Tuesday, December 24, 2013

Independensi Media Jelang 2014


Seorang Pengamat Ekonomi seperti dikutip majalah Forbes Edisi 20 November 2013 menyebut, kandidat presiden (capres) di Indonesia harus menyediakan dana sedikitnya 600 juta dollar Amerika  atau setara dengan 7 triliun rupiah.

Menyimak angka tersebut memang sungguh sangat fantastis. Tapi memang begitulah adanya. Tiket untuk masuk istana presiden dan menjadi orang nomor satu di sana, senyatanya memang terlalu mahal bila dikalkulasi secara nominal. Kisaran dana yang tidak sedikit ini bisa dimaklumi. Pasalnya, pemilihan langsung memang berkorelasi erat dengan biaya tinggi (high cost). Salah satunya, untuk biaya kampanye dan pencitraan di media massa, atau kita lebih mengenalnya dengan sebutan biaya iklan atau advertorial.

Seperti yang dapat kita saksikan saat ini. Kurang lebih empat bulan jelang suksesi 2014, eskalasi politik nasional semakin “membara”. Perang popularitas dan adu argumentasi di media massa –terutama televisi– kian menjadi-jadi antar kandidat capres dan cawapres. Bahkan tak sedikit yang melakukan kecurangan dengan curi start jauh-jauh hari. Para kandidat yang berambisi menjadi pemimpin negeri ini larut dalam euphoria mengkatrol popularitas lewat jalan instan bernama iklan, survei, aneka kuis, liputan kegiatan dan lain sebagainya.


Sebagai masyarakat awam, kadang kita –termasuk saya– dibuat gerah oleh ulah para politisi yang sebagian diantaranya lebih tepat disebut politisi dadakan alias politisi latah. Saya sebut dadakan, karena memang selama ini tidak pernah terdengar kiprahnya di dunia politik, tahu-tahu mentahbiskan diri sebagai tokoh politik nasional dengan menjadi capres atau cawapres dan juga caleg.

Kembali pada pencitraan meraih popularitas, hampir setiap hari kita melihat tayangan di media elektronik khususnya televisi yang menampilkan figur capres dan cawapres. Bukan sekali dua kali, tapi hampir sepanjang hari. Dari pagi hingga malam dan kembali pagi lagi. Tak hanya muncul di acara bertemakan politik atau berita (news) tapi juga sejumlah acara hiburan seperti musik yang sebagian besar pemirsanya adalah kalangan remaja.

Media online? Justru lebih parah lagi. Saya sampai terheran-heran ketika berselancar di ranah maya, menemukan media online yang habis dikapling-kapling oleh sejumlah politisi dengan iklan politik plus pencitraannya. Belum lagi blog dan website yang bertebaran di mana-mana.  Maka, saban hari, mau lihat chanel tv apapun atau media online manapun, semua isinya tentang iklan dan pencitraan orang-orang yang “kebelet” ingin menjadi presiden dan wakil presiden.

Pencitraan dengan memakai media apapun, tentu sah-sah saja, sepanjang dilakukan dengan cara dan prosedur yang wajar. Masalahnya sekarang, hampir semua big bos media massa di negeri ini –khususnya media televisi– sedang asyik masyuk berburu ambisi menjadi presiden dan wakil presiden.

Surya Paloh, Harry Tanoe, Chairul Tanjung, ARB

Lihatlah, hampir bisa dikatakan tidak ada pemilik (owner) televisi swasta yang tidak nyapres. Mulai dari ARB, Surya Paloh, Harry Tanoe, Chairul Tanjung dan juga Dahlan Iskan. Mereka adalah para pemilik stasiun televisi sekaligus media cetak –juga radio– yang tersebar di berbagai daerah.

Selain bos media massa, sebagian diantaranya juga menjadi petinggi partai politik, yang seharusnya memberikan edukasi berpolitik yang sehat dan fair kepada masyarakat luas.

Pasalnya yang kini terjadi dan menjadi trend adalah orang-orang ini menggunakan media milik mereka sebagai ajang kampanye plus pencitraan diri. Dampaknya? Pemberitaan media massa  menjadi tidak berimbang dan mengabaikan prinsip jurnalistik. Dan itu terlihat sangat kentara dalam pemberitaan (news) mereka selama ini.

Beberapa waktu terakhir, yang muncul justru perang tanding antar sesama capres melalui media masing-masing. Terlihat sekali bagaimana capres dan cawapres yang bersangkutan “menyelamatkan diri” atau melakukan pencitraan untuk kepentingan pribadinya. Dalam berbagai kesempatan, pemberitaan atau liputan mereka diarahkan untuk menggiring opini publik pada partai politik tertentu. Ini tentu sudah tidak sehat lagi.


Padahal, sejatinya sebagai lembaga penyiaran publik, televisi harus lebih mengetengahkan peran dan kepentingan publik daripada segelintir orang atau golongan. Tapi apa boleh buat, para pemilik media justru sedang memacu adrenaline mereka masing-masing agar bisa segera masuk ke istana negara.

Bila ditelisik lebih jauh, sebagai salah satu penggerak dan pendukung demokrasi, pers memang memegang peranan yang sangat penting. Bukan hanya menjalankan fungsi industrialisasi untuk menghasilkan uang (mencetak untung), tapi juga fungsi sosial edukasi. Artinya, pers harus menempatkan diri sebagai lembaga yang memberikan pencerahan atau edukasi kepada publik sekaligus lembaga sosial kontrol terhadap jalannya pemerintahan dan kehidupan sosial secara berimbang dan bertanggungjawab.

Tapi fungsi itu akan tereliminasi seiring  meningkatnya dominasi dan power para owner yang telah begitu leluasa memperalat media untuk kepentingan politik tertentu, bahkan ada kecenderungan telah over dosis. Fenomena ini merupakan preseden buruk bagi pers dan dunia pertelevisian di negeri ini, karena pers tidak lagi dipercaya sebagai lembaga independen yang menjalankan fungsi sosial kontrolnya. Dengan kata lain, independensi media televisi dan juga media cetak kita semakin dipertanyakan, khususnya menjelang suksesi kepemimpinan pada April 2014 mendatang.

Mirawati Uniang,
Mahasiswa Universitas Eka Sakti
HALUAN, 17 Desember 2013

No comments: