Saturday, March 16, 2013

Kekuasaan Itu Memabukkan


Kekuasaan itu enak sekaligus memabukkan dan membuat ketagihan adalah fakta yang tak bisa dipungkiri. Bayangkan, orang yang berkuasa adalah orang yang bisa menikmati berbagai fasilitas dan kemudahan yang didambakan oleh semua orang.

Semua keperluannya bisa dipenuhi, ditemani pengawal dan ajudan, dijemput sambil dielu-elukan dengan meriah, serta dihormati secara berjongkok kalau berkunjung ke suatu tempat. Maka itu, banyak orang yang mabuk dan kecanduan kekuasaan. Untuk mendapat atau mempertahankan kekuasaan, orang-orang yang mabuk kekuasaan kerapkali bertingkah aneh-aneh tanpa risih.

Misalnya, ada yang berusaha menjilat orang berpengaruh agar diendorse, ada yang membayar “tukang survei” agar namanya dimasukkan dalam survei-survei popularitas dan elektabilitas, bahkan ada yang membeli “tukang survei” agar namanya diletakkan pada urutan nomor satu sebagai orang yang paling populer atau paling elektabel. Orang yang lagi mabuk kekuasaan itu –kalau namanya masuk di peringkat atas sebuah hasil survei– akan memuji-muji lembaga survei yang merilisnya sambil mengatakan bahwa survei itu objektif dan benar.


Tetapi sebaliknya, jika namanya tak masuk dalam hasil survei sebagai orang yang layak memimpin, dia cemberut dan menuduh lembaga survei itu dibeli orang. Cara lainnya adalah dengan mengklaim hasil-hasil survei internal yang dimilikinya dan meyakinkan pihak lain bahwa hasilnya jauh berbeda dengan hasil survei yang dilakukan oleh orang lain. Di tengah-tengah masyarakat pun ada penyurvei-penyurvei yang tak jelas keahlian dan akuntabilitas serta metodologinya, tepatnya penyurvei dadakan. Mereka bisa merilis hasil survei yang memang sudah dipesan sebelumnya. Ada orang yang menurut hasil berbagai lembaga survei tak bunyi, tetapi tiba-tiba muncul menjadi orang yang paling populer dan paling elektabel di sebuah lembaga survei dadakan tersebut.

Ya, karena kekuasaan itu memabukkan, di dalam masyarakat ada tukang pesan hasil survei dan ada juga penyurvei bayaran yang memang kerjaannya menjual hasil survei sesuai pesanan. Selain istilah “mabuk” kekuasaan, ada juga istilah “kecanduan” kekuasaan. Kecanduan kekuasaan biasanya dilekatkan kepada orang yang sudah pernah menduduki kekuasaan, tetapi takut kehilangan kekuasaan atau ingin mendapatkannya lagi. Ada banyak contoh yang bisa saya sebutkan dalam kaitan dengan kecanduan kekuasaan berdasarkan pengalaman saya menangani kasus-kasus di Mahkamah Konstitusi (MK).

Di dalam kasus sengketa pemilu kepala daerah misalnya, banyak sekali kepala daerah yang ingin mencalonkan diri lagi (incumbent) dan melakukan berbagai kecurangan agar bisa menang sehingga setelah diperkarakan ke MK, hasil pilkadanya dinyatakan batal atau dinyatakan mengandung tindak pidana yang perlu dilanjutkan ke proses hukum pidana.


Ada yang menggunakan uang negara (APBD) dengan berbagai cara manipulatif untuk memperkuat dukungan dalam pencalonannya, ada juga yang melakukan tindakan sewenang-wenang dengan cara melakukan mutasi dan demosi secara besar-besaran terhadap PNS (pegawai negeri sipil) di pemda karena dianggap tidak mendukung incumbent. Bahkan ada yang meminta MK membatalkan isi undang-undang yang membatasi jabatan kepala daerah yang hanya dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.

Setelah permohonan uji materi yang seperti itu ditolak MK, kemudian ada yang meminta MK untuk membuat tafsir agar dua masa jabatan itu hanya berlaku untuk satu daerah. Sedangkan jika mencalonkan diri di daerah lain, diperbolehkan menjabat untuk periode yang ketiga dan seterusnya meski dalam jabatan yang sama. Tentu saja MK menolak semua permohonan pengujian itu karena bunyi undang-undang tentang itu sudah jelas maksudnya dan sama sekali tidak bertentangan dengan hak-hak konstitusional warga negara. Tetapi, ada juga yang tidak cukup berhenti di situ.

Setelah berkali-kali gagal menguji dasar hukum untuk mencalonkan diri pada periode ketiga, ada juga yang kemudian mencalonkan anggota keluarganya atau memilih turun menjadi calon wakil kepala daerah. Begitu memabukkan dan membuat kecanduan kekuasaan itu sehingga seringkali orang lupa diri, tidak takut atau tidak malu untuk melakukan ihwal yang tak pantas dan tak baik secara etik maupun secara hukum. Tentu saja tidak ada larangan untuk meraih kekuasaan.


Di antara kita pun banyak yang melakukan upaya meraih posisi tertentu dalam jaringan kekuasaan. Itu sah saja. Yang penting caranya dilakukan secara proporsional, tidak kalap, tidak menipu, dan tidak mengorbankan orang banyak. Dulu kita berjuang dan berperang mati-matian agar menjadi bangsa dan negara merdeka supaya setiap warga negara bisa menikmati kekuasaan sebagai hak politik yang asasi dari manusia. Begitu pula kita melakukan reformasi pada 1998 antara lain karena ingin memberi peluang yang sama bagi setiap warga negara untuk merebut kekuasaan melalui kontestasi politik yang konstitusional dan fair.

Jabatan atau kekuasaan itu boleh saja diperebutkan asal dilakukan secara terhormat, tidak dengan kecurangan atau dengan cara yang merendahkan martabat diri sendiri maupun orang lain. Itulah maksud kita membangun demokrasi dan nomokrasi di negara merdeka ini.

Harus diingat, jika jabatan diperoleh secara tidak benar dan dengan cara-cara kotor, maka siapa pun yang memperoleh dan mengelola kekuasaan itu, sejak dia masuk sampai keluar dari kekuasaannya pastilah akan selalu tersiksa dan gelisah. Hingga bila tiba saatnya harus lengser meninggalkan jabatan pun pasti akan terasa berat dan amat sangat ketakutan.

Moh Mahfud MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO, 16 Maret 2013

No comments: