Thursday, March 27, 2014

Dalam Cengkeraman Ilmu Dasar


Setiap bangsa punya pilihan: melahirkan atlet bermedali emas atau perenang yang tak pernah menyentuh air; melahirkan sarjana yang tahu ke mana langkah dibawa atau sekadar membawa ijazah. Tak termungkiri, negeri ini butuh lebih banyak orang yang bisa membuat ketimbang pandai berdebat, bertindak dalam karya ketimbang hanya protes. Tak banyak yang menyadari universitas hebat bukan hanya diukur dari jumlah publikasinya, melainkan juga dari jumlah paten dan impak pada komunitasnya.

Pendidikan kita masih berkutat di seputar kertas. Kita baru mahir memindahkan pengetahuan dari buku teks ke lembar demi lembar kertas: makalah, karya ilmiah, skripsi, atau tesis. Kita belum menanamnya dalam tindakan pada memori otot, myelin.

Seorang mahasiswa dapat nilai A dalam kelas pemasaran bukan karena dia bisa menerapkan ilmu itu ke dalam hidupnya, –misal memasarkan produk orang lain, minimal memasarkan dirinya– melainkan “hanya” karena ia sudah bisa menulis ulang isi buku ke lembar-lembar kertas ujian.

Pendidikan tinggi sebenarnya bisa dibagi dalam dua kelompok besar: dasar dan terapan. Pendidikan dasar itulah yang kita kenal sejak di SD: matematika, kimia, biologi, fisika, ekonomi, sosiologi, dan psikologi. Terapannya bisa berkembang menjadi ilmu kedokteran, teknik sipil, ilmu komputer, manajemen, desain, perhotelan, dan seterusnya.


Kedua ilmu itu sangat dibutuhkan bangsa bagi memajukan peradaban. Namun, investasi untuk membangun ilmu dasar amat besar, membutuhkan tradisi riset dan sumber daya manusia bermutu tinggi. Siapa yang menguasai ilmu dasar ibaratnya mampu menguasai dunia dengan universitas yang menarik ilmuwan terbaik lintas bangsa. Negara-negara yang berambisi menguasainya punya kebijakan imigrasi yang khas dan didukung pusat keuangan dan inovasi progresif.

Dengan bekal ilmu dasar yang kuat, bangsa-bangsa yang besar membentuk ilmu terapan. Amerika Serikat, Jerman, dan Inggris adalah negara yang dibangun dengan keduanya. Namun, sebagian negara di Eropa dan Asia memilih jalan lebih realistis: fokus pada studi ilmu terapan. Swiss fokus dengan ilmu terapan dalam bidang manajemen perhotelan, kuliner, dan arloji. Thailand dengan ilmu terapan pariwisata dan pertanian. Jepang dengan elektronika. Singapura dalam industri jasa keuangannya.

Tentu terjadi pergulatan besar agar ilmu terapan dapat benar-benar diterapkan. Pada mulanya ilmu terapan dikembangkan di perguruan tinggi untuk mendapat dana riset dan menjembatani teori dengan praktik. Akan tetapi, mindset para ilmuwan tetaplah ilmu dasar yang penekanannya ada pada metodologi dan statistik untuk mencari kebenaran ilmiah yang buntutnya ialah publikasi ilmiah.

Melalui pergulatan besar, program studi terapan berhasil keluar dari perangkap ilmu dasar. Ilmu Komputer keluar dari Fakultas Matematika dan Manajemen menjadi Sekolah Bisnis. Dari lulusan dengan “keterampilan kertas”, mereka masuk pada karya akhir berupa aplikasi, portofolio, mock up, desain, dan laporan pemecahan masalah.

Metodologi dipakai, tetapi validitas eksternal (impak dan aplikasi) diutamakan. Hanya pada program doktoral metodologi riset yang kuat diterapkan. Itu pun banyak ilmuwan terapan yang meminjam ilmu dasar atau ilmu terapan lain sehingga terbentuk program multidisiplin seperti arsitektur yang dijodohkan dengan antropologi atau arkeologi, akuntansi dengan ilmu keuangan.


Anak-anak kita
Kemerdekaan yang diraih program studi ilmu terapan di perguruan tinggi melahirkan revolusi pada tingkat pendidikan dasar. Bila kita mengunjungi pendidikan anak-anak usia dini, TK dan SD di mancanegara, kita akan melihat kontras dengan di sini. Alih-alih baca-tulis-hitung dan menghafal, mereka mengajarkan executive functioning, yang melatih anak-anak mengelola proses kognisi (memori kerja, reasoning, kreativitas-adaptasi, pengambilan keputusan, dan perencanaan-eksekusi).

Sekarang menjadi jelas mengapa kita mengeluh lulusan sarjana tak siap pakai: karena pendidikan kita didominasi kultur ilmu dasar yang serba kertas dan mengabaikan aplikasi. Perhatikan, hingga kini Indonesia masih menjadi negara yang mewajibkan lulusan sekolah bisnis (MM) menulis tesis yang pengujinya getol memeriksa validitas internal dengan metodologi yang sempit. Kegetolan ini juga terjadi pada banyak penguji program studi perhotelan atau ilmu terapan lain yang merasa kurang ilmiah kalau tidak ada pengolahan data secara saintifik.

Saya ingin menegaskan: hal itu hanya terjadi pada negara yang ilmu terapannya masih terbelenggu mindset ilmu dasar. Keluhannya sama: tak siap pakai, kalah dalam persaingan global.

Pertanyaannya hanya satu, kita biarkan terus seperti ini atau dengan legawa kita mulai pembaruan agar para sarjana ilmu terapan mampu menerapkan ilmunya? Itu semua terpulang pada kesadaran kita, bukannya malah mengabadikan kesombongan atau ego ilmiah masing-masing.

Rhenald Kasali,
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
KOMPAS, 18 Maret 2014

Thursday, March 13, 2014

Duduk Bersama


Saya rasa setiap orang pernah mengalami duduk bersama seseorang yang sama sekali tidak dikenal, misalnya ketika menunggu di tempat praktik dokter dan dokternya terlambat datang (ini hanya contoh, karena bisa juga terjadi di tempat lain).

Untuk mengatasi kebosanan biasanya salah satu mulai nyeletuk, “Dokternya lama, ya?” “Iya, padahal biasanya dia enggak pernah telat,” jawab yang lain. “Iya, padahal saya sudah buru-buru dari kantor, takut kena macet.
Iya, dokternya juga kena macet nih, barangkali. Ngomong-ngomong kantor Bapak di mana?
Di Jalan Thamrin. Di Bank Sejahtera Antarbangsa.
Loh, itu kan tempat anak saya bekerja?
Ah, serius? Nama anak Bapak siapa?
Adit. Dia di Bagian Hukum.
Wah, Adit itu anak buah saya. Saya Kepala Bagian Hukum di bank itu.
Wah, senang sekali ketemu Bapak.” Dan seterusnya mereka mengobrol, sehingga tidak disadari dokter sudah datang. Kisah berakhir dengan saling tukar nomor HP dan janji untuk saling kontak lagi.


Dalam ilmu psikologi komunikasi ada teori yang ditemukan oleh Joseph Luft dan Harrington Ingham yang dinamakan teori Jendela Johari (singkatan dari nama kedua penemu teori ini: Jo dan Harri).

Teori ini mengatakan bahwa dalam komunikasi antara dua orang, ada hal-hal yang diketahui bersama yang dinamakan wilayah terang (WT), ada yang diketahui oleh diriku saja, tetapi tidak diketahui oleh kawannya yang dinamakan wilayah rahasia (WR), tetapi ada juga yang diriku tidak tahu padahal orang lain tahu yang dinamakan wilayah buta (WB), dan yang terakhir adalah wilayah sama-sama tidak tahu (WSSTT).

Kalau keempat wilayah itu dibayangkan seperti sebuah jendela persegi empat yang terbagi dalam empat bagian dengan dua palang horizontal dan vertikal, maka bagian jendela kiri atas adalah WT, di bawahnya WR, di sebelah kanan wilayah terang adalah WB, dan bagian kanan bawah adalah WSSTT. Dalam contoh kasus di atas tadi, ketika kedua bapak itu baru bertemu, maka bagian wilayah terang (WT) adalah yang paling kecil.

Kedua bapak itu hanya sama-sama tahu bahwa mereka sama-sama lama menunggu dokter. Selain itu mereka juga sama-sama tahu bahwa mereka sama-sama laki-laki, yang satu berdasi karena baru dari kantor, yang satu lagi berkemeja biasa karena pensiunan dan juga pastinya yang satu lebih muda dan yang pensiunan lebih tua.


Tetapi pada akhir percakapan, WT itu makin lebar, karena masing-masing sudah saling tahu di mana tempat kerja mereka, di mana tempat tinggalnya, berapa anak masing-masing. Dan bahkan yang tadinya termasuk wilayah SSTT jadi masuk ke WT (wilayah terang), yaitu ketika ternyata mereka masih ada hubungan saudara. Itulah dialog dalam arti kata yang sebenarnya.

Sepertinya enak sekali dialog itu, kan? Karena itulah dalam isu-isu sosial, termasuk politik, sering diserukan untuk duduk bersama dan berdialog untuk mengatasi perbedaan pendapat, perselisihan, bahkan konflik. Maka konflik Ambon dan Poso dicoba diselesaikan melalui dialog di Malino (11-12 Februari 2002), walaupun Ambon dan Poso tidak langsung damai.

Baru beberapa tahun kemudian Ambon damai. Namun di Poso beberapa hari yang lalu dua anggota Brimob yang sedang patroli ditembak orang tak dikenal. Aceh berhasil didamaikan melalui dialog RI-GAM pasca-tsunami, 27 Juli 2005, yang difasilitasi oleh Pemerintah Finlandia. Tetapi baru beberapa hari yang lalu juga, kita baca di koran tentang seorang Caleg Partai Nasional Aceh (PNA) bernama Faisal, mati ditembak di Banda Aceh.

Masih banyak contoh lain yang bisa dideretkan di sini, termasuk misalnya konflik Mesuji, konflik Bima, konflik Sunni-Syiah di Sampang, Madura, persoalan gereja Yasmin di Bogor, dll, yang semuanya berlarut-larut, walaupun sudah berkali-kali didialogkan. Jadi intinya, dialog itu tidak mudah.


Kembali kepada teori Jendela Johari di atas. Seandainya saya baru saja dari toilet dan lupa menutup ritsleting celana kemudian keluar dari toilet dengan keadaan “pintu kandang” yang terbuka, maka saya tidak sadar bahwa “naga” peliharaan saya terlihat dari luar. Ini jelas merupakan WB (wilayah buta), karena saya tidak tahu, padahal semua orang yang melihat saya pada tahu.

Kalau kebetulan pada waktu saya keluar toilet tadi ada seorang rekan profesor pria yang melihat posisi “pintu kandang” saya yang terbuka, maka tentu rekan itu akan memberi tahu, “Mas, ritsletingnya belum ditutup.

Kemudian saya pun akan nengok ke bagian yang dimaksudnya, kaget sebentar, tetapi langsung menutup “pintu kandang” dan tersenyum sambil tersipu pada rekan tadi sambil berkata, “Oh, iya. Terima kasih, Mas.” Maka selesailah persoalan saya.

Lain halnya kalau yang bertemu saya setelah keluar dari toilet tadi adalah ibu-ibu dosen, atau mahasiswa putri (bisa juga mahasiswa laki-laki), dan sesudah itu saya langsung berceramah di seminar untuk ibu-ibu, bisa-bisa seharian “naga” saya jadi tontonan ibu-ibu (walaupun “naga” itu sebenarnya sudah dikasih baju), karena mereka yang bertemu saya tadi tidak ada yang berani memberi tahu saya.


Ketika saya tiba di rumah, tentu saja istri saya adalah yang pertama melihatnya, dan ia pun pasti menegur, “Mas, itu celanamu terbuka, tuh!Waduh! Bagaimana rasanya saya? Persoalan besar telah terjadi karena banyak orang yang tidak mau berbagi, ketika mereka tahu sesuatu yang saya tidak tahu.

Nah, jelaslah bahwa orang tidak selalu mudah untuk berkomunikasi, yang intinya adalah berbagi informasi. Apalagi untuk duduk bersama dan berdialog.

Alasannya mungkin malu, segan, tidak sopan, takut, dll. Dalam kasus lain, alasan gengsi, harga diri, status, ideologi dll., bisa menyebabkan orang tidak mau berbicara, mendengar atau menerima informasi dari orang lain. Semua itu hasilnya sama saja, tidak membuat hal-hal yang gelap menjadi terang.

Karena itu hati-hati sebelum bicara, sebelum dialog. Suasana hati yang senang, kesediaan untuk mendengar dan kesediaan untuk berbagi perlu disiapkan lebih dulu agar orang bisa berdialog dengan nyaman dan wajar.

Sarlito Wirawan Sarwono,
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 9 Maret 2014

Monday, March 10, 2014

Paradoks Demokrasi


Partai politik penuh dengan paradoks belakangan ini, termasuk Partai Demokrat (PD) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Mereka menunjukkan sikap yang saling bertentangan terhadap subyek yang sama sehingga akhirnya menimbulkan kontradiksi.

Pertama, mari kita soroti Partai Demokrat (PD). Partai ini di satu sisi sangat menekankan demokrasi, tecermin dari nama partai itu sendiri. Namun di sisi lain, mengapa para kadernya, terlebih para pemimpinnya, tak berjiwa demokratis? Gede Pasek Suardika dipecat sebagai anggota DPR tanpa bukti pelanggaran hukum negara ataupun melanggar konstitusi partai.

Diduga kuat Pasek didepak karena kedekatannya dengan Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum DPP PD) dan keterlibatannya sebagai sekjen di Perhimpunan Pergerakan Indonesia (ormas baru yang didirikan Anas). Maka, pada pertengahan September lalu Pasek dicopot dari jabatan Ketua Komisi III DPR.

Anas Urbaningrum dan Gede Pasek Suardika, bercengkerama ketika keduanya masih aktif di Partai Demokrat.

Cacat hukum
Anehnya, surat keputusan pemecatan Pasek dari Fraksi PD DPR diteken oleh Ketua Harian PD Syariefuddin Hasan dan Sekretaris Jenderal PD Edhie Baskoro Yudhoyono. Padahal, lazimnya sebuah organisasi, tanda tangan sekretaris jenderal selalu bersanding dengan tanda tangan ketua umum. Artinya, seharusnya yang meneken surat itu adalah ketua umum bersama sekretaris jenderal.

Maka, tidak salah apabila Ketua DPR Marzuki Ali, yang notabene juga Wakil Ketua Dewan Pembina PD, mengatakan surat pemecatan Pasek cacat hukum karena tidak memenuhi asas legal yang semestinya.

Inilah paradoks demokrasi itu. Bukankah selain sebagai kader PD, Pasek juga wakil rakyat? Apakah rakyat yang diwakili Pasek sudah ditanya oleh para pemimpin PD sebelum memutuskan pemecatan itu?

Di internal PD sendiri, apakah Pasek sudah diajak bicara secara terbuka dan diberi kesempatan membela diri? Sudahkah peringatan pertama sampai terakhir disampaikan sebelum Pasek diberhentikan?

Kalau itu semua jawabannya “tidak”, layaklah PD dikategorikan sebagai partai berlabel demokrasi minus pemimpin yang demokrat. PD hanyalah sebuah infrastruktur demokrasi yang tidak didukung nilai-nilai demokrasi.

Tentu, ini merupakan pembelajaran politik yang tidak baik bagi rakyat. Sebab, hakikat demokrasi bukanlah soal siapa yang lebih dominan memegang kekuasaan. Demokrasi juga tidak identik dengan proses pemilihan atau pergantian para elite. Demokrasi lebih menekankan terjadinya dialog yang terbuka dan setara di antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian, ruang-ruang partisipasi publik terbuka lebar dan benih-benih demokrasi berkembang sehat.

Joko Widodo alias Jokowi yang masih di bawah bayang-bayang Megawati.

Bergantung ketua
Paradoks kedua tampak di tubuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Partai ini juga sangat menekankan demokrasi sesuai namanya. Namun, lihatlah fenomena politik beberapa bulan belakangan ini. Dalam berbagai survei tentang figur calon presiden 2014 idaman rakyat, Gubernur DKI Jokowi yang juga kader PDI-P selalu menempati posisi teratas, melebihi Ketua Umum PDI-P yang juga mantan presiden, Megawati Soekarnoputri.

Pertanyaannya, mengapa hingga kini PDI-P tak kunjung mendeklarasikan Jokowi secara resmi sebagai calon presiden dalam Pilpres 2014? Jawabannya: menunggu restu Megawati.

Artinya, keputusan memajukan Jokowi atau tidak sangat bergantung pada Megawati. Soal kapan mendeklarasikan, itu pun bergantung pada instruksi Ketua Umum DPP PDI-P ini. Padahal, tak dapat dimungkiri, rakyat sudah gemas melihat sikap Megawati. Sampai-sampai banyak kalangan mengancam di media sosial untuk memboikot pemilu alias “golput” jika Jokowi tak segera dideklarasikan.

Inilah paradoks demokrasi berikutnya. Sebab, sejatinya demokrasi tak bergantung pada satu orang saja. Apalagi satu orang yang memegang kekuasaan lebih besar ketimbang orang-orang lainnya. Demokrasi mestinya berdiri di atas prinsip setiap orang setara dan setiap orang berhak mengemukakan pendapatnya. Terkait PDI-P dan Jokowi, mekanisme voting jelas lebih elegan dibanding terus-menerus menunggu (restu?) kapan Megawati mau bicara soal capres.


Budaya restu
Namun, mungkin kita maklum akan dua hal ini. Pertama, Megawati selama ini memang tak betul-betul pas untuk diidentikkan sebagai figur yang demokratis. Banyak kebijakan PDI-P harus melalui restu Megawati terlebih dulu sebagai sang pemilik otoritas sekaligus sosok yang sangat dominan di PDI-P. Megawati bagaikan patron, kader-kader lainnya ibarat klien yang harus memperlihatkan ketundukan total kepadanya.

Kedua, PDI-P selama dipimpin Megawati belum betul-betul mengalami transformasi politik yang modern menuju demokrasi dan karenanya belum sepenuhnya menghayati nilai-nilai demokrasi.

Dalam sistem demokrasi tersedia peluang untuk pergantian pemimpin secara terbuka. Artinya, siapa saja bisa menggantikan ketua umum sesuai aturan main yang berlaku. Pertanyaannya, siapakah yang bisa menggantikan Megawati sebagai ketua umum selama Megawati masih eksis? Sungguh sulit menjawabnya.

Sekarang dan ke depan, PDI-P dan Megawati patut memikirkan dua hal ini secara serius.

Pertama, jika betul-betul ingin menjadikan PDI-P sebagai infrastruktur politik yang modern, tidak ada pilihan lain bagi PDI-P kecuali bertransformasi untuk lebih menghayati nilai-nilai demokrasi. Ini penting demi terjadinya demokrasi yang diperluas dan diperdalam (widening and deepening democracy system) seperti yang dikatakan dua pemikir demokrasi, Juan J Linz dan Alfred Stephan (1996).

Kedua, jika ingin kembali berjaya seperti dalam Pemilu 1999, tidak perlu menunggu lebih lama lagi untuk memutuskan posisi Jokowi terkait Pilpres 2014.

Victor Silaen,
Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
KOMPAS, 3 Maret 2014

Sunday, March 2, 2014

L u p a


Kata seorang khotib dalam suatu khotbah Jumat, “Lupa itu karunia Allah. Cobalah kalau kita tidak punya lupa. Maka segala sesuatu akan terus diingat, termasuk bagaimana rasanya ketika kita sakit atau bagaimana sedihnya ketika ada kerabat yang berpulang, bahkan betapa banyaknya utang yang belum kita bayar. Bisa-bisa kita tidak bisa tidur dibuatnya.

Saya pikir benar juga khotbah dari khotib itu. Tengok saja betapa banyak orang yang berusaha keras untuk melupakan sesuatu. Seorang teman wanita sangat aktif dan ceria ketika sehari-hari bekerja di kantor, tetapi langsung depresi. Dia juga menangis sepanjang malam ketika tiba di rumah dan berbaring di kamarnya, sendirian, karena teringat usia sendiri yang sudah mendekati menopause, tetapi masih jomblo. Terbayang kawan-kawan kuliahnya dulu sudah punya anak-anak yang bersekolah di SMA.

Dia ingin melupakan semua itu, tetapi tidak bisa sehingga dia kurang tidur. Berbagai cara orang ingin memperoleh lupa, kalau perlu konsultasi ke psikolog dan membayar mahal. Tapi sekarang sudah ada teknik yang lebih singkat dan murah: hipnosisme. Dengan hipnosis seseorang yang fobia pada kucing bisa tiba-tiba tidak lagi takut pada binatang itu dan bahkan berani menggendong kucing, Teknik hipnosis bisa meng-amnesia-kan (melupakan) suatu hal tertentu tanpa melupakan hal-hal yang lain.


Sangat berbeda dari amnesia karena trauma kepala (kepala terbentur benda keras) atau karena dementia senilis atau yang dalam percakapan awam disebut faktor U (usia). Amnesia karena trauma kepala atau karena faktor U bisa mengosongkan sebagian besar atau bahkan seluruh isi ingatan. Bahkan namanya sendiri atau nama keluarganya, dia bisa lupa. Tapi yang paling jelek adalah kalau menghendaki lupa dengan cara mabuk-mabukan atau menyalahgunakan narkoba.

Dipandang dari sudut dunia akhirat pasti salah, deh! Meski begitu, karunia Allah ini bisa juga mengganggu. Saya sendiri mulai sering lupa pada nama orang, termasuk orang yang tiap hari ketemu. Ketika akan menyebut namanya tiba-tiba nama itu hilang dari ingatan sehingga saya harus menanyakan kepada orang lain, “Nama bapak itu siapa, ya?” Atau kalau orang itu mahasiswa saya, akan saya tanya langsung saja, “Hei, namamu siapa?” Biasanya kalau yang bertanya seperti itu dosen yang rambutnya sudah putih-keperakan semua, mahasiswa tidak akan marah.

Saya juga suka lupa pada kata-kata atau istilah-istilah, terutama dalam bahasa Inggris. Untung sekarang ada Google sehingga saya tidak perlu khawatir. Sewaktu-waktu saya lupa pada istilah, nama orang, nama tempat, atau peristiwa, tinggal search di Google, maka dalam beberapa detik sudah muncul jawabannya. Tapi lupa nama dan istilah ini tidak lama, nanti tiba-tiba yang barusan dilupakan itu bisa muncul sendiri dalam ingatan kita, terkadang hanya dalam hitungan detik. Bahkan sebelum orang yang saya tanya atau Google menjawab, hal yang ditanyakan itu sudah teringat lagi.


Jenis lupa yang lain masih banyak. Ada yang permanen seperti kasus-kasus dementia senilis di atas, yang harus senilis sampai wafat sehingga ketika seorang mbah yang baru wafat ditanya malaikat di dalam kubur, “Tanggal berapa dan jam berapa kamu meninggal dunia?” almarhum mbah ini tidak bisa menjawab karena lupa. Ada juga yang temporer seperti seorang profesor yang sering marah-marah mencari kacamatanya, padahal benda itu dari tadi sudah nangkring di atas kepalanya dan beliau sendiri yang meletakkannya di situ.

Namun, yang paling aneh adalah penduduk dan pemerintah Jakarta yang selalu lupa bahwa mereka pernah kebanjiran tahun yang lalu dan tahun yang lalunya lagi dan tahun yang lalunya lagi dan seterusnya. Begitu banjir surut, langsung lupa bahwa selama sebulan terakhir rumahnya terserang banjir beberapa kali, mengungsi, makan jatah bantuan masyarakat. Tapi tetap saja bila buang air ditahan-tahan dan kalau sudah tak tahan dibuang saja di mana-mana. Diungsikan dengan perahu karet. Basah. Listrik mati dan sebagainya. Semuanya lupa. Nanti ingat lagi kalau sudah datang banjir lagi.

Itulah sebabnya kita di DKI selalu mengalami masalah yang sama dari tahun ke tahun. Itulah sebabnya bangsa ini mengulangi lagi KKN yang dulu marak di era Suharto, bahkan kini makin dahsyat. Kita tidak pernah mau belajar dari pengalaman masa lalu. Dalam bahasa Bung Karno, kita ini cepat sekali melupakan sejarah, padahal kata beliau, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah (jasmerah).” Dalam bahasa psikoanalisis, lupa itu adalah salah satu bentuk defense mechanism (mekanisme pertahanan diri) dari ego (aku, kesadaran) seseorang.


Ego kita, tidak senang pada pengalaman-pengalaman pahit, kisah-kisah duka, dan trauma-trauma masa lalu yang pernah dialami. Maka hal-hal yang tidak dikehendaki itu ditekan kuat-kuat sehingga masuk ke dalam alam ketidaksadaran. Dalam teori stress solution dari Lazarus, kecenderungan untuk lupa adalah salah satu bentuk dari reaksi emosional (karena tidak senang, maka kita menghindar saja) ketika kita mengalami stres.

Padahal ada reaksi lain yang lebih cerdas, yaitu reaksi problem solving, yaitu kita tidak perlu cemas atau takut, kita hadapi saja masalahnya dan apa yang menjadi masalah kita selesaikan satu per satu sehingga masalah itu teratasi sampai tuntas. Sehingga banjir akan lenyap dari Jakarta dan KKN lenyap dari bumi Indonesia. Sikap berani menghadapi masalah dan langsung memecahkannya itulah yang masih sangat kurang di masyarakat bangsa Indonesia.

Kita lebih senang ngomongin masalah sampai berbusa-busa sambil menyalah-nyalahkan orang lain atau sekadar hepi-hepi saja daripada bersusah-payah menyelesaikan masalah. Karena itu kita bukan hanya terus membuang kasur bekas ke kali sehingga membuntukan saluran air, tetapi juga sengaja tidak peduli pada jasmerah.

Sarlito Wirawan Sarwono,
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 23 Februari 2014