Wednesday, January 28, 2009

Tanaman Badri Tumbuh Jadi 2 Tulisan


Menanam untuk Sempurnakan Hari

”Untuk menanam pohon itu, terutama yang diperlukan adalah niat orangnya. Di mana saja, sebenarnya kita dapat menanam. Perhatikan sekitar rumah atau lingkungan kita, pasti ada tempat untuk ditanami pohon,” kata Badri Ismaya.

Badri Ismaya adalah pelopor penghijauan di lereng- lereng bukit di kawasan Puncak yang rusak akibat penjarahan besar- besaran pada awal era reformasi tahun 1998. Warga Kampung Caringin, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, ini nyaris setiap hari ke luar dari rumah. Ia berkelana dari satu lereng ke lereng lain untuk menanam pohon.

Bagi laki-laki berkulit gelap ini menanam adalah hal yang mudah. Ia hanya perlu berbekal ”senjata” kecil yang disebutnya coredan. Dengan coredan, Badri membuat lubang kecil di tanah dan merobek kantung plastik (polybag) berisi bibit. Bibit pohon itu lalu ditekannya hingga melesak masuk ke dalam lubang. Tangan sedikit kotor, tetapi itu juga bagian dari asyiknya menanam. ”Sehari saya menanam sepuluh pohon, lama-lama lahan terbuka itu ketutup juga,” katanya.

Demikianlah yang dipraktikkan Badri dalam keseharian hidupnya. Dia terus menanam pohon sejak 1975. Badri akan merasa pusing dan tak sempurna menjalani hari jika ia tidak menanam pohon. Bahkan, ketika dia benar-benar sakit, menanam pohon adalah obatnya.

Ke mana pun pergi, ketika diundang desa tetangga atau institusi lain sebagai pembicara, Badri sengaja membawa bibit pohon untuk ditanam di tempat itu. Ia bahkan memiliki peta kawasan penanaman pohon, hasil dari penjelajahannya di sekitar Puncak saat menghijaukan lahan rusak.

”Semoga Allah memberi saya panjang umur dengan badan sehat. Masih banyak lokasi di Cisarua ini yang ingin saya tanami. Anak bungsu saya kayaknya mengikuti jejak saya, dia suka menanam. Dia suka menemani saya menanam. Kadang dia pergi sendiri membawa bibit, entah menanam di mana,” katanya.

Ia merasa bersyukur, masalah penghijauan tidak asing lagi bagi masyarakat meski tingkat partisipasinya masih rendah. Menurut Badri, pada acara seremonial gerakan menanam akan lebih bermakna jika para tokoh panutan masyarakat benar-benar memperlihatkan cara menanam, mulai dari menggali lubang sampai menutup bibit pohon dengan tanah.

”Kalau sekarang kan lubang sudah disediakan, bahkan sekitar lubang diberi karpet agar sepatunya tidak kotor. Bukan begitu mencontohkan cara menanam,” katanya.

Namun, Badri tak mau menyalahkan. Ia justru berusaha memahami dengan berpikir mungkin proses kesadaran menanam saat ini baru sebatas seremonial. Ia yakin suatu saat nanti menanam akan menjadi kebiasaan masyarakat.

Ini sama seperti proses panjang yang Badri alami sampai dia dikenal sebagai penyelamat lingkungan hulu Sungai Ciliwung dan mendapat berbagai penghargaan atas usahanya melestarikan lingkungan.

Ditegur pohon
Badri bertutur, ia pernah jadi perusak hutan kawasan Puncak. Dulu, demi menghidupi keluarga, ia bersama beberapa teman suka masuk hutan dan menebangi pohon untuk dicuri kayunya. Semua itu dilakoninya tahun 1975-1979 sehingga ratusan pohon musnah di tangannya.

Dia berhenti merusak alam setelah mendapat teguran halus dari ”korbannya”, sebatang pohon yang ditebangnya pada Jumat, 6 Oktober 1979. Pada tengah hari bolong itu, Badri seharusnya melaksanakan shalat Jumat, tetapi ia justru sibuk menebang pohon.

”Setetes air jatuh di kepala saya. Hanya setetes, tetapi membuat badan saya segar. Keletihan saya menebang dan memikul kayu langsung hilang. Saya cari-cari dari mana asal tetes air itu, ternyata dari akar pohon yang saya tebang. Saya terkejut. Saya duduk terdiam, merenungkan tetes air itu,” tuturnya.

Sejak Jumat itu dia menjadi gundah. Selama satu tahun kemudian, Badri masuk-keluar hutan sekadar membuktikan bahwa pohon benar-benar menyimpan air. Ia korek bagian bawah pohon untuk menemukan akarnya. Dia potong sedikit akar itu untuk melihat air yang keluar dari ujung akar yang terpotong.

”Akar-akar itu memang mengeluarkan air. Ada yang sedikit, ada yang banyak. Saya tampung air yang keluar dari akar dengan kantung plastik. Sejak tahun itu pula saya berjanji tidak lagi menebang pohon dan akan terus menanam pohon sampai ajal menjemput,” kata laki-laki yang memiliki empat anak dan tiga cucu ini.

Keputusan Badri itu tentu saja mendatangkan masalah. Dahlia, sang istri, sempat marah karena penghasilan Badri menjadi tak efektif untuk membiayai rumah tangga. Bukan itu saja, Badri juga kerap dianiaya biong (spekulan) tanah dan para penjaga keamanan vila-vila di kawasan Cisarua. Sebab, dia akan menanam pohon apa saja di lahan kosong atau telantar yang ternyata ”milik” atau diincar biong tanah. Bahkan, Badri pernah disekap di pos keamanan sebuah vila.

Namun, Badri tak kapok. Lambat laun, setiap orang di sekitar dia, yang dulu memusuhi dan keberatan dengan pilihan hidupnya, belakangan ini justru menggebu-gebu dukungannya.

Ia sering mendapat kiriman buah yang ternyata hasil dari pohon yang bertahun-tahun lalu ditanamnya. Dari menanam jamur merang, ia mendapat kucuran rezeki. Kebahagiaan pada usia senjanya ini ditambah dengan lulusnya dua dari empat anaknya sebagai sarjana komputer dan sarjana kimia.

”Saya tidak pernah memaksa orang lain untuk menanam pohon. Saya hanya ingin menanam pohon sebab saya yakin pohon adalah sumber kehidupan. Saya ingin menyempurnakan hari-hari yang saya jalani ini dengan menanam pohon, sesuai janji kepada Tuhan,” katanya.

Sumur resapan
Selain menjadi pelopor penanam pohon di lahan kritis sekitar Cisarua, Badri juga yang memulai pembuatan dan penggunaan sumur resapan di kawasan itu. Sekitar 1985, saluran air yang berada di sisi jalan di atas kampung tersumbat. Airnya membanjiri rumah Badri.

Ia lalu berinisiatif membuat lubang di halaman rumah dan diisinya dengan bebatuan, ijuk, dan material lain. Air buangan selokan dia arahkan masuk ke sumur resapan tersebut. Setelah itu, banjir tak datang lagi.

”Sejak itu mulailah para tetangga ikut membuat (sumur resapan). Saya juga sering dipanggil ke daerah lain, seperti Jakarta sampai Palembang. Saya diundang untuk bicara di Malaysia dan Singapura tahun 2001, juga ke Filipina pada 2005,” kata Badri yang senang berbagi pengalaman dengan siapa pun yang menginginkannya. (NELI TRIANA/ J WASKITA UTAMA)

Ratih P Sudarsono, KOMPAS, 19 Januari 2009


Badri

Setitik air menetes ke kepalanya, dan sejak saat itu Badri seakan-akan dilahirkan kembali. Ia jadi seseorang yang baru.

Kisahnya saya baca dalam Kompas 19 Januari yang lalu. Kisah itu membuat saya percaya bahwa jangan-jangan ada mukjizat, kata lain dari sesuatu yang menakjubkan. Mukjizat dalam versi ini tak datang ke dunia secara spektakular. Ia menyusup dalam berkas-berkas kecil.

Badri tinggal di sebuah kampung yang merupakan bagian dari Desa Tugu Utara, di Kecamatan Cisarua, Bogor. Bertahun-tahun lamanya, lelaki yang kini berumur 60 tahun itu jadi tukang babat hutan. Bersama beberapa temannya, ia ke luar masuk kawasan Puncak yang waktu itu rimbun dan sejuk. Dengan gergaji dan parang mereka tebangi pohon-pohon untuk dipotong-potong dan dijual sebagai kayu bakar. Empat tahun lamanya, sejak tahun 1975, sejak ia berumur 36 tahun, Badri mendapatkan nafkahnya dengan merusak hutan.

Tapi sesuatu terjadi di sebuah hari di bulan Oktober tahun 1979.

Siang itu ia tak pergi bersembahyang Jum’at. Sejak pagi ia terus saja menebangi pohon. Di tengah hari, ketika siang jadi terik, ia beristirahat sejurus. Ia duduk. Mendadak, katanya, seperti dikutip Kompas, setetes air jatuh ke kepalanya.

“Hanya setetes,” katanya, “tetapi membuat badan saya segar. Keletihan saya menebang pohon dan memikul kayu langsung hilang.”

Ia pun melihat ke sekeliling, mencari dari mana tetes air itu datang. Ternyata, butir bening yang sejuk itu jatuh dari pokok yang baru ditebangnya. “Saya terkejut”, kata Badri. “Saya duduk terdiam, merenungkan tetes air itu.”

Sejak hari itu – ia ingat tanggalnya dengan persis, 6 Oktober 1979 – ia gundah. Ia kembali masuk ke luar hutan, tapi kali ini tidak untuk menebang, melainkan untuk membuktikan bahwa pohon-pohon memang menyimpan air di tubuh mereka, di akar mereka yang masuk ke tanah. Setelah ia menemukan kenyataan itu sendiri, ia pun yakin. Ia pun bertekad. “Sejak tahun itu pula saya berjanji tidak lagi menebang pohon”, tuturnya. Bahkan ia bersumpah akan terus menanam sampai akhir hidupnya.

Maka hampir tiap hari ia membawa coredan, alat pembuat lobang kecil di tanah tempat akan dipendamnya bibit. Hampir tiap hari, dengan tubuhnya yang tua, kurus tapi liat, dilapisi kulit yang hitam legam terbakar matahari, Badri mengembalikan ke bukit-bukit di Puncak daun dan dahan dan akar hutan tropis. Ia menebus. Ia memulihkan. Ia tak mau lelah. Kakek itu menampik sakit.

Janji itu tak mudah. Ia kehilangan sumber nafkahnya: sang pencuri kini jadi sang pemberi. Isterinya marah. Hidupnya sendiri tak selamanya aman. Badri menciptakan musuh. Beberapa kali ia ditangkap dan dianiaya para spekulan tanah dan petugas keamanan villa-villa di kawasan Cisarua. Sebab ia tak ragu untuk menanam pohon apa saja di tanah kosong mana saja – yang tak jarang kepunyaan orang tapi dibiarkan terlantar atau sedang dibidik untuk diperjual-belikan.

Ia melakukan itu sejak 1979. Sampai sekarang: sebuah kesetiaan non-institusional. Yang mengarahkannya bukanlah satu program, satu lembaga, atau ajaran, melainkan sebuah “kejadian”.

Kata “jadi” – sebuah kata dalam bahasa Indonesia yang tak mudah diterjemahkan — menggambarkan perubahan yang-potensial ke dalam yang-aktual, yang-belum ke dalam yang-sudah. “Kejadian” juga mensugestikan sesuatu yang tak rutin dan terkadang menakjubkan. Jika yang dialami Badri dan yang membuat dirinya berubah kita sebut sebuah mukjizat itu karena semuanya berlangsung di sebuah masa ketika hal demikian sungguh tak lazim. Inilah masa ketika orang berbuat segala sesuatu konon dipacu oleh kepentingan-diri.

Kita bayangkan Badri: tetesan air itu membuatnya terguncang, tapi dengan segera jadi sebuah tekad, pada 6 Oktober 1979 itu. Dengan itu Badri tak merasa perlu bertanya untuk siapa dia menanam pohon tiap hari selama tiga dasawarsa.

Ia seorang militan. Tapi seorang militan lain mungkin akan mengorbankan dirinya untuk sesuatu yang tertutup, misalnya kaum atau pihaknya sendiri. Militansi Badri tidak demikian: ia bekerja untuk sesuatu yang tak berpuak. Ia menjangkau sesuatu yang secara universal terbuka. Pohon-pohon itu tumbuh dan hutan itu akan kembali rimbun untuk siapa saja, bahkan untuk manusia dalam geografi dan generasi yang tak akan ia kenal.

Mungkin orang akan mencemooh Badri: ia naif. Ia tak berpikir bahwa bila Puncak jadi hijau kembali, bila hutan tumbuh dan menyimpan air, yang akan menikmatinya terutama orang yang berduit dan berkuasa. Pendeknya, niat untuk menjangkau sesuatu yang universal itu bodoh, melupakan bahwa “sesama” tak pernah “sama”, kecuali sebagai angka statistik.

Tapi saya tak akan mencemooh Badri. Ia mungkin tahu tapi mungkin juga tidak bahwa orang-orang kaya di Jakarta adalah perusak hutan yang lebih buas ketimbang para pencuri batang pohon seperti dia sebelum 1979. Orang-orang berduit dan berkuasa membangun vila dan membedah lereng, memakai mobil dengan karbon dioksida yang paling ganas, dan mengkonsumsi sandang-pangan dengan rakus hingga segala yang alami dikorbankan. Tapi salahkah Badri bila ia terus menanam pohon di bukit itu?

Saya kira kita perlu melihat bahwa kisah orang ini, yang bernama lengkap Badri Ismaya (dan “Ismaya” adalah Semar dalam wayang, jelata yang juga dewata), adalah sebuah cerita penebusan yang mendasar: di zaman yang dibentuk oleh keserakahan manusia, Badri jadi sebuah antidot. Ia menangkal kerakusan. Ia tak mengambil. Ia menyumbang.

Agaknya ia tak ingin kita membunuh diri dengan saling menghancurkan, setelah putus asa melihat diri sendiri sebagai unsur yang keji di planet bumi. Agaknya ia ingin manusia seperti pohon hutan: makhluk yang luka tapi memberi tetes air dan keajaiban.

Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir Majalah Tempo Edisi 26 Januari 2009

No comments: