Friday, September 5, 2014

Kalah-Menang Terhormat


Hidup bukan sekadar perkara kalah-menang. Juga bukan hanya urusan takut-berani. Kaum muda remaja mungkin boleh berpikir seperti itu.

Mereka boleh menjadikan takut-berani dan kalah-menang itu sebagai parameter kehidupannya, tetapi orang dewasa tidak. Kompetisi dalam hidup, pengembangan karier, dan pertarungan politik ukurannya memang kalah-menang itu. Tapi bagi mereka yang menjadikan hidupnya sebagai “proyek” pematangan diri, kecanggihan berpikir filosofis tentang keharusan untuk adil dan benar, jujur dan manusiawi, kalah-menang dalam pertarungan apapun, tidak menjadi masalah.

Ada yang sedih jika kalah. Ada yang gembira dan bangga jika menang. Itu layak dan manusiawi. Tapi bagi mereka yang kalah, kekalahan bukanlah akhir segalanya. Dan, pihak yang menang bukan berarti telah mencapai puncak dari segenap puncak prestasi hidup. Kalah-menang hanya konsekuensi wajar dari tiap jenis permainan. Di sana tak ada konsep kalah bersama, atau menang bersama, kecuali gagasan aneh yang pernah disampaikan Bardosono pada 1980-an dalam dunia sepak bola.

Tak mengherankan bila Bardosono pun kemudian menjadi sasaran kritik pedas dalam masyarakat. Orang bijak meninggalkan pesan bijak pula: bila takut terkena badai, jangan berumah di tepi pantai. Ini petuah tentang kewajaran hidup. Di pantai selalu berangin kencang. Dan, kemungkinan-kemungkinan tak menyenangkan itu dengan segenap kewajarannya sudah terkalkulasi. Angin segar kita terima dengan rasa syukur. Kita jadi sehat. Tapi badai yang bisa meluluh-lantakkan segala yang di sana juga harus diterima sebagai kewajaran alam.


Lagi pula, bukankah sudah kita perhitungkan? Tak mungkin, dan tak bakal terjadi dalam sejarah bumi, yang hanya sekeping ini, bahwa pantai hanya menawarkan kesegaran. Tidak mungkin. Badai selalu ada. Begitu pula kewajaran politik dalam tiap kompetisi, pertandingan dan segala jenis ujian tentang kompetensi teknis yang kita miliki. Di sana, sayang sekali, harus ada ukuran tentang siapa yang lebih unggul, dan menang. Sebaliknya, selalu ada temuan tentang yang kurang unggul, dan ditempatkan di dalam kotak yang “kalah”.

Betapa wajarnya perkara kalah-menang dalam hidup kita. Di sini lalu bisa lahir sejenis petuah bijak, bagi yang tak siap kalah, dan tak bisa menerima kekalahan, sebaiknya jangan pernah mencoba memasuki gelanggang pertandingan, kompetisi dan berbagai jenis pertempuran untuk menguji tingkat kompetensi kita. Ini solusi paling damai. Pihak yang menang pun bisa hancur jika dia tak bisa menghayati arti kemenangannya.

Pemenang yang kemudian sombong, dan merasa paling mumpuni, tak lama lagi akan menjadi pihak yang kalah, dan bisa kalah total dalam arti sebenarnya. Jika pemenang bersikap “menang tanpa ngasorake”, jelas bisa menjadi pemenang yang baik. Jika sang pemenang bisa bersikap “the winner takes nothing”, dia pemenang yang baik. Syukur kemudian bersahabat dengan yang kalah. Dan pihak yang kalah pun tak merasa jari kakinya diinjak oleh yang menang.

Dengan begitu, wawasan keduanya serupa: kalah-menang itu perkara wajar. Pemenang tidak lalu merasa dirinya unggul seperti dewa-dewa. Dan yang kalah pun bukan sisa-sisa yang terbuang. Lebih-lebih bila yang menang itu menjadi pemenang karena semata memang punya kelebihan dan jujur sejujur-jujurnya. Ini pemenang sejati yang kita dambakan. Dan, ini pribadi yang kita cari. Menang dengan cara yang baik, tanpa melukai nilai kejujuran, memang tidak mudah. Godaan dalam hidup banyak sekali. Jarang orang bisa melewatkan godaan secara mulus. Kita tahu, Puntadewa, raja Amarta itu orang yang jujur sejujur-jujurnya.


Dia ukuran dan sekaligus simbol kejujuran. Tak ada yang mampu melebihi kejujurannya. Dia pun manusia bijak tanpa tandingan. Tapi dalam perang besar yang disebut Bharatayudha, dia pernah tergoda bujukan untuk menomorsatukan kemenangan biarpun itu bertentangan dengan nuraninya sendiri. Ini akibat bujukan Kresna yang bertubi-tubi menggodanya. Kresna meminta dia untuk mengatakan Aswatama mati, biarpun sebenarnya Aswatama belum mati.

Dia mengatakannya dengan pelan, dan menyebut nama gajah yang mati dalam perang, yang namanya Estitama. Dia menyebutkan nama itu di bawah pengaruh Kresna untuk membuat Durna bingung. Dan benar, akibat ucapannya itu Durna memang menjadi bingung. Kereta orang jujur ini berada sejengkal di atas tanah. Roda keretanya tak menyentuh tanah seperti roda kereta raja-raja biasa. Lalu apa akibatnya bagi orang yang menjadi simbol kejujuran itu? Parah sekali. Dan dahsyat.

Biasanya, tiap naik kereta kerajaannya, roda keretanya sejengkal mengambang di atas tanah. Pendeknya, roda-roda keretanya tak menyentuh tanah. Sekarang, sesudah dia dianggap menodai kejujuran, roda-roda keretanya kini menjadi kereta biasa, yang menyentuh tanah dan kotor. Orang jujur, yang menjadi ikon kejujuran ini pernah berbuat tidak jujur. Dia dipermalukan para dewa. Sekali lagi, bila dulu roda-roda kereta sejengkal mengambang di atas tanah, kini tidak lagi. Kini dia dianggap sama dengan orang biasa. Dia malu. Bisakah kita menjadi lain, dan tak sama dengan Puntadewa? Mungkin berat urusan kita. Puntadewa terlalu mulia.

Tapi sekadar menjadi pihak yang kalah tanpa merasa terbuang, mestinya kita bisa. Dan menjadi pemenang yang bersikap “menang tanpa ngasorake ” atau “the winner takes nothing” kayaknya tak begitu sulit. Dengan begitu menang-kalah tetap terhormat. Ini seharusnya menjadi warna kehidupan kita. Juga kehidupan dalam politik.

Mohamad Sobary,
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi

KORAN SINDO, 2 September 2014

No comments: