Semua keperluannya bisa dipenuhi, ditemani pengawal dan ajudan, dijemput sambil dielu-elukan dengan meriah, serta dihormati secara berjongkok kalau berkunjung ke suatu tempat. Maka itu, banyak orang yang mabuk dan kecanduan kekuasaan. Untuk mendapat atau mempertahankan kekuasaan, orang-orang yang mabuk kekuasaan kerapkali bertingkah aneh-aneh tanpa risih.
Misalnya, ada yang berusaha menjilat orang berpengaruh agar diendorse, ada yang membayar “tukang survei” agar namanya dimasukkan dalam survei-survei popularitas dan elektabilitas, bahkan ada yang membeli “tukang survei” agar namanya diletakkan pada urutan nomor satu sebagai orang yang paling populer atau paling elektabel. Orang yang lagi mabuk kekuasaan itu –kalau namanya masuk di peringkat atas sebuah hasil survei– akan memuji-muji lembaga survei yang merilisnya sambil mengatakan bahwa survei itu objektif dan benar.
Ya, karena kekuasaan itu memabukkan, di dalam masyarakat ada tukang pesan hasil survei dan ada juga penyurvei bayaran yang memang kerjaannya menjual hasil survei sesuai pesanan. Selain istilah “mabuk” kekuasaan, ada juga istilah “kecanduan” kekuasaan. Kecanduan kekuasaan biasanya dilekatkan kepada orang yang sudah pernah menduduki kekuasaan, tetapi takut kehilangan kekuasaan atau ingin mendapatkannya lagi. Ada banyak contoh yang bisa saya sebutkan dalam kaitan dengan kecanduan kekuasaan berdasarkan pengalaman saya menangani kasus-kasus di Mahkamah Konstitusi (MK).
Di dalam kasus sengketa pemilu kepala daerah misalnya, banyak sekali kepala daerah yang ingin mencalonkan diri lagi (incumbent) dan melakukan berbagai kecurangan agar bisa menang sehingga setelah diperkarakan ke MK, hasil pilkadanya dinyatakan batal atau dinyatakan mengandung tindak pidana yang perlu dilanjutkan ke proses hukum pidana.
Setelah permohonan uji materi yang seperti itu ditolak MK, kemudian ada yang meminta MK untuk membuat tafsir agar dua masa jabatan itu hanya berlaku untuk satu daerah. Sedangkan jika mencalonkan diri di daerah lain, diperbolehkan menjabat untuk periode yang ketiga dan seterusnya meski dalam jabatan yang sama. Tentu saja MK menolak semua permohonan pengujian itu karena bunyi undang-undang tentang itu sudah jelas maksudnya dan sama sekali tidak bertentangan dengan hak-hak konstitusional warga negara. Tetapi, ada juga yang tidak cukup berhenti di situ.
Setelah berkali-kali gagal menguji dasar hukum untuk mencalonkan diri pada periode ketiga, ada juga yang kemudian mencalonkan anggota keluarganya atau memilih turun menjadi calon wakil kepala daerah. Begitu memabukkan dan membuat kecanduan kekuasaan itu sehingga seringkali orang lupa diri, tidak takut atau tidak malu untuk melakukan ihwal yang tak pantas dan tak baik secara etik maupun secara hukum. Tentu saja tidak ada larangan untuk meraih kekuasaan.
Jabatan atau kekuasaan itu boleh saja diperebutkan asal dilakukan secara terhormat, tidak dengan kecurangan atau dengan cara yang merendahkan martabat diri sendiri maupun orang lain. Itulah maksud kita membangun demokrasi dan nomokrasi di negara merdeka ini.
Harus diingat, jika jabatan diperoleh secara tidak benar dan dengan cara-cara kotor, maka siapa pun yang memperoleh dan mengelola kekuasaan itu, sejak dia masuk sampai keluar dari kekuasaannya pastilah akan selalu tersiksa dan gelisah. Hingga bila tiba saatnya harus lengser meninggalkan jabatan pun pasti akan terasa berat dan amat sangat ketakutan.
Moh Mahfud MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO, 16 Maret 2013
No comments:
Post a Comment