Tuesday, July 16, 2013

Surat Buat Anwar


Tiba-tiba, aku ingin menulis surat padamu, Chairil Anwar, sosok legendaris dalam dunia puisi Indonesia. Entah kenapa, ini hanya keinginan yang sekejap saja muncul. Seperti sebuah puisi, terkadang ia pun muncul seketika. Tanpa mesti direncanakan atau dirumuskan dengan teori-teori kesusastraan. Mungkin pula, engkau tak akan membaca surat ini. Toh, engkau sudah berdamai di “alam sana” bersama sejumlah puisimu yang sebentar lagi —akan hidup seribu tahun lagi.

Puisi-puisi yang muncul akhir-akhir ini, menghadapi  banyak sekali godaan. Meskipun sejumlah penyair telah berusaha untuk mencapai kedalaman kata, sebagaimana yang pernah kauucapkan dalam surat  kepada H. B. Jassin itu, mengorek kata-kata dalam puisi sampai ke akarnya. Sebagian besar puisi yang ditulis sekarang mesti melawan kefanaan kata-kata itu. Bersaing dengan sejumlah jargon atau kalimat-kalimat puitis —yang muncul di televisi, surat kabar atau majalah. Pun di sejumlah ruas jalan dengan banyaknya spanduk atau baliho iklan yang ditebar.

Sebagian kata-kata itupun telah mengeras, diucapkan oleh para penguasa —yang terasa begitu semu.  Kata-kata telah lama diperas, Anwar. Kau mungkin akan bilang, justru itulah beratnya menjadi penyair. Ia mesti menciptakan bahasanya sendiri —untuk menemukan lagi makna kata yang murni. Kau, sebagaimana keteguhan yang kau yakini —akan mencari sejumput kata selama berhari-hari, berbulan bahkan tahunan.

Namun dunia yang sekarang aku tinggali terkadang berbeda. Kata-kata mendadak begitu instant, yang maunya hanya sekali seduh lalu menyepuh. Orang-orang begitu sibuk mempermainkan kata. Berkata dengan seenaknya saja, bahkan dalam sebuah pidato. Kata-kata menjelma jadi sebuah sandiwara yang terselubung. Di mana segalanya menjadi bias di setiap maknanya.


Padahal, seorang penyair lainnya pernah mengingatkan bahwa menulis puisi itu adalah sebuah kerja keras yang panjang. Kata-kata mesti senantiasa digosok, bagaikan batu akik, agar senantiasa menyala dan mengilap —sebagaimana filosofi yang pernah diucapkan Acep Zamzam Noor. Puisi-puisi memang menghendaki sejumlah kedalaman makna. Tapi aku senantiasa dihadapkan pada bilangan kata yang mendadak jadi berita misterius —yang diculik di sejumlah gedung parlemen atau pemerintahan. Kata-kata mendadak jadi absurd, membangkai dan hangus tanpa sisa.

Anwar yang senantiasa menggali kata, aku paham jika puisi-puisi yang kau tulis mengisyaratkan sebuah bentuk dunia yang lain. Setiap jelmaan kata yang kau toreh, menyisakan ruang yang panjang. Engkau melompat dan memperkaya setiap khazanah pembendaharaan kata-kata kita. Meskipun dulu belum ada mesin pencari kata di internet, namun kau telah meninggalkan guratan tanpa tepi. Puisimu seperti sebuah upaya penghematan yang tak berhenti. Di mana tak lagi menyisa berbagai ruang di sana. Begitu rapat, sehingga tak ada lagi kekosongan di sana.

Maka puisimu pun terus saja dibaca. Walaupun yang kau tulis mungkin hanya sedikit dari puluhan usia yang kau miliki. Dan setiap kali membaca puisimu, aku mendapati sebuah ruangan yang baru kembali. Ingin membacanya berulang-ulang. Semacam sebuah jeda dari kehidupan yang bising. Kau mungkin bisa berteriak lantang dalam sejumlah puisimu, tapi di lain puisi engkau melengkapkan nuansa pribadi manusia. Bercakap tentang keputus-asaan, menggapai dalam hidup yang lirih, ataupun menghidupkan segala ihwal soliter dalam tubuh manusia.

Anwar, apakah puisi mampu mengatasi segalanya? Membujuk setiap pangkal kesedihan agar manusia bisa riang menerimanya? Atau seperti Iswadi Pratama bilang, bisa merebut segala hal yang remeh dan tak berarti? Aku tak tahu. Aku hanya penikmat puisimu. Anehnya setiap kali membacanya ada yang berkecambah di dadaku. Sebuah getar yang terus berdenyar, bahkan setelah puisi itu berpuluh tahun engkau tinggalkan. Puisimu masih terus saja berjalan, tertanam di dalam kepala —hendak melawan lupa.


Kekuatan melawan lupa itu pun nampak dalam  puisi yang ditulis baru-baru ini. Tentunya dengan mengarifi, dalam bentuk satir, sekaligus mengakomodasi puisimu sebelumnya. Dengan citraan teknologi mutakhir, pula tabiat yang pernah engkau perbuat dulu (gaya hidupmu). Semacam yang ditulis penyair Rian Ibayana “SMS Buat Chairil Anwar”:

bung, negeri ini gawat darurat, jalan juang seperti diperalat, hampir sekarat.
setiap orang bermata merah, bahkan lebih merah dari matamu bung, lebih basah,
predikat jalangmu bukan apa-apa karena banyak yang lebih jalang darimu bung.
lebih lantang, lebih berani, lebih binatang.
budaya rakus yang kakus mendarah daging sehingga menggerogoti negerinya sendiri.

bung, negeri ini wajib selamat.
namun segala peluang dan obat telah disuntik taktik-taktik.
bermacam strategi seperti gerigi yang memotong habis cahaya pagi.
yang lebih liar darimu tak terbilang lagi,
segala jalur ditempuh demi sulur ambisi.

bung, negeri ini hilang wajah.
semangat “diponegoro” serta “karawang-bekasi”-mu seperti terbakar habis.
jalan juangmu terlindas terus-menerus,
oleh gerbong-gerbong kekuasaan.

bung, negeri ini wajib diselamatkan,
meskipun semangat seperti hendak tamat.
otakmu terang cemerlang, adakah kisi-kisi misi membangun kembali?
semacam akar yang keluar biar kelar segala kelakar.
bung, bagaimana jika kita pancung saja semua pengerat itu?

jika setuju, tolong balas sms ini.
(Negeri Abal-Abal, Komunitas Radja Ketjil: Jakarta, hal. 522)


Memang betapa puisimu menyisakan guratan yang abadi. Seperti letak ingatan yang tak sudah-sudah tentangnya. Mungkin puisimu, tak selesai bercakap ihwal zamanmu sendiri. Puisi-puisi itu melebar, melangkahi roda tahun. Tak heran juga selalu setiap tahun, banyak orang-orang yang kembali mengingatnya. Menguliti lagi puisimu selapis demi selapis. Menerka atau sekadar menebak setiap pergulatan ataupun kesedihan yang tak kunjung rampung.

Sebagaimana puisi Rian di atas, ia seperti ingin menghentak kita dengan kondisi terkini yang terjadi. Sepertinya ia ingin sekali mengadu padamu —tentang lanskap negeri ini. Namun apa daya, puisi adalah sebuah persinggahan mata batin, yang menelusup pada relung dada manusia. Ia menyentak kesadaran dari ruang bawah sadar, seperti orang yang sekejap terbangun tidur setelah dihinggapi mimpi buruk.

Buruknya pula, jika puisi ternyata hanya menjelma sekadar de-ja-vu. Yang hanya berkisah tentang imajinasi awang-awang. Ah, betapa puisi kembali di menara gading. Kesepian, sendiri, tanpa bisa berbuat apa-apa. Mengunyah rasa sepi, kecewa, sakit hati ataupun segenap elegi yang melingkupinya. Tapi tetap saja di sana, terbungkus dalam kesendiriannya masing-masing. 

Anwar, maafkanlah jika negeri ini tak pernah sempurna untuk menampung sebuah puisi. Ingatan kolektif negeri ini yang menyisa sekarang cuma berkisar soal kekerasan, korupsi, kenaikan harga, ataupun mencari tokoh yang layak memimpin. Sementara puisi —di negeri ini— mungkin cuma artefak yang (untungnya) masih dibicarakan oleh segelintir orang. Untungnya pula, masih terdapat dalam sebuah bagian dari mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah. Meskipun nyatanya, begitu minim para penelaah yang benar-benar serius menekuninya.


Puisi-puisi saat ini menjelma jadi banjir kata-kata. Bertarung di antara wilayah gelap dan terang. Kehilangan dan memanjat maknanya masing-masing. Lalu terasa kedodoran. Begitu banyak puisi yang sudah ditulis oleh para penyair kita, Anwar. Beberapanya redup dengan sendirinya —beberapanya ada yang tetap bergema. Demikianlah. Setidaknya kita merasa masih beruntung, memunyai banyak penyair di negeri ini —yang masih tetap setia— menikmati kata-kata dalam puisinya. Sehingga tidak perlu dihinggapi cemas berlebihan akan kemuraman yang memayungi negeri ini. Ah, Anwar, apakah penguasa negeri ini masih sempat dan sanggup membaca serta memaknai sebuah puisi?

Anwar yang tak lelah mencari, di kedalaman mata merahmu, barangkali engkau telah berdamai dengan puisimu di sana —meskipun sebagian orang tak letih, acapkali gandrung untuk tetap membaca atau sekadar menyibaknya. Setiap kata. Diksi demi diksi. Ah, betapa selalu aku ingin mencari urat dan zat dalam puisimu. Seperti bait puisimu “Catetan Th. 1946”:

Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah,
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering,
sedikit mau basah!

Semoga saja surat ini sampai dengan selamat, dan di sana engkau masih sempat membacanya. Kubayangkan pula, bila di sana engkau tetap merawat kata menjadi pohon yang rimbun. Agar negeri ini selalu teduh.

Bung ayo, Bung! 

Alex R. Nainggolan,
Penikmat puisi, menetap di Poris Plawad, Tangerang
Lampung Post, Minggu, 14 April 2013

No comments: