Wednesday, July 30, 2008

Demokrasi oh, Demokrasi


Demokrasi memang menjengkelkan. Cara yang harus ditempuh memusingkan, hasil yang diraih jarang memuaskan.
Demokrasi tidak memberi kesejahteraan, tetapi justru melahirkan pertikaian dan pemiskinan. Rakyat yang seharusnya diposisikan sebagai penguasa tertinggi dalam arena perpolitikan, ironisnya, dijerumuskan dalam keterasingan. Intinya, demokrasi hanya melahirkan absurditas, keadaan yang tidak bisa dimengerti dengan kejernihan nurani atau akal waras.
Keadaan itulah yang menjadikan demokrasi gampang mendatangkan banyak kekecewaan. Kondisi buruk yang diembuskan demokrasi diperparah elite politik dan aparat penegak hukum yang menunjukkan aksi-aksi keblunderan. Simak misalnya, keputusan Mahkamah Agung (MA) yang memerintahkan pengulangan pemilihan kepala daerah Sulawesi Selatan di Kabupaten Bone, Gowa, Tana Toraja, dan Bantaeng. Bukankah ini menjadikan ketidakpastian berakumulasi?
Banyak perilaku wakil rakyat tidak mencerminkan aspirasi pemilihnya. Bahkan, opini publik sengaja disingkirkan guna mencapai aneka kepentingan sesaat. Bagaimana mungkin wakil rakyat memilih seseorang yang kredibilitasnya diragukan untuk memimpin komisi yang berperan melibas korupsi? Itu hanya sebuah contoh nyata tentang betapa demokrasi amat mencederai perasaan rakyat. Kasus-kasus pencederaan nurani sejenis itu mudah ditampilkan sehingga membentuk statistik politik yang mengundang kegeraman.
Bukan kebetulan jika Wapres Jusuf Kalla yang juga ketua partai besar berujar, demokrasi cuma cara, alat, atau proses, dan bukan tujuan. Demokrasi boleh dinomorduakan di bawah tujuan utama peningkatan dan pencapaian kesejahteraan rakyat. Inikah tanda-tanda zaman tentang kejenuhan dan kemuakan terhadap demokrasi? Jika elite politik diselimuti gejala kemualan terhadap demokrasi, bagaimana dengan rakyat yang telanjur percaya pada janji-janji manis demokrasi?

Kritik Plato
Bagaimana kita bisa keluar dari labirin demokrasi? Salah satu jawaban yang dapat dikedepankan adalah jika kita bisa membaca dengan baik pengkritik demokrasi. Kecaman atas pelaksanaan demokrasi bukan fenomena yang sama sekali baru. Filsuf Plato (428-348 SM) mengingatkan, demokrasi merupakan kekuasaan yang menunjukkan kemerosotan jiwa. Plato memberi resep, negara seharusnya dikendalikan filosof-raja.
Perpaduan kedua sosok itu niscaya akan menyembuhkan berbagai bobrok demokrasi, dan otomatis negara dipimpin oleh pencinta kebijaksanaan yang mengetahui hakikat kebenaran dan keadilan. Dan sosok ini mampu menerapkan aneka gagasan itu dalam praktik perpolitikan.
Seperti diuraikan Mark Moss (A Critical Account of Plato’s Critique of Democracy), Plato mengecam demokrasi karena tiga alasan.
Pertama, demokrasi mengarah pada "aturan gerombolan" yang dengan kekuasaannya menjadi kaki tangan "pencari kenikmatan" yang tujuan utamanya kepuasan dari hasrat yang sesaat.
Kedua, demokrasi mengarah pada aturan yang dikendalikan kaum pandir yang memiliki keterampilan retorika, namun tidak memiliki pengetahuan yang benar.
Ketiga, demokrasi mengarah pada ketidaksepakatan dan pertikaian yang secara intrinsik buruk dan harus dihindarkan.
Kritik Plato atas demokrasi memang meyakinkan, dan persis seperti yang kita alami. Solusi yang ditawarkan Plato sekilas menjanjikan. Tetapi, siapa yang kini pantas dianggap figur manifestasi perpaduan filosof-raja? Jika dibaca dalam perspektif berkebalikan, kritik Plato dapat digunakan untuk memperbaiki demokrasi.
Sistem perwakilan yang didominasi partai politik amat rentan melahirkan kekuasaan kaum gerombolan. Ini menunjukkan, seleksi dan pengawasan yang ketat harus diaplikasikan untuk memilih elite politik berkredibilitas tinggi.

Masalah moralitas
Kelihaian elite politik dalam bersilat lidah harus dipatahkan. Mekanisme yang dapat dijalankan adalah dengan melakukan evaluasi terhadap kemampuan elite politik dalam berkomunikasi. Sebab, demokrasi berproses dalam diskursus. Tetapi, diskursus dalam demokrasi tidak identik adu mulut penuh kekosongan.
Diskursus yang berlangsung dengan pemakaian bahasa itu, seperti ditegaskan Jurgen Habermas (dalam Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, 2000: 221-222), harus memuat empat klaim, yakni kejelasan, kebenaran, kejujuran, dan ketepatan. Jika salah satu klaim tidak terpenuhi, proses yang terjadi bukanlah komunikasi, tetapi manipulasi.
Demokrasi memang tidak setara dengan pertikaian tanpa ujung. Untuk meraih pengambilan keputusan dalam demokrasi, lazim dijalankan dengan mekanisme suara terbanyak. Namun, prosedur ini amat rentan menghasilkan permufakatan jahat. Bukankah suara terbesar belum tentu menjadi cermin kebaikan?
Cara terbaik lain yang dapat ditempuh adalah konsensus. Pada domain ini, rasionalitas tujuan yang hanya mengatasnamakan rakyat dan menjadikannya alat untuk bertikai wajib dihilangkan. Rasionalitas komunikatif harus dikerahkan guna mencegah distorsi politik dengan kesengajaan. Artinya, demokrasi mewajibkan praktik deliberasi, yakni keterlibatan dan kemampuan rakyat dalam mengawasi setiap pengambilan keputusan.
Akhirnya, demokrasi bermuara pada masalah moralitas. Kemerosotan demokrasi lebih banyak disebabkan oleh elite politik yang tidak memiliki integritas moral. Integritas moral bukan sekadar bermakna kehidupan pribadi elite politik telah berkesesuaian dengan persetujuan publik. Integritas moral, ungkap Matthew Collins (dalam Integrity, Sincerity, and the Truth, 2003), berarti terciptanya kesatuan antara nurani yang secara internal terdapat pada manusia, perilaku eksternal yang dapat dilihat secara fisik, dan kepatuhan pada hukum moral.
Integritas moral pada demokrasi adalah keutuhan perasaan, pikiran, dan tindakan yang mengutamakan kepentingan rakyat. Pelanggaran integritas moral adalah pengkhianatan demokrasi. Jangan berharap pada demokrasi jika elite politik tidak mengenal integritas moral!
Triyono Lukmantoro, Dosen Etika Profesi Komunikasi pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro, Semarang. KOMPAS, 11 Januari 2008

No comments: