Inilah revolusi di kawasan tersebut sejak Revolusi Iran pada tahun 1979 yang berakhir dengan jatuhnya pemerintahan Shah Iran dan lahirnya Republik Islam Iran di bawah kepemimpinan Ayatollah Ruhollah Khomeini.
Tidak ada yang pernah menduga bahwa apa yang dilakukan seorang pedagang kaki lima yang menjual buah-buahan dan sayur mayur di Sidi Bouzid, Tunisia Tengah, Tarek al-Tayeb Mohamed Bouazizi atau Mohamed Bouazizi, telah mengobarkan api perlawanan rakyat di sejumlah negara untuk melawan penguasa yang dianggap mengkhianati rakyat.
Akan tetapi, yang dilakukan pada hari Jumat itu, membakar diri di depan balai kota, telah menggugah dan menggerakkan hati —mula-mula orang sekampungnya, kemudian sekotanya, dan akhirnya senegaranya untuk melawan penguasa yang korup, yang mengkhianati rakyat, yang mementingkan diri sendiri, keluarganya, dan kelompoknya.
Tindakan bakar diri yang dilakukan Bouazizi tak pelak lagi adalah sebuah pernyataan yang tegas, mengejutkan sekaligus mengerikan dan yang kemudian bergema dalam hati generasi muda di negerinya, yang merasakan bahwa jalan politik dan harapan ekonomi bagi mereka sudah tertutup. Menggerakkan generasi yang hidup di bawah sistem tirani (Adeed Dawisha, 2013).
Inilah gerakan murni dari rakyat. Gerakan tanpa pemimpin. Mereka bergerak karena kemarahan. Marah kepada pemerintah, kepada penguasa yang korup. Oleh karena ini gerakan rakyat tanpa pemimpin, sulit bagi penguasa untuk menindak tegas, menangkapi para pemimpinnya. Kalau aparat keamanan —polisi atau tentara— menembak massa, berarti mereka mungkin menembak saudara-saudaranya sendiri, atau bahkan anak-anaknya sendiri. Tetapi, korban tetap ada.
Semula, Bouazizi membakar diri sebagai bentuk protes karena diperlakukan tidak manusiawi oleh aparat keamanan: digusur, dipalak, dipukul, dan dagangannya diporak-porandakan. Bouazizi protes karena diperlakukan tidak adil.
Aksi protes Bouazizi seakan mewakili perasaan para pedagang kaki lima lainnya, orang-orang lainnya, rakyat secara umum yang hidupnya dari waktu ke waktu dikuasai kesusahan dan kesulitan. Pada akhirnya, tujuan gerakan pun adalah untuk menyingkirkan penguasa yang otoritarian dan korup.
Ketika dunia dilanda gerakan demokratisasi pada tahun 1970-an, pemerintah otoriter di Timur Tengah dan Afrika Utara, sebagian besar tetap menolak proses demokratisasi. Periode ini oleh Samuel P Huntington (The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century; 1991), disebut sebagai gelombang ketiga demokratisasi yang dimulai di Eropa Selatan pada pertengahan 1970-an. Dari Eropa Selatan, menyebar ke Amerika Selatan pada awal 1980-an dan mencapai Asia Timur, Tenggara dan Selatan pada akhir 1980-an.
Akhir tahun 1980-an, dunia menyaksikan kebangkitan transisi dari pemerintahan otoriter komunis di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet, serta kecenderungan menuju demokrasi di Amerika Tengah dan Afrika Selatan. Akan tetapi, gelombang ini tidak mencapai Timur Tengah. Faktanya, wilayah ini secara politik kurang bebas dibandingkan wilayah lain. (Freedom in the World 2011: The Authoritarian Challenge to Democracy, 22 Juli, 2011).
Caterina Perlini dalam Democracy in the Middle East: External Strategies and Domestic Politics (2015) menulis, selama pertengahan dan akhir 1980-an, sejumlah negara di Timur Tengah melancarkan liberalisasi politik dan demokratisasi. Ini sebagai akibat dari meningkatnya perbedaan pendapat dengan para pemimpin otoriter yang menyebabkan kerusuhan besar yang bertentangan dengan tatanan politik yang sudah mapan.
Bahkan, ada sejumlah besar kemunduran. Aljazair misalnya. Upaya kemajuan demokrasi pada tahun awal 1990-an, terhambat, karena militer kembali berkuasa setelah pemilu dimenangi oleh Front Keselamatan Islam (FIS). FIS merebut 188 dari 430 kursi di parlemen, sementara Front Pembebasan Nasional (FLN) yang berkuasa hanya 15 kursi.
Kemenangan FIS ini yang mendorong militer bergerak dan mengambil alih kekuasaan. Di Mesir misalnya, pemilihan parlemen tahun 2005 dipuji sebagai tanda utama keberhasilan demokrasi. Namun, pluralisme terbatas yang menandai pemilu 2005 memburuk, memberi jalan bagi penindasan yang meluas, penumpasan oposisi, dan penipuan selama pemungutan suara 2010.
Menurut Samuel P Huntington (The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century; 1991), gelombang demokratisasi itu ditandai oleh fase pertama yakni munculnya reformis. Para reformis menuntut perubahan dari rezim otokratis dan tirani menjadi pemerintahan yang demokratis dan transparan. Fase ini mendorong masyarakat untuk menyuarakan hak-hak mereka melalui protes, yang akan mengarah pada revolusi melawan pemerintah yang ada.
Dan, negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara pun tidak bisa menghindar dari tuntutan zaman.
Dalam kasus Tunisia, siapa reformis itu? Apakah Bouazizi? Barangkali, meskipun Bouazizi tidak memiliki pemikiran atau ide reformasi, ide revolusioner, atau agenda politik, tetapi tindakannya di luar kewajaran —bakar diri sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan— adalah sebuah bentuk dari pembaharuan (reformasi) perlawanan di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.
Gerakan rakyat tanpa pemimpin, dimulai bulan Desember 2010, di Tunisia kemudian berevolusi untuk menggulingkan rezim pemerintahan Zine al-Abidine Ben Ali yang sudah berkuasa sejak 1987; sebuah rezim yang otokratis dan korup. Apa yang terjadi, kemudian, di Mesir mulai 25 Januari 2011 juga tidak jauh berbeda.
Apa yang terjadi di Tunisia dan juga di Mesir kemudian, memberikan gambaran bahwa apa yang terjadi tidak mengikuti pola reformasi ekonomi dulu lalu disusul dengan demokrasi. Yang terjadi di Tunisia dan juga Mesir, kiranya gerakan demokrasi yang pertama dilakukan dengan menyingkirkan rezim otoritarian dan korup, baru kemudian pembangunan ekonomi, yang hingga kini belum banyak memberikan hasil seperti diharapkan rakyat.
Di negara-negara lain yang disapu Revolusi Musim Semi (Arab Spring), hingga kini kerap kali muncul gerakan konter-revolusi dan kekerasan, tetapi Tunisia berusaha tetap memegang teguh amanat revolusi yakni demokratisasi. Pemilihan presiden berlangsung damai dan tampaknya sebagian besar bebas dan adil. Meskipun perlu tetap waspada agar politik konsensus yang selama ini dipegang untuk menyelamatkan negara tetap bisa jalan dan terus disepakati.
Hal itu penting. Sebab, ada tanda-tanda penurunan tajam dalam kepercayaan publik pada lembaga-lembaga politik: kepercayaan di Parlemen telah turun hingga 14 persen, dan kepercayaan pada partai-partai politik hanya 9 persen, menurut survei Barometer Arab baru-baru ini.
Akan tetapi, apa pun yang terjadi sekarang ini, sulit dipungkiri bahwa yang dilakukan oleh Mohamed Bouazizi telah mengubah wajah dan peta, tidak hanya Tunisia, tetapi juga negara-negara kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Yang dilakukan Bouazizi telah menebarkan benih demokratisasi di kawasan itu. Meskipun, ada negara —Suriah dan Libya, misalnya— yang tergelincir ke kondisi negara gagal.
Trias Kuncahyono,
Wartawan Kompas 1988 - 2018
KOMPAS, 14 Desember 2019
No comments:
Post a Comment