Tuesday, January 29, 2013

Kualitas Pendidikan, Budaya, dan Uang


Metode pembelajaran harus mampu membahagiakan anak (seperti di Finlandia) sekaligus harus menyehatkan badan (seperti di Korea Selatan), serta harus memperkuat jati diri dan budaya bangsa, serta memberi kesadaran kepada anak dan para orang tua untuk cinta belajar sepanjang hayat (seperti di negara-bangsa bertradisi Konfusian).

Pada 27 November 2012, lembaga penelitian Pearson mengumumkan hasil rangkuman analisis kuantitatif dan kualitatif yang ditulis oleh Economist Intelligence Unit tentang kemampuan para siswa serta kinerja lembaga-lembaga pendidikan di seluruh dunia, The Learning Curve. Mereka antara lain merujuk pada hasil beberapa tes internasional (OECD-PISA, TIMMS dan PIRLS) yang membuat peringkat kecerdasan para siswa aneka bangsa.

Kurva pembelajaran itu menampilkan peringkat yang menunjukkan bahwa Finlandia (populasi 5,3 juta jiwa) dan Korea Selatan (populasi 48 juta jiwa) kini merupakan dua negara “superpower pendidikan.” Di belakangnya, yang masuk dalam lima besar adalah Hong Kong, Jepang, dan Singapura.

Lima peringkat berikutnya ditempati oleh Inggris, Belanda, Selandia Baru, Swiss, dan Kanada. Amerika Serikat berada di peringkat ke-17. Indonesia berada di mana? Sebagaimana ditunjukkan oleh hasil berbagai uji kemampuan (sains, matematika, membaca, dan pemecahan masalah) dalam sepuluh tahun terakhir, kemampuan para siswa Indonesia berada di dasar jurang (peringkat ke-40), di bawah Kolombia, Thailand, Meksiko, dan Brasil.


Bahagia Belajar
Mengapa Finlandia, negeri liliput di Eropa itu, selalu berada di puncak peringkat dunia? Itu karena, antara lain, sistem pendidikannya dibangun berdasarkan prinsip-prinsip: berkualitas, efisien, berkeadilan, berlangsung sepanjang hayat. Penyelenggaraannya bersifat santai dan fleksibel. Negara bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan dasar sembilan tahun yang bermutu untuk seluruh warga negara secara gratis. Para siswa tidak dibebani terlalu banyak mata pelajaran, jam belajar di sekolah sedikit (sesuai dengan kebutuhan siswa, dari dua sampai delapan jam sehari), dan mereka dibolehkan berbahagia belajar menekuni bidang yang diminatinya. Kuncinya adalah: guru yang bermutu-bermartabat, dan sistem pengajarannya efektif.

Seperti Finlandia, Korea Selatan juga melakukan reformasi pendidikan sejak awal 1990-an. Namun, berbeda dengan Finlandia, sistem pendidikan di Korea Selatan berlangsung lebih tegang dan rigid, dengan berbagai tes dan hafalan. Namun, seperti di Finlandia, Korea Selatan juga tanpa henti meningkatkan kualitas dan harkat para gurunya, serta menekankan bahwa semua langkah di bidang pendidikan memiliki nilai dan misi moral yang luhur.


Tiga Tahap
Ada tiga tahap yang ditetapkan pemerintah Korea Selatan dalam strategi pembangunan sumber daya manusianya. Untuk mendukung tekad pemerintah menggenjot pertumbuhan ekonomi, dengan anggaran negara terbesar dialokasikan untuk jenjang SD dan SMP (86 persen), pada tahap pertama (tahun 1960-an), sekolah-sekolah diprogram menciptakan tenaga buruh kasar (lulusan SD) untuk kebutuhan industri padat karya dan manufaktur. Tahap kedua (tahun 1970-1980), seiring dengan kemajuan pesat ekonominya, sekolah-sekolah mempersiapkan tenaga kerja bagi industri berat dan kimia yang padat modal (lulusan SMA).

Tahap ketiga (1990 sampai sekarang), Kementerian Pendidikan berfokus pada penciptaan tenaga kerja berpendidikan tinggi untuk mendukung industri teknologi, elektronik, dan industri berbasis ilmu pengetahuan lainnya. Untuk itu, sejak tahun 2000, seluruh sekolah dari SD hingga perguruan tinggi dilengkapi komputer dengan akses Internet berkecepatan tinggi.

Hasilnya? Hanya dalam waktu sekitar 25 tahun sejak reformasi pendidikan dimulai, Korea Selatan kini bertakhta di puncak kedua dunia. Itu melengkapi prestasinya di bidang industri elektronik dan koneksi internetnya yang di peringkat satu. Kok bisa? Catatan sangat penting dalam analisis The Learning Curve adalah bahwa, untuk menghasilkan pendidikan berkualitas, uang memang penting, tetapi yang lebih penting daripada uang adalah besarnya dukungan kultur lingkungan terhadap pendidikan.

Untuk mengimbangi pembangunan domain kognisi yang sarat dengan hafalan dan ulangan, pemerintah Korea Selatan pun menggalakkan pelajaran seni dan olahraga bagi para siswa sejak SD. Itulah dasar-dasar bagi pembentukan jati diri bangsa dan karakter. Yang dibangun di sekolah bukan hanya kecerdasan otak, tapi juga seluruh tubuh, melalui berbagai macam olah seni dan olah raga yang, untuk itu pun, bangsa Korea Selatan mampu mencatatkan prestasi internasional: taekwondo, basket, bulu tangkis, bahkan tim sepak bolanya berhasil mencapai babak kualifikasi Piala Dunia selama delapan kali berturut-turut, dan itu merupakan rekor terbanyak di Asia.


Tradisi Konfusianisme
Konfusianisme Korea (Yugyo) merasuk ke dalam darah bangsa dan menjadi fondasi kebudayaan yang mengatur sistem moral, pola kehidupan, dan hubungan sosial antar-generasi serta dasar bagi banyak sistem hukum. Sebagaimana diketahui, spirit Konfusianisme mengajarkan bahwa, untuk menjadi sempurna, manusia harus menjalani pendidikan dan latihan yang keras dan terus-menerus. Kualitas itulah yang secara sosial akan menempatkan seseorang di puncak status (meritokrasi). Itulah yang mendorong para orang tua Korea berusaha menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi. Itulah semangat kebudayaan yang melahirkan “demam pendidikan” dan terbukti menempatkan Korea Selatan berada di puncak hierarki dunia. Adalah spirit Konfusianisme juga yang, sebagaimana ditunjukkan oleh The Learning Curve, menempatkan Hong Kong, Jepang, dan Singapura berada di lima besar.


Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia agar mampu mengangkat bangsanya dari dasar jurang? Uang memang penting, tapi budaya jauh lebih penting! Hentikan politik diskriminasi pendidikan yang membangun kasta-kasta sekolah unggulan yang berbiaya mahal! Hentikan ujian nasional yang tidak hanya memboroskan dana, tenaga dan waktu, tapi juga lebih parah dari itu, hanya menjadi pemicu “kriminalitas pendidikan” dan memberikan ukuran menyesatkan tentang peringkat kecerdasan seseorang. Lebih tragis lagi, ujian nasional telah menghancurkan tujuan pendidikan: bukannya membangun karakter dan akhlak mulia, melainkan menjadikan para anak didik sebagai hamba angka, peringkat, dan ijazah!

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus mampu membangun lembaga-lembaga pendidikan yang bermutu, murah, dan adil serta bisa diikuti oleh seluruh warga negara. Metode pembelajaran harus mampu membahagiakan anak (seperti di Finlandia) sekaligus harus menyehatkan badan (seperti di Korea Selatan), serta harus memperkuat jati diri dan budaya bangsa, serta memberi kesadaran kepada anak dan para orang tua untuk cinta belajar sepanjang hayat (seperti di negara-bangsa bertradisi Konfusian). Itulah makna dari lirik lagu kebangsaan kita: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya.”

Yudhistira ANM Massardi
Penulis Buku Pendidikan Karakter dengan Metode Sentra,
dan Pengelola Sekolah Gratis TK-SD Batutis Al-Ilmi di Bekasi

KORAN TEMPO, 26 Januari 2013

No comments: