Showing posts with label Generasi. Show all posts
Showing posts with label Generasi. Show all posts

Saturday, June 29, 2019

Begini Cara Milenial “Membunuh” Kebersamaan Keluarga


Milenial adalah generasi yang highly-connected. Terutama terkoneksi secara online melalui smartphone di genggaman.

Namun jika koneksi online itu terlalu berlebihan, sehingga mengabaikan koneksi secara offline (face-to-face interactions) dengan orang-orang di sekitarnya maka bahaya bakal muncul. Salah satu bahaya itu adalah ancaman terhadap pilar-pilar kebersamaan keluarga.

Di era Baby Boomers dan Gen-X, salah satu kebersamaan keluarga itu tergambar saat seluruh anggota keluarga berkumpul bersama di meja makan. Sambil menikmati hidangan mereka ngobrol begitu akrab diselingi gurauan dan candaan. Mereka saling bertukar cerita mengenai berbagai kejadian hari itu. Sesekali si bapak memberikan petuah dan si ibu berbagi pengalaman bijak.


Gambaran seperti itu kini mulai berubah. Saat dinner time kita akan melihat setiap anggota keluarga membawa smartphone dan mereka asyik memainkan layar smartphone masing-masing. Maka dinner time pun berubah menjadi screen time.

Hal ini tak hanya terjadi di meja makan, tapi juga di ruang tamu saat mereka nonton TV bareng; di restoran saat mereka makan bersama; di rumah kerabat saat mereka kumpul keluarga besar; di mobil saat perjalanan ke sekolah atau tempat kerja; di tempat wisata saat mereka liburan bareng keluarga.

Singkatnya: family time now becomes screen time.


Survei yang dilakukan Discover Ferries terhadap 2000 orangtua di Inggris menemukan bahwa rata-rata keluarga menghabiskan quality time selama 3 minggu setahunnya dan hanya 36 menit seharinya. Sementara waktu yang dihabiskan untuk screen time mencapai empat kali lipat (sekitar 1 jam 55 menit untuk orang dewasa; 2 jam 22 menit untuk anak-anak).

Seiring makin massifnya screen time “menjajah” family time, kini persoalan-persoalan di keluarga mulai muncul.

Survei di Inggris menunjukkan, lebih dari sepertiga anak usia SMP minta orangtua mereka berhenti mengecek smartphone saat makan bersama. Sekitar 82% dari mereka berkeyakinan bahwa saat makan bersama seharusnya “smartphone free”. Celakanya, sekitar 46% dari mereka merasa diabaikan orangtua saat mereka meminta menanggalkan smartphone.

Sedihnya, sekitar 62% dari mereka mengatakan bahwa orangtua mereka terdistraksi (distructed) saat mereka mencoba berbicara dengannya. Dan sumber distraksi itu adalah smartphone.


Tanpa disadari screen time yang berlebihan menjadikan orangtua makin sedikit bicara dengan anak; memiliki respons lebih lambat ke anak; dan over-reaktif saat diinterupsi oleh anak. Ujung-ujungnya anak merasakan kecemburuan, karena orangtua mereka lebih “sayang” kepada smartphone-nya ketimbang si anak.

Screen time berlebihan juga bermasalah terkait hubungan antara suami dan istri. Ingat, ketika suami atau istri merasa terabaikan karena salah satu dari mereka sibuk dengan layar HP, maka hal ini bisa menjadi sumber ketidakpuasan hubungan keluarga. Apabila terus berakumulasi, maka hal ini bisa menjadi sumber percekcokan di dalam rumah tangga.

Mengabaikan lawan bicara dengan sibuk bermain HP tak hanya tidak santun, tapi juga bisa merusak kualitas hubungan antara suami-istri maupun ortu-anak. Survei yang dilakukan di AS menemukan bahwa setengah orangtua mengatakan mereka terabaikan oleh pasangan karena screen time; lebih dari sepertiga mengatakan terkena depresi akibat hal tersebut; dan hampir seperempat mengatakan hal tersebut menjadi sumber konflik di dalam keluarga.


kesimpulan dari riset tersebut: “Excessive screen time makes us feel bad and leads to unhappiness and depression.

Sungguh ironis, smartphone membuat kita bisa terkoneksi dan bercengkerama dengan begitu banyak orang lain dari belahan bumi manapun, tapi justru mengabaikan orang-orang terdekat di rumah kita sendiri.

Inilah barangkali paradoks terhebat abad ini. Sebut saja itu “Paradoks Smartphone”. Bunyinya: “Mendekatkan yang jauh; menjauhkan yang dekat”.

Yuswohady
http://www.yuswohady.com/2019/03/30/begini-cara-milenial-membunuh-kebersamaan-keluarga/


Milenial (juga dikenal sebagai Generasi Y, Gen Y atau Generasi Langgas) adalah kelompok demografi setelah Generasi X (Gen-X). Tidak ada batas waktu yang pasti untuk awal dan akhir dari kelompok ini. Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran.

Milenial pada umumnya adalah anak-anak dari generasi Baby Boomers dan Gen-X yang tua. Milenial kadang-kadang disebut sebagai "Echo Boomers" karena adanya 'booming' (peningkatan besar), tingkat kelahiran pada tahun 1980-an dan 1990-an. Untungnya di abad ke 20 tren menuju keluarga yang lebih kecil di negara-negara maju terus berkembang, sehingga dampak relatif dari "baby boom echo" umumnya tidak sebesar dari masa ledakan populasi pasca Perang Dunia II.

https://id.wikipedia.org/wiki/Milenial

Thursday, May 8, 2014

Menikmati Kelahiran Generasi Joget


Hiruk-pikuk perpolitikan di negeri ini setelah coblosan anggota legislatif dan hangatnya suasana menyongsong Pilpres 9 Juli mendatang, sepertinya tidak berpengaruh terhadap fenomena baru di tengah masyarakat kita. Fenomena itu adalah “Indonesia berjoget”. Coba saja saksikan tayangan televisi kita mulai sore hingga menjelang malam.

Nuansa politik seolah-olah hilang, berganti dengan nuansa joget dan hura-hura. Dimulai pukul 17.00, stasiun televisi mulai membuka “pesta” masing-masing. Hanya news channel seperti  Metro TV dan TV One yang mengecualikan diri. MNCTV membuka pestanya dengan acara “Tunjuk Satu Bintang” pada pukul 16.00-20.00, disusul “Pesbukers” di Anteve pada pukul 17.00-19.00.

Pada saat Pesbukers belum selesai, pukul 18.00 Indosiar dan Transtv memulai pestanya masing-masing yakni: “D’Academy” dan “Yuk Keep Smile (YKS)”. Masing-masing tayang selama 5 jam dan 4 jam. Durasi yang sangat panjang untuk sebuah acara yang isinya hanya menyanyi, joget dan hura-hura. Pesta makin ramai dengan tayangan-tayangan sejenis seperti “Campur-campur”, “D’terong Show”, “@Show Imah” dan sebagainya.


Dalam acara ini, penonton diajak berjoget. Bahkan joget ini dikompetisikan. Pesertanya ya penonton yang sudah ada di studio. “Mirisnya”, banyak ibu-ibu ikut joget, berani menahan malu, atau bahkan mungkin sudah tidak punya lagi rasa malu (?) Hanya demi uang ratusan ribu rupiah, mereka “mengeksploitasi” diri, berjoget sebegitu heboh dengan kostumnya yang “aneh bin ajaib”. Tidakkah mereka menyadari itu disaksikan oleh jutaan pasang mata di seluruh pelosok Indonesia?

Banyak diantara pejoget baik yang ada di tribun penonton ataupun yang ikut maju ke panggung pentas adalah “muslimah”. Dengan kostum muslimahnya yang “nyentrik”, mereka tidak sungkan dan tanpa malu berjoget menggerakkan seluruh anggota tubuh. Ironisnya lagi, organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, dan ormas yang selama ini kritis terhadap hal-hal yang berbau “kebatilan” kok “tiarap” semua. Bahkan MUI seperti membiarkan tontonan yang seperti ini berlangsung terus tanpa reaksi sesuai kaidah-kaidah agama dan budaya bangsa kita yang adiluhung.


Jadi “Korban”
Contoh, di “D’Academy” tayangan tanggal 20 April lalu, tampil seorang bocah perempuan berusia 4 tahun, datang jauh dari Lampung. Di panggung ia menyumbangkan “Masa Lalu”, lagu tentang percintaan orang dewasa, dan syairnya tentu bukan untuk anak seusianya. Bocah cantik yang berani ini telah jadi “korban” dari tayangan itu, demikian juga orang tuanya.

Kemungkinan besar karena tiap malam orang tuanya selalu menyuguhkan acara ini, yang baru akan selesai tayang pada pukul 23.00. Apa yang ditonton orang tua di layar kaca televisi mereka, maka akan menjadi tontotan pula bagi anaknya.

Anak adalah individu yang sangat rentan dengan perilaku peniruan yang nantinya terinternalisasi dan membentuk kepribadian. Tayangan televisi yang dilihatnya tiap saat, niscaya akan masuk ke otaknya. Bagi anak yang berasal dari keluarga yang memiliki mutu kehidupan baik dan ter-literacy dengan baik, maka apa yang dilihat di layar televisi dapat disaring melalui keluarga, dengan orang tua menjadi anutan utama.

Komunikasi dan contoh orang tua dalam perilaku sehari-hari menjadi benteng paling kokoh dalam membendung semua pengaruh buruk televisi. Lalu apa jadinya untuk anak yang memiliki orang tua yang malah memberikan contoh dalam tontonan dan perilaku dalam tayangan-tayangan seperti ini? Lantas apa fungsi KPI/KPID selaku pengawas acara-acara televisi kalau tidak peka terhadap tayangan yang tidak ada unsur edukasinya itu namun dibiarkan berlanjut terus?


Mungkin inilah suatu era, dimana Indonesia telah melahirkan generasi baru, yaitu generasi joget. Padahal dengan segala potensi yang dimiliki, media harusnya dapat memberikan pengaruh positif kepada anak-anak dan remaja. Tentunya dengan menampilkan tayangan-tayangan yang menginspirasi dan memicu kreativitas anak dalam membuat terobosan-terobosan baru yang akan bermanfaat pula untuk banyak orang.

Memang, pada akhirnya peran orang tua sangatlah menentukan. Namun seharusnya pemerintah pun memiliki peran yang tak kalah penting. Seorang bijak pernah berkata, “untuk melihat seberapa cerdas dan pintar seseorang maka lihat apa bacaannya (buku)”. Kalimat yang mirip seperti itu bisa juga kita rangkai, “Untuk melihat seberapa kuat karakter anak bangsa maka lihatlah apa saja tontonannya (tayangan televisi di rumah)”.

Tak ada cara lain, pemerintah (dalam hal ini Kemdikbud, Kemenag, Kominfo) bersama organisasi massa yang peduli dengan budaya adiluhung dan nilai-nilai moralitas bangsa, insan pers/media harus duduk bersama menyelamatkan bangsa ini dengan merancang model tayangan televisi yang well educated, penuh muatan budaya yang luhur dan berkesenian tinggi, tidak asal goyang dan megal-megol.

Tjuk Subhan Sulchan,
Ketua Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI), Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 5 Mei 2014


Lirik Lagu Pokoke Joget
Soimah YKS

Pokok'e Joget
Pokok'e joget
Pokok'e joget

Krungu suorone gendang
Tung mbokmu tung mbokmu
Penontone goyang goyang
Tung mbokmu tung mbokmu
Penontone jingkrak jingkrak
Krungu suorone suling
Kepenak ono ning kuping
Penontone joget nganti ora eling

Pokok'e joget
Pokok'e joget
Pokok'e joget



Ono sing senggol senggolan
Ono sing sunggi sunggian
Sing penting tertib lan ora tawuran
Ning kene kabeh konco
Ora ono sing bedo
Sing tawuran berarti kuwi ndeso

Ora ngerti lagune
Ora ngerti syaire
Sing penting aku joget ae
Tak kenal penyanyine
Tak ngerti penciptane
Sing penting hore rame rame....