Sunday, May 6, 2018

Rumor Itu Kejam, Kisah Wafatnya Ibu Negara Tien Soeharto


Saya bertugas sebagai ajudan yang mendapingi Pak Harto, ketika badai berturut-turut menghantam perasaan Pak Harto. Mulai saat Ibu Tien wafat secara mendadak, berlanjut hingga kemelut politik dan ekonomi pada tahun 1998.

Pada hari Jum’at 26 April 1996, sore menjelang gelap Pak Harto dan rombongannya sedang memancing di perairan sebelah barat Anyer. Hanya dua ekor ikan berhasil ditangkap. Pak Harto sempat menyeletuk, “ini kok tidak seperti biasanya?” Ketika itu tidak ada firasat buruk apapun. Baru beberapa hari kemudian saya menyadari hal itu mungkin pertanda menjelang wafatnya Ibu Negara.

Karena cuaca mendadak semakin tidak bersahabat, segera pada sore harinya, kapal yang membawa Pak Harto terpaksa cepat merapat ke kapal TNI-AL yang lebih besar. Itu merupakan pengamanan standar untuk pemimpin negara dengan status VVIP (very-very important person). Karena gelombang makin besar dan angin berembus kencang, dengan alasan keselamatan, semua tamu penting pindah ke kapal Angkatan Laut.


Saat-saat Terakhir Ibu Tien
Setelah badai reda, di pagi hari Sabtu diputuskan Pak Harto pulang ke Jakarta. Saat Pak Harto pergi memancing di perairan Selat Sunda itu, Ibu Tien memiliki aktivitas sendiri. Beliau mengunjungi sentra pembibitan buah Mekarsari.

Agaknya Ibu Tien terlalu asyik dan gembira melihat-lihat banyaknya tanaman yang tengah berbuah itu. Ibu Tien lupa bahwa sebenarnya beliau tidak boleh berjalan terlalu lama dan jauh. Hal itu untuk menjaga kesehatan Ibu Tien yang kala itu tengah mengidap penyakit Jantung.

Ketika Pak Harto kembali ke kediamannya dan bertemu Ibu Tien pada sore harinya, suasana masih berlangsung seperti biasa. Hanya pada waktu itu Ibu Tien harus banyak istirahat karena kelelahan. Baru pada Minggu dini hari sebelum subuh, sekitar pukul 04.00, Ibu Tien mendapat serangan jantung mendadak.

Ibu Negara nampak sulit bernafas. Dalam kondisi genting segera diputuskan untuk membawa Ibu Tien ke RSPAD Gatot Subroto, tempat beliau sebelumnya beberapa kali menjalani pemeriksaan. Saya melihat dokter kepresidenan, Hari Sabardi memberi bantuan awal pernafasan dengan tabung oksigen. Saya sendiri turut membawa Ibu Negara dari rumah ke mobil dan selanjutnya ke RSPAD. Saat itu, selain Pak Harto, Mas Tomy dan Mas Sigit ikut mendampingi.

Setelah berbagai upaya penyelamatan medis dilakukan oleh tim dokter, Allah SWT berkehendak lain atas insan ciptaan-Nya. Sekitar pukul 05.10, Ibu Tien menghembuskan nafas terakhirnya dan beliau meninggalkan berbagai kenangan kepada kita, seluruh rakyat Indonesia.


Saya Saksi Hidup
Pada saat-saat terakhir itu Pak Harto terus mendampingi Ibu Tien di rumah sakit. Saya menyaksikan langsung bagaimana Pak Harto mengalami kesedihan yang amat mendalam. Walau bagaimanapun, seorang suami pasti sedih kehilangan pendamping hidupnya selama puluhan tahun. Ibu Tien telah banyak berkorban dan menemani Pak Harto dalam suka dan duka. Namun dalam keadaan itu Pak Harto tetap nampak tegar, tenang dan tabah.

Beberapa hari setelah Ibu Tien meninggal, beredar isu di masyarakat bahwa Ibu Negara meninggal karena dua anak lelakinya, Mas Bambang dan Mas Tomy, yang berebut proyek mobil nasional dan sempat terjadi baku tembak antara keduanya. Salah satu tembakan diisukan mengenai Ibu Tien. Itu adalah rumor dan cerita yang sangat kejam dan tidak benar sama sekali. Saya saksi hidup yang menyaksikan Ibu Tien terkena serangan jantung mendadak, dan ikut membawanya ke mobil, dan terus menunggu di luar ruangan saat tim dokter RSPAD melakukan upaya medis.

Saya harap jangan sampai rumor yang tidak benar itu tetap beredar dan dipercaya oleh sebagian masyarakat kita yang hingga kini masih terus saja menganggapnya hal yang benar.

Jendral Polisi Sutanto, saat menjadi ajudan, berdiri tepat di belakang Presiden Soeharto ketika menyatakan berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia.

Memilih Jalan Yang Luhur
Menjadi ajudan Presiden Soeharto pada tahun 1995-1998 membuat saya bisa melihat secara langsung bagaimana sikap, pergulatan batin, dan tindakan Pak Harto menjalani hari-hari terakhirnya sebagai presiden. Tanpa ambisi untuk memperpanjang kekuasaan, Pak Harto dengan rasional (legawa) lebih mengedapankan aspirasi rakyat, menjunjung tinggi demokrasi, dan menghormati hukum.

Ketika itu, bisa saja Pak Harto dengan kekuatan yang masih ada menyelesaikan persoalan secara keras dan mengesampingkan demokrasi. Namun, Pak Harto lebih memilih jalan yang lebih luhur, yakni menyelamatkan semua pihak, baik yang masih setia maupun yang telah meninggalkannya. Pak Harto rela berhenti demi keutuhan bangsa.

Dengan tidak adanya perpecahan, bangsa Indonesia bisa menapaki perjalanan sejarahnya secara lebih ringan. Itu menjadi poin penting, bagaimana Pak Harto sesungguhnya bisa dinilai sebagai sosok Negarawan, Bapak bangsa dengan segala kelebihan dan kekurangan yang telah ditinggalkannya.


Sayang, Tidak Dicerna
Mengedepankan kepentingan dan kemajuan bangsa serta memperhatikan rakyat, sepanjang pengamatan saya adalah salah satu aspek yang dipegang teguh oleh Pak Harto. Itu tercermin melalui hobi Pak Harto merawat peternakannya di Tapos, Bogor.

Di peternakan itu Pak Harto memantau perkembangan pembibitan sapi-sapi unggul. Sentra pembibitan itu ditujukan untuk menciptakan swasembada daging sapi secara bertahap, juga agar para peternak sapi bisa mendapatkan sapi unggul tanpa tergantung pada pasokan negara lain.

Sayang misi mulia Pak Harto itu tidak dicerna sepenuhnya dan tidak diteruskan oleh generasi pemimpin selanjutnya.


Buku Catatan Pak Harto
Pak Harto adalah pemimpin yang punya prinsip dan konsisten. Tidak ada keputusan yang bertentangan antara yang satu dengan yang lain, atau antara yang terlebih dulu diambil dengan yang baru diputuskan kemudian.

Sepertinya hal itu tidak lepas dari kebiasaan Pak Harto dalam menulis dan mencatat setiap masukan dan keputusan, dalam sebuah buku khusus. Buku itu memuat segala yang penting secara sistematis. Bahkan Pak Harto memberi daftar urut dan memisahkan bagian per bagian berdasarkan siapa menterinya atau apa topik permasalahannya. Dengan dibantu catatan dari buku itulah Pak Harto sebagai presiden dan kepala negara bisa melihat kemajuan atau progres dari berbagai masalah yang tengah dihadapi oleh pemerintah. Kebiasaannya untuk mencatat, membuat Pak Harto bisa dinilai sebagai seorang administrator yang baik dan teliti.


Tenggelam di Tumpukan Map
Biasanya setiap pagi, Pak Harto sudah siap pukul 07.30 untuk berangkat ke Istana Negara. Kalau tidak ada acara kenegaraan, Pak Harto sudah pulang pada siang hari menjelang sore.

Meskipun sudah pulang di rumah, namun Pak Harto masih menerima minimal lima pejabat dari sore hingga malam hari. Bahkan setelah makan malam, jika ada pejabat yang hendak memberi laporan, Pak Harto masih mau menerima. Waktunya bisa sampai pukul 22.00 hingga 23.00.

Setelah tidak menerima tamu lagi, saat orang-orang kebanyakan mungkin sudah tertidur lelap, Pak Harto masih membaca surat-surat yang masuk. Tingginya tumpukan surat dan map, bisa mencapai empat puluh sentimeter. Jika orang masuk dan melihat meja kerjanya yang penuh dokumen, ia akan menyaksikan Pak Harto seakan tenggelam dalam tumpukan map. Kadang muncul rasa iba dalam benak saya, karena Pak Harto tidak jarang baru menyelesaikan pekerjaannya hingga jam dua pagi. Setelah itu, sebelum beranjak tidur, Pak Harto selalu Shalat Tahajud.

Jika sudah mengantuk dan ada beberapa surat atau map yang belum dibuka, Pak Harto selalu bangun Subuh kurang lebih pukul 04.00 untuk menyelesaikannya. Beliau tidak pernah menunda-nunda pekerjaan. Jadi, pagi harinya sudah pasti turun disposisi kepada menteri dan pejabat terkait, sebagian besar melalui Mensesneg.


Orang-Orang Yang Dipercaya
Sikap lain yang menarik dari Pak Harto adalah menghargai pendapat dan masukan dari siapa saja, formal atau tidak, dan datang dari manapun. Beliau selalu sabar mendengarkan dan tidak pernah memotong pembicaraan orang lain. Hal itu, bukanlah hal yang mudah dilakukan, karena kebanyakan pemimpin atau yang memiliki kedudukan tinggi, sering kali memiliki kebiasaan memotong pendapat atau masukan dari orang lain.

Oleh karena itu, dalam menangani masalah, Pak Harto berusaha obyektif dan bijaksana, karena selain mendapat informasi dari lembaga-lembaga resmi, intelijen, pemberitaan di media massa, beliau juga menerima masukan yang lengkap baik secara formal dari lembaga lain dan informal dari orang-orang yang bisa dipercaya.


Garis Lunak dan Garis Keras
Pak Harto boleh dibilang merupakan sesepuh politik di kawasan Asia. Dari sejumlah agenda dan kebijakan politik luar negeri yang diikuti Pak Harto, banyak kesepakatan bersama antarnegara yang akhirnya mengacu pada pendapat beliau.

Setiap kali menghadiri acara multilateral, Pak Harto selalu tahu duduk persoalan sebenarnya dari masalah yang dihadapi oleh sejumlah negara. Kemudian ia memilih strategi yang terbilang unik dalam menghadapi pihak yang pro dan kontra atas suatu hal. Beliau pasti akan memetakan dulu mana pihak yang pro dan kontra, dengan membaginya menjadi lebih terperinci berdasarkan militansinya. Mereka dimasukkan ke dalam kelompok lunak, setengah keras atau garis keras.

Basoeki Abdullah sedang melukis Ibu Negara, Tien Soeharto.

Strategi selanjutnya, melobi kelompok lunak terlebih dahulu. Setelah kesepakatan atau komitmen dari kelompok lunak dicapai barulah “gerilya” pada kelompok setengah keras dilakukan. Dengan berbagai pendekatan, akhirnya perbedaan pendapat yang tidak terlalu tajam bisa luluh. Kubu keraspun dirangkul dan digandeng demi kepentingan bersama. Kalau memang tidak mau, nantinya dalam sidang-sidang terbuka pun akan bisa luluh karena sebagian besar negara telah setuju dengan ide-ide yang dibawa Pak Harto. Ketika memecahkan suatu masalah, Pak Harto menjaga benar agar jangan sampai ada yang sakit hati atau kehilangan muka karena merasa kalah.

Pembawaan Pak Harto yang tenang, kalem, dan tidak emosional, adalah manifestasi dari kesungguhan Pak Harto menjunjung tinggi Falsafah Jawa, yang diyakininya bisa menjadi pedoman dalam berinteraksi dengan sesama manusia.


Makan dan Tertawa Bersama
Di awal menjadi ajudan, saya kaget melihat sebuah kursi yang beludrunya sudah terkelupas hingga nampak hitam dan gelap namun tidak pernah diganti. Tampaknya beliau tidak pernah memikirkan hal-hal seperti furnitur. Pak Harto lebih mementingkan fungsinya dan apakah benda itu masih bisa dipakai atau tidak.

Selain sederhana, di mata saya Pak Harto selalu memperhatikan bawahannya. Semua diperlakukan sama, tidak dibeda-bedakan, dan tidak ada anak emas. Pemimpin yang baik tidak menimbulkan iri di antara pembantunya di kabinet, bawahan, dan ajudan-ajudannya. Pak Harto bukan hanya berperan sebagai pimpinan, namun juga sebagai bapak yang baik.

Tidak jarang Pak Harto mengajak saya makan bersama dalam satu meja makan bersama bawahan dan ajudan yang lain. Pak Harto kadang juga bercerita sesuatu hal. Jika ada ajudan yang bercerita dan ternyata muncul sesuatu yang lucu, Pak Harto pun tergelak dengan suara tawa yang khas.

Pak Harto adalah kepala negara yang memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Ia disegani di dalam dan di luar negeri. Saya dan siapapun pasti menimba banyak hal dari beliau.

Ditulis Oleh: Jenderal Polisi (Purn.) Sutanto
Dikutip dari Buku “Pak Harto The Untold Stories”, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002, hal. 497.


Jenderal Polisi (Purn.) Sutanto, kelahiran Comal, Pemalang 30 September 1950. Lulusan terbaik Akademi Kepolisian tahun 1973. Sebelum menjadi Kapolri (Juli 2005 – September 2008), beliau adalah Kepala Badan Pelaksana Harian (Kalakhar) Badan Narkotika Nasional. Beliau menjadi ajudan Presiden Soeharto pada tahun 1995 – 1998, Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sumatera Utara (2000), dan Kapolda Jawa Timur (17 Oktober 2000 – Oktober 2002). Beliau juga sempat menjadi Komisaris Utama PT Pertamina. Dan sejak 22 Oktober 2009 – 19 Oktober 2011, menjabat Kepala Badan Intelijen Negara (BNN). Sejak 2011, beliau adalah Komisaris Independen di MNC Group.

No comments: