Monday, March 10, 2014

Paradoks Demokrasi


Partai politik penuh dengan paradoks belakangan ini, termasuk Partai Demokrat (PD) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Mereka menunjukkan sikap yang saling bertentangan terhadap subyek yang sama sehingga akhirnya menimbulkan kontradiksi.

Pertama, mari kita soroti Partai Demokrat (PD). Partai ini di satu sisi sangat menekankan demokrasi, tecermin dari nama partai itu sendiri. Namun di sisi lain, mengapa para kadernya, terlebih para pemimpinnya, tak berjiwa demokratis? Gede Pasek Suardika dipecat sebagai anggota DPR tanpa bukti pelanggaran hukum negara ataupun melanggar konstitusi partai.

Diduga kuat Pasek didepak karena kedekatannya dengan Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum DPP PD) dan keterlibatannya sebagai sekjen di Perhimpunan Pergerakan Indonesia (ormas baru yang didirikan Anas). Maka, pada pertengahan September lalu Pasek dicopot dari jabatan Ketua Komisi III DPR.

Anas Urbaningrum dan Gede Pasek Suardika, bercengkerama ketika keduanya masih aktif di Partai Demokrat.

Cacat hukum
Anehnya, surat keputusan pemecatan Pasek dari Fraksi PD DPR diteken oleh Ketua Harian PD Syariefuddin Hasan dan Sekretaris Jenderal PD Edhie Baskoro Yudhoyono. Padahal, lazimnya sebuah organisasi, tanda tangan sekretaris jenderal selalu bersanding dengan tanda tangan ketua umum. Artinya, seharusnya yang meneken surat itu adalah ketua umum bersama sekretaris jenderal.

Maka, tidak salah apabila Ketua DPR Marzuki Ali, yang notabene juga Wakil Ketua Dewan Pembina PD, mengatakan surat pemecatan Pasek cacat hukum karena tidak memenuhi asas legal yang semestinya.

Inilah paradoks demokrasi itu. Bukankah selain sebagai kader PD, Pasek juga wakil rakyat? Apakah rakyat yang diwakili Pasek sudah ditanya oleh para pemimpin PD sebelum memutuskan pemecatan itu?

Di internal PD sendiri, apakah Pasek sudah diajak bicara secara terbuka dan diberi kesempatan membela diri? Sudahkah peringatan pertama sampai terakhir disampaikan sebelum Pasek diberhentikan?

Kalau itu semua jawabannya “tidak”, layaklah PD dikategorikan sebagai partai berlabel demokrasi minus pemimpin yang demokrat. PD hanyalah sebuah infrastruktur demokrasi yang tidak didukung nilai-nilai demokrasi.

Tentu, ini merupakan pembelajaran politik yang tidak baik bagi rakyat. Sebab, hakikat demokrasi bukanlah soal siapa yang lebih dominan memegang kekuasaan. Demokrasi juga tidak identik dengan proses pemilihan atau pergantian para elite. Demokrasi lebih menekankan terjadinya dialog yang terbuka dan setara di antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian, ruang-ruang partisipasi publik terbuka lebar dan benih-benih demokrasi berkembang sehat.

Joko Widodo alias Jokowi yang masih di bawah bayang-bayang Megawati.

Bergantung ketua
Paradoks kedua tampak di tubuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Partai ini juga sangat menekankan demokrasi sesuai namanya. Namun, lihatlah fenomena politik beberapa bulan belakangan ini. Dalam berbagai survei tentang figur calon presiden 2014 idaman rakyat, Gubernur DKI Jokowi yang juga kader PDI-P selalu menempati posisi teratas, melebihi Ketua Umum PDI-P yang juga mantan presiden, Megawati Soekarnoputri.

Pertanyaannya, mengapa hingga kini PDI-P tak kunjung mendeklarasikan Jokowi secara resmi sebagai calon presiden dalam Pilpres 2014? Jawabannya: menunggu restu Megawati.

Artinya, keputusan memajukan Jokowi atau tidak sangat bergantung pada Megawati. Soal kapan mendeklarasikan, itu pun bergantung pada instruksi Ketua Umum DPP PDI-P ini. Padahal, tak dapat dimungkiri, rakyat sudah gemas melihat sikap Megawati. Sampai-sampai banyak kalangan mengancam di media sosial untuk memboikot pemilu alias “golput” jika Jokowi tak segera dideklarasikan.

Inilah paradoks demokrasi berikutnya. Sebab, sejatinya demokrasi tak bergantung pada satu orang saja. Apalagi satu orang yang memegang kekuasaan lebih besar ketimbang orang-orang lainnya. Demokrasi mestinya berdiri di atas prinsip setiap orang setara dan setiap orang berhak mengemukakan pendapatnya. Terkait PDI-P dan Jokowi, mekanisme voting jelas lebih elegan dibanding terus-menerus menunggu (restu?) kapan Megawati mau bicara soal capres.


Budaya restu
Namun, mungkin kita maklum akan dua hal ini. Pertama, Megawati selama ini memang tak betul-betul pas untuk diidentikkan sebagai figur yang demokratis. Banyak kebijakan PDI-P harus melalui restu Megawati terlebih dulu sebagai sang pemilik otoritas sekaligus sosok yang sangat dominan di PDI-P. Megawati bagaikan patron, kader-kader lainnya ibarat klien yang harus memperlihatkan ketundukan total kepadanya.

Kedua, PDI-P selama dipimpin Megawati belum betul-betul mengalami transformasi politik yang modern menuju demokrasi dan karenanya belum sepenuhnya menghayati nilai-nilai demokrasi.

Dalam sistem demokrasi tersedia peluang untuk pergantian pemimpin secara terbuka. Artinya, siapa saja bisa menggantikan ketua umum sesuai aturan main yang berlaku. Pertanyaannya, siapakah yang bisa menggantikan Megawati sebagai ketua umum selama Megawati masih eksis? Sungguh sulit menjawabnya.

Sekarang dan ke depan, PDI-P dan Megawati patut memikirkan dua hal ini secara serius.

Pertama, jika betul-betul ingin menjadikan PDI-P sebagai infrastruktur politik yang modern, tidak ada pilihan lain bagi PDI-P kecuali bertransformasi untuk lebih menghayati nilai-nilai demokrasi. Ini penting demi terjadinya demokrasi yang diperluas dan diperdalam (widening and deepening democracy system) seperti yang dikatakan dua pemikir demokrasi, Juan J Linz dan Alfred Stephan (1996).

Kedua, jika ingin kembali berjaya seperti dalam Pemilu 1999, tidak perlu menunggu lebih lama lagi untuk memutuskan posisi Jokowi terkait Pilpres 2014.

Victor Silaen,
Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
KOMPAS, 3 Maret 2014

No comments: