com, 13 November 2020

Saturday, October 31, 2020

Bila Bangsa Melupakan Sejarah


Rencana penghapusan atau pengalihan mata pelajaran sejarah dari wajib menjadi pilihan di SMA/SMK menuai reaksi berbagai pihak. Reaksi keras datang dari Asosiasi Guru Sejarah Indonesia, Masyarakat Sejarawan Indonesia, dan Perkumpulan Prodi Sejarah Se-Indonesia.

Walaupun Mendikbud Nadiem Anwar Makarim telah meluruskan, masih tersisa pertanyaan. Tahukah, apa dampak bangsa yang melupakan sejarah?

Pasti akan kehilangan identitas jati diri dan memori masa lalu. Melupakan memori kolektif masa lalu mempersulit usaha mendesain masa depan.

Memori kolektif dengan berbagai kisah generasi masa lalu yang berisi kegigihan, kerja keras, dan daya juang sangat penting untuk membangun semangat generasi masa kini. Termasuk pula memori kolektif masa kelam agar tidak berulang.

Indikasi kehilangan memori kolektif masa lalu tampak dalam rancangan sosialisasi kurikulum pendidikan menengah atas yang digagas salah satu unit di Kemendikbud.


Berpikir plurikausal
Orang tak akan belajar sejarah kalau tak ada gunanya. Kenyataan bahwa sejarah terus ditulis dalam setiap peradaban sepanjang zaman menjadi bukti bahwa sejarah itu perlu, seperti kata Kuntowijoyo (1993).

Sejarah memiliki dua guna: intrinsik dan ekstrinsik. Pertama, sejarah sebagai ilmu. Kedua sebagai pendidikan moral. Sejarah mengajarkan kejujuran melihat peristiwa masa lalu. Karena itulah, sejarah tak boleh bersikap hitam putih. Sejarah bukan “fakta yang dibuat” seperti sandiwara.

Dalam hal inilah, sejarah berfungsi mengajarkan pentingnya memiliki integritas dan berpikir secara komprehensif sehingga tak memandang suatu masalah dari satu aspek saja.

Sejarah harus berpikir plurikausal atau yang menjadi penyebab itu banyak. Termasuk di dalamnya menggagas sejarah sebagai pijakan dalam pendidikan politik dan kebijakan publik. Ini mengingat sebuah kebijakan diambil setelah melihat tingkat kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Bukan sebaliknya, kebijakan diambil guna keuntungan penguasa.


Maka dari itu, sejarah sebagai pendidikan perubahan terhadap masa depan sangat diperlukan. Di beberapa universitas, seperti Amerika, history of the future diajarkan untuk membangun industri bangsa dengan belajar dari pengalaman founding fathers terdahulu. 

Dengan memahami betapa pentingnya kesadaran sejarah bagi sebuah bangsa, pembangunan bangsa di Indonesia akan dilihat sebagai suatu perkembangan. Artinya, apa yang dilakukan hari ini haruslah lebih baik daripada hari kemarin. Diperlukan sikap kejiwaan atau mental attitude dan state of mind sebagai kekuatan untuk ikut aktif dalam dinamika bangsa yang sedang berdemokrasi.

Membaca problem demokrasi bangsa saat ini, meminjam terminologi Yudi Latif, bukan terletak pada problem legal, melainkan hati dan pikiran yang tengah berperang melawan watak kapitalistik dan feodalistik (Kompas, 17/9/2020).


Pengalaman demokrasi Indonesia era 1950-an menjadi referensi berharga betapa pentingnya menjaga persatuan dalam integritas pribadi bangsa di tengah problem yang terus ada. Karena itulah, dalam konteks kekinian sejarah harus menjadi bagian yang selalu aktual.

Untuk menentukan suatu kebijakan diperlukan pandangan dari sisi perkembangan. Misalnya, bagaimana bangsa berkembang dari revolusi tahap 1.0 sampai revolusi 4.0 saat ini. Ini dapat diperankan ilmuwan atau pengajar sejarah untuk menarasikan perkembangan bangsa sebelum menentukan kebijakan.

Kini, kita dalam era revolusi industri 4.0 yang menjadikan data sebagai basis utama dan digital sebagai sarana. Jika dikaitkan dengan konteks kesejarahan, kita harus secara sadar mulai mengelola dan menginventarisasi peristiwa atau kejadian sebagai basis data apabila peristiwa yang sama terulang kembali (l'histoire se repete).

Niels P Petersson (kiri) dan Jurgen Osterhammel (kanan).

Reaktualisasi sejarah
Sejarah jadi pijakan bangsa Indonesia untuk menganalisis perencanaan, menuju bangsa Indonesia yang lebih baik.

Salah satu caranya dengan mengarusutamakan pendekatan sejarah sebagai bagian dari pembangunan bangsa, direaktualisasikan dengan situasi zaman dan generasi yang hidup pada era baru. Saat ini, globalisasi telah mengintegrasikan dunia. Tidak sekadar pertukaran ekonomi (perdagangan), tetapi berbagai unsur kebudayaan dan juga keagamaan.

Sejak abad ke-15, globalisasi menjadi semakin intensif melalui penjelajahan orang-orang Eropa. Namun, globalisasi secara besar-besaran dikenal sejak abad ke-19. Memasuki abad ke-20, konektivitas ekonomi dan budaya dunia menjadi semakin padat. Sejak akhir abad ke-20 hingga kini, globalisasi tak dapat dibendung lagi karena jaringan internet dan seluler (Jurgen Osterhammel and Niels P Petersson, 2005).

Para pelakon dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan, memberi contoh berbagai macam suku dan etnis berkumpul menjadi satu keluarga besar, bangsa Indonesia.

Dalam konteks Indonesia, kita selalu digelisahkan oleh masalah identitas nasional. Posisinya pada titik persilangan dunia membuat Indonesia menjadi salad bowl tempat bertemunya berbagai peradaban besar dunia. Itu pula sebabnya dalam sejarah kebudayaan Indonesia dikenal periodisasi yang mengacu pada masuknya peradaban besar dunia pada masyarakat Nusantara, yaitu Indianisasi (Hinduisme-Buddhisme), Islamisasi, modern (Barat, Kristen), ditambah pengaruh peradaban China.

Dampak dari masuknya peradaban besar dunia masih terus terasa hingga kini. Bangsa kita selalu merasa kebingungan untuk menemukan dan menetapkan simbol-simbol identitas nasional yang dapat merepresentasikan “asli” Indonesia. Padahal, sudah ada konsensus kebhinekaan sebagai cara pandang multikulturalistik.

Sudah barang tentu ada persoalan lain yang tak kalah kompleks. Ini terkait, misalnya, dengan cara bangsa kita merespons globalisasi agar Indonesia tetap dapat menjadi aktor dalam interaksi global.
Karena itulah, maka kita harus secara sadar memahami sejarah. Sejarah memberikan kisi-kisi pada kita untuk mengambil keputusan. Termasuk dalam pembangunan Indonesia (baik fisik/infrastruktur, manusia, maupun kebudayaan) harus berlandaskan sejarah.

Candi Borobudur dan gambar kapal di salah satu reliefnya.

Nilai kesinambungan
Sebagai bangsa, kita harus bersama merawat pembangunan agar berkesinambungan. Kewajiban itu dapat dilakukan jika kita sebagai bangsa memiliki kebanggaan nasional (national pride). Kebanggaan nasional dapat dibangkitkan dari prestasi bangsa di masa lampau. Karena itu, kita perlu sejarah.‎

Indonesia jelas sangat kaya akan prestasi bangsa di bidang sosial, ekonomi, budaya, politik, ketatanegaraan, teknologi, dan seni. Misalnya, Candi Borobudur di bidang arsitektur, phinisi di bidang kemaritiman, selain kekayaan sosial budaya (kearifan lokal).

Jadi, setiap prestasi bangsa itu harus menjadi kebanggaan. Kita perlu merawatnya dengan visi tujuan berbangsa dan bernegara, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Untuk menuju Indonesia Emas di 2045, diperlukan tahapan dan kesinambungan. Acuan haluan negara menjadi penting agar tak ada keterputusan antargenerasi. Membangun "Indonesia Masa Depan" mau tak mau mesti bertumpu pada "Indonesia Masa Lalu".

Ravik Karsidi,
Guru Besar Sosiologi Pendidikan UNS Solo;
Anggota Dewan Riset Nasional Bidang Sosial Humaniora, Pendidikan, Seni, dan Budaya

KOMPAS, 30 September 2020

Saturday, September 26, 2020

“Manunggaling Kawulo” Puisi

 
Sebelum berulang tahun ke-77, pada 10 Agustus 2020 lalu, penyair Umbu Landu Paranggi menelepon dari Denpasar. Kalimat pertama yang ia ucapkan senantiasa, "Apa ada angin di Jakarta?" Aku tahu pasti, ini judul puisi yang ditulisnya pada masa-masa awalnya menjadi manusia urban di Yogyakarta, setelah mengembara dari pedalaman Sumba Timur.

Selengkapnya puisi itu berbunyi: //Apa ada angin di Jakarta/Seperti dilepas desa Melati/Apa cintaku bisa lagi cari/Akar bukit Wonosari/Yang diam di dasar jiwaku/Terlontar jauh ke sudut kota/Kenanganlah jua yang celaka/Orang usiran kota raya/Pulanglah ke desa/Membangun esok hari/Kembali ke huma berhati//. Murid terdekat Umbu, Emha Ainun Nadjib, pernah menulis esai dengan judul sama, yang tergabung dalam buku Indonesia Bagian Sangat Penting dari Desa Saya (1983).

Cak Nun, demikian Emha disapa, memberi konteks pada puisi Umbu, sehingga menemukan korelasinya dengan situasi Jakarta, sebagai titik urban paling genting. Sementara Melati dan Wonosari diposisikan sebagai kota (kecil) dengan segala simbol keudikannya. Jakarta, dalam esai itu, disebut sebagai simpul segala peristiwa, bahkan situs penting bagi keglamoran kehidupan kelas menengah kota.


Mobilitas persilangan orang-orang "desa" dan orang-orang "kota", sehingga disebut urban, terjadi di ganglion kota, seperti terminal, stasiun, pasar, mal, pabrik, dan bahkan perkantoran. Mobilitas yang tinggi itulah yang kini jadi masalah terbesar di saat pendemi. DKI Jakarta tak pernah beranjak dari posisi teratas dalam "menyumbang" angka positif Covid-19.

Angka statistik pada 28 Agustus 2020, di DKI Jakarta ditemukan 869 kasus baru, sehingga menjadi 37.082 kasus, sedangkan di Jawa Timur 417 kasus baru, sehingga total menjadi 32.113 kasus. Secara keseluruhan angka harian di Indonesia, pertambahan positif Covid-19 pada 29 Agustus 2020 meledak ke angka tertinggi, yakni 3.308 kasus!

Kepada Umbu, sebelum ledakan kasus positif Covid-19 ini terjadi, aku bilang, “Angin yang deras selalu menampar stasiun, terminal, mal, dan gedung-gedung tinggi di Jakarta, Bung.”

“Kalau begitu tetaplah berumah,” kata Umbu.


Bercakap dengan Umbu selalu penuh simbol sehingga harus pandai-pandai memberi tafsir. Ia tak pernah langsung mengatakan keinginan sesungguhnya. "Berumah" telah mengingatkan aku pada puisi Umbu yang lain: //dengan mata pena kugali gali seluruh diriku/dengan helai-helai kertas kututup nganga luka lukaku/kupancing udara di dalam dengan angin tanganku/begitulah, kutulis nyawaMu senyawa dengan nyawaku// ("Seremoni", 1978).

Sudah lama Umbu berumah di unggun kata-kata. Ia tak punya alamat dalam pengertian sesungguhnya. Jika suatu kali kau menemukannya sedang jalan malam-malam, dan mencoba mengantarkannya pulang, Umbu selalu bersedia, tetapi aku yakin tak akan sampai di rumah. Ia akan selalu bilang, "Saya turun di dekat gardu saja. Nanti kau terus ya …." Begitu selalu, sehingga tak seorang pun tahu di mana Umbu menetap.

Puisi bagi Umbu, sangkan paraning dumadi, semacam jalan menuju ke asal muasal dari hidup dan ke mana tujuan dari hidup ini berlayar. Kata Umbu, hidup selalu menuju pada keesaan Tuhan untuk menyelami nilai-nilai kemanusiaan sejati. "Puisi itulah tujuan hidup …," katanya suatu hari di Pantai Sindhu, Sanur, Bali.‎


Angin berembus dari Selat Badung mengantarkan aroma asin. Kami berempat, bersama penyair Warih Wisatsana dan sutradara Agus Noor, menyesap botol terakhir sebelum tengah malam benar-benar menyungkup pantai. Sanur selalu menguarkan aura mistis di malam hari. Debur ombak, siulan angin, dan lolong anjing menambah dingin hati kami masing-masing.

Umbu masih mengoceh tentang masa lalunya yang berani menyeberangi sepi sebelum tiba di Yogyakarta sebagai anak desa ingusan. Maunya, kata dia, bersekolah di Tamansiswa, tetapi karena terlambat mendaftar, ia terdampar di SMA Bopkri, Kotabaru, Yogyakarta. "Tetapi di situ malah ketemu Ibu Lasiyah Soetanto, guru Bahasa Inggris yang tidak menggurui," tutur Umbu.

Lasiyah Soetanto sampai sekarang dianggap sebagai guru sejati. Ia membiarkan Umbu asyik menulis sajak di dalam kelas, justru saat-saat jam pelajaran berlangsung. "Itu kemewahan," ujar Umbu. Benar saja, ketika sajak-sajak Umbu diterbitkan di koran-koran terbitan Yogyakarta pada tahun-tahun 1960-an, Lasiyah mengapresiasinya. Lantaran itu, Umbu pelan-pelan merasa bahwa jalan hidupnya adalah puisi, tak ada lainnya. Sesungguhnya ia kemudian berkuliah di dua fakultas di Kota Yogyakarta, tetapi keduanya ia tinggalkan untuk "mengabdi" pada puisi.


Awal tahun 2020, aku bertemu Sutardji Calzoum Bachri dalam satu perhelatan bernama Tegal Mas Island International Poetry Festival 2020, yang digagas penyair Isbedy Stiawan ZS. Bang Tardji, demikian ia selalu disapa, tak merasa canggung bergaul dengan para penyair pemula. Ia bahkan menunggu di bibir pantai saat-saat para penyair bermain air.

Dalam percakapan di bawah pohon waru denganku, Bang Tardji bilang, "Puisi ini seperti jalan hidupku, sudah kucoba berbagai jalan, ketemu puisi selalu." Bang Tardji pernah berkuliah di Bandung, dan anehnya mengambil fakultas yang sama dengan Umbu, tetapi juga tidak selesai. Ia kemudian asyik masyuk ke dalam sajak dan menebarkannya ke berbagai media di Bandung.

Dalam satu sajak, Bang Tardji pernah menulis begini: //Walau penyair besar/takkan sampai sebatas allah/dulu pernah kuminta tuhan/dalam diri/sekarang tak/kalau mati/mungkin matiku bagai batu bagai pasir tamat/jiwa membumbung dalam baris sajak/tujuh puncak membilang-bilang/nyeri hari mengucap-ucap/di butir pasir kutulis rindu rindu/walau huruf habislah sudah/alif bataku belum sebatas allah// ("Walau", 1970).‎


Tentu tidaklah menjadi pembenaran bahwa penyair selalu harus putus sekolah karena alasan totalitas bersama puisi. Banyak juga penyair yang secara akademis mumpuni. Sebut saja salah satunya Sapardi Djoko Damono, yang bahkan bergelar profesor doktor. Ada juga sastrawan beken, seperti Budi Darma dan Maman S Mahayana. Bukan soal putus berkuliah yang ingin kubahas bersamamu, tetapi ikhwal beralamat di baris sajak. Coba saja kembali baca larik sajak Bang Tardji ini, "mungkin matiku bagai batu bagai pasir tamat/jiwa membumbung dalam baris sajak."

Begitu pula yang ditulis Umbu, setelah menggali-gali diri lewat pena dan helai-helai kertas, ia bilang, "begitulah, kutulis nyawa-Mu senyawa dengan nyawaku." Keduanya memiliki kesadaran besar bahwa puisi menjadi bahasa pencaharian menuju manunggaling kawulo lan Gusti, penyatuan diri dengan zat Mahasuci bernama sifat-sifat ketuhanan. Puisi menjadi jalan sunyi yang sufi, bukan dalam pengertian wadag, bersatunya ruh setelah mengembara di jagat fana, tetapi bersenyawanya sifat-sifat ketuhanan ke diri (manusia).

Ketika senyawa diri dengan ruh ketuhanan terjadi lewat puisi, Tuhan akan bekerja sesuai kehendak-Nya. Ajaran sufi memberi contoh, jika seseorang sedang kesulitan keuangan di masa pandemi ini, padahal ia sedang membutuhkan biaya untuk bayar sekolah anak-anaknya, tiba-tiba saja seorang teman memberinya pekerjaan. Tuhan selalu bekerja tanpa pemberitahuan, tetapi melalui pertanda. Pekerjaan yang diperoleh seseorang yang tadinya kesulitan, jika ia menghayati sifat-sifat ketuhanan, seharusnya secara spontan akan terdorong melakukan hal yang sama, ketika mendengar seseorang lainnya mengalami kesulitan.


Dorongan spontan untuk memberi dalam sufi tidak boleh disertai dengan keinginan untuk menerima sebaliknya. Di situlah puisi menjadi pertanda yang paling sufi dari seluruh inti kebudayaan. Puisi tak pernah meminta, tetapi telah begitu banyak memberi. Ia memberi imajinasi, ketajaman intuisi, dan kedalaman filosofi. Toh begitu, puisi tak pernah menuntut kesetiaan, apalagi pengabdian yang membabi buta. Banyak penyair keluar masuk rumah puisi; kadang datang atau seterusnya menghilang ….

Dalam satu sajak lain, Umbu menulis: //Jadi/sajak bilang apa saja pada kau/jadi buang diri kau/alhamdulillah begitu rupa kau/jadi pengembara//("Upacara XXXIII, 1980). Pengembaraan seseorang tak hanya berarti perjalanan fisik, tetapi lebih-lebih adalah pencariannya ke inti dari kata. Kau bisa terlunta-lunta karena kata, bisa pula membara karena kata.

Jadi, apa masih ada angin di Jakarta? Itu artinya Umbu bertanya tentang seberapa jauh kau telah berbuat, bukan semata menghasilkan buku-buku puisi, tetapi lebih-lebih adalah penghayatanmu pada nilai kemanusiaan yang sufistik. Sebuah nilai kemanusiaan, yang menginternalisasi sifat-sifat ketuhanan ke dalam diri. Bukankah itu inti dari semua pencarian sains, ilmu, sastra, dan filsafat? Kalaulah ia harus sampai pada titik paling jauh dari pengembaraan keilmuan, maka ia selalu berhasrat menemukan kebenaran hakikat, yakni kesempurnaan.


Kau mungkin bertanya, mengapa kita mengejar kesempurnaan? Aku bisa saja bertanya balik, untuk apa setiap hari kau bersembahyang, bukankah untuk menuju kesempurnaan hidupmu sebagia manusia? Selain menumpuk harta benda untuk kepuasaan duniawimu, bukankah pada titik tertentu kau harus menyeimbangkannya dengan kepuasaan batiniah?

Puisi adalah peristiwa batiniah. Larik-lariknya mengantarkanmu pada kedalaman imajinasi, yang akan menjadi bahan bakar bagi seluruh kreativitas yang tumbuh di dalam dirimu. Di situ, puisi akan menjadi jalan lain untuk mencapai kemanunggalan dirimu dengan zat Mahasuci, bernama "kesejatian".

Terakhir kata Umbu kepadaku, tak perlu banyak menuntut dari puisi. Kalau kau serahkan dirimu sepenuh-penuhnya, ia akan memberi seutuh-utuhnya kepadamu. Benar kan, Umbu diam-diam selalu merahasiakan kata-kata "suci" yang mampu menyulut api gelisah di dalam diriku. Jadi, apakah gunanya buku-buku yang kutulis dan sudah pula kau baca itu? Mari sama-sama kita cari jawabannya. Kelak kalau kau menemukannya lebih dulu, tolong berkabar ….

Putu Fajar Arcana
Sastrawan Indonesia asal Bali
Sarjana Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Udayana
Redaktur harian Kompas

KOMPAS, 2 September 2020

Monday, August 24, 2020

Bahasa Ajip Rosidi


Ada kelakar di antara rekan-rekan di Bandung, Jawa Barat,  tentang mengapa Ajip Rosidi, sepulang ia dari Jepang, justru memilih Magelang, Jawa Tengah, sebagai tempat kediamannya. Bukan Jakarta atau Bandung yang merupakan tempat kegiatan utamanya hingga tahun-tahun pengujung hayatnya.

Boleh jadi dia lebih sering berada di dua kota ini ketimbang di Magelang. Di Pasar Minggu, Jakarta, ada rumahnya yang lingkungannya tenang dan nyaman. Juga ada Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, yang selalu dia sempatkan diri buat mengunjungi tiap kali dia sedang berada di Jakarta. Di Bandung, ia membangun perpustakaan. Di sana juga ada lokasi usaha penerbitannya, PT Dunia Pustaka Jaya.

Khusus di Bandung, tampaknya banyak yang ia kangenkan dari masa lalu, raut kota dan paras muka teman-teman lama. Terasa bahwa dia sangat mencintai kota itu. Mungkin karena kultur dan bahasa Sunda yang setia menghidupi cekungan Priangan itu. Luar biasa cintanya dia pada kesundaan, tetapi tetap pedas kritiknya terhadap hipokrisi sosial serupa benalu yang inheren di dalam kulturnya.

Perpustakaan pribadi Ajip Rosidi di Pabelan, Magelang, Jawa Tengah. (Foto: Fadli Zon)

Jadi, kenapa ia menyusahkan diri, memaksakan badan yang menua dan digerogoti rupa-rupa penyakit, bolak-balik Magelang-Bandung-Jakarta dengan Kijangnya? Menurut celoteh yang usil, Ajip merasa perlu menjauh sebab di dua kota ini banyak "musuhnya", dari bekas-bekas polemik tentang sastra dan lain-lain.

Namanya guyon, pasti berlebihan dan tanpa batas, tapi Ajip memang keras kepala selama itu berkaitan dengan prinsip pemikiran. Ada kalanya, saking kerasnya polemik, tak ayal serangan melenceng ke luar konteks hingga menyambar soal pribadi. Tentu saja, kasus semacam ini di kancah pemikiran lazim terjadi, siapa pun orangnya.

Sebagai seorang otodidak —ini yang kerap ia banggakan: hidup tanpa ijazah, frase yang jadi judul otobiografinya— kuat kesan bahwa pada dirinya ada semacam arogansi atau sikap batin atas wawasan dan bahasa yang ia gunakan selaku penulis. Yang saya maksud bukan sombong dalam hal adab, sebab sebagai pribadi, ia hangat dan rendah hati.


Kita tahu Ajip menulis beragam genre: sajak, novel, kritik sastra dan sosial, kisah perjalanan, hingga opini politik. Wajar jika seorang sastrawan berambisi mengukuhkan sikap bahasanya, yang menurut pandangannya sendiri punya dasar yang kuat.

Biasanya, hanya editor selaku pembaca pertama draf atau naskah yang dapat mengenali sikap bahasa seorang penulis. Khalayak yang menjumpai tulisannya berupa artikel atau buku yang sudah rapi disunting editor koran, majalah, atau penerbit buku relatif berjarak buat mengenali sikap bahasa penulis yang sesungguhnya. Bahasa pada teks yang muncul di koran atau buku yang sudah dipajang di etalase sedikit banyak sudah dicampuri tangan editor, tak sepenuhnya mewakili sikap bahasa si penulis.

Kebetulan, Ajip mengelola penerbitan yang semula didirikan dengan dukungan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dan seiring berjalannya waktu dan dinamika bisnis, penerbitan itu ia kelola sendiri dan terus mencetak buku-bukunya. Boleh jadi, situasi ini memungkinkan dia mempertahankan sikap bahasa yang dia tetapkan sejak tahap draft hingga dipublikasikan.

Ong Hok Ham, Tjipta Lesmana, dan Ajip Rosidi.

Dari draft naskah dan buku-buku yang dia sunting sendiri, saya mencatat sejumlah kata yang dipakai dengan keras kepala tanpa toleransi dengan, misalnya, suasana zaman atau, sebutlah "dinamika bahasa". Beda dengan Ong Hok Ham atau Tjipta Lesmana, yang sepintas gayanya menarik, ternyata naskah aslinya memaksa editor berjibaku merapikan sebelum disajikan ke publik, draf Ajip disusun dengan kesungguhan penulis sekaligus editor cermat: kesungguhan yang memagari sikap bahasanya, termasuk kegigihannya membubuhi diakritik pada huruf /e/ untuk membedakan, misalnya, "pesan" dengan "pepesan".

Membaca draf Ajip serasa membaca teks dari zaman lampau. Kata-kata tertentu ditulis tanpa peduli tren dan sikap evaluatif, misalnya "sistim" (bukan "sistem"), "sipat" (bukan "sifat"), "masarakat" (bukan "masyarakat"), "sastera" (bukan "sastra") —tapi pada catatan saya, ia tak menulis "Inggeris", entahlah. Ia menolak pengembalian "kuatir" ke lafaz Arab "khawatir". Ia tulis "ahir" (bukan "akhir"); "sekedar" (bukan "sekadar"). Ia gigih dengan diakritik, maka ia tulis "modren" (bukan "modern")— antara 2017 dan 2019, sekilas saya lihat Goenawan Mohamad di media sosial menyinggung pentingnya diakritik bagi /e/, meski ia tak menyebut nama Ajip.

Tampak kuat kecenderungan Ajip memformalkan ragam lisan sehari-harinya pada tulisannya, sebagai contoh: "tadinya" (untuk "semula"); "dirobah" dan "merobah" (bukan "diubah" dan "mengubah" menurut ejaan yang baku). Eksesnya, kelisanan Ajip mendominasi bahasa tulisnya, misalnya ia gunakan koma bukan untuk memisahkan unsur-unsur dalam perincian, atau pemisah anak kalimat yang mendahului induk kalimat, melainkan sebagai jeda jika kalimat dianggap terlalu panjang, untuk bernapas, sonder peduli batasan subyek dan predikat.


Kasus ini bertebaran di berbagai tulisannya, tapi cukup saya petik dari "Mengatasi berbagai Masalah Bahasa Indonesia", artikel dari kolom bahasa setiap pekan di koran yang kemudian dibukukan. Perhatikan penempatan koma pada empat kalimat berikut: "Bahwa hal itu telah terjadi, menunjukkan bahwa pelajaran bahasa Indonesia kita tidak berhasil." "Selama ini telah diakui, bahwa bahasa pers besar pengaruhnya bagi perkembangan bahasa nasional." "Harus diakui bahwa para anak didik khususnya dan masyarakat umumnya lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca majalah." "Dari bahasa yang digunakan kelihatan bahwa sekalipun wartawan surat kabar terkemuka, kurang banyak membaca."

Pada Ajip, pengertian arbitrer dalam bahasa sedemikian luasnya sehingga dia membolehkan dirinya membikin sistem sendiri tanpa memusingkan sistematika berfondasi kaidah tertentu yang bukan hanya konsisten, tetapi juga harus punya akar kuat bagi perkembangan bahasa di dalam zaman yang kesetanan menantang kelembaman semua bahasa dunia saat ini. Kecuali dalam hal diakritik pada aksara /e/.

Kurnia JR,
Pujangga
KOMPAS, 11 Agustus 2020


Biografi Singkat Ajip Rosidi

Ajip Rosidi, dibaca dengan ejaan baru: Ayip Rosidi, lahir di Jatiwangi, Jawa Barat, 31 Januari 1938 – meninggal di Magelang, 29 Juli 2020 pada umur 82 tahun. Beliau adalah salah seorang sastrawan Indonesia, penulis, budayawan, dosen, pendiri, dan redaktur beberapa penerbit, juga pendiri serta ketua Yayasan Kebudayaan Rancage.

Pendidikan
Ajip Rosidi mulai menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat Jatiwangi (1950), lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri VIII Jakarta (1953) dan terakhir, Taman Madya, Taman Siswa Jakarta (1956). Meski tidak tamat sekolah menengah, namun dia dipercaya mengajar sebagai dosen di perguruan tinggi Indonesia, dan sejak 1967, juga mengajar di Jepang. Pada 31 Januari 2011, ia menerima gelar Doktor Honoris Causa bidang Ilmu Budaya dari Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.

Aktris senior Nani Wijaya (72) resmi diperistri sastrawan Ajip Rosidi (79). Akad nikah dilaksanakan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Keraton Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat, Ahad (16/4/2017).

Proses kreatif
Ajip mula-mula menulis karya kreatif dalam bahasa Indonesia, kemudian melakukan telaah dan menulis komentar tentang sastra, bahasa dan budaya, baik berupa artikel, buku atau makalah dalam berbagai pertemuan di tingkat regional, nasional, maupun internasional. Ia banyak melacak jejak dan tonggak alur sejarah sastra Indonesia dan Sunda, menyampaikan pandangan tentang masalah sosial politik, baik berupa artikel dalam majalah, berupa ceramah atau makalah. Dia juga menulis biografi seniman dan tokoh politik.

Ia mulai mempublikasikan karya sastranya tahun 1952, dimuat dalam majalah-majalah terkemuka pada waktu itu seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang, Siasat Indonesia, Zenith, Kisah, dll. Menurut penelitian Dr. Ulrich Kratz (1988), sampai dengan tahun 1983, Ajip adalah pengarang sajak dan cerita pendek yang paling produktif di Indonesia karena telah menghasilkan 326 judul karya yang dimuat dalam 22 majalah.

Bukunya yang pertama, berjudul “Tahun-tahun Kematian” terbit ketika usianya baru 17 tahun (1955), diikuti oleh kumpulan sajak, kumpulan cerita pendek, roman, drama, kumpulan esai dan kritik, hasil penelitian, dll., baik dalam bahasa Indonesia maupun Sunda, yang jumlahnya sekitar seratus judul.

Karyanya banyak yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, dimuat dalam bunga rampai atau terbit sebagai buku, a.l. dalam bahasa Belanda, Cina, Inggris, Jepang, Perancis, Kroatia, Rusia, dll.


Aktivitas
Pada umur 12 tahun, saat masih duduk di bangku kelas VI Sekolah Rakyat, tulisan Ajip telah dimuat dalam ruang anak-anak pada harian Indonesia Raya.

Sejak SMP Ajip sudah menekuni dunia penulisan dan penerbitan. Ia menerbitkan dan menjadi editor serta pemimpin majalah Suluh Pelajar (1953-1955). Pada tahun 1965-1967 ia menjadi Pemimpin redaksi Mingguan Sunda; Pemimpin redaksi majalah kebudayaan Budaya Jaya (1968-1979); Pendiri penerbit Pustaka Jaya (1971). Mendirikan dan memimpin Proyek Penelitian Pantun dan Folklor Sunda (PPP-FS) yang banyak merekam Carita Pantun dan mempublikasikannya (1970-1973).

Bersama kawan-kawannya, Ajip mendirikan penerbit Kiwari di Bandung (1962), penerbit Cupumanik (Tjupumanik) di Jatiwangi (1964), Duta Rakyat (1965) di Bandung, Pustaka Jaya (kemudian Dunia Pustaka Jaya) di Jakarta (1971), Girimukti Pasaka di Jakarta (1980), dan Kiblat Buku Utama di Bandung (2000). Terpilih menjadi Ketua IKAPI dalam dua kali kongres (1973-1976 dan 1976-1979). Menjadi anggota DKJ sejak awal (1968), kemudian menjadi Ketua DKJ beberapa masa jabatan (1972-1981). Menjadi anggota BMKN 1954, dan menjadi anggota pengurus pleno (terpilih dalam Kongres 1960). Menjadi anggota LBSS dan menjadi anggota pengurus pleno (1956-1958) dan anggota Dewan Pembina (terpilih dalam Kongres 1993), tetapi mengundurkan diri (1996). Salah seorang pendiri dan salah seorang Ketua PP-SS yang pertama (1968-1975), kemudian menjadi salah seorang pendiri dan Ketua Dewan Pendiri Yayasan PP-SS (1996). Salah seorang pendiri Yayasan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin (1977).

Sejak 1981 diangkat menjadi guru besar tamu di Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa Asing Osaka), sambil mengajar di Kyoto Sangyo Daigaku (1982-1996) dan Tenri Daigaku (1982-1994), tetapi terus aktif memperhatikan kehidupan sastra-budaya dan sosial-politik di tanah air dan terus menulis. Tahun 1989 secara pribadi memberikan Hadiah Sastra Rancagé setiap tahun, yang kemudian dilanjutkan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage yang didirikannya.

Setelah pensiun ia menetap di desa Pabelan, Kecamatan Mungkid, Magelang, Jawa Tengah. Meskipun begitu, ia masih aktif mengelola beberapa lembaga nonprofit seperti Yayasan Kebudayaan Rancagé dan Pusat Studi Sunda. Pada tahun 2008, beberapa sastrawan mengapresiasi karyanya yang dituangkan dalam buku berjudul Jejak Langkah Urang Sunda 70 Tahun Ajip Rosidi.


Karya-karyanya
Ada ratusan karya Ajip. Beberapa di antaranya:
1. Tahun-tahun Kematian (kumpulan cerpen, 1955)
2. Ketemu di Jalan (kumpulan sajak bersama SM Ardan dan Sobron Aidit, 1956)
3. Pesta (kumpulan sajak, 1956)
4. Di Tengah Keluarga (kumpulan cerpen, 1956)
5. Sebuah Rumah buat Hari Tua (kumpulan cerpen, 1957)
6. Perjalanan Penganten (roman, 1958, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh H. Chambert-Loir, 1976; Kroatia, 1978, dan Jepang oleh T. Kasuya, 1991)
7. Cari Muatan (kumpulan sajak, 1959)
8. Membicarakan Cerita Pendek Indonesia (1959)
9. Surat Cinta Enday Rasidin (kumpulan sajak, 1960);
10. Pertemuan Kembali (kumpulan cerpen, 1961)
11. Kapankah Kesusasteraan Indonesia lahir? (1964; cetak ulang yang direvisi, 1985)
12. Jante Arkidam jeung salikur sajak lianna (kumpulan sajak, bahasa Sunda, 1967);
13. Jeram (kumpulan sajak, 1970);
14. Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia (1969)
15. Ular dan Kabut (kumpulan sajak, 1973);
16. Sajak-sajak Anak Matahari (kumpulan sajak, 1979, seluruhnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh T. Indoh, dan dimuat dalam majalah Fune dan Shin Nihon Bungaku (1981)
17. Manusia Sunda (1984)
18. Anak Tanah Air (novel, 1985, diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh Funachi Megumi, 1989)
19. Nama dan Makna (kumpulan sajak, 1988)
20. Sunda Shigishi hi no yume (terjemahan bahasa Jepang dari pilihan keempat kumpulan cerita pendek oleh T. Kasuya 1988)
21. Puisi Indonesia Modern, Sebuah Pengantar (1988)
22. Terkenang Topeng Cirebon (kumpulan sajak, 1993)
23. Sastera dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan (1995)
24. Mimpi Masa Silam (kumpulan cerpen, 2000, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang)
25. Masa Depan Budaya Daerah (2004)
26. Pantun Anak Ayam (kumpulan sajak, 2006)
27. Korupsi dan Kebudayaan (2006)
28. Hidup Tanpa Ijazah, Yang Terekam dalam Kenangan (otobiografi, 2008)
29. Ensiklopédi Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya (2000)

Disamping itu, Ajip juga menulis drama, cerita rakyat, cerita wayang, bacaan anak-anak, lelucon, dan memoar serta menjadi penyunting beberapa bunga rampai.


Penghargaan
1. Hadiah Sastera Nasional 1955-1956 untuk puisi (diberikan tahun 1957) dan 1957-1958 untuk prosa (diberikan tahun 1960).
2. Hadiah Seni dari Pemerintah RI 1993.
3. Kun Santo Zui Ho Sho ("Bintang Jasa Khazanah Suci, Sinar Emas dengan Selempang Leher") dari pemerintah Jepang sebagai penghargaan atas jasa-jasanya yang dinilai sangat bermanfaat bagi hubungan Indonesia-Jepang 1999.
4. Anugerah Hamengku Buwono IX 2008 untuk berbagai sumbangan positifnya bagi masyarakat Indonesia di bidang sastera dan budaya.
5. Doktor Honoris Causa (HC) untuk Program Studi Budaya, Fakultas Sastra dari Universitas Padjadjaran, Bandung.

Sumber:
Wikipedia bahasa Indonesia,
Ensiklopedia bebas
https://id.wikipedia.org/wiki/Ajip_Rosidi

Thursday, July 23, 2020

Arti Persaudaraan Islam dan Jasa Bangsa Arab di Awal Kemerdekaan


Inilah tulisan kisah Abdurrahman Baswedan saat menjadi anggota misi diplomatik Repubik. Rombongan yang dipimpin 'Grand Old Man' yang mampu berbahasa begitu banyak bahasa asing, KH Agus Salim ditugaskan pemerintah ke timur tengah untuk menjalankan tugas diplomatik. Apa itu? Yakni, mencari pengakuan negara asing bahwa Indonesia itu sudah menjadi sebuah negara mandiri. Bukan lagi menjadi negara koloni Belanda.

Kisah yang ada berikut ini adalah bersumber dari buku yang diterbitkan Panitia Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim, yang terbit di Jakarta, Penerbit Sinar Harapan, 1984, halaman 140-151. Lagi pula dalam kisah ini ada pelajaran moral atau akhlak yang sangat utama, yakni jangan gampang mengolok atau bersikap 'pejoratif' terhadap bangsa lain, apalagi bangsa itu terbukti pernah sangat berjasa di awal masa kemerdekaan. Kala itu tak ada orang Indonesia menyebut aneka sebutan pejoratif kepada Arab, misalnya 'kadrun' (kadal gurun dan sejenisnya). Sebab, negara-negara itu ternyata negara asing yang paling pertama mengakui kemerdekaan Indonesia.

Abdurrahman Baswedan, kakek dari Anies Rasyid Baswedan, saat ini menjabat Gubernur DKI Jakarta.

Begini tulisan tersebut selengkapnya:

MISI DIPLOMATIK REPUBLIK INDONESIA DI MESIR
Oleh A R. Baswedan
Anggota Missi Diplomatik RI ke Timur Tengah

Matahari musim semi menyambut kami ketika pesawat melandas di lapangan terbang Kairo, 10 April 1947. Airport terasa sibuk. Kami berempat: Haji Agus Salim, Dr Mr Nazir St Pamuntjak, M Rasjidi (kemudian dikenal sebagai Prof Dr H M Rasjidi), dan saya, turun. Dengan menjinjing aktentas sederhana yang kuncinya sering macet, dan berbekal secarik kertas kumal keluaran Kementerian Luar Negeri dengan tulisan: “Surat Keterangan Dianggap Sebagai Paspor”, kami meninggalkan pesawat menuju ruang imigrasi. Berdesak di antara sekian banyak penumpang yang berpakaian rapi, saya cuma mengenakan pakaian biasa —itu seragam perjuangan yang terkenal: stelan kain khaki dan sepatu sandal lusuh.

Pegawai imigrasi, tinggi besar dengan kumis melintang, mengamati “paspor” kami. Roman mukanya agak berkerinyut, dan Haji Agus Salim cepat memberi keterangan bahwa kami adalah anggota delegasi “Mission Diplomatique dari Indonesia, sebuah negara baru di Asia,” begitu kata beliau.

Petugas itu mengangkat bahu. Rupanya ia tidak pernah belajar ilmu bumi tentang Indonesia. Matanya masih menyimak suara itu. “Are you Moslem?”, mendadak dia bertanya. “Yes!”, jawab kami serentak.

Jawaban yang spontan seperti  paduan suara, sehingga kami berempat saling berpandangan sambil tertawa. Petugas itu mungkin telah melihat nama-nama yang tertera di surat itu bernafaskan Islam. “Well, then, ahlan wa sahlan. Welcome!”, ucapnya. Tanpa banyak cingcong, tanpa melihat surat-surat lagi atau periksa memeriksa tas, kami dipersilakan lewat.

Beberapa menit kemudian muncul di ruang tunggu Sekretaris Jenderal Liga Arab, Azzam Pasha, dan beberapa mahasiswa Indonesia. Mahasiswa-mahasiswa itu belum ada yang kami kenal, hanya satu yang sudah saya ketahui sejak di Semarang dulu, namanya Abdoelkadir Kherid (kelak bekerja sebagai staf Kedutaan Besar Republik Indonesia, KBRI, di Aljazair).

Suasana Mesir, sekitar tahun 1947.

Tamu yang Menggemparkan
Rasanya seperti sebuah mimpi, ketika pesawat melandas di lapangan terbang Kairo, ketika wajah petugas menjadi cerah setelah tahu bahwa kami Muslimin, ketika Azzam Pasha menyambut dengan segala keramahan. Terasa sekali hangatnya persaudaraan itu. Dan saya jadi teringat awal perjalanan ini, perjalanan yang semula tak pernah dibayangkan dapat terjadi, ketika Mohammad Abdul Mun’im muncul di lapangan terbang Maguwo (sekarang Adi Sutjipto) Yogyakarta.

Lapangan terbang Maguwo yang biasanya sepi, hari itu dikejutkan oleh mendaratnya sebuah Dakota Commercial Airlines dari Singapura. Di antara penumpangnya, turunlah seorang lelaki kulit putih dengan kopiah tarbus merah, bersamanya seorang wanita kulit putih. Dan tak lama kemudian mereka sudah terlihat di Malioboro.

Berita ini tentu saja menggemparkan. Para wartawan sibuk mencari informasi. Ternyata lelaki bertarbus merah itu bermaksud menghadap Presiden Sukarno. Kabar ini pun segera disampaikan ke Istana. Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan Menteri Penerangan Mohammad Natsir sedang berada di Jakarta. Saya, yang saat itu menjabat Menteri Muda Penerangan, sedang di Surakarta; sehingga Sekretaris Negara Mr. Abdul Gaffar Pringgodigdo kemudian menelepon saya di rumah meminta supaya segera datang ke Yogyakarta mengurusi “tamu yang menggemparkan” itu.

Tamu itu adalah seorang Mesir yang bernama Mohammad Abdul Mun’im, Konsul Jenderal Mesir di Bombay (sekarang Mumbay), India, yang datang mewakili negerinya dengan membawa pesan-pesan dari Liga Arab. Sebagai seorang diplomat, pada mulanya ia tidak bersedia menerangkan maksud kunjungannya kepada wartawan. Tetapi hal itu sudah dapat diterka, karena sekitar November 1946 tersiar berita bahwa Liga Arab di Kairo memutuskan untuk menganjurkan anggota-anggotanya agar mengakui kedaulatan Republik Indonesia.


Abdul Mun’im meninggalkan Bombay menuju Singapura dengan harapan mendapatkan visa masuk Indonesia, tetapi perwakilan Belanda di sana menolaknya. Untung ia bertemu dengan Miss Ktut Tantri, itu wanita kulit putih yang tampak datang bersamanya. Kita tentu mengenal nama wanita ini, yang menjadi pembantu pejuang-pejuang kita, terutama di Jawa Timur, dengan pidato-pidatonya di corong radio bersama Bung Tomo. Ktut Tantri dengan mati-matian berusaha sehingga berhasil mencarter sebuah pesawat terbang yang membawa mereka menerobos blokade Belanda, langsung menuju Yogyakarta.

Kedatangan utusan Liga Arab itu sudah tentu menggembirakan kalangan politik di Yogyakarta khususnya, dan juga di seluruh Indonesia, karena pada saat itu situasi politik antara RI dan Belanda agak memburuk dan kita diliputi rasa pesimis terhadap keikhlasan pihak Belanda.

Perasaan itu jelas terlihat, meskipun baru sebulan sebelumnya sidang pleno Komite Nasional Indonesia di Malang meratifikasi persetujuan Linggarjati. Belanda ternyata memberikan interpretasi sendiri atas persetujuan itu, sehingga situasi menjadi lebih buruk lagi, ditambah pula dengan penyerbuan ke Mojokerto. Akibatnya, Bung Sjahrir terpaksa mondar-mandir Yogya-Jakarta, dan menunda keputusan tentang undangan Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru, untuk menghadiri Inter-Asian Relations Conference di New Delhi.

Begitulah suasana waktu itu, sehingga sangatlah mengharukan ketika hari Sabtu, 15 Maret 1947, pukul 10:00 pagi, Abdul Mun’im menghadap Presiden Sukarno menyampaikan pesan-pesan dari Liga Arab.

Pada hari itu, yang bertepatan dengan ulang tahun kemerdekaan Mesir yang ke-23, utusan Liga Arab itu menyampaikan kepada Presiden, keputusan Sidang Dewan Liga Arab pada tanggal 18 November 1946 yang berisi anjuran agar negara-negara anggotanya mengakui Republik Indonesia sebagai negara merdeka yang berdaulat, berdasarkan ikatan keagamaan, persaudaraan, serta kekeluargaan. Oleh Presiden Sukarno, dalam menutup sambutannya dikatakan bahwa antara negara-negara Arab dan Indonesia sudah lama terjalin hubungan yang kekal, “karena di antara kita timbal balik terdapat pertalian agama.

Liga Arab

Utusan Liga Arab ini terus menjadi pembicaraan, karena pidato-pidatonya di Masjid Besar Yogyakarta maupun dalam pertemuan-pertemuan dengan para tokoh di Kepatihan dan dalam konferensi pers. Juga permintaannya untuk bertemu dengan wargna negara Indonesia keturunan Arab, dikabulkan oleh Pemeritah. Dalam pertemuan itu, ia melahirkan rasa gembiranya bahwa warga negara Indonesia keturunan Arab itu telah ikut ambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Abdul Mun’im, utusan yang lembut tetapi tegas itu kemudian mendesak agar RI mengirim delegasi ke Mesir, sekaligus ikut menghadiri Inter-Asian Relations Conference di New Delhi.
Perdana Menteri Sutan Sjahrir pun kemudian memutuskan untuk menerima undangan dari Perdana Menteri India, Nehru, juga mengirim delegasi ke Mesir.

Meskipun keberangkatannya ke New Delhi berarti tertundanya beberapa pelaksanaan persetujuan Linggarjati, tetapi ia berpendapat bahwa kepergian ke New Delhi itu akan membawa manfaat. Dikemukakan oleh Sjahrir, betapa pentingnya kedudukan pemerintah India kelak terhadap perjuangan Indonesia. Selain itu, konferensi di New Delhi ini akan memberi kesempatan pula untuk mengatur hubungan negara-negara tetangga seperti Birma, Thailand, Tiongkok, dan lain-lain.

Dan berangkatlah delegasi yang bersejarah ini. Dipimpin oleh Haji Agus Salim (Menteri Muda Luar Negeri), A.R. Baswedan (Menteri Muda Penerangan), M. Rasjidi (Sekretaris Jenderal Kementerian Agama), dan Dr. Nazir St. Pamoentjak.

Haji Agus Salim dkk, ketika berada di Mesir.

Anggota Delegasi Sangat Dimanjakan
Dari airport kami langsung menuju ke Hotel Continental. Di mobil salah seorang mahasiswa kita berbisik kepada saya: “Apa Pak Baswedan tidak punya pakaian lain? Masak anggota delegasi kok pakaiannya stelan kain khaki!”

Saya jawab bahwa saya tidak begitu siap dalam soal pakaian. “Wah sulit ini, Pak,” katanya. “Tukang buka pintu mobil di Hotel Continental, seragamnya wol!”.

Dan betul juga, sebab sesampai di hotel terlihat semua penghuni hotel itu tampak berpakaian lengkap. Tetapi saya tetap berjalan segagah mungkin, karena toh “mode” stelan kain khaki tidak ada di ruang itu, sehingga bisa saja dianggap sebagai mode yang justeru paling baru!

Setelah tiga hari, baru saya berani turun makan di lobby hotel, setelah dibelikan pakaian yang cukup pantas untuk dikenakan oleh seorang anggota delegasi diplomatik.

Hari berikutnya, koran terbesar di Kairo, Al-Ahram, memuat foto delegasi RI, dan mulailah bermunculan tamu-tamu yang ingin berkenalan dengan delegasi kita. Cukup repot juga.

Saya sendiri pada saat itu ditugaskan oleh Haji Agus Salim, yang menjadi Ketua Delegasi, untuk menerjemahkan sebuah buku tentang tata cara bagi para diplomat. Buku itu karya seorang diplomat kawakan Mesir yang berkunjung ke hotel. Maklumlah, kami masih tergolong “orang udik” dalam hal etiket diplomasi. Padahal saya sudah tidak sabar lagi ingin memuaskan dorongan jiwa wartawan, tetapi Haji Agus Salim melarang saya meninggalkan hotel untuk “keluyuran” mencari berita.

Raja Farouk dan PM Nokrashi Pasha.

Sebagai bekas wartawan yang menjabat Menteri Muda Penerangan, saya berpendapat bahwa waktu yang ada tidak boleh disia-siakan dengan mendekam di hotel. Akhirnya saya menyelinap pergi, dan dengan diantar teman-teman mahasiswa Indonesia, saya mulai “ngeluyur” mengunjungi tokoh-tokoh pers, para sastrawan, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Hal ini terbukti kemudian sangat penting untuk menyebarkan informasi tentang Indonesia dan untuk mencari tanggapan masyarakat terhadap kedatangan delegasi kita.

Acara “keliling” itu tidak begitu sulit, karena sebagian dari tokoh-tokoh itu sudah lama saya kenal lewat tulisan-tulisan mereka dalam koran atau majalah Mesir yang bisa didapat di Indonesia.

Tentu saja, Bapak Ketua Delegasi, Haji Agus Salim, marah besar kepada saya. Tetapi, ketika saya laporkan hasil-hasil “keluyuran” itu, beliau diam saja. Wajahnya tidak berubah, meskipun saya tahu pasti bahwa hatinya senang. Sekian tahun bertetangga dengan beliau, sejak zaman Belanda, membuat saya cukup “mafhum” akan “gaya”-nya. Begitulah Bapak kita yang eksentrik itu.

Salah satu dari sekian banyak yang saya kunjungi adalah pemimpin redaksi Al-Ahram. Dari dia banyak saya dapatkan informasi penting mengenai tanggapan masyarakat terhadap kunjungan kita. Menurut sang pemimpin redaksi, yang biasanya baru masuk kantor sekitar pukul 12 malam, delegasi kita sangat dimanjakan oleh pemerintah Mesir. Sebab, begitu kata dia, situasi politik dalam negeri Mesir masih centang perenang. Ada masalah oposisi, ada problem Palestina yang sedang gawat-gawatnya, ditambah kemelut hubungan diplomatik dengan Perancis gara-gara pemerintah Mesir memberi bantuan kepada pemberontak Maroko. Tetapi toh dalam suasana semacam itu, pemerintah Mesir memperhatikan delegasi Indonesia, meskipun kami mesti menunggu lama sebelum urusan pengakuan kedaulatan selesai.

Betul juga keterangan dari pemimpin redaksi Al-Ahram itu, karena delegasi masih harus bersabar untuk bertemu dengan anggota-anggota Liga Arab, Perdana Menteri Nokrashi Pasha, dan tentu saja dengan Raja Farouk yang memegang kunci masalah pengakuan terhadap RI.

Tata cara diplomatik Mesir yang sangat formal itu, juga merupakan handicap. Sebab meskipun pada prinsipnya soal pengakuan itu sudah tidak menjadi problem, tetapi prosedur-prosedur formal harus tetap dilalui. Dalam hal ini delegasi kita sangat berhutang budi kepada Abdul Mun’im yang mengatur semua kontak dengan pihak-pihak resmi, yang dalam tindakan dan semangatnya seakan-akan ia salah seorang dari anggota delegasi.

Haji Agus Salim, The Grand Old Man, Pemimpin Mission Diplomatique ke Mesir.

Karang Persaudaraan Islam
Siapa pun yang pernah bertemu dengan Haji Agus Salim dan bercakap dengan beliau, pasti mengagumi intelek yang brilian ini, julukan yang diterimanya sejak ia mulai muncul di medan pergerakan politik Indonesia. Kekaguman ini bukan cuma dimiliki kawan-kawannya, tetapi juga oleh lawan-lawannya.

Meskipun bukan sarjana, namun kecerdasan dan ketangkasannya berbicara serta berdebat, dan bakat begitu juga kemampuannya menguasai bahasa asing —termasuk bahasa Arab— sangat mengagumkan. Begitu pula kesan dari orang-orang Mesir yang bertemu dengan beliau, padahal orang Mesir dikenal sebagai tukang ngobrol, ahli debat dan bersilat lidah. Asyik betul memiliki Ketua Delegasi semacam Haji Agus Salim ini. Mission Diplomatique ini —nama yang diberikan Haji Agus Salim kepada delegasi kita— mengadakan jumpa pers tidak lama sesudah tiba di Kairo.

Sebelum acara itu dimulai, dibagikanlah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sudah ditulis dalam bahasa Inggeris, kepada yang hadir. Sebagai Ketua Delegasi, Haji Agus Salim membeberkan sejarah dan perjuangan RI sejak zaman Belanda.
Kondisi politik Mesir pada saat itu menyebabkan delegasi RI terpaksa menunggu sampai kira-kira tiga bulan sebelum semua pekerjaan selesai.

Waktu yang lama itu saya manfaatkan untuk lebih mengenali masyarakat Mesir, dan memperkenalkan Indonesia kepada mereka. Hampir setiap hari, disertai dengan teman-teman mahasiswa, saya keliling kota dengan trem kota. Banyak hal yang mengungkapkan bahwa masyarakat awam, bahkan para intelektualnya, kurang mengetahui Indonesia.

Orang-orang Mesir umumnya, mereka hanya tahu tentang bangsa-bangsa Timur Jauh seperti India dan China. Sebagian kecil kelompok intelektual mengetahui tentang jajahan Belanda, juga para mahasiswa Mesir yang kenal dengan orang Indonesia yang bersekolah di sana. Sedang para haji —yang karena pernah pergi ke Makkah— menjadi tahu tentang Jawa.

Suatu malam kami diundang menghadiri pesta penobatan raja di gedung Qasr Azza’faran. Pesta itu diselenggarakan oleh PM Nokrashi Pasha dan dihadiri seluruh korps diplomatik. Seperti biasa ketika akan pulang, melalui pengeras suara mobil yang mengantar dipanggil ke depan pintu. Waktu sampai giliran delegasi Indonesia, berserulah si petugas: “Delegation of China!” Karuan saja Haji Agus Salim naik pitam.  “Ya Syaikh! Indonesia. Musy China!” (Hai Tuan. Indonesia. Bukan China!). Apa mau dikata, rupanya baju teluk belanga dan kopiah hitam kami dikira pakaian dan songkok China!


Sekali waktu delegasi Indonesia mengadakan perjamuan untuk Syaikh Al-Azhar. Perjamuan itu diselenggarakan di salah satu restoran di Kairo, dan ketika acara berakhir, para pelayan lantas berkumpul sambil menyerukan: “Litahyal Hindi!” (Hidup India!).

Dengan diantar Abdul Mun’im, delegasi RI menghadap Raja Farouk di Istana Qasr Abidin. Dengan ramah ia menerima kami dan menyatakan bahwa “karena karang persaudaraan Islamlah, terutama, kami membantu dan mendorong Liga Arab untuk mendukung perjuangan bangsa Indonesia dan mengakui kedaulatan negara itu.” Ia mengemukakan pula bahwa dirinya akan selalu mendukung perjuangan kemerdekaan, apalagi jika rakyatnya beragama Islam seperti yang dilakukannya terhadap Aljazair, Tunisia, dan Maroko. Begitu juga, Mesir terus memperjuangkan nasib rakyat Palestina.

Beberapa saat sebelum saya meninggalkan Mesir, terjadilah hal yang cukup penting, yang membuktikan ucapan Raja Farouk di atas, yaitu pemberian suaka politik kepada pejuang Maroko, Amir Abdulkarim Al Khattabi yang bergelar Pahlawan Rifkabilen.

Pertemuan dengan Raja Farouk mengesankan sekali. Ingin saya kemukakan bahwa lepas dari masalah kehidupan pribadinya yang banyak dikecam, Farouk termasuk yang paling berjasa dalam masalah pengakuan kedaulatan. Meskipun kita tidak boleh melupakan jasa tokoh-tokoh Mesir lainnya seperti Sekjen Liga Arab, Azzam Pasha, Dr. Shalahuddin Bey, begitu pula Nahasy Pasha yang menjabat sebagai pimpinan partai oposisi Wafd. Dukungan dari kelompok oposisi ini sangat menguntungkan, karena itu tidak akan timbul masalah di Parlemen maupun Kabinet dalam mengambil keputusan tentang pengakuan kedaulatan negara Republik Indonesia.

Yang agak menyulitkan dalam acara menghadap raja adalah soal pakaian. Anggota-anggota delegasi RI tidak memiliki pakaian resmi jas panjang, tetapi Haji Agus Salim dapat mengenakan pakaian Teluk Belanga. Rasjidi siap memakai blangkon-surjan. Akhirnya dicoba mencari persewaan jas panjang dari kostum milik rombongan sandiwara, tetapi ukuran badan saya dan Dr. Pamuntjak terlalu kecil untuk jas-jas yang ada sehingga akhirnya diberikan dispensasi kepada kami untuk menghadap dengan jas biasa. Kepala rumah tangga istana hanya bisa geleng-geleng kepala.

Dari kiri ke kanan: Amir Sjarifuddin, Hatta, Sjahrir, dan Haji Agus Salim di lapangan terbang Kemayoran, sekitar akhir Januari 1948.

Kabinet Sjahrir Jatuh
Tinggal selama tiga bulan di Mesir bukan hal yang mudah. Ingatan akan keluarga di rumah, makanan yang kadang-kadang kurang cocok, dan waktu yang terasa kosong, membuat orang mudah menjadi bosan. Masyarakat pun sudah mulai kehilangan interes kepada delegasi. Oleh karena  itu saya mencoba untuk “keluyuran” lagi ke kantor-kantor harian dan majalah sekadar untuk mengobrol.

Suatu hari Abdul Mun’im datang ke hotel sambil senyum-senyum. “Memang orang Indonesia ada-ada saja,” katanya. Ternyata ada berita kecil di majalah Rose el Yusuf, suatu majalah politik yang terkemuka di Kairo tentang masalah wanita di Mesir yang sedikit membicarakan delegasi RI.

Memang, sehari sebelumnya saya mampir ke kantor redaksi majalah Rose el Yusuf. Redaktur majalah ini bertanya dengan nada senda gurau tentang apakah di Indonesia ada trem listrik, bioskop, dan lain-lain. Menyambung gurauannya, saya katakan saja bahwa di Indonesia tidak ada bioskop dan sebagainya, tetapi Indonesia memiliki sesuatu yang tidak dipunyai Mesir. “Apa itu?” tanyanya. Saya jawab, “Menteri Sosial yang wanita.

Dia bertanya lagi, agak kaget, “Wanita jadi menteri?”. Sang redaktur seakan-akan tidak percaya. “Memang betul,” begitu jawab saya, dan kemudian saya ceritakan tentang Maria Ulfah (kemudian dikenal sebagai Ny. Maria Ulfah Soebadio) yang menjadi Menteri Sosial. Dia terheran-heran.

Itulah sebab musabab munculnya berita tentang Indonesia di majalah tersebut yang pasti mempunyai effek besar terhadap pandangan kalangan politik Mesir terhadap Indonesia, mengingat kedudukan majalah itu di sana.

Delegasi RI saat rapat di DK-PBB, 14-8-1947: H. Agus Salim, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Sutan Sjahrir, Charles Tambu.

Selain disergap rasa bosan, Delegasi juga amat gelisah, karena menurut monitoring yang dilakukan oleh Saudara Salim Al-Rasyidi (kelak Dr. Salim Al-Rasyidi, dosen di Universitas Islam Bandung) yang kita tugaskan untuk setiap hari memonitoring siaran Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta dalam bahasa Arab, situasi di Tanah Air menjadi amat genting berhubung bahwa Komisi Jenderal Belanda menyampaikan Nota Ultimatif yang harus dijawab oleh RI dalam waktu 14 hari.

Nota Ultimatif itu berisi lima pasal yang antara lain membentuk bersama suatu Pemerintah Peralihan (interim) dan menyelenggarakan bersama ketertiban dan keamanan di seluruh Indonesia (gendarmerie bersama). Sedang pengakuan resmi atas kedaulatan RI dari pihak Pemerintah Mesir belum terlaksana.

Ultimatum Belanda itu oleh Pemerintah Sjahrir dijawab pada tanggal 8 Juni (dua hari sebelum penandatanganan Perjanjian Persahabatan Mesir-Indonesia) yang antara lain “setuju” membentuk Pemerintahan Peralihan yang mempunyai kewajiban mempersiapkan penyerahan kekuasaan Pemerintah Hindia-Belanda kepada Pemerintah Federal Nasional, dengan selama masa peralihan itu kedudukan de facto Republik tidak dikurangi. Jawaban atas ultimatum Belanda itu telah menyebabkan jatuhnya Kabinet Sjahrir pada tanggal 26 Juni 1947.

Gubernur Jenderal van Mook (kiri) dan Jenderal Soedirman (kanan).

Situasi gawat di Tanah Air tadi terutama seruan dari Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk bersiap-siap menghadapi ancaman Belanda, itulah yang menyebabkan Ketua Delegasi Pak Salim memutuskan segera setelah terlaksana penandatanganan Perjanjian Persahabatan Mesir-Indonesia, saya sebagai anggota delegasi (yang menjabat Menteri Muda Penerangan) perlu segera kembali ke Tanah Air. Sebab selama delegasi di Mesir tidak dapat berkorespondensi dengan Pemerintah RI di Yogyakarta maupun di Jakarta, karena korespondensi itu melalui pos yang tentu diketahui pihak Belanda.

Sebaliknya pihak Belanda di Belanda maupun Gubernur Jenderal van Mook di Batavia pasti mendapat informasi cukup mendetail tentang segala tindakan delegasi yang dilaporkan oleh duta besarnya di Kairo. Maka tiada jalan lain delegasi memutuskan perlu segera pulangnya saya ke Tanah Air untuk menyampaikan naskah perjanjian terutama laporan lengkap tentang situasi dan semangat di Mesir (baca: Liga Arab) yang mendukung perjuangan Republik Indonesia mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya.

Jadi apa saja yang dialami oleh delegasi selama lebih kurang tiga bulan di Kairo nantinya akan dijelaskan kepada Presiden maupun Pemerintah RI. Dan ini nantinya dijelaskan dengan lisan agar dengan begitu semangat bertahan dari pihak Republik terhadap ultimatum Belanda tidak berkurang. Ini karena seluruh Timur Tengah pasti membela RI menghadapi ancaman Belanda. Maka seminggu kemudian (karena menanti adanya kapal terbang) yaitu pada tanggal 18 Juni, bertolaklah saya meninggalkan Kairo menuju Singapura.


Protes Duta Besar Belanda Ditolak
Sampai sekarang saya tidak bisa melupakan hari itu, tanggal 10 Juni 1947. Kami semua diantar Abdul Mun’im menuju gedung Kementerian Luar Negeri Mesir sekitar pukul 09 pagi, untuk menghadiri upacara penandatanganan Perjanjian Persahabatan Mesir-Indonesia.

Memang sehari sebelumnya sudah disiarkan di koran-koran bahwa Kabinet Mesir telah memutuskan untuk menyetujui ditandatanganinya perjanjian persahabatan dan kerja sama antara Mesir dengan Indonesia di bidang sosial ekonomi.

Berita itu tentu saja mengejutkan Duta Besar Belanda di Mesir, tetapi sangat menggembirakan masyarakat Indonesia di Mesir, antara lain Saudara Zein Hasan (Ketua Perhimpunan Kemerdekaan Indonesia) dan kawan-kawannya, dan dua bersaudara Hasan dan Ali Baktir yang lewat karangan-karangan dan sajak-sajaknya yang dimuat di koran-koran Kairo, terus menerus melakukan usaha memperkenalkan Indonesia serta mendorong Liga Arab untuk mendukung perjuangan Indonesia.

Maka, pukul 09.00 pagi, kami sudah siap di ruang tunggu Kementerian Luar Negeri Mesir. Jabatan Menteri Luar Negeri (Menlu) Mesir pada saat itu dirangkap oleh PM Nokrashi Pasha. Sesudah setengah jam menunggu, kami melihat Duta Besar Belanda keluar dari kamar kerja PM Nokrashi dengan wajah kecut, dan langkah tergesa-gesa. Kami kemudian langsung dipersilakan masuk.

Haji Agus Salim, PM Nokrashi Pasha, dan AR Baswedan.

PM Nokrashi Pasha meminta maaf karena telah membiarkan delegasi menunggu lama di luar. Menurut dia, Duta Besar Belanda itu langsung saja “menyerbu” masuk ke ruang kerja untuk mengajukan protes sehubungan dengan akan ditandatanganinya Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir. Duta Besar Belanda mengingatkan Mesir tentang hubungan ekonomi Mesir dan Belanda, serta janji dukungan Belanda terhadap Mesir dalam masalah Palestina di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Perdana Menteri kemudian menjawab: “Menyesal sekali kami harus menolak protes Tuan, sebab Mesir selaku negara berdaulat, dan sebagai negara yang berdasarkan Islam, tidak bisa tidak mendukung perjuangan bangsa Indonesia yang beragama Islam. Ini adalah tradisi bangsa Mesir, dan tidak bisa diabaikan.

Begitulah jawabannya, sehingga Duta Besar Belanda meninggalkan ruangan dengan kecewa.

Naskah Perjanjian itu pun kemudian ditandatangani oleh PM Nokrashi selaku Menlu Mesir, dan Haji Agus Salim selaku Menteri Muda Luar Negeri RI, disaksikan Dr. Nazir Sutan Pamuntjak, Saudara Rasjidi, Abdul Mun’im, Sekjen Kemlu Mesir Dr. Kamil, dan saya sendiri.

Tidak dapat dibayangkan perasaan saya ketika menyaksikan upacara itu, tak terlukiskan dalam kalimat karena tidak akan pernah dapat sebanding dengan rasa yang menggelora. Lega dan syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena Republik Indonesia pada akhirnya mendapat pengakuan de jure dari dunia internasional.

Amir Abdulkarim Al-Khattabi (Pahlawan Pejuang Maroko) dan AR Baswedan (Pahlawan Pejuang Republik Indonesia)

Tasbih dari Pahlawan Rifkabilen
Ada yang tidak boleh dilupakan, yaitu tentang seorang wartawan ulung dan seorang pahlawan kemerdekaan di pengasingan. Wartawan itu adalah M. Ali Attahir, seorang Palestina yang terkenal karena surat kabarnya yang bernama Assyura (Pembela Bangsa-bangsa Terjajah).

Jauh sebelum naskah Perjanjian ditandatangani, sampai bertahun-tahun sesudahnya, ia selalu membantu perjuangan kita. Saudara Rasjidi dapat menceritakan bantuan yang diberikan M. Ali Attahir ketika KBRI mengalami kesulitan semasa Belanda menggempur Republik dan menangkap Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, sejumlah menteri, dan pemuka Republik. Bantuan moral dan materialnya menunjukkan keyakinannya pada kesucian perjuangan bangsa Indonesia. Semoga Allah membalas semua jasanya.

Yang satu lagi adalah seorang pahlawan kemerdekaan di pengasingan, Amir Abdulkarim Al-Khattabi yang diberi suaka oleh Pemerintah Mesir. Menurut ceritanya, pada saat dia sedang dibawa ke Perancis dari Pulau Rignon untuk ditahan lebih lanjut, kapal yang membawanya stop sebentar di Portsaid, dan Walikota Portsaid atas permintaan Raja Farouk mengajaknya berkeliling kota.

Akan tetapi, di balik acara keliling kota itu telah disiapkan oleh pejuang-pejuang Maroko dengan bantuan Mesir “penculikan” pahlawan Rifkabilen itu. Dengan “penculikan” itu, Amir Abdulkarim dapat dibebaskan dan dibawa ke Mesir. Pemerintah Mesir kemudian memberi suaka politik kepadanya.

Peristiwa ini sangat menggemparkan dunia, khususnya Timur Tengah, sehingga Perancis kemudian menarik Duta Besarnya dari Kairo, padahal hubungan diplomatik Mesir dengan Perancis bukan main eratnya. Raja Farouk tidak mempedulikan hal itu, karena: “Sebagai Muslim, saya tidak bisa menolak permohonan orang yang meminta perlindungan. Apalagi jika dia seorang pejuang Islam yang gigih.”

AR Baswedan (Pahlawan Pejuang Republik Indonesia) dan Amir Abdulkarim Al-Khattabi (Pahlawan Pejuang Maroko).

Melalui cara yang berbelit-belit, dengan sedikit mengelabui petugas, akhirnya saya dapat menemui Amir Abdulkarim di tempat persembunyiannya. Suatu pertemuan yang mengesankan, penuh dengan hal-hal baru dan pengalaman-pengalaman yang dapat bermanfaat untuk perjuangan di Indonesia.

Ketika saya pamit, ia menyerahkan haiyah, seuntai tasbih, kepada saya. “Anakku, saya tidak punya apa-apa. Hanya tasbih ini yang selalu aku gunakan untuk menghitung kata-kata pujian dan permohonan kepada Allah selama 21 tahun aku di pengasingan Pulau Rignon. Dan kini, aku merdeka. Bawalah tasbih ini. Insya Allah, Tuhan akan menolongmu. Bukan tasbih ini yang menolong, akan tetapi kata-kata pujian dan doa (yang ditulisnya di buku notes saya) yang dihitung terus oleh tasbih ini, yang menyebabkan Allah menolongmu.

Pada saat itu, saya tidak begitu memandang penting masalah tasbih dari pahlawan Rifkabilen ini. Baru kemudian hari saya mengerti makna kata-katanya.

Perjanjian sudah ditandatangani. Semua merasa gembira dan bersyukur. Semua yang berurusan dengan Perjanjian itu, mulai dari para anggota Liga Arab, wartawan-wartawan Kairo, kaum intelektual di sana, begitu juga kalangan politik, memberikan dukungannya. Menarik untuk dianalisis, dukungan itu. Sebab kaum oposisi Partai Wafd pun memberikan dukungan hebat.

Satu hal yang dapat dikatakan tentang latar belakang bantuan dan dukungan itu, seperti diucapkan oleh Abdul Mun’im ketika ia berpidato di Istana Kepreidenan Yogya, tiga bulan sebelumnya, ikatan Islam inilah yang mendorong timbulnya dukungan kepada perjuangan bangsa Indonesia. Jiwa Islam mendidik kita untuk selalu menentang semua bentuk penjajahan yang pada dasarnya adalah perbudakan. Seperti tertulis di awal karangan ini, terasa sekali hangatnya persaudaraan itu.


Mengaku Agen Rahasia
Pesawat BOAC meninggalkan Kairo. Waktu itu tanggal 18 Juni 1947. Salah seorang penumpangnya adalah saya yang berangkat sendirian menuju Singapura.

Saat itu Haji Agus Salim, dengan gaya seorang jenderal, bicara: “Baswedan, bagi saya tidaklah penting apakah Saudara sampai di Tanah Air atau tidak. Yang penting dokumen-dokumen itu sampai di Indonesia dengan selamat!

Dokumen-dokumen yang saya bawa antara lain dari Raja Mesir, Farouk, dan dari Mufti Besar Palestina, Amin Al-Husaini.

Saya kemudian pamit dari beliau. Hanya satu yang kurang dari cara saya berpamitan, yaitu saya tidak memberi hormat (saluut) secara militer untuk melengkapi perintahnya yang seakan-akan diberikan oleh seorang komandan di medan pertempuran.

Sebulan sebelum beliau wafat, saya masih sempat ketemu dia di rumah putrinya, Yoyet, di Jalan Sagan,Yogyakarta. Dia masih saja keras kepala, mau menang sendiri, dan pintar bukan main. Masih persis seperti Haji Agus Salim yang saya kenal sejak zaman Belanda.

Saya katakan waktu itu: “Oude Heer memang kejam ketika memberi perintah saya pulang dari Mesir dengan dokumen perjanjian. Tega betul.” Dia cuma menjawab dengan senyum. Itulah tetangga, teman, dan guru saya dalam masalah-masalah politik. Semoga Allah membasahi terus makamnya dengan rahmat yang tak putus-putusnya.

Kesulitan demi kesulitan menimpa ketika saya berangkat ke Singapura. Pesawat terbang yang saya tumpangi mampir-mampir di Bahrain, Karachi, Calcuta, Rangon, baru akhirnya sampai di Singapura. Padahal tidak satu pun negeri-negeri itu memiliki perwakilan Indonesia. Bahkan nama Indonesia pun tidak dikenal. Saya terpaksa menggertak dengan mengaku agen rahasia undangan PM Nehru, ketika tempat duduk saya akan dicatut untuk orang lain di Calcuta. Kapal terbang yang saya tumpangi dua kali diganti, dari kapal terbang air ke kapal terbang biasa.

Anies Baswedan saat masih kanak-kanak bersama Ayahnya dan Kakeknya (AR Baswedan).

Akhirnya sampai juga di Singapura. Tak seorang pun menjemput di airport, sedang uang sudah betul-betul menipis. Almarhum Mr. Oetojo yang waktu itu menjadi Sekjen Kementerian Luar Negeri RI, tidak tahu menahu tentang kedatangan saya, dan tidak pula menolong saya yang kekurangan uang untuk pulang. Ditambah lagi dengan berita bahwa Kabinet Sjahrir sudah demisioner.

Untunglah masalah ini diketahui oleh seorang dermawan yang terkenal di Singapura, Ibrahim Assegaf (almarhum) dan seorang teman bernama Ali Talib Yamani. Mereka kemudian membantu saya karena simpatinya kepada perjuangan Indonesia. Terutama Saudara Ali Talib Yamani inilah yang mengusahakan sehingga saya mendapat tiket kapal terbang setelah sekian hari tertahan di Singapura, sebab perwakilan Belanda di Singapura tidak mau memberikan visa.

Dengan berbagai akal, akhirnya pada tanggal 13 Juli 1947, pesawat KLM yang saya tumpangi tinggal landas menuju Jakarta.

Airport Kemayoran tampak menegangkan. Penjagaan ketat, karena adanya ultimatum dari van Mook. Polisi Militer (dahulu Militer Polisi, MP) berkeliaran di mana-mana. Saya hanya bisa berdoa kepada Allah, memohon agar dapat lolos dari pemeriksaaan. Baru di saat itu saya teringat akan tasbih pemberian Amir Abdulkarim dan doa-doa yang diajarkannya.

Jari-jari tangan kanan menggenggam tasbih itu dan tangan kiri memegang aktentas catatan penting, sementara Naskah Perjanjian masih tetap di dalam sepatu! Aktentas itu masih aktentas lama yang saya bawa ke Kairo dengan kunci yang juga masih sering macet.

Entah bagaimana, aktentas, juga koper saya, lolos dari pemeriksaan. Petugas itu seperti sedang buta ketika saya lewat di depannya. Koper dan aktentas langsung saya sambar, untuk kemudian bergegas mencari taksi menuju kediaman Perdana Menteri Mr. Amir Sjarifuddin.

Alhamdulillah, aman!”, begitu kata saya sambil menaruh diri di jok mobil Austin yang meninggalkan Kemayoran.

Suasana pemakaman AR Baswedan, tampak dalam gambar Gus Dur dan Harmoko.

Presiden Sukarno Terheran-heran
Pagi-pagi tanggal 19 Juli 1947, saya terbang ke Yogyakarta bersama Perdana Menteri Amir Sjarifuddin untuk melaporkan kunjungan delegasi ke Mesir dan hasil-hasil yang dicapai, kepada sidang kabinet.

Presiden Sukarno merasa heran sekali melihat semua dokumen masih tetap utuh dalam sampul yang dilak (dilem). Hal itu hanya mungkin terjadi jika tidak terkena pemeriksaan, padahal airport Kemayoran sedang dijaga ketat oleh Polisi Militer.

Bagaimana kok bisa begitu, Saudara Baswedan?” tanya Bung Karno. Saya jawab singkat saja: “Untung.

Bersama dengan jawaban singkat itu ingatan saya melayang ke sebuah rumah kecil di luar kota Kairo. Kepada seorang pahlawan kemerdekaan di pengasingan yang bernama Amir Abdulkarim.

Siang itu juga saya langsung kembali ke rumah di Sala, dan bertemu keluarga. Begitu menggembirakan reuni keluarga itu, apalagi melihat putri yang baru saja dilahirkan beberapa hari sebelumnya. Bayi itu saya beri nama Luqyana yang berarti “Pertemuan Kita”.

Beberapa tahun yang lalu, kepada seorang pejabat tinggi di pemerintahan Orde Baru saya usulkan agar kepada orang-orang di Mesir yang berjasa dalam masalah Perjanjian Persahabatan, selagi mereka masih hidup, diberikan penghargaan. Paling sedikit pemerintah kita mengirim undangan agar mereka hadir pada upacara peringatan 17 Agustus di Istana Negara.

Usul itu diterima baik. Akan tetapi, sesudah sekian tahun, setelah orang-orang yang berjasa itu menjadi almarhum, usul itu tidak juga dilaksanakan.

Lukman Hakiem,
Peminat Sejarah,
Mantan Staf M Natsir,
Staf Ahli Wapres Hamzah Haz dan Mantan Anggota DPR
REPUBLIKA.CO.ID, 10 Jul 2020