Showing posts with label al-Quran. Show all posts
Showing posts with label al-Quran. Show all posts

Sunday, May 30, 2021

Tribute To Muhammad Fanani Afaroaitum


Untuk menggambarkan sosok sahabat, saudara, dan guru sekaligus teman "berantem" Muhammad Fanani Afaroaitum, tentu bukan hal yang mudah bagi saya. Bisa dipastikan tentu ada saja hal-hal yang terlewatkan. Karena terlalu banyak sisi-sisi menarik dan penting yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Dan rasanya saya tidak mampu menyajikannya secara utuh.

Di depan teman-teman dan para muridnya (dia sendiri tidak pernah menyebut peserta pengajiannya sebagai murid atau mendaulat dirinya sebagai guru atau ustadz) saya pernah mengatakan bahwa dia adalah mutiara ilmu! Oleh sebab itu jangan sampai dia keburu "hilang" sebelum kita sebanyak mungkin berhasil mendapatkannya. Dan ternyata benar, bahwa mutiara itu kini telah pergi, kembali kepada pemiliknya, 11 Mei 2021 yang lalu.


Perkenalan saya dengan dia terjadi sejak kami masih sama-sama remaja. Semasih sama-sama menjadi aktivis Pelajar Islam Indonesia. Terjadi sekitar tahun 1970-an akhir. Sempat "berpisah" dalam waktu cukup lama, ketika kami berselisih faham. Dia termasuk pemikir kelompok fundamentalis, sedangkan saya cenderung liberalis dan bahkan di kalangan beberapa teman Pelajar Islam Indonesia "garis keras" menyebut saya sebagai sekuleris.

Dan kami dipertemukan kembali oleh Allah, sekitar tahun 1983-an.

Sejak pertemuan kembali tersebut kami kembali dekat dan komunikasi kami semakin lebih intens. Hubungan kami dan keluarga masing-masing cukup dekat bahkan layaknya hubungan saudara. Kalau kami bertemu setelah dalam waktu yang lama, atau pada waktu peristiwa yang istimewa/tertentu (suasana haru, sedih, gembira atau pun bahagia), kami biasa berjabat tangan, berpelukan dan cipika-cipiki. Baik dengan dia atau dengan yang lain, termasuk dengan saudara-saudara perempuannya. Saya memanggil dia dengan sebutan om dan kepada saudara-saudara perempuannya bulik, serta menyebut pak dhe kepada saudaranya yang lebih tua. Hal itu untuk membahasakan bagaimana anak-anak saya menyebut mereka.

Muhammad Fanani berdiri di tengah bersebelahan dengan Prof Dawam Rahardjo. Sementara itu penulis Tribute ini, Mas Joko Kahhar, berdiri nomor tiga dari kiri.

Pertemuan kembali dengan dia tersebut diawali dengan mengadakan "pengajian" di tempat tinggal saya, Kuncen, Jogyakarta. Saya sangat excited dengan materi pengajian yang dia sampaikan. Juga cara penyajiannya yang tidak seperti dalam pengajian-pengajian yang umum kita kenal. Lebih seperti kuliah, di mana dosen berdiri di sebelah depan white board dengan spidol dan para mahasiswa dengan ballpoint dan buku catatan masing-masing, bahkan juga ada alat perekam suara. Kemudian berkembang dengan menggunakan projector, power point. Dan belakangan sejak pandemi covid-19 menggunakan fasilitas IT yang lagi trendy, channel Youtube dan Zoom Meeting.

Dari materi-materi yang disampaikannya itu lah yang di kemudian hari mampu merubah sudut pandang saya mengenai Islam/Al-Qurȃn dan pemahaman keberagamaan saya selama ini. Hal yang mengesankan saya pertama adalah ketika dia menguraikan pengertian dan definisi atas berbagai istilah fundamental dan memiliki nilai-nilai strategis di dalam Islam/Al-Qurȃn. Misalnya, tentang pengertian dan definisi iman, shalat, zakat, dsb.

Dan hal yang juga amat mendasar dan "baru" bagi saya adalah ketika dia memperkenalkan istilah metodologi Al-Qurȃn. Bagaimana seharusnya kita membaca/memahami dan mendudukkan Al-Qurȃn sebagai petunjuk hidup manusia di dunia. Hal itu yang juga sekaligus telah mematahkan pemahaman dikotomik saya sebelumnya tentang makna dunia-akhirat, habluminallaah-habluminannas, ibadah-mu'amalah, dsb.

Mas Muhammad Fanani berdiri di belakang, nomor dua dari kiri.

Demikian pula bagaimana sebetulnya memahami metodologi Al-Qurȃn; sistematika Al-Qurȃn; analitika Al-Qurȃn; obyektivita Al-Qurȃn. Bagaimana Al-Qurȃn bisa difahami sebagai teori sosial, budaya dan peradaban manusia sesuai dengan mau-Nya Allah. Bagaimana mampu menjadikan Al-Qurȃn sebagai pedoman hidup yang sempurna dan menanamkan kesadaran Al-Qurȃn ke dalam diri, sehingga fungsional di dalam realitas kehidupan muslim/mukmin sehari-hari.

Pembelajaran Al-Qurȃn (biasa disebut dengan studi Al-Qurȃn) yang dia sampaikan tidak cukup dengan memahami teks Al-Qurȃn dengan terjemahan dan tafsir yang sudah ada selama ini secara membabi-buta. Tetapi seharusnya juga menggunakan pendekatan kritis dari aspek filologis, epistemologis, etimologis, dll. Memahami makna teks Al-Qurȃn mulai dari asal kata, bentuk dan jenis kata, gaya bahasa, sehingga menemukan makna dan definisi sebuah teks Al-Qurȃn yang paling logis. Dengan panduan bagaimana Al-Qurȃn tersebut mengartikan dirinya sendiri (ayatin bayinatin).

Dan manusia yang telah diberi mandat untuk mengajarkan sekaligus memberi contoh ke dalam perilaku hidup, oleh Allah, sebagai pemilik teks/Al-Qurȃn tersebut adalah Rasulullah saw. Oleh sebab itu, kita juga harus menyandarkan pemahaman kita terhadap Al-Qurȃn, sebagaimana Rasulullah saw mengajarkannya dan mengimplementasikannya ke dalam kehidupan nyata sehari-hari. Bukan hanya bertumpu pada pendapat (subyektif) kita masing-masing.

Dari kiri: Adib Susila Siraj, Joko Kahhar (tengah) dan Muhammad Fanani (paling kanan).

Interaksi, komunikasi dan aktivitas belajar-mengajar (studi) Al-Qurȃn yang berlangsung selama berpuluh tahun itu terus dia jalani tanpa kenal lelah. Bahkan meliputi hampir sebagian besar kota di negeri ini.

Dengan ghirah dan mobilitas yang luarbiasa itu dia mengajar kepada semua lapisan masyarakat tanpa memandang kelas, kedudukan sosial. Bahkan dari kalangan orang-orang yang tidak berpendidikan tinggi hingga profesor, doktor, rektor, dosen dsb. Dari masyarakat kebanyakan sampai kalangan ningrat di dalam lingkungan keraton.

Dia telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk berdakwah dalam arti yang sesungguhnya. Dan dari pengalaman belajar-mengajar (studi) Al-Qurȃn itu, dia telah sempat menyusun beberapa risalah berkaitan dengan tata-bahasa Al-Qurȃn ("berbeda" dengan buku-buku pelajaran bahasa Arab pada umumnya. Terutama berkaitan dengan pengertian mendasar tentang bahasa Al-Qurȃn dan bahasa Arab atau kalau boleh diperluas tentang budaya Al-Qurȃn dan budaya Arab).


Tentu dalam kesempatan ini saya tidak mungkin mengungkapkan materi-materi studi yang dia sampaikan selama ini. Karena disamping membutuhkan forum khusus, rasanya saya tidak mampu melakukannya seorang diri dengan secara memadai dan utuh.

Kini setelah dia meninggalkan kita, agaknya tidak ada di antara teman dan para muridnya yang mampu menggantikannya. Kecuali mereka yang masih memiliki dan mau melanjutkan ghirah yang telah dia tanamkan selama ini, kepada teman-teman dan murid-muridnya tersebut. Paling tidak, bisa dan mau melanjutkan aktivitas studi Al-Qurȃn di wilayah atau daerah tempat tinggal mereka masing-masing.

Misalnya untuk wilayah Jogja, bisa disebut ada dua bersaudara yang selama ini telah menunjukkan kredibilitas dan konsistensi mereka (dengan segala hormat dan permintaan maaf, saya tidak menyebut nama). Setidaknya kepada mereka berdua kita masih bisa berharap agar kiranya mau menjadi "penjaga gawang" agar kegiatan studi (ilmu) Al-Qurȃn tersebut terus berlanjut.

Joko Kahhar
Jogya, Jumat, 14 Mei 2021
https://www.facebook.com/joko.kahhar

Sunday, February 25, 2018

Tentang Islam Kejawen (Kejawaan) di Indonesia


Mungkin ini jawaban Islam Kejawen di Indonesia. Alhamdulillah, akhir-akhir ini orang merasakan manfaatnya Nahdlatul Ulama (NU). Dulu, orang yang paling bahagia, paling sering merasakan berkahnya NU adalah keluarga orang yang sudah meninggal, karena setiap hari dikirimi doa dan tumpeng.

Hari ini begitu dunia dilanda kekacauan, ketika Dunia Islam galau: di kawasan negeri-negeri Muslim di Timur Tengah, terjadi perang sesama umat Islam. Di Afghanistan, di Suriah, di Irak, di Yaman, terjadi perang sesama umat Islam. Indonesia jadi menarik. Masyarakat dunia banyak yang ingin tahu, ‒‒ketika semua sudah jebol‒‒ kok ada yang masih utuh: Islam di Indonesia.

Akhirnya semua ingin kesini. Seperti apa Islam di Indonesia kok masih utuh? Akhirnya semua sepakat: utuhnya Islam di Indonesia itu karena memiliki Jam’iyyah NU. Akhirnya semua pingin tahu NU itu seperti apa?

Ternyata, zaman dulu ada orang Belanda yang sudah menceritakan santri NU, namanya Christiaan Snouck Hurgronje. Dia ini hafal Al-Qurān, hafal Hadits Sahih Bukhori, Sahih Muslim, Alfiyyah Ibnu Malik, Fathul Mu’in, dan lain-lain, tapi bukan penganut Islam. Sebab tugasnya memang mau menghancurkan Islam di Indonesia.

Mengapa? Karena Islam Indonesia selalu melawan Belanda. Sultan Hasanuddin, santri. Pangeran Diponegoro atau Mbah Abdul Hamid, santri. Sultan Agung, santri. Semuanya santri. Semua santri dan semua melawan Belanda.

Aneka wajah Christiaan Snouck Hurgronje.

Akhirnya ada orang belajar secara khusus tentang Islam, untuk mencari rahasia bagaimana caranya agar Islam Indonesia ini remuk. Snouck Hurgronje masuk ke Indonesia dengan menyamar namanya sebagai Syekh Abdul Ghafur. Dia belajar Islam, menghafalkan Al-Qurān dan Hadits di Arab. Hingga akhirnya paham betul seluk-beluk agama Islam.

Hanya saja begitu datang di Indonesia, Snouck Hurgronje bingung: mencari Islam dengan wajah Arab (Timur Tengah), tidak ketemu. Ternyata Islam yang dibayangkan dan dipelajari Snouck Hurgronje di Arab itu tidak ada di Indonesia.

Mencari Allah di sini tidak ketemu, ketemunya Pangeran. Ketemunya Gusti. Padahal ada Pangeran namanya Pangeran Diponegoro. Ada Gusti namanya Gusti Kanjeng Ratu. Mencari istilah shalat tidak ketemu, ketemunya sembahyang, ketemunya ngibadah. Mencari syaikhun, ustadzun, tidak ketemu, ketemunya Kiai. Padahal ada kerbau namanya Kiai Slamet. Ada seekor gajah namanya Kiai Rebo. Ada senjata keris namanya Kiai Sengkelat. Mencari mushalla tidak ketemu, ketemunya langgar, dan lain-lain.

Maka, ketika Snouck Hurgronje bingung, dia dibantu oleh Van Der Plas. Ia menyamar dengan nama Syekh Abdurrahman. Mereka memulai dengan belajar bahasa Jawa. Karena ketika masuk Indonesia, mereka sudah bisa bahasa Indonesia Melayu, tapi tidak bisa bahasa Jawa.

Begitu belajar bahasa Jawa, mereka bingung, strees. Orang di sini makanannya nasi (bahasa Jawanya sego). Snouck Hurgronje dan Van Der Plas tahu bahwa beras itu bahasa Inggrisnya rice, bahasa Arabnya ar-ruz.

Dari tanaman padi lahirlah gabah, beras, nasi, lontong, ketupat, bubur, dll.

Yang disebut rice atau ar-ruz, ketika di sawah, namanya padi (pari). Di sana masih ar-ruz, masih rice. Begitu padi dipanen, di sini namanya ulen-ulen, atau ulenan. Disana masih ar-ruz, rice. Jadi pemahaman ilmunya mulai membingungkan, mulai kucluk, alias korslet.

Begitu ditumbuk (ditutu), digiling, mereka masih memahami sebagai ar-ruz, rice, padahal di sini sudah dinamai gabah. Begitu sudah terbuka kulitnya, di sini namanya beras, namun disana masih ar-ruz, rice. Begitu berasnya ada yang pecah kecil-kecil (cuil), di sini namanya menir, disana masih ar-ruz, rice. Begitu dimasak, di sini barulah dinamai nasi (sego), disana masih sama saja ar-ruz, rice.

Begitu ada satu butir yang diambil cicak, di sini namanya upa, disana namanya masih ar-ruz, rice. Begitu dibungkus pakai daun pisang, di sini namanya bisa lontong, bisa arem-arem atau lemper, tapi disana masih ar-ruz, rice. Begitu dibungkus daun kelapa muda (janur kuning) namanya ketupat, disana masih ar-ruz, rice. Ketika dimasak, diaduk hingga hancur dan lembut, di sini namanya bubur, disana namanya masih saja ar-ruz, rice.

Inilah bangsa aneh, yang membuat Snouck Hurgronje judeg, pusing tujuh keliling.

Mempelajari Islam Indonesia tidak paham, akhirnya mencirikan Islam Indonesia dengan tiga hal. Pertama, kethune miring sarunge nglinthing (berkopiah miring dan bersarung melintir). Kedua, mambu rokok (bau rokok). Ketiga, tangane gudigen (tangannya berpenyakit kulit).

Cuma tiga hal itu catatan (pencirian Islam Indonesia) Snouck Hurgronje di Perpustakaan Leiden, Belanda. Tidak pernah ada cerita apa-apa, yang lain sudah biasa. Maka, jangankan Snouck Hurgronje, orang Indonesia saja kadang tidak paham dengan Islam Indonesia, karena kelamaan tinggal di tanah Arab.

Lihat tetangga pujian, karena tidak paham, dibilang bid’ah . Melihat tetangga menyembelih ayam untuk tumpengan, dibilang bid’ah. Padahal itu produk asli Islam Indonesia. Kelamaan tinggal di luar Indonesia, jadi tidak paham. Masuk kesini jadi kemlinthi, sok-sokan, memanggil Nabi dengan sebutan “Muhammad” saja. Padahal, di sini, tukang bakso saja dipanggil “Mas”. Oleh karena itu orang Jawa nyebutnya Kanjeng Nabi.


Lha, akhir-akhir ini semakin banyak yang tidak paham Islam Indonesia. Kenapa? Karena Islam Indonesia keluar dari rumus-rumus dunia Islam pada umumnya. Kenapa? Karena Islam Indonesia ini saripati (essensi) Islam yang paling baik, yang ada di dunia.

Kenapa? Karena Islam tumbuhnya tidak di sini, tetapi di Arab. Rasulullah orang Arab. Bahasanya bahasa Arab. Yang dimakan juga makanan Arab. Budayanya budaya Arab. Kemudian Islam datang kesini, ke Indonesia.

Kalau Islam masuk ke Afrika itu mudah, tidak sulit, karena waktu itu peradaban mereka masih belum maju, belum terdidik. Orang belum terdidik itu mudah dijajah. Seperti pilkada, misalnya, diberi Rp 20.000 atau mie instan sebungkus, beres. Kalau mengajak orang berpendidikan, sulit, dikasih uang Rp 10 juta belum tentu mau.

Islam datang ke Eropa, saat itu bangsa Eropa juga sedang dalam keadaan terpuruk. Tetapi Islam datang kesini, mikir-mikir dulu, karena bangsa di Nusantara ini sedang kuat-kuatnya. Bangsa Anda sekalian ini bukan bangsa kecoak. Ini karena ketika itu sedang ada dalam kekuasaan negara terkuat yang menguasai hampir 2/3 dunia, namanya Majapahit.

Majapahit ini bukan negara sembarangan. Universitas terbesar di dunia saat itu, ada di Majapahit, namanya Nalanda. Hukum dan politik terbaik dunia, ‒‒yang menjadi rujukan saat itu‒‒ adanya di Indonesia. Waktu itu adanya di Jawa, kitabnya bernama Negarakertagama. Hukum sosial terbaik ada di Jawa, namanya Sutasoma. Bangsa ini (mestinya) tidak bisa ditipu, karena orangnya pintar-pintar dan alamnya kaya-raya.


Cerita Arab tentang surga, di Jawa itu tidak laku. Surga itu ‒‒dalam penggambaran Arab¬‒‒ “tajri min tahtihal anhaar” ada air yang mengalir di bawahnya, seperti kali. Kata orang di sini: “mencari air kok sampai surga segala?" Di sini itu, semua sawah ada airnya yang mengalir. Artinya, pasti bukan itu yang diceritakan para ulama penyebar Islam. Cerita surga tentang buahnya banyak juga tidak, karena di sini juga banyak buah. Artinya dakwah di sini tidak mudah.

Diceritakan tentang Tuhan, orang Jawa sudah punya, namanya Sanghyang Widhi. Diceritakan tentang Ka’bah orang Jawa juga sudah punya Stupa dan Candi: sama-sama dibuat dari batu dan di tengahnya sama-sama berongga atau ada lubangnya. Malah kalau Ka’bah itu dindingnya polos, tapi kalau Candi berhiaskan relief ukir-ukiran yang njlimet. Dijelaskan menggunakan tugu Jabal Rahmah, orang Jawa juga punya Lingga Yoni.

Dijelaskan memakai Hari Raya Kurban, orang Jawa punya peringatan Hari Raya Kedri. Jawa sudah lengkap. Islam datang membawa harta-benda, orang Jawa juga tidak doyan. Kenapa? Orang Jawa pada waktu itu beragama Hindu. Prinsip dalam Hindu, yang boleh bicara agama adalah orang Brahmana, kasta yang sudah tidak membicarakan dunia.

Di bawah Brahmana ada kasta Ksatria, seperti kalau sekarang Gubernur atau Bupati. Ini juga tidak boleh bicara agama, karena masih ngurusin dunia. Di bawah itu ada kasta Wesya (Waisya), kastanya pegawai negeri. Kasta ini juga tidak boleh bicara agama.

Di bawah itu ada petani, pedagang dan saudagar, ini kastanya Sudra. Kasta ini juga tidak boleh bicara agama. Jadi kalau ada cerita bahwa Islam dibawa oleh para saudagar, tidak bisa diterima akal. Secara teori ilmu pengetahuan, mereka pasti ditolak, karena saudagar itu Sudra dan Sudra tidak boleh bicara soal agama.


Yang cerita Islam dibawa saudagar ini karena saking judeg-nya, saking bingungnya memahami Islam di Indonesia. Di bawahnya Sudra, ada kasta Paria, yang hidup dengan meminta-minta, mengemis. Di bawah Paria ada pencopet, namanya kasta Tucca. Di bawah Tucca ada maling, pencuri, namanya kasta Mlecca. Di bawahnya lagi ada begal, perampok, namanya kasta Candala.

Anak-anak muda NU harus tahu. Itu semua nantinya terkait dengan Nahdlatul Ulama. Akhirnya para ulama kepingin, ada tempat begitu bagusnya, mencoba di-Islamkan. Ulama-ulama dikirim ke sini.

Namun mereka menghadapi masalah, karena orang di sini ada yang doyan makan daging manusia. Namanya aliran Bhairawa. Munculnya dari Syiwa. Mengapa ganti Syiwa, karena Hindu Brahma bermasalah. Hindu Brahma, orang Jawa bisa melakukan tetapi matinya sulit. Sebab orang Brahma matinya harus moksa atau murco.

Untuk moksa harus melakukan upawasa. Upawasa itu tidak makan, tidak minum, tidak ngumpulin istri, kemudian badannya menyusut menjadi kecil, semakin kecil dan akhirnya menghilang. Kadang ada yang sudah menyusut menjadi kecil, tapi tidak bisa hilang, gagal moksa, karena teringat kerbaunya, teringat kambingnya, teringat harta bendanya. Maka, yang ini terus menjadi Jenglot atau Batara Karang.

Jika Anda menemukan Jenglot ini, jangan dijual mahal karena itu produk gagal moksa. Pada akhirnya, ada yang mencari ilmu yang lebih mudah ––melalui jalan pintas––  namanya ilmu Ngrogoh Sukmo. Supaya bisa mendapat ilmu ini, mencari ajaran dari Kali. Kali itu dari Durga. Durga itu dari Syiwa, yang mengajarkan Pancamakara.

Hindu Tantra Bhairawa.

Supaya bisa Ngrogoh Sukmo, semua syahwat badan dikenyangi, laki-laki perempuan melingkar telanjang, menghadap arak dan ingkung daging manusia. Supaya syahwat bawah perut tenang, dikenyangi dengan seks bebas. Sisa-sisanya sekarang ada di Gunung Kemukus.

Supaya perut tenang, makan tumpeng. Supaya pikiran tenang, tidak banyak pikiran, minum arak. Agar ketika sukma keluar dari badan, badan tidak bergerak, makan daging manusia. Maka jangan heran kalau muncul orang-orang macam Sumanto.

Ketika sudah pada bisa Ngrogoh Sukmo, ketika sukmanya pergi diajak mencuri namanya
Ngepet. Sukmanya pergi diajak membunuh manusia namanya Santet. Ketika sukmanya pergi diajak mencintai wanita namanya Pelet. Maka kemudian di Jawa tumbuh ilmu Ngepet, Santet, Pelet dan Nyopet.

Ada 1.500 ulama yang dipimpin Sayyid Aliyuddin habis di-ingkung oleh orang Jawa pengamal Ngrogoh Sukma. Untuk menghindari pembunuhan lagi, maka Khalifah Turki Utsmani saat itu, mengirim kembali tentara ulama dari Iran, yang tidak bisa dimakan orang Jawa.

Nama ulama itu Sayyid Syamsuddin Al-Baqir Al-Farsi. Karena lidah orang Jawa sulit menyebutnya, kemudian di Jawa terkenal dengan sebutan Syekh Subakir. Di Jawa ini diduduki bala tentara Syekh Subakir, maka kemudian mereka pada lari diusir.


Ada yang lari ke Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil Cilacap, Pelabuhan Ratu, dan Banten. Dinamai Banten, diambil dari bahasa Sanskerta, artinya Tumbal. Yang lari ke timur, naik Gunung Lawu, Gunung Kawi, Alas Purwo Banyuwangi (Blambangan). Di sana mereka dipimpin Menak Sembuyu dan Bajul Sengoro.

Karena Syekh Subakir sudah sepuh, maka pasukannya dilanjutkan kedua muridnya, namanya Mbah Ishak (Maulana Ishak) dan Mbah Brahim (Ibrahim Asmoroqondi). Mereka melanjutkan pengejaran. Menak Sembuyu menyerah, anak perempuannya bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah Ishak, melahirkan Raden Ainul Yaqin Sunan Giri yang dimakamkan di Gresik.

Sebagian lari ke Bali, sebagian lari ke Kediri, menyembah Patung Totok Kerot, diuber Sunan Bonang, akhirnya menyerah. Setelah menyerah, melingkarnya tetap dibiarkan tetapi jangan telanjang, arak diganti air biasa, ingkung manusia diganti ayam, mantra Ngrogoh Sukmo diganti Kalimat Tahlil: “Laa ilaaha illallaah.” Maka, kita orang Jawa punya adat tumpengan.

Kalau ada orang banyak komentar mem-bid’ah-kan, ceritakanlah ini. Kalau ngeyel, didatangi: tabok mulutnya. Ini perlu dituturkan dengan runtut, karena NU termasuk yang masih mengurusi beginian.

Habis itu dikirim ulama yang khusus mengajar ngaji, namanya Sayyid Jamaluddin al-Husaini al-Kabir. Mendarat di Semarang dan menetap di daerah Merapi. Orang Jawa sulit mengucapkan namanya, maka disebutlah beliau dengan nama Syekh Jumadil Kubro.


Di sana dia punya murid namanya Syamsuddin, pindah ke Jawa Barat, membuat pesantren puro di daerah Karawang. Punya murid bernama Datuk Kahfi, pindah ke Amparan Jati, Cirebon. Punya murid Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati. Inilah yang bertugas meng-Islamkan Pajajaran. Maka kemudian ada Rara Santang, Kian Santang dan Walang Sungsang.

Nah, Syekh Jumadil Kubro punya putra bernama Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoroqondi, inilah bapaknya Walisongo. Mbah Ishak melahirkan Sunan Giri. Mbah Ibrahim punya anak Sunan Ampel. Inilah yang bertugas meng-Islamkan Majapahit.

Meng-Islamkan Majapahit itu tidak mudah. Majapahit orangnya pinter-pinter. Majapahit Hindu, sedangkan Sunan Ampel Islam. Ibarat sawah yang biasa ditanami padi, kok malah mau ditanami pisang. Kalau Anda berbuat begitu, maka pohon pisang anda bisa ditebang.

Sunan Ampel berpikir bagaimana caranya? Akhirnya beliau mendapat petunjuk ayat Al-Qurān. Dalam surat Al-Fatħ (48) ayat 29, disebutkan : “… matsaluhum fit taurat wa matsaluhum fil injil ka zar’in ahraja sat’ahu fa azarahu fastagladla fastawa ‘ala suqıhi yu’jibuz zurra’a, liyagidza bihimul kuffar ....

Artinya: “... Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin) .…”

Islam itu seperti tanaman yang memiliki anak-anaknya, baru kemudian hamil, kemudian berbuah, ibu dan anaknya bersama memenuhi pasar, menakuti orang kafir. Tanaman apa yang keluar anaknya dulu baru kemudian ibunya hamil? Jawabannya adalah padi.

Maka kemudian Sunan Ampel dalam menanam Islam seperti menanam padi. Kalau menanam padi tidak di atas tanah, tetapi dibawah tanah, kalau diatas tanah nanti dipatok ayam, dimakan tikus.

Mau menanam Allah, di sini sudah ada istilah Pangeran. Mau menanam shalat, di sini sudah ada istilah sembahyang. Mau menanam syaikhun, ustadzun, di sini sudah ada kiai. Menanam tilmidzun, muridun, di sini sudah ada shastri, kemudian dinamanilah santri. Inilah ulama dulu, menanamnya dengan cara halus, lembut, tidak kelihatan.


Menanamnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit: Kalimat Syahadat, jadi Kalimasada. Syahadatain, jadi Sekaten. Mushalla, jadi langgar. Sampai akhirnya itu semua jadi bahasa masyarakat. Dan yang paling sulit adalah mememberi pengertian orang Jawa tentang mati.

Kalau Hindu kan ada reinkarnasi. Kalau dalam Islam, mati ya mati (tidak kembali ke dunia lagi). Ini paling sulit, butuh strategi kebudayaan. Ini pekerjaan paling revolusioner waktu itu. Tidak main-main, karena ini prinsip. Prinsip “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” berhadapan dengan reinkarnasi. Bagaimana caranya?

Oleh Sunan Ampel, “Inna lillahi wa inna ilaihi raj’iun” kemudian di-Jawa-kan menjadi rumusan: “Ojo Lali Marang Sangkan Paraning Dumadi.

Setelah lama diamati oleh Sunan Ampel, ternyata orang Jawa suka tembang (lagu), dan suka nembang (nyanyi). Beliau kemudian mengambil pilihan: mengajarkan hal yang sulit itu dengan tembang. Orang Jawa memang memiliki sifat mudah hafal bila dengan tembang.

Orang Jawa, kehilangan istri saja tidak lapor polisi, tapi nyanyi: “Ndang baliyo, Sri, ndang baliyo ....” Lihat lintang, nyanyi: “Yen ing tawang ono lintang, cah ayu ....” Lihat bebek, nyanyi: “Bebek adus kali nututi sabun wangi ....” Lihat enthok, nyanyi: “Menthok, menthok, tak kandhani, mung rupamu angisin-isini ....” Bahkan, lihat silit (dubur) saja nyanyi: “... ndemok silit, gudhigen ....” Maka kesimpulannya, orang Jawa itu suka nyanyi. Itulah yang jadi pelajaran.

Maka akhirnya, sesuatu yang paling sulit dan berat itu ditembangkan. “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un” diwujudkan dalam bentuk tembang bernama Macapat. Apa artinya Macapat? Bahwa orang hidup harus bisa membaca perkara Empat.

Keempat perkara itu adalah teman nyawa yang berada dalam raga ketika lahir di dunia. Nyawa itu produk akhirat. Kalau raga produk dunia. Produk dunia makanannya dunia dan hasil setelah makan adalah sampah dunia. Sampah padatnya keluar lewat pintu belakang, sedangkan sampah yang cair keluar lewat pintu depan.

Maskumambang yang akan Mijil.

Ada sari makanan yang disimpan, namanya mani (sperma). Kalau mani ini penuh, bapak akan mencari ibu, ibu mencari bapak, kemudian dicampur dan dititipkan di rahim ibu. Tiga bulan jadi segumpal darah, empat bulan jadi segumpal daging. Inilah produk dunia.

Begitu jadi segumpal daging, nyawa dipanggil. “Dul, turun ya.” “Iya, Ya Allah.” “Alastu birabbikum?” (apakah kamu lupa kalau Aku Tuhanmu?). “Qalu balaa syahidna,” (Iya Ya Allah, saya jadi saksi-Mu), jawab sang nyawa. “fanfuhur ruuh” (maka ditiupkanlah ruh itu ke daging). Maka daging itu menjadi hidup. Kalau tidak ditiup nyawa, tidak hidup daging ini. [lihat, a.l.: QS. Al-A’raf (7): 172, As-Sajdah (32): 7-10, Al-Mu’min (40): 67].

Kemudian, setelah sembilan bulan, ruh itu keluar dengan bungkusnya, yaitu jasad. Adapun jasadnya sesuai dengan orang tuanya: kalau orang tuanya hidungnya pesek anaknya ya pesek; orang tuanya mancung anaknya ya mancung; orang tuanya hitam anaknya ya hitam; kalau orang tuanya ganteng dan cantik, anaknya ya ganteng dan cantik.

Itu disebut Tembang Mocopat: orang hidup harus membaca perkara empat. Keempat itu adalah teman nyawa yang menyertai manusia ke dunia, yang ada di dalam jasad. Nyawa itu ditemani empat: dua adalah Iblis yang bertugas menyesatkan, dan dua adalah malaikat yang bertugas mengingatkan dan mengendalikan. Jin Qarin dan Hafadzah.


Itu oleh Sunan Ampel disebut Sedulur Papat Limo Pancer. Ini metode mengajar. Maka pancer ini kalau mau butuh apa-apa bisa memakai dulur tengen (teman kanan) atau dulur kiwo (teman kiri). Kalau pancer kok ingin istri cantik, memakai jalan kanan, yang di baca “Ya Rahmanu, Ya Rahimu” tujuh hari di masjid, yang wanita nantinya juga akan cinta.

Tidak mau pakai dulur tengen, ya memakai yang kiri, yang dibaca Aji-aji Jaran Goyang, ya si wanita jadinya cinta, sama saja. Kepingin perkasa, kalau memakai kanan yang dipakai kalimah “La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim.” Tak mau yang kanan ya memakai yang kiri, yang dibaca Aji-aji Bandung Bondowoso, kemudian bisa perkasa.

Mau kaya, kalau memakai jalan kanan ya Shalat Dluha dan membaca “Ya Fattaahu, Ya Razzaaqu,” bisa kaya. Kalau tidak mau jalan kanan, ya jalan kiri, membawa Kambing Kendhit naik ke Gunung Kawi, setelah pulang jadi kaya.

Maka, kiai dengan dukun itu sama; sama hebatnya kalau tirakatnya kuat. Kiai yang ‘alim dengan dukun yang tak pernah mandi, jika sama tirakatnya, ya sama saktinya: sama-sama bisa mencari barang hilang. Sama terangnya. Bedanya: satu terangnya lampu dan satunya terang karena rumah terbakar.

Ibaratnya, yang satu mencari ayam dengan lampu senter, ayamnya ketemu dan senternya utuh; sedangkan yang satu lagi, mencari ayam dengan api dari blarak (daun kelapa kering yang dibakar), ayamnya ketemu, tapi blarak-nya habis terbakar. Itulah bedanya nur (cahaya) dengan nar (api).


Maka jalannya hidup manusia ini seperti jalannya tembang. Yang awalan, namanya Maskumambang: kemambange nyowo medun ngalam ndunyo, disebut ngapati, mitoni, ini rohaninya. Tapi jasmaninya ketika dipasrahkan bidan untuk imunisasi.

Maka menurut NU ada ngapati, mitoni, karena itu turunnya nyawa. Setelah Maskumambang, manusia mengalami tembang Mijil. Bakal Mijil: lahir laki-laki dan perempuan. Kalau lahir laki-laki aqiqahnya kambing dua, kalau lahir perempuan aqiqahnya kambing satu.

Setelah Mijil, tembangnya Kinanthi. Anak-anak kecil itu, bekalilah dengan agama, dengan akhlak. Tidak mau ngaji, pukul (tentunya pukulan cinta, pukulan kasih sayang, bukan pukulan kekerasan karena kemarahan). Masukkan ke TPQ, ke Raudlatul Athfal (RA). Waktunya ngaji kok tidak mau ngaji, malah main layangan, potong saja benangnya. Waktunya ngaji kok malah mancing, potong saja kailnya.

Anak Kinanthi ini waktunya sekolah dan ngaji. Dibekali dengan agama dan akhlak. Kalau tidak, nanti keburu masuk tembang Sinom: bakal menjadi anak muda (cah enom), sudah mulai ndablek, ngeyelan dan bandel.

Apalagi, setelah Sinom, tembangnya Asmaradana, mulai jatuh cinta. Tai kucing serasa coklat. Tidak bisa dinasehati. Setelah itu manusia disusul tembang Gambuh, laki-laki dan perempuan bakal membangun rumah tangga, rabi, menikah.


Setelah Gambuh, adalah tembang Dandanggula. Merasakan manis dan pahitnya kehidupan. Setelah Dandanggula, menurut Mbah Sunan Ampel, manusia mengalami tembang Durma.

Durma itu mengajukan pertanyaan: darma bakti hidupmu itu apa? Kalau pohon mangga setelah berbuah bisa untuk makanan codot, kalau pisang berbuah bisa untuk makanan burung, lha buahmu itu apa? Tenagamu hasilnya mana? Hartamu dimana, kemana dan jadi apa? Ilmumu sudah menghasilkan apa? Apa saja yang sudah didarmabaktikan untuk orang lain?

Khairunnas anfa’uhum linnas,” ––sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lainnya. Sebab, kalau sudah di Durma tapi tidak melakukan darma bakti, maka akan kesusul tembang Pangkur.

Anak manusia yang sudah memunggungi dunia: gigi sudah banyak copot, kaki sudah linu. Ini harus sudah masuk masjid. Kalau tidak segera masuk masjid kesusul tembang Megatruh: megat, memutus raga beserta sukmanya. Mati.

Terakhir sekali, tembangnya Pucung. Lha ini, kalau Hindu reinkarnasi, kalau Islam Pucung. Manusia di pocong. Sluku-sluku Bathok, dimasukkan pintu kecil. Makanya orang tua (dalam bahasa Jawa) dinamai buyut, maksudnya: siap-siap mlebu lawang ciut (siap-siap masuk pintu kecil).

Adakah yang mengajar sebaik itu di dunia?


Kalau sudah masuk pintu kecil, ditanya Malaikat Munkar dan Nakir. Akhirnya itu, yang satu reinkarnasi, yang satu buyut. Ditanya: “Man rabbuka?” Dijawab: “Awwloh.” Ingin disaduk Malaikat Munkar-Nakir apa karena tidak bisa mengucapkan Allah ?!

Ketika akan disaduk, Malaikat Raqib buru-buru menghentikan: “Jangan disiksa, ini lidah Jawa. Tidak punya Alif, Ba, Ta, punyanya Ha, Na, Ca, Ra, Ka. “Apa sudah mau ngaji?” tanya Munkar-Nakir. “Sudah, ini ada catatanya. NU juga sudah ikut, namun belum bisa sudah meninggal.” “Ya, sudah, meninggalnya orang yang sedang belajar mengaji, meninggal yang dimaafkan oleh Allah.”

Maka, seperti itu belajar. Kalau tidak mau belajar, ditanya, “Man rabbuka?” menjawab, “Ha …???” Langsung dipukul kepalanya: “Plaakkk !!!” Dicanggah lehernya oleh malaikat. Kemudian jadi wareng, takut melihat akhirat, masukkan ke neraka, diudek oleh malaikat, digantung seperti siwur, iwir-iwir, dipukuli modal-madil seperti petarangan bodhol, ajur mumur seperti gedebok bosok.

Maka, pangkat manusia, menurut Sunan Ampel: anak – bapak – simbah – buyut – canggah – wareng – udek-udek – gantung siwur – petarangan bodhol – gedebok bosok. Lho, dipikir ini ajaran Hindu. Kalau seperti ini ada yang bilang ajaran Hindu, kesini, saya tabok mulutnya!

Begitu tembang ini jadi, kata Mbah Bonang, masa nyanyian tidak ada musiknya. Maka dibuatkanlah gamelan, yang bunyinya Slendro Pelog: nang ning nang nong, nang ning nang nong, ndang ndang, ndang ndang, gung. Nang ning nang nong: yo nang kene yo nang kono (ya di sini ya disana); yang di sini ngaji, yang di sana mencari kayu.

Lho, lha ini orang-orang kok. Ya seperti di sini ini: kelihatannya di sini shalawatan, nanti pulang lihat pantat ya bilang: wow! Sudah hafal saya, melihat usia-usia kalian. Ini kan kamu pas pakai baju putih. Kalau pas ganti, pakainya paling ya kaos Slank.

Nah, nang ning nang nong, hidup itu ya disini ya disana. Kalau pingin akhiran baik, naik ke ndang ndang, ndang ndang, gung. Ndang balik ke Sanghyang Agung. “Fafirru illallaah,” kembalilah kepada Allah. Pelan-pelan. Orang sini kadang tidak paham kalau itu buatan Sunan Bonang.

Sunan Kalijaga, Tumpeng dan Kembang Telon (Mawar, Kenanga dan Kanthil).

Maka, kemudian, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, dibuatkan tumpeng agar bisa makan. Begitu makan kotor semua, dibasuh dengan tiga air bunga: mawar, kenanga dan kanthil.

Maksudnya: uripmu mawarno-warno, keno ngono keno ngene, ning atimu kudu kanthil nang Gusti Allah (Hidupmu berwarna-warni, boleh seperti ini atau seperti itu, tetapi hatimu harus tertaut selalu kepada Allah). Lho, ini piwulang-piwulangnya, belum diajarkan apa-apa. Oleh Sunan Kalijaga, yang belum bisa mengaji, diajari Kidung Rumekso Ing Wengi. Oleh Syekh Siti Jenar, yang belum sembahyang, diajari Syahadat saja.

Ketika tanaman ini sudah ditanam, Sunan Ampel kemudian ingin tahu: tanamanku itu sudah tumbuh apa belum? Maka di-cek dengan tembang “Lir ilir, tandurku iki wis sumilir durung? Nek wis sumilir, wis ijo royo-royo, ayo menek blimbing. Blimbing itu ayo shalat. Blimbing itu sanepo lambang shalat.

Di sini itu, apa-apa dengan lambang, dengan simbol: kolo-kolo teko, janur gunung. Udan grimis panas-panas, caping gunung. Blimbing itu bergigir lima. Maka lagunya, cah angon, ayo menek blimbing. Bukannya, cah angon ayo memanjat mangga.

Akhirnya ini praktek, shalat. Tapi prakteknya beda. Begitu di ajak shalat, kita beda. Di sana, shalat ‘imaaduddin, lha shalat di sini, tanamannya mleyar-mleyor, berayun-ayun.

Disana dipanggil jam setengah duabelas kumpul. Kalau di sini dipanggil jam segitu masih di sawah, di kebun, angon bebek, masih nyari kayu. Maka manggilnya pukul setengah dua. Adzanlah muadzin (orang yang adzan). Setelah ditunggu-tunggu, kok tidak datang-datang?

Padahal tugas Imam adalah menunggu makmum. Ditunggu dengan memakai pujian. “Rabbana ya rabbana, rabbana dholamna anfusana, ––sambil tolah-toleh, mana ini makmumnya–– wa inlam taghfirlana, wa tarhamna lanakunanna minal khasirin.

Datang satu, dua, tapi malah merokok di depan masjid. Tidak masuk. Maka oleh Mbah Ampel: Tombo Ati, iku ono limang perkoro .... Sampai pegal, ya mengobati hati sendiri saja. Sampai sudah lima kali kok tidak datang-datang, maka kemudian ada pujian yang agak galak: “... di urugi anjang-anjang ..., langsung deh, para makmum buru-buru masuk. Itu tumbuhnya dari situ.


Kemudian, setelah itu shalat. Shalatnya juga tidak sama. Shalat disana, dipanah kakinya tidak terasa, disini beda. Begitu Allahu Akbar, matanya bocor: itu mukenanya berlubang, kupingnya bocor, ting-ting-ting, ada penjual bakso. Hatinya bocor: protes imamnya membaca surat kepanjangan. Nah, ini ditambal oleh para wali, setelah shalat diajak dzikir, “Laa ilaaha illallah ....

Hari ini, ada yang protes: dzikir kok kepalanya gedek-gedek, geleng-geleng? Padahal kalau sahabat kalau dzikir diam saja. Lho, sahabat kan muridnya nabi. Diam saja hatinya sudah ke Allah. Lha orang sini, diajak dzikir diam saja, ya malah tidur. Bacaannya dilantunkan dengan keras, agar makmum tahu apa yang sedang dibaca imam.

Kemudian, dikenalkanlah nabi. Orang sini tidak kenal nabi, karena nabi ada jauh disana. Kenalnya Gatotkaca. Maka pelan-pelan dikenalkan nabi. Orang Jawa yang tak bisa bahasa Arab, dikenalkan dengan syair: kanjeng Nabi Muhammad, lahir ono ing Mekkah, dinone senen, rolas mulud tahun gajah.

Inilah cara ulama-ulama dulu kala mengajarkan Islam, agar masyarakat di sini kenal dan paham ajaran nabi. Ini karena nabi milik orang banyak (tidak hanya milik bangsa Arab saja). “Wamaa arsalnaaka illa rahmatal lil ‘aalamiin;” ‒‒Aku (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.

Maka, shalawat itu dikenalkan dengan cara berbeda-beda. Ada yang sukanya shalawat ala Habib Syekh, Habib Luthfi, dll. Jadi jangan heran kalau shalawat itu bermacam-macam. Ini beda dengan wayang yang hanya dimiliki orang Jawa.

Orang kalau tidak tahu Islam Indonesia, pasti bingung. Maka Gus Dur melantunkan shalawat memakai lagu dangdut. Astaghfirullah, rabbal baraaya, astaghfirullah, minal khataaya, ini lagunya Ida Laila: Tuhan pengasih lagi penyayang, tak pilih kasih, tak pandang sayang. Yang mengarang namanya Ahmadi dan Abdul Kadir.

Nama grupnya Awara. Ida Laila ini termasuk Qari’ terbaik dari Gresik. Maka lagunya bagus-bagus dan religius, beda dengan lagu sekarang yang mendengarnya malah bikin kepala pusing. Sistem pembelajaran yang seperti ini, yang dilakukan oleh para wali. Akhirnya orang Jawa mulai paham Islam.

Namun selanjutnya Sultan Trenggono tidak sabaran: menerapkan Islam dengan hukum, tidak dengan budaya. “Urusanmu kan bukan urusan agama, tetapi urusan negara,” kata Sunan Kalijaga. “Untuk urusan agama, mengaji, biarlah saya yang mengajari,” imbuhnya.


Namun Sultan Trenggono terlanjur tidak sabar. Semua yang tidak sesuai dan tidak menerima Islam diuber-uber. Kemudian Sunan Kalijaga memanggil anak-anak kecil dan diajari nyanyian:

Gundhul-gundhul pacul-cul, gembelengan.
Nyunggi-nyunggi wangkul-kul, pethenthengan.
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar 2x

Gundul itu kepala. Kepala itu ra’sun. Ra’sun itu pemimpin. Pemimpin itu ketempatan empat hal: mata, hidung, lidah dan telinga. Empat hal itu tidak boleh lepas. Kalau sampai empat ini lepas, bubar.

Mata kok lepas, sudah tidak bisa melihat rakyat. Hidung lepas sudah tidak bisa mencium rakyat. Telinga lepas sudah tidak bisa mendengar rakyat. Lidah lepas sudah tidak bisa menasehati rakyat. Kalau kepala sudah tidak memiliki keempat hal ini, jadinya gembelengan.

Kalau kepala memangku amanah rakyat kok terus gembelengan, menjadikan wakul ngglimpang, amanahnya kocar-kacir. Apapun jabatannya, jika nanti menyeleweng, tidak usah di demo, nyanyikan saja Gundhul-gundhul pacul. Inilah cara orang dulu, landai.

Akhirnya semua orang ingin tahu bagaimana cara orang Jawa dalam ber-Islam. Datuk Ribandang, orang Sulawesi, belajar ke Jawa, kepada Sunan Ampel. Pulang ke Sulawesi menyebarkan Islam di Gunung Bawakaraeng, menjadilah cikal bakal Islam di Sulawesi.

Berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di sepenjuru Sulawesi. Khatib Dayan belajar Islam kepada Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Ketika kembali ke Kalimantan, mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan.

Ario Damar atau Ario Abdillah ke semenanjung Sumatera bagian selatan, menyebarkan dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Sumatera.

Kemudian Londo (Belanda) datang. Mereka semua ––seluruh kerajaan yang dulu dari Jawa–– bersatu melawan Belanda.

Ketika Belanda pergi, maka kita bersepakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Maka kawasan di Indonesia disebut wilayah, artinya tinggalan para wali. Jadi, jika Anda meneruskan agamanya, jangan lupa kita ditinggali wilayah. Inilah Nahdlatul Ulama, baik agama maupun wilayah, adalah satu kesatuan: NKRI Harga Mati.


Maka dimanakah di dunia ini, yang menyebut daerahnya dengan nama wilayah? Di dunia tidak ada yang bisa mengambil istilah: “kullukum raa’in wa kullukum mas-uulun ‘an ra’iyatih”; Rasulullah mengajarkan bahwa hidup di dalam kekuasaan dunia ada sesuatu yang harus diperhatikan, yaitu pertanggung-jawaban.

Dan yang bertanggungjawab dan dipertanggung-jawabkan disebut ra’iyyah. Hanya Indonesia yang menyebut penduduknya dengan sebutan ra’iyyah atau rakyat. Begini kok banyak yang bilang tidak Islam.

Nah, sistem perjuangan seperti ini diteruskan oleh para ulama Indonesia. Orang-orang yang meneruskan sistem para wali ini, dzaahiran wa baathinan, akhirnya mendirikan sebuah organisasi yang dikenal dengan nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Kenapa kok bernama Nahdlatul Ulama. Dan kenapa yang menyelamatkan Indonesia kok Nahdlatul Ulama? Karena diberi nama Nahdlatul Ulama. Nama inilah yang menyelamatkan. Sebab dengan nama Nahdlatul Ulama, orang tahu kedudukannya: bahwa kita hari ini, kedudukannya hanya muridnya ulama.

Meski, nama ini (NU) tidak gagah. KH Ahmad Dahlan menamai organisasinya Muhammadiyyah: pengikut Nabi Muhammad, gagah. Ada lagi organisasi, namanya Syarekat Islam, gagah. Yang baru ada Majelis Tafsir Al-Quran, gagah namanya. Lha ini “hanya” Nahdlatul Ulama. Padahal ulama kalau di desa juga ada yang hutang rokok.

Tapi Nahdlatul Ulama ini yang menyelamatkan, sebab kedudukan kita hari ini hanya muridnya ulama. Yang membawa Islam itu Kanjeng Nabi. Murid Nabi namanya Sahabat. Murid Sahabat namanya Tabi’in. Tabi’in bukan ashhabus-shahabat, tetapi Tabi’in, maknanya pengikut.


Murid Tabi’in namanya Tabi’it-tabi’in, pengikutnya pengikut. Muridnya Tabi’it-tabi’in namanya Tabi’it-tabi’it-tabi’in, pengikutnya pengikutnya pengikut. Lha kalau kita semua ini namanya apa? Kita muridnya KH Hasyim Asy’ari.

Lha KH Hasyim Asy’ari hanya muridnya Kiai Asy’ari. Kiai Asy’ari mengikuti gurunya, namanya Kiai Usman. Kiai Usman mengikuti gurunya namanya Kiai Khoiron, Purwodadi (Mbah Gareng). Kiai Khoiron muridnya Kiai Abdul Halim, Boyolali.

Mbah Abdul Halim muridnya Kiai Abdul Wahid. Mbah Abdul Wahid itu murid Mbah Sufyan. Mbah Sufyan murid Mbah Jabbar, Tuban. Mbah Jabbar murid Mbah Abdur Rahman, murid Pangeran Sambuh, murid Pangeran Benowo, murid Mbah Tjokrojoyo, Sunan Geseng.

Sunan Geseng hanya murid Sunan Kalijaga, murid Sunan Bonang, murid Sunan Ampel, murid Mbah Ibrahim Asmoroqondi, murid Syekh Jumadil Kubro, murid Sayyid Ahmad, murid Sayyid Ahmad Jalaludin, murid Sayyid Abdul Malik, murid Sayyid Alawi Ammil Faqih, murid Syekh Ahmad Shohib Mirbath.

Kemudian murid Sayyid Ali Kholiq Qosam, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Ahmad Al-Muhajir, murid Sayyid Isa An-Naquib, murid Sayyid Ubaidillah, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Ali Uraidi, murid Sayyid Ja’far Shodiq, murid Sayyid Musa Kadzim, murid Sayyid Muhammad Baqir. Sayyid Muhammad Baqir hanya murid Sayyid Zaenal Abidin, murid Sayyidina Hasan – Husain, murid Sayiidina Ali karramallahu wajhah. Nah, ini yang baru muridnya Rasulullah saw.


Kalau begini nama kita apa? Namanya ya Tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit …, yang panjang sekali. Maka cara mengajarkannya juga tidak sama. Inilah yang harus difahami.

Rasulullah itu muridnya bernama Sahabat, tidak diajari menulis Al-Qurān. Maka tidak ada mushaf Al-Qurān di zaman Rasulullah dan para Sahabat. Tetapi ketika Sahabat ditinggal wafat Rasulullah, mereka menulis Al-Qurān.

(Catatan koreksi: zaman Rasulullah sebenarnya sudah ada catatan wahyu Al-Qurān walaupun masih terpisah-pisah dalam berbagai macam media sehingga memang belum berwujud satu mushaf yang utuh. Ada yang tertulis di kulit kayu, pelepah kurma, kulit binatang, dan perkamen-perkamen yang lain).

Untuk siapa? Untuk para Tabi’in yang tidak pernah bertemu Al-Qurān zaman Rasul. Maka ditulislah Al-Qurān di zaman Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman. Tetapi begitu para Sahabat wafat, Tabi’in harus mengajari dibawahnya.

Mushaf Al-Qurān yang ditulis Sahabat terlalu tinggi, hurufnya rumit dan sulit dibaca. Maka pada tahun 65 Hijriyyah diberi tanda “titik” oleh Imam Abu al-Aswad ad-Duali, agar supaya bisa lebih mudah dibaca.

Tabi’in wafat, Tabi’it-tabi’in mengajarkan yang dibawahnya. Titik tidak cukup, kemudian diberi “harakat” oleh Syekh Kholil bin Ahmad al-Farahidi, guru dari Imam Sibawaih, pada tahun 150 Hijriyyah.


Kemudian Islam semakin menyebar ke penjuru negeri, sehingga Al-Qurān semakin dibaca oleh banyak orang dari berbagai suku dan ras. Orang Andalusia diajari “Waddluha” keluarnya “Waddluhe”.

Orang Turki diajari “Mustaqiim” keluarnya “Mustaqiin”. Orang Padang, Sumatera Barat, diajari “Lakanuud” keluarnya “Lekenuuik”. Orang Sunda diajari “Alladziina” keluarnya “Allatziina”.

Di Jawa diajari “Alhamdu” jadinya “Alkamdu”, karena punyanya Ha Na Ca Ra Ka. Diajari “Ya Hayyu Ya Qayyum” keluarnya “Yo Kayuku Yo Kayumu”. Diajari “Rabbil ‘Aalamin” keluarnya “Robbil Ngaalamin” karena punyanya Ma Ga Ba Tha Nga.

Orang Jawa tidak punya huruf “Dlod” punyanya “La”, maka “Ramadlan” jadi “Ramelan”. Orang Bali disuruh membunyikan “Shiraathal …” bunyinya “Sirotholladzina an’amtha ‘alaihim ghairil magedu bi’alaihim waladtholliin”. Di Sulawesi, “’Alaihim” keluarnya “’Alaihing ”.

Karena perbedaan logat lidah ini, maka pada tahun 250 Hijriyyah, seorang ulama berinisiatif menyusun Ilmu Tajwid fi Qira-atil Quran, namanya Abu Ubaid bin Qasim bin Salam. Ini yang kadang orang tidak paham pangkat dan tingkatan kita. Makanya tidak usah pada ribut.

Murid ulama itu beda dengan murid Rasulullah. Murid Rasulullah, ketika dzikir dan diam, hatinya “online” langsung kepada Allah SWT. Kalau kita semua, dzikir dan diam, malah jadinya tidur.

Maka di sini, di Nusantara ini, jangan heran. Ojo nggumunan.


Ibadah Haji, kalau orang Arab langsung lari ke Ka’bah. Muridnya ulama dibangunkan Ka’bah palsu di alun-alun, dari triplek atau kardus, namanya manasik haji. Nanti ketika hendak berangkat haji diantar orang se-kampung.

Yang mau Haji diantar ke Asrama Haji, yang mengantar pulangnya belok ke kebun binatang. Ini cara pembelajaran. Ini sudah murid ulama. Inilah yang orang belajar sekarang: kenapa Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama selamat, sebab mengajari manusia sesuai dengan hukum pelajarannya ulama.

Anda sekalian disuruh dzikir di rumah, takkan mau dzikir, karena muridnya ulama. Lha wong dikumpulkan saja lama kelamaan tidur. Ini makanya murid ulama dikumpulkan, diajak berdzikir.

Begitu tidur, matanya tidak dzikir, mulutnya tidak dzikir, tetapi, pantat yang duduk di majelis dzikir, tetap dzikir. Nantinya, di akhirat ketika “wa tasyhadu arjuluhum,” ada saksinya. Orang di sini, ketika disuruh membaca Al-Qurān, tidak semua dapat membaca Al-Qurān. Maka diadakan semaan Al-Qurān.

Mulut tidak bisa membaca, mata tidak bisa membaca, tetapi telinga bisa mendengarkan lantunan Al-Qurān. Begitu dihisab mulutnya kosong, matanya kosong, namun di telinga masih ada Al-Qurān.

Maka, jika bukan orang Indonesia, takkan mengerti Islam Indonesia. Mereka tidak paham, oleh karena, seakan-akan, para ulama dulu tidak serius dalam menanam. Syahadatain jadi Sekaten. Kalimah Syahadat jadi Kalimosodo. Ya Hayyu Ya Qayyum jadi Yo Kayuku Yo Kayumu.

Agus Sunyoto, Ketua LESBUMI - NU dan Penulis buku Atlas Wali Songo.

Ini menimbulkan kesan ulama dahulu tidak ‘alim. Ibarat pedagang, seperti pengecer. Tetapi, lima ratus tahun kemudian tumbuh subur menjadi Islam Indonesia. Jamaah haji terbanyak dari Indonesia. Orang shalat terbanyak dari Indonesia. Orang membaca Al-Qurān terbanyak dari Indonesia.

Dan Islam yang datang belakangan ini gayanya seperti grosir: Islam Kaaffah, begitu diikuti, malah mencuri sapi. Dilihat dari sini, saya meminta, Tentara Nasional Indonesia, Polisi Republik Indonesia, jangan sekali-kali mencurigai Nahdlatul Ulama. NU jangan dicurigai menanamkan benih teroris.

Teroris tidak mungkin tumbuh dari Nahdlatul Ulama, karena Nahdlatul Ulama lahir dari Bangsa Indonesia. Tidak ada ceritanya Banser kok ngebom di sini, sungkan dengan makam gurunya. Mau ngebom di Tuban, tidak enak dengan Mbah Sunan Bonang.

Saya yang menjamin. Ini pernah saya katakan kepada Panglima TNI. Maka, anda lihat teroris di seluruh Indonesia, tidak ada satupun anak warga Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Maka, Nahdlatul Ulama hari ini menjadi organisasi terbesar di dunia.

Dari Muktamar Makassar jamaahnya sekitar 80 juta, sekarang di kisaran 120 juta. Yang lain dari 20 juta turun menjadi 15 juta. Kita santai saja. Lama-lama mereka tidak kuat, seluruh tubuh kok ditutup kecuali matanya. Ya kalau pas jualan tahu, lha kalau pas nderep di sawah bagaimana? Jadi kita santai saja. Kita tidak pernah melupakan sanad, urut-urutan, karena itu cara Nahdlatul Ulama agar tidak keliru dalam mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad saw.

Agus Sunyoto
Ketua Lesbumi,
Pengasuh di Pesantren Cendekia Nusantara,
Dan Pondok Pesantren Global Tarbiyatul Arifin,
Penulis buku “Atlas Wali Songo
http://satunusanews.id/islam-kejawaan-taddaburanmaiyahan-di-indonesia/

Wednesday, November 9, 2016

Bung Jokowi, Jangan Terlambat!


Demo umat Islam yang dipimpin para ulama, zuama dan habaib Jakarta plus tokoh-tokoh dari berbagai kalangan (LSM, musisi, politisi, dll), pada 4 November lalu berlangsung damai. Memang ada kericuhan sekitar pukul 20.00 WIB, tetapi secara keseluruhan aksi itu berakhir damai. Alhamdulillah.

Saya berada di tengah massa pengunjuk rasa yang jumlahnya mungkin tiga kali lebih besar dari demo politik saat reformasi 20 Mei 1998 di halaman gedung DPR/MPR yang dijuluki sebagai people power Indonesia. Saya terharu melihat kehati-hatian para pemuda yang berdemo itu. Terlalu sering saya mendengar seruan para satgas: “Awas, jangan menginjak-injak rumput”, “Hei, hei, jangan menginjak tanaman,” juga seruan “Hati-hati, hati-hati, provokasi.”

Karena itu, di pengujung demo ketika terjadi pembakaran tiga mobil polisi, saya yakin, kejadian itu mustahil dilakukan demonstran. Mereka tulus dan tampak gembira sambil saling mengingatkan bahaya provokasi dari luar. Di samping pekikan takbir, lagu-lagu perjuangan juga terus diperdengarkan.

Umat Islam Indonesia tetap menjunjung tinggi Merah-Putih, tetap setia kepada NKRI.

Soal cinta mereka pada sang saka merah putih juga sangat mengesankan. Seorang Satgas bercerita pada saya, dia dan teman-temannya kecewa berat ketika pada 3 November sore mencari bendera merah putih ke Pasar Senen, ternyata sudah ludes. Bendera merah-putih dengan berbagai ukuran sudah diborong habis oleh para peserta demo.

Kita juga melihat bendera merah putih ukuran raksasa dibentangkan di atas kepala ribuan pendemo yang berkerumun di Bundaran BI (Bank Indonesia). Allahu Akbar !!! Kesetiaan pada agama dan cinta Tanah Air dari lautan manusia itu membuat banyak mata berkaca-kaca. Bahkan, banyak ibu-ibu yang mengusap air mata yang mengalir di pipi mereka.

Bung Jokowi, rasanya demo Aksi Damai 4 November lalu adalah demo terbesar yang pernah terjadi di persada Indonesia. Oleh karena itu, sekali-kali jangan Anda remehkan! Dari Maluku sampai Aceh, dari Medan sampai Malang, dari Solo sampai Makassar, dari semua kota besar dan mungkin semua kabupaten di Indonesia, masyarakat bergerak ikhlas dan spontan menuntut hal yang sama: Adili Ahok, penista Al-Quran dan penghina ulama, secepat mungkin.

Tokoh Reformasi 1998 dan mantan Ketua MPR-RI, Dr. Amien Rais pun turun gunung untuk ikut serta dalam Aksi Damai 4 November 2016.

Tidak mungkin ada seorang tokoh dengan kharisma sehebat apa pun, tidak ada koodinator lapangan (korlap) dengan biaya sebanyak apa pun, dan tidak ada kekuasaan yang berasal dari mana pun yang dapat menggerakkan jutaan anak bangsa dengan tuntutan yang sama.

Bung Jokowi, saya yakin Aksi Damai 4 November itu digerakkan para malaikat. Ramalan cuaca Badan Meteorologi mengatakan 4 November akan ada hujan lebat. Ternyata? Mendung merata melingkupi Jakarta sehingga demonstran ikut sejuk hatinya, di samping memang sudah diniatkan sejak awal harus menjadi demo sejuk dan damai.

Sesuai ramalan ilmiah BMKG, harusnya Jakarta mengalami hujan dan petir di Jumat siang. Namun tidak ada gerimis, tidak terlihat kilat petir dan halilintar, apalagi geluduk yang sering membarengi hujan lebat. Manusia boleh meramal, tapi takdir Allah yang berjalan.

Apakah ini sekedar fenomena alam yang kebetulan dan biasa saja? Wallahu a'lam.

Bung Jokowi, saya dapat sepenuhnya memahami, bila ratusan ribu (ada yang memperkirakan sekitar satu juta orang) peserta Aksi Damai 4 November itu sangat kecewa dengan Anda. Bukankah Anda Presiden mereka juga?

Mengapa Anda memilih menghindar dan pergi ke bandara melihat-lihat hal sepele yang bisa Anda tunda kapan saja? Mengapa Anda menggunakan teknik prokrastinasi (mengulur-ulur waktu), mengabaikan hal mendesak yang harus segera diatasi dan mengalihkan perhatian ke sasaran lain yang jelas dapat ditunda?

Ketika kita kaget saat demo tanggal 14 Oktober lalu di depan Balai Kota dan Kantor Bareskrim yang menghadirkan puluhan ribu orang, dengan tuntutan yang Anda tentu sudah mafhum, tiba-tiba Anda menggebu bicara pungli. Pungli! Teknik prokrastinasi itu ternyata kandas.

Mestinya Bung Jokowi tidak mengulangi teknik yang sama menghadapi demo Aksi Damai 4 November, yang menurut saya, sudah sampai ke tahapan unstoppable. Tidak mungkin lagi dapat dihentikan. Dengan memakai teknik apa pun, apakah dengan ancaman, hardikan, dengan iming-iming berbagai janji yang membius, yakinlah, semuanya akan kandas.


Namun Bung Jokowi, kita mengucap Alhamdulillah, setelah kita mendengar garansi Anda tentang kasus skandal Ahok yang Anda sampaikan di Istana pada dini hari 5 November. Sikap Anda yang tegas memang sudah ditunggu dalam sebulan terakhir ini.

Setelah Anda kabur menghindar, akhirnya Anda berjanji, “...bahwa proses hukum terhadap saudara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan dilakukan secara tegas, cepat, dan transparan.” Kemudian, Anda mengatakan sesuatu yang melegakan, “Biarkan aparat keamanan menyelesaikan proses penegakan hukum seadil-adilnya.” Dus, penegakan hukum atas skandal Ahok memang harus tegas, cepat, transparan, dan adil.

Bung Jokowi, satu hal penting harus saya ingatkan. Dalam kehidupan orang Jawa, harga diri keluarga dan harga diri menyangkut hak milik kita, wajib dilindungi. Guru bahasa Jawa saya di SMP Muhammadiyah Solo menyuruh murid-muridnya menghafal di luar kepala selusinan pepatah-petitih Jawa. Antara lain: “sadumuk bathuk sanyari bumi, pecahing dada, wutahing ludira, ditohi pati.

Karena Anda juga lahir dan besar di Solo, guru bahasa Jawa Anda tentu juga mengajarkan hal ini. Bila satu atau dua jari lelaki lain berani sembarangan memegang dahi istri kita (sadumuk bathuk), orang Jawa akan mengambil risiko dadanya terbelah dan darahnya tumpah, bahkan nyawa pun dipertaruhkan untuk melindungi kehormatan keluarga. Demikian juga bila sejengkal tanah miliknya (sanyari bumi) diserobot orang lain.

Para peserta demo Aksi Damai 411, berkumpul di Masjid Istiqlal untuk menjalankan Shalat Jumat.

Bung Jokowi, orang beriman menempatkan Allah, Rasul, dan Kitab Suci-Nya jauh di atas sadumuk bathuk, sanyari bumi tersebut. Al-Quran surat At-Taubah ayat 24 dengan jelas menerangkan, bila kaum beriman mencintai bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, keluarga dekat, harta kekayaan mereka, perniagaan yang ditakuti ruginya, sampai rumah yang disenanginya ternyata lebih besar dari cintanya pada Allah, Rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya, maka mereka dipersilakan menunggu keputusan (palu godam) dari Allah.

Bung Jokowi, lautan manusia yang berdemo di depan Istana 4 November lalu sedang mengekspresikan kecintaan puncaknya pada agama mereka. Kami bukannya tidak tahu kesulitan Anda menghadapi skandal Ahok itu. Ibarat menghadapi buah simalakama, mungkin tepat sebagai analogi posisi Anda menghadapi skandal Ahok. Memang sangat dilematis.

Bila Anda dorong proses hukum yang tegas, cepat, transparan dan adil, dan hasil logisnya Ahok terkena hukuman badan, maka sejumlah pemodal yang cukup digdaya yang mungkin telah banyak membiayai kampanye Anda sewaktu maju di Pilkada Jakarta dan kemudian Pilpres 2014, akan marah besar.

Karena itu, Anda jadi gamang. Ahok adalah kunci awal untuk melicinkan rencana besar mereka buat negara kita. Ini hipotesis saya.

Ratusan ribu umat Islam peserta demo Aksi Damai 411 nampak menyemut di sekitar Bundaran BI (Bank Indonesia), Jakarta.

Sebaliknya, bila Ahok lolos dari jeratan hukum karena praktik hukum di Indonesia yang sering masih bisa dibengkak-bengkokkan, sebagian rakyat (sebagian besar rakyat, saya yakin), akan membuat perhitungan dengan Anda. Dengan kata lain, people power yang dikhawatirkan banyak kalangan akan bisa menjadi kenyataan.

Akhirnya, Bung Jokowi, saya harap dalam situasi pelik ini sisa-sisa jiwa petarung Anda dapat muncul lagi. Anda dulu, sebagai Walikota Solo berani menentang keinginan pemodal besar yang ingin membangun mall di atas lahan bangunan kuno bekas pabrik es Saripetojo.

Alasan Anda tegas: keberadaan mall bisa menggerus rezeki rakyat kecil yang sudah puluhan tahun berdagang di sekitar lokasi. Malah bangunan pabrik es itu (didirikan pada 1888) layak dijadikan cagar budaya.

Dan jiwa petarung Anda muncul lagi setelah jadi Presiden. Anda tetap melaksanakan hukuman mati kepada 10 orang bandar narkoba, semuanya asing, kecuali satu. Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan, Anda berprinsip sekalipun ada 1.000 negara lain dan 1.000 Sekjen PBB yang mengancam, hukuman mati akan tetap dilaksanakan. We were proud of you.

Presiden Jokowi tak mau menemui delegasi pimpinan demo Aksi Damai 411 dengan alasan sedang meninjau proyek di Bandara Soetta, Cengkareng. Baru pada dini hari beliau menyampaikan pidato singkat setelah terjadi sedikit kericuhan di depan Istana.

Ayo, Bung Jokowi, kali ini tunjukkan lagi jiwa petarung Anda. Jangan sampai muncul people power di Indonesia gara-gara seorang Ahok. Anda tahu, di Amerika Latin, di Timur Tengah dan di Asia tidak ada satupun kepala negara yang dapat mengalahkan people power rakyatnya. Kita sudah dua kali menyaksikan itu di Indonesia. Pada 1966 dan 1998.

Saya yakin Anda bisa. Dengarkan baik-baik masukan dari berbagai kalangan, jangan hanya mendengarkan orang-orang di sekeliling Anda yang pasti bermental ABS (Asal Bapak Senang). Seorang pemimpin runtuh biasanya karena masukan picik dari orang-orang sekeliling sang pemimpin. Kebanyakan mereka adalah orang-orang yang berpikir jangka pendek dan telah kehilangan wawasan jangka panjang, sehingga buta, tuli, serta pekok terhadap kepentingan nasional bangsanya.

Bung Jokowi, hari sudah menjelang pagi. Bangun, bangun, bangun ...!!!

Amien Rais,
Tokoh Reformasi 1998 dan Mantan Ketua MPR
REPUBLIKA, 8 November 2016

Saturday, December 1, 2012

Islam dan Transformasi Sosial Eknomi


Menuliskan “kata pembuka” untuk buku Prof Dr M Dawam Rahardjo (MDR) merupakan kehormatan tersendiri. Mas Dawam –demikian ia biasa dipanggil oleh kalangan dekatnya– adalah mentor dan pembimbing, khususnya bagi banyak mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, pada awal 1980-an. Fachry Ali, Komaruddin Hidayat, Hadimulyo, Azyumardi Azra, Iqbal Abdurrauf Saimima (almarhum), Hari Zamharir, Ahmad Rifai Hassan (Pipip), dan saya sendiri, adalah sebagian dari mereka yang beruntung memperoleh tutorial langsung darinya.

Pada tahun-tahun itu, setiap hari Rabu siang, kami bertemu di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) –sebuah lembaga studi prestisius yang pernah dimotori oleh beberapa pemikir dan aktivis yang mempunyai asal usul sosial, bahkan mungkin genealogis, PSI dan Masyumi. Di situ, kami diperkenalkan secara lebih lanjut dengan sejumlah teori sosial –termasuk ide-ide Richard Falk tentang peace research, Andre Gunder Frank, Cardoso, dan Johan Galtung tentang teori ketergantungan, atau de-schooling society-nya Ivan Illich.

Meskipun demikian, adalah jauh dari maksud Dawam untuk menjadikan kami sebagai students of social sciences. Alih-alih, yang dikehendakinya adalah membukakan pintu bagi kami untuk mempertim-bangkan pentingnya perspektif ilmu-ilmu sosial dalam pengembangan akademik kami yang berlatar belakang agama itu.

Demikianlah, maka yang justru sering menjadi agenda kami adalah diskusi tentang agama (Islam), baik yang menyangkut aspek filsafat, teologi, fiqh siyasah, sejarah, atau pemikiran Islam pada umumnya. Al-Quran pun –khususnya dalam hal bagaimana kitab suci ini dipahami– tak luput dari perbincangan kami.

Tak puas menjadikan kami sebagai counterpart dalam mendiskusikan al-Quran (kendatipun sudah ada Pipip yang sering dijadikannya sandaran ensiklopedik, dengan menggunakan Mu’jam al-Mufahrasy li al-fadh al-Quran sebagai rujukan). Dawam mendatangkan Ustadz Isa Bugis yang dinilainya memiliki pendekatan alternatif.


Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa perhatian Dawam terhadap pemikiran keagamaan Islam bukan sesuatu yang tumbuh pada masa-masa itu.  Ia sendiri lahir di lingkungan santri di desa Tempursari, Solo. Beserta keluarganya, ia tidak saja akrab dengan pranata-pranata sosial kemasyarakatan Islam, seperti Pondok Pesantren Jamsaren, Perguruan al-Islam, Pesantren Krapyak, atau organisasi Islam perkotaan Muhammadiyah, tetapi juga dekat dengan kyai-kyai berpengaruh seperti KH Imam Ghozali, KH Ali Darokah, Ustadz Abdurrahman –orang-orang yang mengajarkannya bahasa Arab, Fiqh, Tafsir, Hadits, dan Tajwid di tingkat dini. Walaupun dalam hal karir akademiknya, orang lebih mengenalnya sebagai “jebolan sekolahan” yang pernah mengenyam –melalui program American Field Service (AFS)- pendidikan SMA di Boisie, Idaho, Amerika Serikat, dan berhasil menggondol gelar sarjana ekonomi dari UGM.

Kalau Solo merupakan tempat di mana Dawam mendapatkan dasar-dasar pemahaman mengenai Islam, maka di Yogyakarta-lah minatnya terhadap pemikiran ke-Islam-an berkembang. Setidak-tidaknya ada tiga hal penting yang perlu disebut sehubungan dengan yang terakhir ini. Pertama adalah situasi sosial-keagamaan dan politik Indonesia. Sebanding dengan periode-periode sebelumnya, Indonesia pada dasawarsa 1960-an masih disibukkan oleh antagonisme ideologis dan politis antara Islam dan negara. Situasi demikian muncul antara lain karena idealisme dan aktivisme para pemikir dan praktisi politik Islam generasi pertama yang tempo-tempo kental nuansa formalistik dan legalistiknya. Kecenderungan demikian telah mendatangkan implikasi-implikasi sosial-politik yang tidak menguntungkan komunitas Islam. Inilah kemudian yang menimbulkan dialektika pemikiran dan aktivisme baru, yang dikembangkan oleh generasi yang lebih muda, untuk menemukan sintesa yang memungkinkan dalam soal hubungan antara Islam dan politik/negara. Dalam kerangka itulah, mereka merasa perlu melakukan kajian ulang atas posisi agama (Islam) dalam kehidupan sosial-ekonomi dan politik keseharian –khususnya yang menyangkut dasar-dasar teologisnya.

Kedua, keterlibatan Dawam di dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Yogyakarta. Sebagai organisasi mahasiswa Islam kota terbesar pada waktu itu, HMI tidak kebal dari pengaruh-pengaruh situasional seperti digambarkan di atas. Sebaliknya, aktivis-aktivis HMI justru memainkan peranan penting dalam memberikan respons terhadap situasi sosial-politik Indonesia. Hal ini tampak dalam wacana yang dikembangkan oleh para tokohnya, baik yang ada di Yogyakarta maupun di Jakarta, yang berusaha untuk mengkaitkan Islam dengan persoalan-persoalan keseharian yang lebih empirik sifatnya. Meskipun secara keorganisasian, keharusan untuk mengembangkan dialektika pemikiran dan aktivisme baru ini tidak pernah menjadi kebijakan resmi organisasi, tetapi HMI tetap memberikan semacam institutional leverage kepada para kadernya melalui training-training yang diselenggarakannya secara periodik. Untuk itu, tidak terlalu berlebihan jika Victor Tanja mengingatkan bahwa dalam kurun-kurun itu HMI memiliki posisi ideologis penting dalam pengembangan wacana pemikiran baru.


Ketiga, aktivitas Dawam di dalam kelompok diskusi yang dipimpin Prof. Dr. Mukti Ali –Limited Group. Kelompok diskusi yang dihadiri secara rutin oleh, antara lain, Syu’bah Asa, Saifullah Mahyuddin, Djauhari Muhsin, Kuntowijoyo, Syamsuddin Abdullah, Muin Umar, Kamal Muchtar, Simuh, Wadjiz Anwar –di samping Djohan Effendi, Ahmad Wahib, Mansyur Hamid, dan Dawam Rahardjo sendiri, ini terbiasa membahas masalah-masalah keagamaan, sosial, politik dan sebagainya secara terbuka, tanpa perlu merasa takut untuk dicap telah keluar dari kaidah-kaidah religius dan teologis yang lazim.

Ketiga faktor ini memberikan Dawam –bersama-sama aktivis dan pemikir Islam muda lainnya, termasuk Djohan Effendi dan Ahmad Wahib– kesempatan untuk melihat Islam dalam konteks ke-Indonesia-an secara lebih empiris. Ia tak lagi tertarik untuk memahami Islam dalam konteks tekstual per se tetapi dalam konteks persoalan yang berkembang di bumi Nusantara. Ia pun tak lagi melihat al-Quran dalam perspektif Ilmu Tajwid saja, tetapi membacanya dan membahasakannya dalam konteks kebutuhan-kebutuhan yang lebih riil. Karenanya, ketika kebuntuan hubungan ideologis antara Islam dan negara masih saja terasakan, ia misalnya menulis dalam majalah Islam yang didirikan dan dipimpin Buya Hamka, Panji Masyarakat, tentang hal ini. Tulisnya, “meskipun Islam –sebagai agama– mengandung ajaran-ajaran sosial politik, ia dalam dirinya sendiri bukanlah sebuah ideologi. Ideologi Islam [pada dasarnya] tidak pernah ada.

Ketika kehidupan mahasiswa dan HMI-nya usai (akhir 60-an), Dawam pindah ke Jakarta. Pada mulanya ia membina karir dengan bekerja di Bank of America. Barangkali bekerja di lembaga perbankan memang bukan habitatnya. Setelah hanya dua tahun berada di Bank of America, ia memutuskan untuk keluar dan memilih bergabung dengan LP3ES. Di lembaga inilah sebenarnya tempat Dawam dalam pergumulan pemikiran Islam Indonesia terumuskan. Kesediaannya untuk membimbing sejumlah mahasiswa IAIN Jakarta pada awal tahun 1980-an memberinya kesempatan untuk secara prolifik mendiskusikan dan menuliskan kaitan-kaitan antara Islam ideal dengan Islam historis atau empiris.


Akan tetapi, posisinya sebagai aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengharuskannya untuk melangkah lebih jauh, sehingga membuat Islam tampak lebih relevan bagi kebutuhan publik sehari-hari. Dalam konteks inilah ia –bersama-sama dengan Sudjoko Prasodjo, Adi Sasono, dan Utomo Danandjaja– memilih untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih konkrit, sebagai ekspresi dari semangat kesantriannya di satu pihak, dan pemahamannya atas persoalan-persoalan kerakyatan di pihak lain.

Sebenarnya Dawam menyadari bahwa masalah yang dihadapi umat Islam lebih banyak bersumber pada persoalan politik. Pemikiran dan praktik politik Islam lama ikut mempengaruhi pandangan pemerintah terhadap komunitas Islam. Demikian kuatnya pengaruh itu sehingga baik pemerintahan Soekarno maupun Soeharto sampai pada kesimpulan untuk melakukan domestikasi terhadap Islam. Akibatnya, tidak saja Islam ditolak sebagai dasar ideologi dan agama negara, tetapi komunitasnya berkali-kali diperlakukan sebagai “kelompok minoritas” atau “kelompok luar” dalam kehidupan sosial-ekonomi dan politik nasional. Pendeknya, seperti pernah disinggung oleh Donald K. Emerson, Islam telah berhasil dikalahkan sepanjang sejarah politik Indonesia moderen, baik secara konstitusional, fisik, birokratis, elektoral maupun simbolik. Di atas itu, yang paling menyedihkan adalah bahwa Islam seringkali menjadi sasaran ketidakpercayaan, dicurigai menentang ideologi negara Pancasila.

Fenomena seperti ini mempunyai implikasi sosial-ekonomi dan politik yang sangat luas. Demikian buruknya perlakuan yang diterima oleh komunitas Islam, sehingga dalam persepsi almarhum Mohammad Natsir, negara telah memperlakukan Islam seperti “kucing kurap.”

Dalam pandangan Dawam, apa yang dilakukannya sejak akhir 1960-an bersama-sama pemikir dan aktivis Islam lainnya, khususnya mereka yang tergabung dalam HMI, adalah untuk mengubah situasi politik yang tidak menguntungkan ini. Dalam konteks ini, menurutnya ada tiga mazhab pemikiran. Pertama, pembaharuan keagamaan / teologis yang memfokuskan diri pada pencarian dasar-dasar teologi baru yang memungkinkan terciptanya sintesa yang memungkinkan antara Islam dan negara, terutama dilihat dari sudut hubungan politiknya. Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, Harun Nasution, Abdurrahman Wahid, dan Munawir Syadzali merupakan tulang punggung aliran ini. Kedua, pembaharuan politik / birokrasi yang bertujuan untuk menjembatani hubungan antara Islam dan pemerintah, sehingga kecurigaan-kecurigaan politik dan ideologis bisa dikikis –paling tidak dikurangi. MS Mintaredja, Sulastomo, Akbar Tanjung, Bintoro Tjokroamidjojo, Mar’ie Muhammad, Sya’dillah Mursid merupakan sebagian dari aktivis yang bergerak di jalur ini. Ketiga, aliran transformasi sosial-ekonomi dan kemasyarakatan. Perhatian utama kelompok ini adalah melakukan pemberdayaan sosial-ekonomi dan politik masyarakat bawah, baik yang ada di pedesaan maupun perkotaan. Sudjoko Prasodjo, M. Dawam Rahardjo, Tawang Alun, Utomo Danandjaja, dan Adi Sasono adalah pionir gerakan ini.


Secara konkordan, ketiga aliran di atas terbukti telah bergerak secara sinerjik –meskipun benturan dan gesekan antara satu aliran dengan aliran yang lain seringkali tak terhindarkan. Akan tetapi, periode akhir 1980-an atau awal 1990-an menunjukkan bahwa kerja keras mereka selama kurang lebih dua dasawarsa membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Kecurigaan menipis, dan akomodasi negara atas sejumlah aspirasi Islam terlaksana.

Untuk pihak-pihak tertentu, pengelompokan di atas sebenarnya merupakan sesuatu yang tidak bersifat clear cut. Dawam sendiri, sejak awal telah menaruh perhatian yang cukup besar pada dua aliran pertama –pembaharuan keagamaan dan politik / birokrasi. Meskipun dalam hal yang terakhir ini (i.e. pembaharuan politik / birokrasi), ia lebih banyak terlibat dalam pengembangan wacana, dan bukandlm kegiatan praktis –sampai kemudian ia bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN) di era reformasi (1998).

Seperti telah disebutkan, LP3ES merupakan lingkungan kerja yang kondusif bagi Dawam untuk menempatkan transformasi sosial-ekonomi dan kemasyarakatan sebagai prioritas perhatiannya. Dalam kerangka ini, pada awal tahun 1970-an, bersama Sudjoko Prasodjo yang bergerak melalui lembaga Pendidikan Tinggi Dakwah Islam (PTDI) dan Tawang Alun yang juga bekerja di LP3ES, mereka merupakan figur yang menonjol yang mengawali program-program transformasi sosial-ekonomi dan kemasyarakatan.

Dalam hal ini, mula-mula Dawam mengembangkan program industri kecil –sesuatu yang dianggapnya mempunyai makna strategis-ekonomis untuk diperkenalkan kepada masyarakat bawah. Di situ secara inheren juga tercakup semangat perlunya meningkatkan daya kewirausahaan rakyat. Yang relatif monumental adalah agenda pengembangan masyarakat melalui pondok pesantren. Ia melihat lembaga pendidikan tradisional Islam ini jumlahnya banyak. Melalui serangkaian program pemberdayaan, tak pelak pesantren akan mampu berperan sebagai agent of change –demikian istilah yang paling populer ketika itu– bagi masyarakat di tingkat paling lokal. Ini diyakini akan mempunyai dampak sosial-ekonomi yang cukup berarti di tingkat akar rumput.

Agar kegiatan-kegiatan seperti ini berhasil, Dawam percaya bahwa hal itu tidak bisa dilakukan “sendirian”. Keterlibatan pemerintah, yang memang mempunyai networking birokratis dan program pembangunan yang sebanding, adalah perlu. Untuk itu, ia melihat Departemen Perindustrian, Departemen (waktu itu) Nakertranskop, dan Departemen Agama sebagai partner yang layak untuk dilibatkan. Bahkan ia berusaha memasukkan program pembangunan masyarakat melalui pesantren ke dalam agenda resmi Departemen Agama untuk dijadikan proyek nasional. Menarik untuk disebutkan, ketika itu Departemen Agama dipimpin oleh Mukti Ali –mentor dan pembimbingnya di kelompok diskusi Limited Group.


Demikianlah, pesantren-pesantren di seluruh Indonesia diramaikan dengan berbagai program Pendidikan dan Latihan Ketrampilan (Diklatram). Sejumlah program ketrampilan diselenggarakan untuk memberdayakan pesantren secara sosial-ekonomi. Karena program seperti ini, banyak pesantren yang antara lain mulai mengembangkan peternakan ayam, sapi, dan kambing; melakukan sejumlah kegiatan pertanian yang mempunyai nilai ekonomis; bahkan menyelenggarakan kegiatan perbengkelan, fotografi, dan sebagainya. Intinya adalah memberdayakan potensi sosial-ekonomi rakyat.

Meskipun bersifat sosial-ekonomis, bidang yang digeluti Dawam ini bukan tanpa intonasi politis. Dalam konteks tertentu, apa yang dilakukannya –tentu beserta teman-temannya– sebenarnya dapat juga disebut sebagai the political arm dari mazhab pembaharuan keagamaan/teologis yang memang tidak mempunyai “kaki.” Sebab, salah satu tujuan utama dari kegiatan transformasi sosial-ekonomi dan kemasyarakatan ini adalah untuk menciptakan suatu infrastruktur yang kuat. Dalam hal ini adalah, membangun basis politik Islam yang sesungguhnya pada tingkat akar rumput, yang dapat mendukung sebuah sistem politik yang terbuka dan partisipatif.

Karenanya, agenda transformasi sosial-ekonomi dan kemasyarakatan ini juga dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan dan kesadaran masyarakat luas (societal empowerment). Syukur-syukur, strategi ini dapat menciptakan kelas menengah yang otonom –unsur pokok dalam pembentukan masyarakat yang kuat dalam hubungannya dengan negara. Dalam kerangka teoritis, keberadaan kelas menengah yang otonom atau masyarakat madani yang kuat merupakan faktor penting bagi pengembangan kehidupan politik yang demokratis.

Meskipun demikian, itu semua diagendakan bukan dalam konteks persaingan antara masyarakat dan negara. Apalagi diwarnai oleh kebencian-kebencian yang tidak kontributif terhadap negara –sesuatu yang sering dituduhkan pemerintah Orde Baru kepada kalangan intelektual-aktivis. Alih-alih, Dawam –sambil tetap berlaku kritis– menunjukkan pentingnya bahu-membahu dengan negara demi kepentingan rakyat yang sebenarnya, seperti yang ia tunjukkan dalam kerjasamanya dengan sejumlah departemen di atas.

Di sinilah, saya kira, letak sinerginya pendekatan dan “proyek” yang dipilih Dawam dengan agenda pembaharuan keagamaan/teologis di satu pihak, dan pembaharuan politik/birokratis di pihak lain. Masing-masing bekerja sesuai dengan bidangnya, untuk mencapai sesuatu yang telah digariskan bersama.

Bahtiar Effendy
Dosen Pasca-Sarjana IAIN Jakarta.
Kata Pengantar dalam Buku M. Dawam Rahardjo,
Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi,
Penerbit LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat),
Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1999.