Friday, May 15, 2015

Imperialisme Jasa


Beberapa tahun belakangan, saya harus menahan diri untuk mengekspresikan rasa kesal pada satu hal ini: ongkos parkir. Sejak parkir umum yang semestinya menjadi konsekuensi logis toko, pusat perbelanjaan, hotel, perkantoran, rumah sakit sebagai pelayanan atau fasilitas lumrah bagi para konsumen atau tamunya, telah diambil alih perusahan jasa perparkiran, hal yang semula gratis secara wajar, kini menjadi sangat mahal secara tidak wajar.

Beberapa perkantoran atau pusat perbelanjaan, memasang tarif sekali masuk Rp 5.000 dan biaya Rp 4.000/jam, sehingga hanya untuk perundingan bisnis atau belanja sekitar 3 jam, kita harus membayar tak kurang dari Rp 17.000. Jumlah yang mungkin tak seberapa bagi sebagian orang, tetapi secara akumulatif nilainya mencengangkan. Hanya dengan lapak sekitar 6 meter persegi beralas konblok, aspal, semen atau lainnya, para pengusaha jasa perparkiran mendapat pemasukan tidak kurang dari Rp 1,5 juta/bulan (dalam hitungan rata-rata hanya 12 jam sewa per harinya). Pemasukan itu (atau Rp 18 juta/tahun), tentu setara sebuah rumah kontrakan tipe 54/92 yang cukup mewah, atau kos/kontrakan/apartemen sangat mewah, dengan luas tanah jauh lebih lapang, dengan bangunan bagus dan fasilitas lain. Dengan dasar perhitungan apa perusahaan jasa parkir bisa mendapatkan penghasilan begitu menakjubkan, padahal hanya dengan modal sekadar palang dan pos kecil dengan seorang petugas?


Tak lain semua itu mungkin hanya karena satu bentuk perdagangan yang menggila pada tiga dekade belakangan: bisnis jasa. Inilah bentuk perdagangan kedua, setelah manufaktur, yang paling pesat pertumbuhannya, sekaligus paling telengas dalam mengisap dompet konsumennya. Dalam esensinya yang menawarkan kenyamanan, kemegahan, rasa nikmat, gengsi, dan hal-hal abstrak lain, bisnis jasa hampir tak punya ukuran atau standar untuk harga. Semua berlangsung absurd, ditentukan setidaknya seberapa jauh konsumen terilusi atau tertipu imaji atau simulacra ilusif yang ditawarkan para pedagang jasa.

Katakanlah, secangkir kopi atau soto betawi yang dengan mudah kita temukan di berbagai kedai kaki lima, tiba-tiba melonjak hingga lebih 2.000 persen ketika ia kita beli di sebuah restoran atau mal yang megah dan ber-AC kuat. Begitu pun dengan jasa yang ditambahkan (sebagai nilai tambah) pada barang-barang manufaktur, seperti busana, peralatan rumah tangga, hingga gawai.

Yang terlebih menyakitkan lagi, ialah yang terjadi dengan semena-mena pada industri jasa yang sangat mendasar, seperti rumah sakit dan lembaga pendidikan, ketika sewa ruang kelas 1 atau VIP di sebuah rumah sakit, misalnya, lebih mahal dari tarif kamar berkelas sama di hotel berbintang empat, tetapi dengan fitur dan fasilitas yang jauh lebih minim.

Kemahalan yang sama harus dibayar pasien (yang sudah menderita karena penyakitnya) untuk kunjungan dokter yang sama, teknologi sama, waktu konsul yang sama dengan beberapa kelas di bawahnya.


Represif
Jasa, kini benar-benar tidak hanya memberi keuntungan nauzubillah bagi para pedagangnya, tetapi secara kontradiktif memberi bukan melulu beban, tetapi semacam siksaan kepada konsumennya yang lebih kerap tidak berdaya. Seperti kita di bandara, tempat wisata, bar, resto, hotel, atau berbagai ruang eksklusif lainnya, harus menemukan harga barang-barang biasa dengan harga yang luar biasa karena berlipat-lipat nilainya. Semua itu terasa represif karena kita tidak mampu menawar, melawan, dan terlindungi oleh pemerintah sebagai pihak yang berwenang untuk itu. Kita seperti terimperialisasi oleh satu hal yang sangat absurd, namun nyata dampak praktisnya: jasa.

Akan tetapi, dari semua ilustrasi kecil itu, hal paling menyakitkan dan terasa menjajah kesadaran kita adalah skema kredit atau leasing yang selama ini menjadi tumpuan bahkan modus masyarakat mewujudkan harapan atau mimpi-mimpi modern (hedonistik)-nya. Tanpa dapat kita menawar sedikit pun, atau bahkan hampir seperti fait accompli, karena kita harus menerima ketentuan kredit/leasing itu, walaupun sebenarnya kita telah dijebak dan terjebak pada aturan utang yang sangat merugikan. Dan tentu saja, di sisi yang lain amat sangat menguntungkan bagi para pengusaha jasa (pemberi kredit).

Sudah umum diketahui, cicilan yang kita bayar untuk pembelian kredit rumah, kendaraan bermotor, gawai, hingga perjalanan wisata bahkan umrah, hampir 90 persen untuk pembayaran bunga pada setengah periode awal masa kreditnya. Sehingga ketika kita ingin melunasi kredit di pertengahan masa, kita menemukan jumlah utang pokok ternyata masih menggunung, lebih dari 80 persen. Betapa licin, cerdik, tetapi juga culas dan memeras skema kredit yang tidak adil seperti ini. Betapa besar jumlah keuntungan yang diraup secara tidak adil oleh lembaga keuangan pemberi kredit yang sebenarnya telah mendapat pelunasan di tengah jalan. Betapa culasnya, ketika kita sudah membayar hampir lunas utang kita, namun perhitungan bunga kredit dan masa pelunasannya ternyata masih cukup panjang untuk diakhiri.


Bank, sebagai lembaga keuangan pemberi kredit utama, termasuk bank pemerintah yang menggunakan uang rakyat sebagai modalnya, menggunakan skema yang sama untuk bisnis jasa yang mengerikan ini. Bahkan bank-bank pemerintah pun, seperti halnya bank swasta, menciptakan tarif yang mokal-mokal dengan memasang tarif untuk beberapa transaksi, seperti biaya administrasi, transfer elektronik, bahkan sekadar untuk cek saldo hingga saat kita setoran. Bayangkan, jika hanya untuk cek saldo kita ditagih Rp 6.500, maka bila 25 persen dari 100 juta nasabah sebuah bank besar melakukan cek saldo dalam sehari, bank akan mendapat pemasukan tak kurang dari Rp 162,5 miliar/hari.

Hanya dalam sehari, hanya untuk cek saldo, dan hanya 25 persen. Hitunglah per bulan atau per tahun, juga untuk semua bentuk transaksi. Hampir tanpa biaya signifikan dengan tarif itu yang harus bank keluarkan, karena semua hanya menggunakan gelombang elektromagnetik yang notabene milik publik. Apa yang sedang terjadi? Mengapa perdagangan atau ekonomi (pos)modern berbasis teknologi ini begitu kuat menjerat kesadaran terdalam kita, hingga akhirnya kita benar-benar kehilangan kesadaran? Lalu kita menerimanya sebagai satu hal yang given, yang wajar, normal dan biasa? Mana lebih dahsyat imperialisme mutakhir saat ini dibanding dengan bentuknya yang sama di masa lalu?


Dehumanisasi konsumen
Kapitalisme dengan model terkejamnya, pasar bebas, memang harus diakui melakukan semacam represi yang mendehumanisasi konsumen, menjadikan manusia hanya sebagai sapi perah untuk memenuhi kebutuhan susu pundi-pundi triliunan rupiah maupun dollar dari para pemilik modal besar, bahkan pemerintah pun mengikutinya dengan cara telengas (Anda tahu, kan, telepon atau listrik Anda akan segera diputus hanya karena keterlambatan pembayaran dalam hitungan hari?). Semua itu hanya menggunakan perangkat paling ampuh dan absurd dari ekonomi kapitalistik ini: harga. Khususnya di genre perdagangan mutakhirnya: jasa.

Jasa sebagai perdagangan mutakhir mungkin bisa disebut sebagai level lanjutan dari perdagangan berbasis pertanian (agrikultur) di masa pramodern dan industri manufaktur di masa modern. Sejak masa lalu bisnis memang sudah ada, bahkan untuk perbankan di Tiongkok sudah sejak paruh awal milenium kedua, dan dalam pengertian modern (warkat antara lain) sejak usai Perang Salib abad ke-12, ditemukan dan dijalankan para Ksatria Templar bagi para peziarah ke kota suci Jerusalem.

Namun, sebagai jenis perdagangan utama dunia, jasa baru mulai diakui secara formal sejak awal tahun 80-an, ketika Amerika Serikat (bersama negara-negara satelit ekonominya, seperti Kanada, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan Singapura) dengan intensif dan teguh memaksakan jenis perdagangan itu ke dalam aturan perdagangan global WTO. Sejak saat itu, nilai perdagangan jasa yang sangat minor sebelumnya, tak lebih dari 10 persen ketimbang agrikultur dan manufaktur meningkat dengan sangat cepat. Jika dua pendahulunya membutuhkan ribuan tahun dan ratusan tahun, jasa hanya membutuhkan sedikit dekade untuk melesat.


Bisa dibayangkan di wilayah di mana perdagangan tradisional masih dominan, seperti Sub-Sahara Afrika, pada 2005 perdagangan jasa sudah mengambil porsi 47 persen dari kapasitas ekonomi kawasan itu, sementara agrikultur hanya 16 persen dan manufaktur 37 persen. Bahkan data WTO mutakhir menunjukkan angka mencengangkan perdagangan jasa mengambil porsi lebih dari 50 persen total perdagangan dunia, melibatkan sepertiga tenaga kerja profesional, dan menguasai dua pertiga pendapatan global.

Kita semua mafhum, ke mana keuntungan terbesar terkumpul, tidak lain pada para pemilik modal besar yang menguasai aneka ragam mata komoditas jasa, mulai dari hotel, resto, penerbangan, turisme, pendidikan, transportasi, hiburan, hingga pelacuran, alkohol, dan perjudian. Keuntungan berlipat itu berbanding terbalik dengan kesejahteraan konsumen, khususnya rakyat kelas bawah, yang menderita kemiskinan absolut karena terisap pendapatan minusnya untuk jasa-jasa yang mereka juga —secara alamiah— ingin menikmatinya (tentu karena rayuan maut advertensi dan gaya hidup kelas atas dan menengah).

Sampai kapankah situasi ini? Bisakah ia berakhir? Mohon ampun, saya akan menyatakan dengan tegas: ia tak akan berakhir. Artinya? Jelas, pengisapan yang imperialistik ini akan terus berlanjut, hingga rakyat kebanyakan —tidak hanya yang ada di Sorong atau Tulungagung, tetapi juga Leningrad, Paris, dan New Delhi— benar-benar kempis kantong ekonomi bahkan harapan kesejahteraannya. Hingga pada masa di mana, kita, rakyat kebanyakan, tinggal menjadi budak-budak dari industri. Budak dari industri yang penghasilannya mengalir deras dari perasan keringat, air mata bahkan darah kita semua sebagai konsumen. Dan ironisnya, semua itu juga akan habis dengan cepat hanya untuk mengonsumsi hasil industri yang kita buat sendiri.

Maka, sebagian dari kita bekerja jauh lebih keras dibanding yang lain. Jauh lebih keras hingga lupa dengan tanggung jawab keluarga atau sosial di sekitarnya, hanya untuk menambal kekurangan-kekurangan pokok hidupnya, karena penghasilannya melalui apa yang disebut false consciousness diisap kenikmatan-kenikmatan jasa. Kita akan kerja lembur terus, akan cari sampingan terus, dan bila semua kemungkinan penghasilan alternatif itu sudah menyempit, kita pun akan menengok alternatif lain, yang ilegal bahkan kriminal.


Tidak mengherankan, bukan saja korupsi dan manipulasi merajalela, praktik dagang licik dan penuh tipu terjadi, tetapi juga kejahatan —yang mematikan— terjadi hanya untuk uang yang tak seberapa. Sebagian lagi melacurkan diri, karena tinggal memiliki itu satu-satunya modal yang bisa dijual. Dan betapa miris hati ini, ketika remaja-remaja belasan tahun itu kini menjual dirinya, lewat media-media sosial, dengan berbagai tawaran yang mengiris-iris harga diri.

Apakah tidak ada yang tersentuh dengan fenomena gila seperti ini? Di manakah mereka kaum elite yang mendapatkan limpahan berkah dan amanah dari kita, selaku khalayak? Tidakkah mata dan hati mereka tidak mampu lagi menangis? Atau justru tenggelam sebagai bagian dari arus besar hedonisme atau menjadi cecunguk dari peradaban dagang seperti itu? Sadar atau tak sadar, kita telah mengimperialisasi rakyat kita sendiri, khalayak yang telah memberikan kenikmatan dan kemelimpahan harta.

Di mana pemerintah? Padahal, di sementara lain, bangsa ini sangat terkenal dengan kebudayaan, kesenian, dan kekuatan kreatifnya, namun malah tidak mampu mengambil keuntungan dari bisnis jasa yang sebenarnya justru menjadi kekuatannya? Saya tidak ingin lagi berdoa, untuk kesadaran mereka —kaum elite— misalnya. Saya menuntut dengan keras: jangan biarkan, bahkan sekali-sekali jangan pernah menjadi komprador untuk menghancurkan bangsa ini dengan skema perdagangan seperti di atas. Bila itu terjadi, maka pasti akan menghancurkan harapan masa depan yang lebih mulia bagi anak cucu kita. Dan itu berarti akan menghancurkan peradaban kita di masa depan.

Radhar Panca Dahana,
Budayawan
KOMPAS, 7 Mei 2015

No comments: