Friday, February 9, 2018

Ilusi Politik Tanpa Mahar


Belakangan bermunculan pengakuan para bakal calon kepala daerah yang gagal mencalonkan diri dalam pemilihan umum kepala daerah 2018 karena terkait permintaan "mahar" dari partai politik.

Walaupun persoalan mahar politik terbilang isu lama, ˗pasca-munculnya pasal pidana terhadap mahar˗ kini isu itu bergeser pada ranah penegakan hukum, bukan lagi sekadar persoalan perekrutan calon kepala daerah di internal partai politik.

Setidaknya ada dua pasal di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang menjadi dasar untuk mempidanakan mahar politik, yakni Pasal 187 B dan Pasal 187 C. Dalam ketentuan itu, pemberi dan penerima mahar politik dapat dipidana.

Mau pilih Politik Uang apa Uang Politik? Uang Mahar apa Uang Haram?

Secara normatif ada beberapa unsur yang mesti dipenuhi agar dapat mempidana pelaku mahar politik, yaitu (a) subyek pemberi adalah perseorangan atau lembaga, sedangkan subyek penerima adalah anggota partai politik atau gabungan partai politik; (b) pemberian ini termasuk sebagai perbuatan melawan hukum, suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang; (c) ada pemberian dan penerimaan imbalan; (d) peristiwa terjadi pada proses pencalonan gubernur/ wakil gubernur, walikota/wakil walikota, dan bupati/wakil bupati.

Sepintas pembuktian mahar politik nampak mudah, cukup dengan adanya bukti pemberian saja sudah cukup bagi penegak hukum untuk mengusut kasus ini. Namun, apakah penyelenggara pemilu dan penegak hukum punya cukup sumber daya (nyali?) untuk menuntaskan penegakan hukumnya?


Ilusi
Politik tanpa mahar ini seperti ilusi, baik dari sisi penegakan hukum maupun penyelenggaraan pemilu. Pemidanaan terhadap pelaku mahar politik hanya menyangkut satu tahapan saja dalam proses panjang penyelenggaraan pemilu.

Ada beberapa hal yang perlu dicermati. Pertama, tindak pidana mahar politik hanya akan dikenakan jika dilakukan dalam proses pencalonan. Secara materiil pemberian itu harus nyata (imbalan), bukan sekadar janji. Bagaimana jika pemberian itu baru dilakukan setelah penetapan pasangan calon? Ada problem normatif yang menyebabkan pasal ini sulit menjangkau praktik jual-beli (mahar) dalam pencalonan kepala daerah.

Kedua, pasca-pencalonan, pasangan calon yang telah ditetapkan sangat mungkin untuk memberikan sesuatu (uang) kepada partai politik pengusung dengan dalih membantu dana kampanye. Dengan demikian, ini menjadi sesuatu yang legal, tidak bisa lagi dinilai sebagai mahar politik.

Ketiga, bagaimana kesiapan penegak hukum dan penyelenggara pemilu dalam merespons tindak pidana mahar politik dengan berbagai dimensinya?


Bisa hilang
Dalam banyak hal, tindak pidana yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pemilu akan hilang (menguap) dengan sendirinya ketika pemilu berakhir. Padahal, tindak pidana mahar politik sebenarnya justru tidak ada batas waktu.

Kenyataannya, tindak pidana mahar politik ini memiliki sanksi ganda. Tidak hanya berupa pidana penjara/denda kepada pemberi dan penerima, tetapi juga memuat sanksi administratif, yaitu bagi partai politik atau gabungan partai politik yang terbukti menerima mahar politik.

Sanksi tersebut berupa larangan untuk mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama (Pasal 47 Ayat 2). Bahkan, penetapan pasangan calon, calon terpilih, atau bahkan telah menjabat sebagai kepala daerah dapat dibatalkan (Pasal 47 Ayat 5).

Jika mengikuti perkembangan yang sedang terjadi saat ini, baik penegak hukum maupun penyelenggara pemilu, sepertinya kesulitan untuk mengusut kasus ini dan cenderung menunggu pengakuan serta bukti-bukti yang diberikan pihak lain, apalagi bila pengakuan itu muncul dari pihak pemberi yang juga berpotensi dikenai pidana.


Sebagai tindak pidana baru, tantangan ini tentu harus dijawab dengan kesiapan yang mumpuni, baik bagi penyelenggara pemilu maupun penegak hukum.

Kesiapan ini tentu saja terkait dengan standar prosedur di internal lembaga masing-masing ataupun kemampuan aparat untuk menyelidiki dan menyidik tindak pidana mahar politik.

Jika berkaca pada pengalaman penegakan hukum pemilu, misalnya terkait tindak pidana politik uang untuk mempengaruhi hak pilih. Dalam banyak hal justru tidak berdampak signifikan terhadap perbaikan penyelenggaraan dan kualitas hasil pemilu.

Padahal, praktik politik uang telah menjadi keseharian dalam banyak pilkada dan itu terjadi di depan hidung penyelenggara pemilu dan penegak hukum.


Kesiapan penegak hukum
Mungkin saja penegak hukum dan penyelenggara pemilu memang tidak cukup punya kemampuan untuk menangani tindak pidana politik uang yang begitu masif. Belum lagi soal keterbatasan waktu untuk menyelesaikan dan menuntaskan kasus tersebut.

Bahkan, dalam beberapa kasus politik uang, kenyataannya justru tidak berproses dalam ranah hukum pidana, tetapi justru dibuktikan dalam proses sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).

Maka, bukan tidak mungkin tindak pidana mahar politik ini akan bernasib sama dengan tindak pidana politik uang sebagai akibat dari lemahnya penegakan hukum pidana pemilu.


Mahar politik, imbalan, atau apa pun namanya, tidak bisa dipisahkan dari persoalan inti tentang politik biaya tinggi. Upaya untuk menekan biaya politik melalui instrumen pidana sebaiknya memang dijadikan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium).

Berbagai instrumen memang mulai dimunculkan, mulai dari menambah anggaran bantuan keuangan bagi partai politik, membatasi jumlah sumbangan politik, membatasi belanja kampanye, hingga kebijakan untuk subsidi dana kampanye dari anggaran negara. Akan tetapi, sekali lagi semua hal itu belum cukup ampuh untuk menekan biaya politik yang begitu tinggi.

Saya merasa bahwa pasal pemidanaan terhadap perkara mahar politik hanyalah baru sekadar menambah satu pasal pidana di dalam undang-undang. Sama sekali belum menyelesaikan problem korupsi politik sebagai akibat langsung dari proses penyelenggaraan pemilu biaya tinggi yang bersifat koruptif.

Reza Syawawi,
Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
KOMPAS, 5 Februari 2018

Kasus mahar politik La Nyalla Matalitti dan Prabowo Subianto, adalah bukti bahwa dalam politik memang tak ada teman yang abadi.

Multi Tafsir Mahar Politik

Awal mula ramainya perdebatan tentang mahar politik saat ini tidak lepas dari 'curhatan' La Nyalla Mattalitti yang mengaku dimintai uang untuk mendapatkan rekomendasi atau tiket maju sebagai bakal calon Gubernur Jawa Timur dari Partai Gerindra.

Menurut penuturan La Nyalla, ia dimintai uang supaya mendapatkan rekomendasi sebagai bakal calon Gubernur Jatim sebesar Rp 40 miliar.

Menanggapi persoalan tersebut, Politisi dan anggota DPR RI dari PDI Perjuangan, Hendrawan Supratikno, menyebutkan bahwa mahar politik yang diminta kepada bakal calon kepala daerah untuk bisa diusung oleh partai politik itu multi tafsir.

Beda definisi dan persepsi saja,” kata Hendrawan.

Di dunia wayang ada politikus Sengkuni dan politisi Batara Kresna.

Salah satu Ketua DPP PDI Perjuangan ini mengatakan bahwa mahar politik itu ada yang mengartikan sama dengan biaya politik (untuk biaya saksi dan sosialisasi), tapi ada juga yang mengartikan sebagai biaya politik plus fee untuk makelar politik.

Ada pula yang menafsirkan sebagai biaya politik ditambah fee, plus biaya pemenangan, jadi ruwet,” katanya.

Bahkan, persoalan yang dikemukakan mantan Ketua PSSI, La Nyalla Matalitti, kini sudah bergulir dan sedang diselidiki oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk ditelusuri benar atau tidaknya adanya “mahar” pada partai politik guna rekomendasi maju di Pilkada 2018 ini.

Laporan: Abdul Aziz Nurizun
Monitor.co.id, 14 Januari 2018

2 comments:

ANGKA MISTIK said...

Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Hk

dewisari said...

ayo bergabung dengan bolavita khusus new member lgsg di berikan 10%
tanpa ribet dan masih banyak bonus2 lain nya
semua di berikan tanpa ribet pelayanan terbaik 24 jam
depo wd secepat kilat ^^ ayam bangkok tarung

info lbh lanjut :
whatup : +628122222995