Showing posts with label Krisis. Show all posts
Showing posts with label Krisis. Show all posts

Friday, September 14, 2018

Industri Digital: Intervensi Asing Melalui Media Sosial


Media sosial yang diyakini sebagai media paling efektif untuk menjangkau orang lain, telah menjadi ajang perang informasi tak hanya di tingkat nasional tetapi juga di tataran global. Kini berbagai cara dilakukan untuk mempengaruhi opini seseorang hingga mereka mengikuti informasi dan pandangan yang sengaja dibuat oleh orang lain untuk dirinya.

Awal pekan ini kita dihebohkan oleh langkah Facebook yang kembali mencopot sejumlah akun, grup, dan halaman baik di Facebook maupun Instagram yang digolongkan sebagai akun dengan perilaku terkoordinasi yang aneh. Mereka mencopot sebanyak 652 entitas yang diduga terkait dengan Rusia dan Iran. Mereka diketahui melakukan tindakan mempengaruhi terkait dengan kegiatan politik di Amerika Serikat, Inggris, Amerika Latin, dan Timur Tengah.

Sebelumnya, yaitu sebulan yang lalu Facebook juga menghapus 32 akun dan halaman yang diduga digunakan untuk kepentingan politik. Mereka hendak mempengaruhi pemilihan tengah waktu (midterm) yang akan berlangsung di Amerika Serikat. Pemilik akun juga diketahui mendorong pengikutnya untuk mengikuti sebuah gerakan dengan turun ke lapangan.


Media sosial termasuk Facebook banyak digunakan untuk menyebar opini, berita palsu, dan narasi-narasi yang bertujuan untuk kepentingan tertentu. Facebook menghapus sejumlah akun yang dicurigai sebagai akun dengan perilaku terkoordinasi yang aneh.

Dalam pengumuman pekan ini, Facebook menyebutkan, operasi di Iran melibatkan 254 halaman Facebook dan 116 akun Instagram. Mereka mampu menarik satu juta pengikut. Akun-akun itu telah berbelanja iklan sejak 2012 hingga tahun lalu dengan nilai 12.000 dollar AS.

Salah satu akun diketahui telah berbelanja iklan 6.000 dollar AS pada bulan Agustus ini. Lembaga yang pertama mencurigai akun-akun itu adalah FireEye dan mereka memberitahukan ke Facebook.

Akun lainnya diketahui telah mencoba membajak sejumlah akun dan menyebarkan virus tertentu. Akun yang ketiga telah menyelenggarakan 25 event dan memiliki 813 pengikut. Mereka menyebarkan konten tentang Timur Tengah namun juga tentang Amerika Serikat dan Inggris.


Facebook telah menjelaskan masalah ini kepada pemerintah AS dan Inggris. Sebuah investigasi tengah dilakukan namun karena alasan sensitivitas, mereka tidak mau menjelaskan lebih lanjut mengenai alasan penghapusan akun-akun yang diduga menjalankan tindakan bermotif politik.

Beberapa hari sebelum langkah Facebook ini, Twitter juga telah menghapus sebanyak 284 akun yang diduga terkait dengan Iran. Mereka melakukan manipulasi informasi yang terkoordinasi.

Twitter tengah bekerjasama dengan aparat hukum dan juga perusahaan digital lainnya untuk menangani masalah ini agar menjadi jelas masalahnya. Microsoft juga telah mengumumkan bila intelijen militer Rusia telah mencoba untuk membajak akun-akun politisi Amerika.


Dari berbagai kejadian itu terlihat bahwa pihak asing berusaha terlibat dalam berbagai peristiwa politik di sebuah negara. Mereka dinilai sangat agresif dalam upaya untuk mempengaruhi hal-hal sensitif semisal hasil pemilihan umum atau keputusan politik di sebuah negara. Mereka membuat narasi-narasi yang bertujuan untuk menguntungkan mereka dan disebar melalui akun-akun media sosial serta menggunakan teknik pemasaran digital yang bisa menarget orang per orang secara tepat.

Dari berbagai kasus itu, pemerintah Indonesia harus mewaspadai kemungkinan aktifitas pihak-pihak luar yang ingin mempengaruhi hasil pemilihan presiden pada April 2019 mendatang. Melihat begitu kerasnya pertentangan di media sosial saat ini, maka kita harus mewaspadai kemungkinan intervensi asing melalui media sosial.

Apalagi posisi Indonesia sangat dibutuhkan, baik oleh Amerika Serikat, Rusia, China, dan Jepang dalam konteks politik global.

Andreas Maryoto,
Wartawan senior Kompas.
KOMPAS, 23 Agustus 2018


Waspada, Krisis Digital Dapat Terjadi Kapan Saja

Ketika kehidupan makin banyak bergantung pada teknologi digital maka kita harus bersiap ketika terjadi krisis. Kita tidak dapat menggantungkan atau memuja-muja sepenuhnya kehadiran berbagai produk teknologi digital.

Peran manusia ternyata masih menentukan sehingga tidak semuanya dapat dijalankan dengan teknologi digital. Apalagi, ketika tata kelola yang baik masih harus dibangun dan masih dalam proses, maka sistem dengan teknologi digital sehebat apapun dapat mengalami krisis.

Kita baru saja menyaksikan betapa rumitnya urusan tiket Asian Games 2018 sehingga pengelolaan dipindahkan dari Kiostix ke Blibli.com, Loket.com, dan Tiket.com. Itu karena publik tidak puas dengan sistem manajemen tiket sebelum pembukaan Asian Games dilakukan.

Tokopedia juga terpaksa memecat sejumlah karyawannya yang diketahui melakukan tindakan tidak terpuji. Tokopedia ingin menegakkan tata kelola yang benar. Kasus lainnya sudah banyak terjadi di beberapa perusahaan teknologi dan juga perbankan di Indonesia.


Keterandalan teknologi digital ternyata juga memunculkan masalah sehingga bisa memunculkan krisis. Tata kelola yang tidak memadai, kemampuan infrastruktur yang minim, kekurangandalan sistem, hingga kelemahan keterampilan para pengembang dalam menerjemahkan kebutuhan digitalisasi, menjadi penyebab munculnya krisis digital. Salah satu hasil survei menyebutkan krisis digital sebagian besar disebabkan dari dalam perusahaan teknologi itu sendiri!

Kalangan ahli manajemen krisis pun berpendapat, krisis digital bisa terjadi kapan saja dan pada siapa saja. Krisis ini telah pernah menimpa sejumlah perusahaan-perusahaan besar sehingga siapapun bakal bisa terkena krisis ini tanpa pandang bulu.

Kejadian seperti ini terus meningkat sehingga perusahaan perlu membuat protokol mengenai rencana tanggap darurat terhadap krisis. Sayangnya, sebagian besar tanggapan terhadap krisis digital masih membahas soal krisis reputasi perusahaan berkaitan dengan berita di media sosial. Padahal krisis dalam konteks itu sebenarnya adalah krisis komunikasi digital.


Di dalam salah satu blog tentang pengelolaan krisis disebutkan beberapa komponen yang diperlukan saat terjadi krisis digital. Pertama adalah, teknologi digital itu sendiri yang digunakan untuk melakukan komunikasi antarpihak di dalam perusahaan.

Teknologi digital harus digunakan untuk mempercepat arus informasi penanganan krisis. Model lama dengan cara manual harus ditinggalkan karena kemampuan menangani krisis akan terhambat bila dilakukan dengan cara manual dan konvensional.

Kedua adalah, aksesibilitas informasi oleh karyawan. Ketika krisis maka semua karyawan secara proporsional harus mudah mengakses informasi sehingga tidak terjadi simpang siur.

Ketiga adalah, aktivasi para pemangku kepentingan agar bisa terlibat dalam menangani krisis. Ketika krisis membesar dan cenderung ditangani sendiri maka mereka telah mengabaikan para pemangku kepentingan lainnya yang sebenarnya bisa ikut terlibat dalam menangani krisis.

Apalagi, mereka sebenarnya memiliki kemampuan dan pengaruh yang bisa ikut menangani krisis.


Keempat adalah, kecepatan merespons melalui infrastruktur yang tersedia dapat mempercepat respons terhadap berbagai jenis krisis.

Krisis digital memiliki cakupan yang sangat luas dari mulai krisis karena kemampuan infrastruktur yang tidak memadai, tindakan yang tidak terpuji dari mereka yang mengelola teknologi digital, hingga masalah komunikasi berbasis teknologi digital.

Kita masih perlu belajar banyak agar kita bisa menangani krisis di era yang makin bergantung pada teknologi digital. Penanganan krisis digital menjadi mutlak karena menyangkut kepercayaan publik atau konsumen sehingga hal ini harus menjadi prioritas utama yang harus segera dipulihkan. Dan tentu saja, keamanan sistem merupakan kunci dalam mencegah terjadinya krisis yang berulang.

Andreas Maryoto,
Wartawan senior Kompas.
KOMPAS, 30 Agustus 2018

Wednesday, August 24, 2016

Krisis Kesadaran atas Keadaan Krisis


Dalam sambutan pertamanya, Arcandra Tahar selaku Menteri ESDM baru sedikit menyinggung tentang UU Minyak dan Gas Bumi. Dan kadarnya baru sebatas menyebut saja, belum ada kejelasan tentang langkah apa yang akan diambil.

Sangat wajar, karena sebagai menteri baru yang lebih dari 20 tahun berkarier di luar negeri, tentu masih dalam tahap penjajakan atas semua isu yang ada di dalam lingkup kerjanya. Melalui tulisan ini, sebagai anggota masyarakat biasa, saya ingin berbagi cerita, yang mungkin bisa bermanfaat untuk lebih memantapkan langkah dan kebijakan Menteri Arcandra Tahar merespons isu terkait UU Migas itu.


Terbengkalai
Begini lebih kurang ceritanya. Jika ada suatu UU, yang lebih kurang seperempat dari keseluruhan jumlah pasal di dalamnya telah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sejak 2013 tetapi masih tetap kita gunakan sebagai landasan penyelenggaraan pemerintahan di sektor yang sangat strategis, maka itu adalah UU No 22/2001 tentang Migas.

Jika ada proses revisi UU yang telah memakan waktu lebih kurang delapan tahun tetapi hingga kini belum selesai, bahkan proses legislasinya pun belum juga mulai memasuki tahap pembahasan resmi karena secara formal rancangan UU revisinya belum juga ada, maka itu adalah proses revisi UU No 22/2001 tentang Migas.


Sebagai masyarakat biasa, terus terang pemikiran saya tidak sampai untuk dapat memahami bagaimana bisa kita yang selalu mengatakan sektor migas adalah sangat strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak, para penyelenggara negaranya seperti membiarkan hal seperti itu terus berlangsung. Padahal, produksi minyak mentah sudah terus menurun selama hampir 20 tahun terakhir: dari kisaran 1,6 juta barrel per hari (1997) hingga hanya kurang dari separuhnya, yaitu di kisaran 780.000 barrel per hari saat ini.

Dari semula merupakan negara pengekspor minyak, anggota OPEC yang disegani, hingga sudah menjadi nett oil importer yang bahkan berpotensi menjadi negara pengimpor minyak dan BBM terbesar di dunia seperti saat ini.


Padahal, rasanya tak kurang juga sejumlah kalangan ––dari pakar, praktisi, investor, bahkan dari unsur pemerintah dan DPR sendiri–– telah sejak lama menyuarakan bahwa sektor migas nasional sejatinya telah berada dalam keadaan krisis atau darurat.

Sebagai awam, terus terang saya juga sulit mencerna bagaimana bisa kita yang punya segudang ahli di bidang migas seperti tak mampu menyelesaikan revisi UU Migas itu. Waktu delapan tahun, lebih kurang setara dua kali jangka waktu seseorang untuk dapat menyelesaikan pendidikan doktor yang berkualitas.

Tidak cukupkah waktu delapan tahun itu untuk menyelesaikan proses revisi sebuah UU dan menghasilkan UU penggantinya yang berbobot? Sedemikian komplekskah substansi persoalan UU Migas itu sehingga semua penyelenggara negara dan ahli di negeri ini tak mampu menangani dan menyelesaikannya?


Tak bersungguh-sungguh
Dalam keterbatasan jangkauan daya pikir yang ada, yang bisa masuk di logika sederhana saya tentang penyebab hal ini hanya satu: bahwa kita sejatinya memang tak bersungguh-sungguh di dalam menyelesaikan persoalan ini. Dalam istilah yang jujur dan sederhana, mungkin kita dapat dikatakan “malas” dan sejatinya memang tak sungguh-sungguh di dalam mengerjakan proses revisi itu. Dalam istilah yang lebih keren, mungkin kita sejatinya tidak memiliki sense of urgency, bahwa kita, di sektor migas, sedang dan telah dalam kondisi krisis.

Dalam permainan kata-katanya, kita sedang dalam krisis kesadaran atas keadaan krisis itu sendiri. Tagar #kamitidaktakut, dalam pengertian yang cenderung negatif sepertinya berlaku dalam kasus ini.


Maka, solusi dalam kasus ini sebenarnya sederhana, yaitu tak lain agar para penyelenggara negara, khususnya DPR, segera melakukan langkah konkret dan bekerja bersama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menyelesaikan proses revisi UU Migas ini. Sependek yang saya tahu, inisiatif atas revisi ataupun proses revisinya sejak 2009 hingga saat ini masih ada di DPR.

Namun, jika hal ini terus berlarut, katakanlah hingga akhir 2016 belum juga selesai, berangkat dari amanat UUD 1945 bahwa minyak dan gas adalah cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dan telah cukup lama dalam keadaan krisis, kiranya Menteri ESDM dapat memberi masukan dan usulan agar Presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang alias Perppu. Sebagaimana yang belum lama ini telah dilakukan Presiden untuk menyelesaikan isu dan permasalahan kritis lain di negeri ini.

Pri Agung Rakhmanto
Dosen Universitas Trisakti,
Pendiri Reformer Intitute

KOMPAS, 13 Agustus 2016

Tuesday, October 20, 2009

Bagaimana Defisit Meledakkan Pasar?


Krisis Anggaran defisit yang besar memiliki daya rusak yang dahsyat pula. Karena itulah Dana Moneter Internasional, sebagai pemantau perekonomian negara-negara anggotanya, mengingatkan soal pentingnya menjalankan disiplin anggaran. Dengan kata lain, jangan ada pengeluaran yang lebih besar dari penerimaan yang melampaui batas yang proporsional.

Salah satu kawasan yang amat ketat memantau besaran defisit anggaran adalah Uni Eropa (UE), khususnya 16 negara pengguna mata uang tunggal euro (zona euro). Lewat Pakta Stabilitas Pertumbuhan, UE menggariskan bahwa defisit anggaran tidak boleh melampaui 3 persen dari produksi domestik bruto (PDB).

Batasan defisit anggaran maksimal 3 persen dianggap aman. Defisit anggaran antara lain ditutupi dengan utang walau terkadang juga ditutupi dengan mencetak uang yang berdampak pada tingginya inflasi. Dengan batasan 3 persen itu, kemampuan membayar utang di kemudian hari dianggap kuat atau aman.

Karena itu, setiap kali ada anggota zona euro memiliki defisit anggaran yang melampaui batasan itu, maka peringatan otomatis dimunculkan atau dipublikasikan. Perancis, Spanyol, Malta, dan Italia termasuk anggota zona euro yang sekarang ini melampaui batasan itu.

Mengapa defisit begitu diperhatikan? Karena defisit itu memiliki daya rusak yang besar, sebagaimana pernah dituliskan di sebuah makalah yang diterbitkan The Brookings Institution yang bermarkas di Washington, AS, pada 5 Januari 2004.

Makalah itu berjudul Sustained Budget Deficits: Longer-Run U.S. Economic Performance and the Risk of Financial and Fiscal Disarray Budget Deficit, U.S. Economy, Federal Budget ditulis oleh Allen Sinai (Chief Global Economist), Peter R Orszag (Senior Fellow), dan Robert E Rubin (Office of the Chairman). Ketiganya termasuk think-tank di lembaga tersebut.


Tali-temali
Dikatakan, defisit yang besar dan amat substansial bisa merusak ekspektasi dan kepercayaan pasar. Hal selanjutnya mengakibatkan munculnya dampak-dampak negatif yang akan mengacaukan pasar uang dan kegiatan ekonomi.

Jika pedagang di pasar uang dan bursa, investor, serta kreditor makin khawatir bahwa pemerintah sengaja menaikkan inflasi dengan tujuan menekan nilai riil utang, akibat akumulasi defisit anggaran, atau jika pemerintah sudah dianggap buntu dan tidak bisa mengatasi defisit, kepercayaan investor bisa anjlok sedemikian buruknya.

Keadaan ini bisa terjadi jika sebuah pemerintahan sudah tidak mampu mengatasi beban utang, untuk menutupi defisit, dan kemudian mengatasinya dengan menaikkan inflasi yang bertujuan mengurangi nilai riil utang.

Defisit anggaran yang mengakibatkan ketidakseimbangan neraca transaksi berjalan (current account), di mana beban atau kewajiban luar negeri lebih besar dari pendapatan luar negeri, juga bisa membuat makin hilangnya kepercayaan pelaku di pasar uang dan pasar kredit internasional.

Defisit anggaran terkadang bisa mengakibatkan ketidakseimbangan current account. Ini terjadi karena utang itu ada kalanya atau bahkan sering ditutupi dengan meminjam ke luar negeri. Jika utang ini menumpuk terus, beban pembayaran utang luar negeri makin tinggi. Hal inilah yang menjadi sumber ancaman current account.

Jika ketidakseimbangan current account terjadi, para pelaku di pasar itu makin diingatkan tidak saja soal bahaya defisit, tetapi juga soal defisit neraca transaksi berjalan. Hilangnya kepercayaan investor dan juga kepercayaan para pemberi kredit, untuk menutupi defisit, maka aliran kredit bisa terhenti dan negara yang mengalami defisit akan makin susah menutupi defisit itu.

Sekarang ini defisit terbesar di dunia dialami Amerika Serikat. Hilangnya kepercayaan pelaku pasar dan kreditor pada AS, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, soal kemampuan menangani defisit anggaran dan current account, bisa membuat investor dan kreditor memindahkan dana-dana dari investasi berbasis dollar AS ke mata uang lainnya.

Hal ini selanjutnya bisa menyebabkan depresiasi atau pelemahan kurs dollar AS, sebagaimana telah terjadi. Jika investor dan kreditor melakukan itu, bisa saja AS menaikkan suku bunga untuk memberikan rangsangan pada kreditor untuk mempertahankan aset dalam dollar AS. Namun, selanjutnya hal ini hanya akan menambah beban baru berupa kenaikan beban utang yang dipakai untuk menutupi defisit tersebut.


Kekacauan di bursa
Naiknya suku bunga, terjadinya depresiasi dollar AS, anjloknya kepercayaan investor, selanjutnya akan menjungkalkan harga-harga saham. Dampak lain dari itu semua, kemakmuran warga akan anjlok pula.

Kenaikan suku bunga juga akan membuat biaya berbisnis menjadi lebih mahal. Jika bisnis anjlok, peran swasta sebagai salah satu penggerak ekonomi akan anjlok pula.

Terjadinya disrupsi di pasar uang akan menghambat peran pasar sebagai intermediasi antara peminjam dan kreditor, yang justru amat vital bagi perekonomian. Hal ini akan mengganggu kesinambungan aliran kredit, termasuk aliran utang-utang berjangka panjang.

Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah dampak psikologis defisit anggaran pada kepercayaan konsumen. Jika konsumen melihat ada bahaya defisit dan menganggap pemerintah tidak bisa mengatasinya, konsumen akan bersikap hati-hati berbelanja karena ekonomi dianggap dalam bahaya. Jika ini terjadi, peran konsumen sebagai salah satu pendorong ekonomi akan anjlok pula.

Tali-temali kekacauan pasar ini tidak saja akan terjadi di negara yang mengalami defisit. Pada zaman modern, di mana perekonomian global telah menyatu, destabilisasi di satu negara akan menyebar ke berbagai sudut dunia.

Hal inilah yang membuat ekonom A Tony Prasetiantono mengingatkan agar Indonesia juga mulai mengambil sikap waspada dengan potensi kehancuran pasar global akibat defisit AS yang lambat atau cepat juga berdampak pada Indonesia.

KOMPAS, 9 Oktober 2009

Thursday, December 11, 2008

Kuncinya, Kembalikan Kepercayaan


Berbeda dengan krisis 1997/1998 yang dipicu faktor domestik, seperti ketergantungan konglomerat yang luar biasa pada utang luar negeri, tingginya proporsi utang jangka pendek valas, dan buruknya corporate governance, ada anggapan krisis sekarang ini sepenuhnya bersumber dari faktor eksternal.

Namun, tak semua panelis setuju dengan pandangan ini. Krisis sekarang, menurut mereka, juga dipicu kerentanan di dalam negeri Indonesia sendiri. Dalam berbagai kesempatan, pemerintah berusaha meyakinkan bahwa kondisi fundamental ekonomi solid sehingga masyarakat dan investor tak perlu panik. Namun, persoalan yang dihadapi sekarang ini sebenarnya bukan fundamental ekonomi, tetapi kepercayaan.

”Ini krisis likuiditas dan kepercayaan, bukan fundamental. Isunya bukan lagi fundamental ekonomi. Problem di Indonesia adalah indecisiveness (ketidaktegasan) dalam proses pembuatan kebijakan,” ujar seorang panelis.

Ia mencontohkan apa yang terjadi di pasar modal, maju-mundurnya pemerintah dengan keputusan menghentikan suspensi perdagangan yang ditujukan untuk melindungi emiten tertentu (menyusul anjlok tajamnya harga saham perusahaan tersebut) sebagai salah satu pemicu hancurnya kepercayaan bursa.

Faktor ini, ditambah keputusan BI untuk tetap menaikkan atau mempertahankan suku bunga di tengah ancaman resesi global dan perlambatan ekonomi domestik, menjadi dua faktor yang ikut memicu memburuknya secara dramatis krisis, terutama indeks saham sejak awal Oktober. Langkah BI menaikkan suku bunga dan upaya pemerintah menekan defisit APBN di awal krisis dianggap nyeleneh dan melawan arus global. Dalam situasi krisis, mestinya yang ditempuh adalah kebijakan stimulus dan pelonggaran moneter.

Ia mengibaratkan perekonomian Indonesia sekarang ini seperti kapal besar yang terdampar di sungai kecil karena airnya mengering di tengah krisis likuiditas yang melanda sistem keuangan global sebagai sungai besarnya. Lambat atau cepat, kapal ini akan kolaps jika air (likuiditas) tak segera mengalir. Dalam kondisi itu, pemerintah sebagai nakhoda sibuk menyerukan semua pihak agar tak panik, tetapi sikap pemerintah sendiri justru mempertontonkan kepanikan. Salah satunya, memberlakukan auto rejection atau penghentian perdagangan jika harga saham mengalami penurunan hingga titik tertentu.

Di perbankan, ketidakpercayaan ditunjukkan antara lain berbondong-bondongnya nasabah yang memindahkan simpanan dananya ke bank-bank besar, khususnya bank BUMN. Migrasi ini terutama dipicu krisis kepercayaan ke sektor perbankan, terutama bank-bank kecil, terkait tak adanya jaminan penuh pemerintah bagi simpanan nasabah. Mereka juga melihat, kalau Indover, anak perusahaan BI, saja bisa ditutup, bagaimana dengan bank-bank swasta?

Migrasi dana nasabah ini kian memperburuk ketimpangan likuiditas di perbankan dengan bank- bank besar kebanjiran likuiditas. Bank Mandiri, seperti dilaporkan Jakarta Post, mengalami lonjakan dana pihak ketiga (DPK) lebih dari Rp 10 triliun dalam sebulan menjadi Rp 157 triliun. Sementara DPK BCA sudah melampaui Rp 200 triliun, Mandiri Rp 245,3 triliun, dan BRI Rp 173,39 triliun.

Di kalangan industri perbankan sendiri, krisis kepercayaan ditunjukkan sikap konservatif berlebihan yang membuat transaksi antarbank tidak berjalan sehingga memperparah krisis likuiditas, menghambat penurunan suku bunga kredit, dan fungsi intermediasi.

Karena persoalannya lebih krisis kepercayaan, yang harus dilakukan adalah memulihkan lebih dulu kepercayaan, termasuk di sini menghindari pernyataan konyol. Ancaman pemerintah untuk menindak tegas mereka yang berusaha mengambil keuntungan dari transaksi di pasar saham, menurut panelis, menunjukkan salah kaprah pemahaman mengenai prinsip cara kerja pasar modal. Demikian pula pernyataan seorang pejabat tinggi yang mengatakan wajar saja bagi pemerintah untuk menyelamatkan sebuah kelompok usaha besar dari ancaman kebangkrutan.

Menurut sejumlah panelis, prinsip penyelamatan karena dalih too big to fail seharusnya hanya berlaku bagi institusi perbankan karena sifatnya yang sistemik, dan bukan untuk perusahaan di pasar modal. Terlihat di sini ada kebingungan luar biasa mengenai peran pemerintah di pasar modal.

Selain tidak berfungsinya pasar modal dan tak ditegakkannya aturan, hancurnya pasar modal di Indonesia juga disebabkan merajalelanya apa yang disebut toxic assets dan toxic behaviour yang selama ini tak tersentuh otoritas pasar modal. Disebut toxic assets karena pergerakan nilai asetnya bukan hanya ditentukan oleh fundamental perusahaan, tetapi juga karena digoreng-goreng. Ini sangat destruktif karena mengakibatkan kerusakan masif yang sistemik terhadap kepercayaan pada institusi pasar modal.

Contoh toxic asset itu adalah Share Repo Agreement yang berpotensi menciptakan market overhang. Saat ini ada upaya mengubah produk tersebut menjadi instrumen utang jangka menengah dan panjang (medium term/long term debt). Produk tersebut tidak jarang ditawarkan kepada investor yang tidak paham dan tidak memiliki kesesuaian profil risiko.

Akibatnya banyak investor atau calon investor yang tergiur dan kejeblos. Ditambah minimnya edukasi, hal ini memunculkan rasa jera dan kesan bahwa pasar modal memang benar-benar arena judi. Karena itu, jangan heran kalau uang umat gereja dan masjid pun ikut-ikutan nyangkut di pasar modal. ”Selama ini tak diregulasi karena orang berpikir, ’Ah, ngapain fixed something that ain’t broke? ’Apalagi semua pihak menikmati pesta pora itu dan tak menginginkan gelembung itu meletus,” ujarnya.

Krisis global sekarang ini, seperti dikatakan seorang panelis, menyadarkan kita betapa rapuhnya tatanan yang ada sehingga muncul tuntutan untuk dilakukannya penataan ulang terhadap sistem finansial global dan interaksi hubungan ekonomi antarbangsa. Ironisnya, masih kata si panelis, perekonomian kita justru mengarah ke pola AS yang rapuh itu.

sri hartati samhadi
KOMPAS, 11 Desember 2008

Friday, October 31, 2008

Black Friday, Resesi, dan Kapitalisme


Gonjang-ganjing pasar keuangan dunia memasuki babak baru sejak penutupan pasar Wall Street Jumat lalu. Indeks Dow Jones terus menurun. Harga minyak dunia juga turun meskipun OPEC memangkas produksinya sebanyak 1,5 juta barel per hari dan seluruh mata uang utama dunia turun, kecuali USD dan yen.

Penutupan indeks Dow Jones di level 8.378 bukan hanya merupakan angka terendah selama 5,5 tahun. Tetapi, secara resmi, indeks tersebut sudah memasuki secular bear market, yakni indeks terkoreksi lebih dari 40 persen dari puncaknya, 14.450 poin, pada November 2007.

Berdasar sejarah pasar keuangan dunia, kondisi bear market seperti itu hanya pernah terjadi dua kali, yaitu Depresi 1929 dan Resesi Dunia 1970. Keduanya membutuhkan waktu yang panjang untuk kembali pulih. Bahkan, dalam kasus Depresi 1929, Dow Jones butuh lebih dari sembilan tahun untuk melampaui poin tertinggi yang dicapai sebelumnya.

Bagi pelaku pasar keuangan dunia, September dan Oktober adalah dua bulan yang selalu membuat miris dan waswas. Peristiwa Crash 1987 yang dikenal dengan black monday terjadi pada Oktober. Sedangkan runtuhnya Twin Tower WTC 2001 yang sempat membuat kepanikan pasar terjadi pada September.

Kebetulan atau tidak black friday di Wall Street kemarin terjadi persis 79 tahun setelah black thursday 24 Oktober 1929 yang menandai awal mula great deppression. Meskipun penyebab utamanya berbeda, substansi akar masalahnya tetap sama, yakni aktivitas kapitalisme yang tidak terkontrol.

Cikal bakal rentetan peristiwa yang terjadi sekarang bermula dari uang murah hasil kebijakan Greenspan yang memotong drastis suku bunga The FED menjadi satu persen. Dasar kebijakannya adalah menstimulasi gairah pasar setelah Dot.com Crash 1999 dan Twin Tower WTC 2001.

Stimulasi Greenspan ini ternyata cukup manjur karena pasar mulai pulih serta bayangan resesi cepat sirna dan terlupakan. Dengan tersedianya uang murah yang melimpah itu, para Maverick Wall Street yang bermental seperti Gordon Gecko, the greed is good, serasa mendapat mainan baru dan semakin kreatif.

Produk subprime mortgage merupakan salah satu invensi para Maverick tersebut. Dengan bekal suku bunga rendah, mereka menjual kredit perumahan tanpa mengindahkan tata cara kelayakan pemberian kredit. Karena obsesi mengejar komisi dan bonus penjualan menjadi prioritas utama, mereka tidak peduli siapa dan bagaimana kemampuan para penerima KPR itu dalam mengangsurnya.

Pemegang subprime mortgage itu, yang juga dikenal dengan NINJA (non income, non jobs, and assets), memang sangat rentan terhadap pergerakan suku bunga. Dengan bunga rendah saja, sebenarnya, mereka sudah kewalahan mengangsur, apalagi ketika suku bunga merangkak naik.

Parahnya lagi, para Gordon Gecko pencipta subprime mortgage itu semakin kreatif dalam keserakahannya. Hasil penjualan KPR kepada para NINJA tersebut dipaket ulang dan dijual kepada para investor di seluruh dunia dalam bentuk CDO (collateralized debt obligation).

Meskipun yang dibeli investor itu sebenarnya utang orang-orang yang kapabilitas keuangannya diragukan, mantra dan pesona Wall Street rupanya lebih sakti daripada akal sehat. Dengan demikian, ketika CDO tersebut dikatakan sebagai sarana investasi baru, para investor percaya dan bahkan berebut membelinya.

Kreativitas para Gordon Gecko tersebut tidak hanya berhenti di situ. Sebab, mereka membungkus paket investasi barunya tersebut dalam bentuk investasi derivatif, yakni utang para NINJA itu menjadi modal awal investasi yang bisa dilipatgandakan hingga puluhan kali lipat.

Para investor kawakan sudah mengindikasikan sejak jauh hari konsekuensi keserakahan itu. Warren Buffet pada 2003 sudah mengatakan bahwa derivatif tersebut tidak ubahnya seperti senjata pemusnah masal dalam pasar keuangan. George Soros pada 2006 dan Greenspan pada 2007 mengindikasikan kemungkinan AS memasuki resesi.

Runtuhnya bangunan investasi CDO itulah yang menyeret dunia memasuki resesi. Meski para pemimpin dunia sangat sibuk menenangkan pasar dengan jaminan, melakukan stimulasi, bahkan aksi intervensi bersama, pasar melihat itu semua belum cukup untuk mengembalikan krisis kepercayaan.

Matinya Kapitalisme?
Para pelaku pasar keuangan dunia saat ini hanya punya dua alternatif tindakan, yaitu keluar dari pasar segera -yang menambah tekanan jual- atau menunggu sampai saat kepercayaan sudah kembali pulih.

Alasan mereka sangat sederhana, tapi bernas. Wajah Wall Street sekarang ini sangat berbeda dengan Depresi 1929. Saat itu dan resesi-resesi yang lain, lima investment bank sebagai penggerak 80 persen aktivitas Wall Street tetap kokoh dan terus berbisnis.

Tetapi, bila dua di antara mereka (Bear Stern dan Lehman Brothers) bangkrut, investment bank terbesar di dunia Merryl Lynch merger murah dengan Bank of America dan dua sisanya (Goldman Sach dan Morgan Stanley) berubah menjadi bank komersial/umum, efek sekarang ini pasti lebih dari sekedar badai.

Terlebih lagi bila dimasukkan pula bailout pemerintah AS terhadap dua penyedia KPR utama, Feddie Mac dan Fanni Mae, serta asuransi terbesar di dunia AIG, sudah pasti ramifikasinya bertambah rumit.

Sejumlah pengamat secara tegas menyatakan bahwa kapitalisme secara formal sudah mati di AS bertepatan dengan bailout 700 miliar dolar. Itu menandai dimulainya kontrol negara atas perusahaan yang sudah dinasionalisasi.

Tetapi, kalau dilihat lebih mendalam lagi, sebenarnya, yang terjadi saat ini sangat merepresentasikan ajaran ekonomi klasik Adam Smith. Dalam bukunya, Wealth of Nation (1783), Smith menekankan pentingnya struktur, fungsi, dan etika dalam perekonomian.

Smith yakin, kalau semua faktor tersebut tetap dalam keseimbangan, fungsi perekonomian juga dapat diharapkan berjalan normal. Namun, bila ekuilibrium terganggu, the invisible hand akan memaksa fungsi-fungsi tersebut agar kembali normal.

Inikah saatnya kapitalisme putih (the invisible hand) memerangi kapitalisme hitam yang sudah terlalu serakah atau memang dunia saat ini perlu tata cara, fungsi, dan struktur ekonomi yang baru?

Herry Juliartono , pemain pinggiran ASX (Australian Stock Exchange), tinggal di Australia
Jawa Pos, 27 Oktober 2008