Showing posts with label Reformasi. Show all posts
Showing posts with label Reformasi. Show all posts

Friday, July 21, 2017

Ibu, Lahirkan Janin-janin Perlawanan!

Pembentukan PRD ditandai dengan Kongres Pertama PRD pada tanggal 15 April 1996 di Sleman, Yogyakarta. Namun PRD baru dideklarasikan pada tanggal 22 Juli 1996 di Jakarta.

Pengantar Redaksi
Tulisan ini dibuat oleh Wilson, salah seorang terdakwa Kasus Subversi PRD, yang terinspirasi oleh suasana Peringatan Hari Ibu setiap tanggal 22 Desember, yang saat itu diselenggarakan di Komplek Gedung Kejagung RI. Tapi Redaksi “Bergerak!” menganggap esensi dan substansi tulisan ini tetap relevan untuk segala masa, sepanjang watak “tangan besi” rejim Orde Soeharto terus memakan korban-korban wakil generasi terbaik di zamannya. Tulisan ini merupakan buah kontemplasi (renungan) si penulis.

Tulisan yang digarap di Rutan Kejagung aslinya ditulis tangan. Namun dengan baik, Wilson merefleksikan pergolakan batinnya dalam kalimat demikian: “Bahwa kekuasaan yang despotik tidak hanya menghancurkan kedaulatan rakyat, tapi lebih ekstrim lagi ia telah mengganggu simbiosis emosional antara keluarga, antara ibu dan anak.”

Partai ini sebelumnya bernama Persatuan Rakyat Demokratik, setelah mengalami sedikit perpecahan, organisasi ini lantas menyatakan diri sebagai partai pada Kongres Pertama, bulan April 1996.

Waktu menunjukkan pukul 16.00 sore. Hari itu Kamis, 1996, ibu saya menjenguk saya di Tahanan Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan. Di ruang bezuk saya temui ibu saya yang berdiri mematung, wajahnya tampak lebih putih dari biasanya.

Di bawah matanya tampak tumpukan lengkung-lengkung hitam. Ia pasti kurang tidur. Meskipun mencoba untuk tetap tenang, gumpalan-gumpalan hawa hangat menggumpal di kantung mata. Pertemuan seperti ini tidak pernah saya bayangkan.

Di depan, berdiri ibu saya yang kini berusia 55 tahun. Di belakang saya, seorang sipir penjara mengawasi dengan tatapan dingin. Beberapa rambut uban ibu menjuntai keluar dari kerudungnya yang berwarna hitam. Inilah untuk pertama kalinya saya bertemu ibu saya dalam kondisi sebagai manusia yang tidak merdeka. Kekuasaan politik telah merenggutnya dari saya dan ibu saya.

Pertemuan singkat selama 30 menit, dengan tanpa banyak dialog, berakhir. Singkat memang, tapi cukup untuk membagi beban yang ditaruh oleh penguasa.

Setiba kembali di sel saya yang berukuran 4x4 m, satu hal saya rasakan, bahwa betapa pun penderitaan dipaksakan oleh situasi, rejim telah gagal untuk memenjarakan cinta saya pada ibu saya. Pilihan-pilihan sulit bekerja pada memori saya. Penjara telah menyediakan waktu yang luas untuk mengingat-ingat masa lalu, semua tampak hidup dan kembali menjadi baru.

Hingga kini, PRD telah menyelenggarakan Kongres Ke-8 yang berlangsung di Hotel Acacia Jakarta pada tanggal 24-26 Maret 2015.

Bagi seorang aktivis, adalah jauh lebih siap menghadapi risiko penjara, dicabut hak asasinya, tapi tidak untuk menatap sepasang mata kuatir dari sang ibunda. Kontradiksi aneh mulai muncul silih berganti. Keluarga saya yang sederhana harus demikian banyak menanggung beban dan semuanya harus ditimpakan akibat aktivitas politik melawan penguasa. Memang, saya terhitung cepat untuk menuntaskan dengan mencoba menghibur diri: “Ini adalah proses menuju kualitas manusia baru.”

Pilihan-pilihan alternatif tidak banyak bagi seorang tahanan, apa pun kesimpulan yang diambil ia akan selalu tetap ragu dengan pilihannya sendiri. Konflik internal ini memang rumit, karena hanya kita sendiri yang terlibat di dalamnya.

Menceritakan pada kawan memang membuat lega untuk sementara, tapi tidak melenyapkannya. Pada Budiman, aku tulis surat untuk saling menguatkan "posisi politik" masing-masing, agar sedikit terbebas dari labirin batin. "Keluarga kita memanggul beban berat karena kekejian rejim atas kita. Memang mereka tak tahu politik, tapi kini mereka tahu politik. Keluarga bisa menguatkan, bisa juga menciptakan kontradiksi. Tapi apapun vonis dan propaganda rejim, aku yakin mereka akan selalu ada di pihak kita."

Ibu saya bukan lah Benazir Bhutto, Aung San Suu Kyi, Corry Aquino, Megawati atau Indira Gandhi yang sehari-hari bergumul dengan politik. Ibu saya adalah seorang pensiunan guru, yang
kurang lebih 35 tahun menjadi guru Taman Kanak-kanak. Melayani suaminya yang lumpuh terkena stroke sejak 3 tahun yang lalu, dan anak bungsunya, wanita satu-satunya yang sedang mengalami perawatan paru-paru basah. Ia tidak punya motif apa-apa tentang politik. Tapi atas semua tuduhan dan fitnahan penguasa, ia berani berkata: “Mereka adalah bohong belaka.”

Dalam Kongres PRD Ke-8 di Jakarta, Agus Jabo Priyono dan Dominggus Oktavianus ditetapkan secara musyawarah-mufakat sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal PRD periode 2015-2020.

Adalah dari rahim para ibu-ibu, para pejuang demokrasi lahir. Mereka lah yang merasakan sakit dan bertaruh nyawa untuk sebuah kehidupan yang baru lahir. Lalu akan kah mereka diam
melihat para penguasa merampas buah hati mereka, dan bahkan hendak menjatuhkan hukuman seumur hidup atau hukuman mati sebagai tuntutan maksimal pasal antisubversi?

Ibu saya tahu bahwa Orde Baru (baca:Orsoe) adalah mahakuat dan tega bertangan besi. Ibu saya yang berperawakan kecil dengan banyak uban di kepalanya berkata dengan perlahan namun penuh kekuatan.

“Tidak! Tidak akan saya biarkan seorang pun, kekuasaan apa pun hendak merampas kehidupan yang dititipkan Tuhan melalui rahim saya. Darah dan nyawa saya ada di dalam daging dan kehidupan anak saya. Bila hidup anak saya hendak dirampas, apalagi oleh penguasa yang sewenang-wenang, saya akan berdiri di depan para penguasa.”

Saya terkejut. Saya mengenal ibu selama 28 tahun usia saya. Ia seorang yang lembut yang mencubit pun tidak pernah berani ia lakukan. Belum pernah saya mendengar kalimat seperti itu sebelumnya. Mana mungkin penguasa militer yang didukung modal, hukum dan birokrasi akan takut melawan ibu saya yang lembut ini? Ini merupakan pertarungan yang tak seimbang secara fisik: Orde Baru versus ibu saya.

Salah satu slogan perjuangan PRD adalah: "Menuju Masyarakat Adil-Makmur Tanpa Penindasan Manusia Atas Manusia dan Tanpa Penindasan Bangsa Atas Bangsa."

Berhadapan dengan militer bukan merupakan pengalaman baru bagi ibu saya. Tangan-tangan jahat kekuasaan sudah berulangkali datang meneror rumah saya. Pada bulan Agustus 1994, sekitar pukul 23.00, 4 orang dari BIA (Badan Intelijen ABRI) datang ke rumah saya bersama Pak RT. Kebetulan saya sedang di rumah menjenguk ayah saya yang terkena stroke. Mereka menemui ibu saya dan meminta agar anaknya ikut bersama mereka ke BIA.

Ibu saya bertanya, “Ada keperluan apa?” Dengan tenang dan dingin dijawab, “Kami ingin bicara dengan Wilson, harap ibu serahkan dia.”

Saya yang sedang di kamar berpikir cepat untuk meloloskan diri. Orang BIA masih mengancam ibu saya, bahwa bila Wilson tidak diserahkan, ia akan kerahkan polisi untuk menangkapnya. Tepat pada saat itu saya sudah lolos dari pintu belakang rumah dan menghilang untuk waktu yang cukup lama. Ketika saya ke rumah 3 bulan kemudian, ibu saya mengatakan bahwa ia diancam untuk menyerahkan anaknya pada BIA. Sang intel berbaik hati meninggalkan peta lokasi BIA di Ragunan.

Menjelang runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998, para pimpinan utama PRD ditangkap dan dipenjarakan. Anggota PRD dan yang dianggap memiliki kaitan dengan PRD diteror dan diintimidasi. Diantara mereka itu ada yang ditahan tanpa alasan yang jelas. Beberapa orang diculik dan hingga sekarang, sebagian diantaranya tidak diketahui nasibnya, atau menjadi bagian dari sekian banyak “Orang Hilang”.

Yang ke dua kalinya adalah paska aksi 7 Desember 1995, dimana saya yang memimpinnya. Pada tanggal 12 Desember, sekitar pukul 23.00 WIB, sebuah hardtop berhenti di depan rumah saya. Tiga orang laki-laki kekar berambut cepak turun dan mengetuk pintu pagar. Ibu saya yang sedang tidur, bangun dan keluar pintu pagar. “Anda siapa?” kata ibu saya.

Seorang intel menjawab, “Saya temannya Wilson, Bu. Malam ini ada rapat buruh, Wilson harus ikut, kami bertugas menjemputnya!”

Ibu saya sudah curiga bahwa mereka adalah intel militer. Ia jawab, “Wilson tidak pernah pulang ke rumah mungkin dia ada di Bandung, Yogya atau entah di mana, saya tidak pernah tahu.”

Sang intel memaksa untuk masuk. Ibu saya langsung berteriak. “Kalian pasti tentara! Wilson tidak ada di sini!”

Ia lalu masuk ke rumah dan mengunci pintu. Dari balik tirai ia melihat tiga orang intel itu diskusi sejenak. Lalu masuk mobil dan lenyap.

Pius Lustrilanang adalah mantan aktivis pro-demokrasi 1998 –Sekjen Solidaritas Indonesia untuk Amien dan Mega (SIAGA)– yang pernah diculik oleh Tim Mawar Kopassus yang berada di bawah kendali Prabowo Subianto. Pius, kini 48 tahun, adalah politisi dari Partai Gerindra yang dipimpin oleh Prabowo Subianto.

Ternyata provokasi memang tak henti-henti ke rumah saya. Pada Januari 1996, 2 orang polisi yang mengaku dari Polda datang ke rumah siang hari. Ia mengatakan diutus untuk menjemput Wilson untuk diinterogasi karena dianggap telah menghina kepala negara dalam aktivitas politiknya. Ibu saya yang sudah tahu prosedur hukum menanyakan surat tugas dan pelanggaran hukum mana yang dilanggar. Mereka menyerahkan surat panggilan dari bagian Reserse Polda untuk menyidik saya karena melanggar Pasal 134 KUHP. Saya tahu seminggu kemudian. Dua minggu kemudian surat panggilan kedua diantar oleh polisi berpakaian preman. Ibu saya yang menerimanya. Saya tidak pernah melayani panggilan tersebut. Kalau mereka mau menangkap saya, aparat tahu bahwa saya ada di Tebet, sekretariat PPBI.

Aparat intelijen dari BIA dan Bakorstanas kembali datang paska Kerusuhan 27 Juli setelah Menko Polkam mengumumkan bahwa PRD telah menunggangi kerusuhan 27 Juli 1996.

Pada 30 Juli, intel dari Bakorstanas/BIA datang ke rumah malam hari sekitar pukul 20.00. Ibu saya menemuinya di ruang tamu. Sang intel langsung memberitahu bahwa Wilson diduga terlibat Kerusuhan 27 Juli.

“Wilson tidak pernah pulang ke rumah,” kata ibu saya.

Sang intel mengancam bahwa ibu bisa ditahan bila melindungi tersangka. Ia lalu meminta nama saudara dan alamatnya sekaligus dengan memaksa.

Ibu saya menjawab, “Wilson tidak pernah dekat dengan saudaranya, mustahil ia bersembunyi di sana.”

Akhirnya ibu saya memberikan alamat kakaknya. Ia meminta nama dan pangkat sang intel Bakorstanas dan mengatakan, “Abang saya kena penyakit jantung, jangan sampai ada apa-apa dengan dia. Bila terjadi sesuatu Bapak akan saya tuntut ke pengadilan.” Sang intel Bakorstanas lalu pergi.

Diantara slogan-slogan yang diusung PRD: "Hentikan Neo-Liberalisme", "Tegakkan Pasal 33 UUD 1945", "Laksanakan UUPA 1960", "Tolak Sistim BPJS, Karena Bertentangan dengan UUD 1945".

Keesokan harinya datang satu orang yang mengaku dari Kodam, malam hari ke rumah. Rosa, adik saya yang sedang dirawat akibat paru-paru basah menghadapinya di pintu gerbang. Ia membantah, “Teman Bapak sudah datang kemarin, sana tanya sama dia. Wilson tidak ada di sini.” Sang intel kaget. Rosa membanting pintu dan menguncinya. Sang intel lalu pergi.

Keesokan harinya, 2 Agustus, satu regu intel dari Resmob Polda Metro Jaya datang ke rumah untuk melakukan penyitaan. Setelah menunjukkan surat tugas mereka masuk ke kamar saya, mengambil fotonya, merekam seluruh keluarga saya dengan video handy-cam. Empat orang menyeleksi buku-buku saya dan menyita kurang lebih 30 buku, puluhan majalah Prisma, fotokopi buku dan artikel. Setelah penyitaan itu, Mayor Budi yang menjadi pimpinan berkata, “Ibu harus menyerahkan anak ibu bila dia pulang. Ia harus ditahan. Anak ibu kelewat banyak baca buku, pasti dia terpelajar.”

Kejutan dari penguasa belum selesai. Pada 10 September 1996, saya dan Anom tertangkap di Ungaran, Jawa Tengah, dijebak oleh informan yang menyusup ke PDI, namanya Rudi.

Dari Semarang, saya dan Anom dibawa ke Polda DKI dengan pesawat pada 12 September 1996. Pada 14 September, ibu saya didatangi orang LBH, mengabarkan bahwa Wilson sudah tertangkap. “Tapi kami tidak tahu ia akan ditahan di mana, kemungkinan dibawa ke Polda,
Kejagung atau BIA,” ujar orang LBH tersebut. Ibu saya langsung membuat surat kuasa hukum pada TPHKI.

Keesokan harinya, TPHKI, ibunya Anom dan ibu saya, berusaha mencari informasi tempat penahanan. Kejagung dan Polda sama-sama menyatakan tidak tahu, padahal mereka tahu saya ditahan di divisi Resmob Polda. Di sana saya baru tahu bahwa Wignyo juga ditahan. Akhirnya pada tanggal 16 September, kami ditemukan di Polda. Ibu saya cukup tegar. Ia tidak menangis atau gugup, malah terlihat tenang dan pasrah. Ia menanyakan kesehatan, pakaian dan makanan
selama ditahan.

Budiman Sudjatmiko, M.Sc., M.Phil, adalah salah seorang deklarator dan menjadi ketua PRD yang pertama kali. Pada masa pemerintahan Orde Baru, Budiman divonis 13 tahun penjara karena dianggap sebagai dalang insiden peristiwa 27 Juli 1996. Saat ini, Budiman menjabat sebagai anggota DPR RI dari PDI Perjuangan pimpinan Megawati dan duduk di komisi II.

Saya tahu, intimidasi dan teror yang sudah berulangkali atas ibu saya, telah membuat ia sangat tegar dan kuat, tanpa mengurangi kelembutan dan kepolosannya atas politik. Setelah bertemu kurang lebih 15 menit, kami dipisahkan kembali. Tanggal 17 September sore, kami dipindah ke Rutan Kejagung RI. Pada 19 September 1996, kembali saya bertemu dengan ibu saya.

Belakangan, Ester, pengacara saya mengatakan bahwa ibuku sempat gugup sebentar dan berupaya untuk tampil tegar. Ia menangis di depan Ester, tapi tidak di depan saya. Kesedihannya
membatu, pasrah dan merelakan semuanya. Rejim ini telah membuatnya menjadi keras hati.

Setelah pertemuan pertama, saya berpikir sendiri di dalam sel. Adil kah penderitaan ini harus dipikul ibu dan keluarga saya? Apakah pergerakan selalu akan jatuh pada kisah tragis kehancuran keluarga? Saya mencoba menjawab bahwa keduanya adalah penting, tapi dalam syarat-syarat kekuasaan yang represif, politik dan keluarga menghadapi risiko yang sama.

Pukulan pada gerakan demokrasi, penangkapan atas saya, telah membuat ambruk bangunan lainnya, yaitu keluarga. Sebab-sebab asalnya adalah kekuasaan yang menindas. Bila dicari kambing hitamnya, rejim Orba-lah dalangnya.

Andi Arief adalah mantan aktivis SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi), –embrio dari PRD– yang juga pernah diculik pada masa jelang Reformasi 1998. Tahun 2004, Andi Arief menjadi Sekjen Jaringan Nusantara, sebuah organisasi relawan pemenangan SBY-JK. Dan tahun 2009, Andi Arief kembali berperan dalam pemenangan SBY-Boediono, sebagai penanggung jawab kampanye melalui internet. Alhasil, Andi Arief berhasil masuk di lingkaran ring 1 Presiden SBY sebagai Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam.

Kekerasan saya untuk tetap tabah, tidak dapat menghilangkan kesan bahwa ibu saya yang paling berat bebannya. Untunglah saya mendapat jawaban yang lebih aspiratif dari buku Nelson Mandela. Ternyata orang sehebat Mandela, yang ditahan 27 tahun di penjara, dan tetap optimis dengan keyakinan politiknya, tidak dapat menanggung beban psikologis atas ibu kandungnya. Meskipun rakyat Afsel telah bebas di bawah pimpinannya, tetap saja ia merenungkan ketidak hadiran ibunya, sebagai bagian yang belum terjamah pesta rakyat menyambut kebebasan.

Nelson Mandela orang yang hebat dan luar biasa itu, ternyata mengalami kontradiksi terberatnya di penjara, bukan dengan penguasa apartheid, tapi mendengar penderitaan yang harus dipanggul ibunya. Ia menulis dalam Perjalanan Panjang Menuju Kebebasan:

“Saya merenungkan –bukan untuk pertama kalinya– apakah seseorang dapat dianggap bertindak benar dengan mengabaikan kebahagiaan keluarganya sendiri demi memperjuangkan kebahagiaan orang lain? Apakah ada yang lebih penting daripada merawat ibu sendiri yang semakin tua? Apakah politik merupakan alasan belaka untuk mengabaikan tanggung jawab sendiri, sebuah alasan yang disebabkan ketidakmampuan memberikan sesuatu sesuai keinginan? Tapi saya tidak
meragukan bahwa pikiran saya benar.

Saya bukan mengatakan bahwa memperjuangan kebebasan lebih bermoral daripada memenuhi kebutuhan keluarga sendiri. Bukan seperti itu. Kedua tujuan itu hanya berbeda.”

Desmond Junaidi Mahesa, SH. MH., –seperti halnya Pius Lustrilanang– pernah diculik oleh Tim Mawar Kopassus yang berada di bawah kendali Prabowo Subianto. Kini merupakan politisi dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang dipimpin Prabowo Subianto dan menjabat sebagai wakil ketua komisi III DPR. Saat ini ia juga menjabat sebagai Ketua DPP Partai Gerindra Bidang Kaderisasi.

Yang mencemaskan saya adalah lebih pada aspek ekonomis. Keluarga saya dari kelas menengah rendahan yang cukup terbiasa hidup sederhana dan pas-pasan. Dengan suami yang lumpuh dan anak perempuan yang sedang menjalani perawatan akibat penyakit paru-paru basah yang diidapnya, ibu saya tentulah seorang yang sungguh luar biasa dapat bertahan hingga saat ini. Ia berkata pada saya, “Bila orang lain mungkin sudah menjadi gila.” Tapi ia yakin, Tuhan, rakyat dan kebenaran ada di pihak anaknya. Itu saja yang membuatnya mampu terus bertahan.

Aku sendiri berpikir, begitu banyak intimidasi dan teror yang dialami ibu saya, dan ia selalu sanggup menghadapinya, dan ini berarti ia telah terus tumbuh menjadi “kualitas manusia
baru”. Kualitas manusia di atas rata-rata. Untuk itu aku boleh bangga. Namun langkah-langkah sulitnya di luar sana pastilah tetap berat, dan itu tidak dapat membuat tenang sentimental saya
pada ibu.

Kembali buku Nelson Mandela aku baca dan kembali ditemukan kalimat-kalimat yang aku pikir makin menunjukkan bahwa Mandela adalah manusia biasa di hadapan ibunya, meskipun “orang hebat” bagi dunia. Ia menulis untuk mengenang ibunya dari penjara. Saat itu 1968, sebuah telegram sampai ke penjara Robben Island. Isinya singkat: “Ibu telah meninggal dunia.” Mandela mencatat rasa bersalahnya.

“Kehidupannya sangat sulit. Saya mampu ikut menyokong kehidupannya ketika saya bekerja sebagai pengacara, tetapi setelah saya masuk penjara, saya tidak bisa menolong dia lagi. Saya
tidak pernah memberikan perhatian yang cukup memadai kepada ibu saya .... Masalah-masalah yang dihadapinya, kemiskinannya, membuat saya kembali mempertanyakan apakah saya telah mengambil jalan yang benar? Teka-teki yang saya hadapi selalu begini: “Apakah saya telah mengambil pilihan yang benar dengan mengangkat kesejahteraan rakyat saya di atas kesejahteraan keluarga saya sendiri? Ibu saya lama sekali tidak mampu memahami komitmen saya kepada perjuangan kami. Keluarga saya tidak pernah meminta dan tidak pernah ingin terlibat dalam perjuangan tetapi keterlibatan saya telah menghukum mereka.”

Hanya ada satu kata: Lawan!” Itulah selarik puisi terkenal karya Widji Thukul. Widji Widodo atau lebih populer dengan nama Widji Thukul adalah tokoh Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKKER), salah satu organisasi onderbouw PRD di sektor budaya dan seni. Ia lahir di Sala, Jateng, 26 Agustus 1963 dan diduga telah meninggal dunia pada suatu tempat dan waktu yang tidak diketahui, karena hilang (diduga diculik). Widji Thukul hilang tak tentu rimbanya sejak pergi dari rumahnya di Sala pada sekitar Agustus 1996 karena dikait-kaitkan dengan peristiwa penyerbuan kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, tanggal 27 Juli 1996.

Dengan Wignyo, saya berdiskusi kecil tentang beban psikologis dan ekonomis dari keluarga kami. Dan meskipun hanya diskusi untuk mengakali “rasa bersalah” kami dan mengutuknya pada rejim, tetapi kami merasa bahwa tepat untuk mengisolasi kontradiksi ini dan mengecohnya dengan “dogma” perjuangan. Menjadi “pesakitan borjuis kecil” adalah jauh lebih berbahaya ketimbang “pesakitan politik”, apalagi di penjara.

Di sini hanya kami sendiri yang harus memilih, kadang-kadang kita memang “terpaksa” untuk menjadi “lebih keras”, tanpa menutupi sisi lain yang lebih sentimentil. Dan ini berarti kita telah mengalahkan “kemauan” rejim atas beban-psikologis yang ia timpakan. Jangan sampai kita dikalahkan berlipat ganda oleh penguasa.

Secara fisik kami telah ditundukkan, secara psikologis kami tidak biarkan mereka juga menjamah perasaan kami. Kemenangan atas “diri sendiri” serasa seperti kemenangan besar di sini. Demoralisasi harus dihindari dan arena main demoralisasi adalah pada soal emosional. Ini bukan berarti harus jadi “sekeras batu”, bukan itu maksudnya. Kami hanya membatasi ruang geraknya, karena permainan emosi agak “vivere pericoloso” bagi semangat kami. Membatasinya adalah jalan terbaik. Bukankah Mandela “anak emas sejarah” itu telah menentukan pilihannya (tanpa menuntaskan segi sentimentilnya). Tentu saja, ia orang besar, kualitasnya pastilah di atas rata-rata manusia lainnya. Tapi tidak dalam soal ibunya, ia tak lebih dari orang biasa. Pembebasan rakyatnya semakin membuatnya emosional.

“Tetapi saya selalu kembali pada jawaban yang sama. Di Afrika Selatan sulit bagi seseorang untuk mengabaikan kebutuhan rakyat, walaupun itu akan mengorbankan keluarganya sendiri. Saya telah mengambil pilihan, dan pada akhirnya ibu mendukung saya. Tetapi kenyataan itu tidak mengurangi kesedihan saya, karena saya tidak mampu membuat kehidupannya lebih nyaman.”

Peristiwa 27 Juli 1996, yang terkenal dengan sebutan Peristiwa Kudatuli adalah penyerbuan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi. Kala itu Soerjadi adalah Ketua Umum PDI yang diakui pemerintah Orba sebagai hasil dari Kongres PDI di Medan. Penyerbuan kantor PDI di Jalan Diponegoro yang dibantu oleh aparat dari kepolisian dan militer itu, akhirnya memicu terjadinya kerusuhan di beberapa tempat lain di wilayah Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Salemba, Glodok dan Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar dalam peristiwa itu.

Dari penjara aku semakin menyimpulkan sesuatu tentang rejim Orba. Bahwa kekuasaan yang despotik tidak hanya menghancurkan kedaulatan rakyat, tapi lebih ekstrim lagi ia telah mengganggu simbiosis emosional antara keluarga, antara ibu dan anak. Dan untuk itu tidak ada obatnya yang paling manjur selain memperbaiki sistem yang menindas ini terlebih dahulu. Demokrasi bukan hanya sekedar bangunan politik, demokrasi juga menjadi syarat-syarat afeksi dan ketentraman keluarga. Totaliter adalah lawannya, totaliterianisme adalah musuh semua keluarga.

Pada 22 Desember, ibu-ibu Dharma Wanita Kejagung RI merayakannya dengan pesta drumband dan pameran baju kebaya. Kue dan makanan dibagi-bagikan pada para sipir dan Polisi Militer,
tidak untuk tahanan politik. Untuk menambah semarak “Hari Ibu” aku berteriak di depan sel pada tiap-tiap ibu yang liwat. “Hidup Hari Ibu! Viva Ibu-Ibu!” Bukannya kue yang didapat, ibu-ibu itu pada kaget dan melengos ketakutan (Dasar nasib!). Inilah nasib ibu-ibu di bawah kekuasaan Orba (baca:Orsoe).

Tanpa mengurangi rasa hormat pada mereka dan maklum atas kepolosannya, mereka telah menjadi perkakas ideologi negara. Ibu-ibu ini mungkin adalah ratu rumah tangga yang baik, pandai berkebaya atau pintar buat kue. Tapi mereka sebetulnya telah dibutakan oleh para “monster kekuasaan” yang mengasuhnya. Jaksa Agung dan pejabat yang berpidato memuji-muji kaum ibu hari itu, adalah pejabat yang sama yang telah menjerat dan merenggut “anak-anak” PRD dari kasih sayang ibunya. Sungguh kemunafikan yang menjijikkan, membuat upacara “pemujaan” pada kaum ibu, pada saat yang sama merampas secara paksa kasih-sayang ibu dan anak-anaknya. Kejahatan dan kepalsuan telah dimainkan dengan norak dan tanpa malu.

Sahabat Widji Thukul, Wilson Obriogados (kiri), Rahardjo Waluyo Jati (tengah), bersama salah seorang putri Widji Thukul, Fitri Nganthi Wani (kanan), dalam acara temu media film “Istirahatlah Kata-kata” di Jakarta, Minggu, 8 Januari 2017. (ANTARA News/Arindra Meodia)

Penyidikan kepada kami selesai, kejaksaan dalam proses pemberkasan dan penyusunan Surat Dakwaan. Ibuku kini menjadi pengamat politik yang teliti. Pertemuan 30 menit tiap hari Kamis dipenuhi dengan berita politik versi ibu-ibu dari tv dan koran-koran. Menurut ibuku, pemilu hanya pesta buang uang, penguasa sudah menang sebelum bertanding dengan cara-cara yang curang. Menurut ibuku, Syarwan Hamid adalah tukang fitnah belaka yang harus mempertanggungjawabkan semua ucapannya.

Menurut ibuku, hukum telah dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan politik. Menurut ibuku, Pancasila dan UUD '45 telah banyak diselewengkan. Menurut ibuku, penguasa takut pada PRD, karena PRD menyatakan suara rakyat. Menurut ibuku, para koruptor harus dijerat pasal subversi. Menurut ibuku, kerusuhan di Situbondo adalah akibat kesenjangan sosial. Menurut ibuku, para
tetangga tidak peduli dengan propaganda rejim.

Saya sendiri sebetulnya sudah tahu berita politik versi ibu-ibu tersebut melalui para pengacara. Tapi daya tariknya lain dengan versi ibu-ibu PRD. Aku baru sadar, persidangan kami, perlakuan penguasa atas anak-anaknya, telah menumbuhkan kesadaran politik baru, yang tanpa disadari telah dididik oleh situasi represi.

Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan horisontal masyarakat Indonesia yang diwarnai kekerasan rasial terhadap etnis Tionghoa pada kisaran waktu antara tanggal 13 Mei hingga 15 Mei 1998, khususnya yang terjadi di Ibukota Jakarta. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia yang melanda Indonesia dan terkenal dengan sebutan “Krismon”, akronim dari krisis moneter. Selain mengguncang Jakarta, kerusuhan juga terjadi di Medan, Surakarta, Yogyakarta dan kota-kota lain dengan skala yang lebih kecil.

Penguasa tampaknya guru yang baik, buat kaum ibu. Ketelitian seorang ibu, dengan kepolosannya, telah menangkap borok-borok penguasa dengan caranya sendiri. Aku tahu tidak ada motif politik dari semua berita yang disampaikan. Ibu-ibu tetaplah ibu-ibu, di tengah cerita politik mereka masih sempat bertanya, “Sehari sikat gigi berapa kali? Itu baju kotor sekali,” atau “Sudah mandi belum?”

Wajah panik dan kuatir belum lenyap dari sorot mata ibuku setiap jam bezuk berakhir. Selalu saja ia menasehati, “Tetap tabah dan rajin shalat dan jaga kesehatan.” Seolah bebannya jauh lebih ringan di dunia luar sana. Kenangan wajah ibu di setiap akhir bezuk membuat kemarahan pada para penguasa semakin berlipat-lipat. Belum pernah kebencianku pada penguasa mencapai puncaknya, tidak pada demonstrasi atau statement, tapi pada menit terakhir ketika sipir menegur ibuku, “Jam berkunjung sudah habis!”

Bulan Januari nanti adalah bulan ke empat aku ditahan. Musim hujan bulan Desember seperti perwujudan perasaan ibu-ibu PRD. Kekuasaan Orba masih tetap bercokol dengan segala kesewenangannya. Dan ibu-ibu PRD tetap tak bergeming membela anak-anaknya.

Sejarah ibu-ibu PRD adalah sangat luar biasa, adalah sebuah energi yang tak mungkin dapat berkurang dan dikalahkan, bahkan oleh Orba sekali pun. Ibu-ibu kaum tertindas telah menyumbangkan banyak kehidupan anaknya untuk melawan penindasan. Peran mereka sering tidak tercatat, perlawanan mereka telah mengambil bentuknya sendiri.

Selain karena “Krismon” yang menerjang Indonesia, kerusuhan Mei 1998 juga dipicu oleh tragedi Trisakti dimana empat mahasiswa Universitas Trisakti telah gugur tertembak dalam suatu demonstrasi menentang Orba dan menuntut turunnya Soeharto sebagai Presiden Indonesia.

Di sini, di bawah kekuasaan Orba, cepat atau lambat, bila penindasan tak juga dihentikan, jutaan kaum ibu akan berlomba “melahirkan” janin-janin perlawanan dan untuk itu penjara tidak akan pernah cukup untuk menampungnya. Orde Baru harus hati-hati karenanya. Pengalaman ibu-ibu PRD mengingatkanku pada sebuah kisah:

Seorang pendeta di pedesaan mengunjungi rumah seorang ibu anggota jemaatnya. Sambil minum kopi ia menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh si ibu itu.

“Mengapa Tuhan sering mengirimkan wabah kepada kita?” tanya si ibu.

“Ya, ya, ya ....” jawab pendeta, “kadang-kadang orang menjadi begitu jahat, hingga perlu disingkirkan. Maka Tuhan mengijinkan datangnya wabah.”

“Tetapi,” tukas si ibu, “mengapa begitu banyak orang baik juga disingkirkan bersama orang yang jahat, salah satunya adalah anak saya?” Akhir kata, Selamat Hari Ibu! Salam buat semua ibu-ibu PRD.

Sumber:
From: apakabar@clark.net
Date: Mon Feb 03 1997
https://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/02/03/0080.html

Sunday, May 25, 2014

Prabowo Subianto: “Saya Dikhianati Habibie”


Wawancara dari Bangkok, Thailand, Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto bicara soal penculikan aktivis, dugaan keterlibatannya dalam kerusuhan 13-14 Mei 1998, serta hubungannya dengan Soeharto, Habibie, dan Wiranto.

Dari siaran berita di radio, Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto mendengar berita rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP) bentukan Mabes ABRI. Ia diberhentikan dari karier militernya. Hari itu, Selasa, 25 Agustus 1998. “Saya tidak kaget,” kata Prabowo. Sebelum DKP mulai bekerja, mantan Pangkostrad ini sudah tahu hasilnya. Ia harus menepi. Adalah mertuanya sendiri, mantan presiden Soeharto, yang mengisyaratkan agar ia keluar saja dari militer. “Itu lebih baik bagi ABRI,” kata Pak Harto, sekitar dua bulan sebelum keputusan itu. Sejak lengser dari posisi presiden, 21 Mei 1998, hubungan antara Prabowo dan mertuanya merenggang. Dia dianggap berkoalisi dengan Habibie untuk menekan Soeharto agar lengser, menilik situasi yang makin panas di masyarakat.

Keyakinan Prabowo makin kuat saat bertemu dengan mantan Pangab Jenderal TNI (Purn.) L.B. Moerdani, pada satu acara, tak lama sebelum DKP mengakhiri pemeriksaannya. Di situ, Benny memberi sinyal yang sama. Karier Prabowo di militer sudah tamat. “Jadi, keputusan untuk menyingkirkan saya sudah jatuh sebelum DKP dibentuk,” tutur mantan Danjen Kopassus ini. DKP dibentuk untuk mengusut dugaan keterlibatan sejumlah perwira tinggi ABRI dalam kasus penculikan sembilan aktivis. Sanksi diberhentikan dari karier militer, bahasa halus untuk dipecat, cuma milik Prabowo. Mantan Danjen Kopassus Mayjen TNI Muchdi P.R., penerus posisi Prabowo yang diangkat jadi Pangkostrad, pada 20 Maret 1998, cuma dicopot dari jabatannya, namun status militernya tetap. Begitu juga Kolonel Chairawan, mantan komandan grup IV Kopassus.

Pada bulan Mei 1998, mahasiswa menyemut menduduki komplek gedung DPR/MPR di Senayan, Jakarta.

Prabowo pasrah. “Ini risiko jabatan sebagai komandan,” katanya. Penangkapan aktivis terjadi kala ia masih menjabat Danjen Kopassus. Dalam pemeriksaan terbukti, Tim Mawar yang beranggotakan 11 prajurit Kopassus pimpinan Sersan Mayor Bambang Kristiono mengaku “mengamankan” sembilan aktivis itu, untuk melempangkan jalan bagi SU MPR 1998. Yang dia sesalkan, keputusan DKP justru tak pernah diterimanya langsung. Keesokan harinya, Prabowo menghadap ke Mabes ABRI, menanyakan ihwal keputusan itu. Dia bertemu Kasum ABRI Letjen TNI Fahroel Rozi, salah seorang anggota DKP, yang lantas menganjurkan Prabowo bertemu Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto.

Kesempatan diberikan keesokan hari, Kamis, 27 Agustus 1998. Pertemuan itu cuma berlangsung 10 menit. Mengenang pertemuan tersebut, Prabowo mencatat reaksi Wiranto membingungkan. Panglima ABRI ini bersikap seolah-olah tak bisa berbuat apa-apa untuk membantu Prabowo. “Kamu kan tahu kondisinya,” begitu ucapan Wiranto kepada Prabowo. Prabowo pun tak mau berbasa-basi. “I don’t like it,” katanya. Seraya menatap mata Wiranto, Prabowo minta maaf atas kesalahan yang dibuatnya selaku prajurit ABRI. Prabowo juga pamit untuk ke luar negeri, melaksanakan umrah dan berobat. “Saya sering mengalami kecelakaan dalam bertugas. Karena itu, saya akan menggunakan kesempatan ke luar negeri untuk berobat di Jerman,” kata Bowo, panggilan akrabnya. Dia juga minta tolong agar surat pensiunnya dari ABRI segera dikeluarkan agar dirinya bisa membantu adiknya, Hashim Djojohadikusumo berbisnis di Timur Tengah. “Saya kan perlu mencari nafkah,” ujar Bowo. Surat pensiun itu akhirnya diteken pada 20 November 1998, sementara TGPF menyampaikan laporannya pada 3 November 1998. Itulah pertemuan terakhir dengan Wiranto. Setelah itu, sambil mengantar anak dan istrinya, yang hendak ke AS, Prabowo berpamitan ke Pak Harto di Cendana.

Kini, setahun lebih berlalu. Langkah Prabowo jadi pebisnis makin mantap. Penampilannya tampak lebih santai dan terbuka. Prabowo yang kini memakai kacamata baca itu kelihatan lebih gemuk. “Pakai kacamata biar tampak lebih intelek,” kata Bowo sambil terbahak. Perjalanan bisnisnya membuat ia sering mampir ke negara tetangga, bertemu relasi setempat, pun kawan-kawan dari Indonesia.

Kamis (14 Oktober) lalu, ia mampir sehari ke Bangkok dalam perjalanannya ke Boston, AS, untuk acara keluarga. Di Bangkok, Prabowo sempat berbincang-bincang dengan empat wartawan dari Indonesia, termasuk dari Panji. Penulis berkesempatan ngobrol blak-blakan dengan Prabowo Rabu malam, dilanjutkan Kamis pagi hingga malam harinya. Ia didampingi Fadli Zon. Sejumlah pertanyaan Panji dijawabnya dengan terbuka meski pada beberapa poin ia minta nirwarta (off the record). “Saya tak ingin menimbulkan perpecahan dan perasaan tidak enak pada siapa pun,” kata Bowo.

Salah satu markas reformasi 1998 adalah Kampus UI di Salemba, Jakarta.

Soal surat Muladi kepada Komnas HAM. Anda sebenarnya diberhentikan karena kasus penculikan atau kerusuhan 13-14 Mei 1998?
Itulah yang saya bingung. Saya diperiksa oleh DKP beberapa kali. Mungkin tiga atau empat kali. Dan semua pertanyaan saya jawab. DKP itu kan khusus menyelidiki soal penculikan sembilan aktivis. Saya pribadi tidak suka menggunakan istilah penculikan karena itu kan kesalahan teknis di lapangan. Niat sebenarnya adalah mengamankan aktivis radikal agar tidak mengganggu rencana pelaksanaan SU MPR 1998. Bahwa kemudian anak buah saya menyekap lebih lama sehingga dikatakan menculik, itu saya anggap kesalahan teknis. Tanggung jawabnya saya ambil alih.

Di DKP apakah ditanyai soal pemberi perintah penculikan?
Tentu. Tapi perintah menculik tidak ada. Yang ada operasi intelijen untuk mengamankan aktivis radikal itu. Sebab saat itu kan sudah terjadi ancaman peledakan bom di mana-mana. Dalam DKP saya kemukakan bahwa perintah pengamanan itu tidak rahasia. Mereka, para jenderal yang memeriksa saya pun tahu. Itu dari atasan dan sejumlah instansi, termasuk Kodam dilibatkan.

Benarkah Anda mendapat daftar 28 orang yang harus “diamankan” dalam konteks SU MPR?
Wah, dari mana Anda tahu? Tapi saya memang terima satu daftar untuk diselidiki. Jadi, untuk diselidiki. Bukan untuk diculik.

Dari siapa Anda terima daftar itu?
Saya tidak bisa katakan. Semua sudah saya katakan di DKP. Kita ini kan harus menjaga kehormatan institusi ABRI. Keterangan saya di DKP ada rekamannya.

Benarkah daftar itu Anda terima langsung dari RI-1, yakni presiden saat itu, Soeharto?
Saya sulit menjawab. Kepada Pak Harto saya sangat hormat. Beliau panglima saya. Kepala negara saya. Bahkan, lebih jauh lagi, beliau mertua saya, kakek dari anak saya. Bayangkan sulitnya posisi saya. Tapi semua itu sudah saya sampaikan ke DKP.

Anda tidak tanya pada Pak Harto daftar itu didapat dari mana?
Tentu saya tanya.

Pak Harto ngomong apa pada Anda waktu memberikan daftar itu?
Ha… ha… ha… Pertanyaan bagus, tapi sulit dijawab.

Kapan Anda terima daftar itu dari Pak Harto?
Beberapa hari setelah ledakan bom di rumah susun Tanah Tinggi.

Apakah nama 14 aktivis yang sampai kini belum ketahuan rimbanya ada di situ?
Saya lupa. Mungkin tidak. Itu daftar kan kalau saya tidak salah didapat dari rumah susun Tanah Tinggi. Jadi macam-macam nama orang ada di situ. Akan halnya enam aktivis, Andi Arief dkk., itu ada dalam daftar pencarian orang (DPO), yang diberikan polisi. Yang tiga, Pius Lustrilanang, Desmond J. Mahesa, dan Haryanto Taslam, itu kecelakaan. Saya tak pernah perintahkan untuk menangkap mereka. Semua mencari mereka yang ada dalam DPO itu. Kita dapat briefing terus dari Mabes ABRI. Kita selalu ditanyai. Sudah dapat belum Andi Arief. Tiap hari ditanya. Sudah dapat belum si ini… begitu. Kejar-kejaran semua. Itu pun, maaf ya, meski saya tanggung jawab, saya tanya anak-anak. Eh, kalian saya perintahkan nggak? BKO sampai nyebrang ke Lampung segala. Mereka ini namanya mau mencari prestasi. Tapi saya puji waktu mereka dapat. Mereka kan membantu polisi yang terus mencari-cari anak-anak itu. Soalnya Andi Arief kan dikejar-kejar.

Selain Anda, siapa lagi yang menerima daftar itu dari Pak Harto? Apakah betul Kasad Jenderal Wiranto dan Pangab saat itu, Jenderal Feisal Tanjung menerima daftar serupa?
Yang bisa saya pastikan, saya bukan satu-satunya panglima yang menerima daftar itu. Pimpinan ABRI lainnya juga menerima. Dan daftar itu memang sifatnya untuk diselidiki. Perintahnya begitu. Seingat saya, Pak Harto sendiri sudah mengakui kepada sejumlah menteri bahwa itu adalah operasi intelijen. Di kalangan ABRI, sudah jadi pengetahuan umum. Tapi, sudahlah, kalau bicara Pak Harto saya sulit. Apalagi saya tak mau memecah-belah lembaga yang saya cintai, yakni ABRI, khususnya TNI.

Foto dari beberapa mahasiswa dan aktifis yang hilang di sekitar peristiwa Mei 1998 dan hingga kini belum ada kepastian keberadaannya.

Bukankah hubungan Anda dan Pak Harto belakangan retak?
Itu benar dan sangat saya sesalkan. Mungkin ada yang memberikan masukan kepada Pak Harto, seolah-olah saya sudah tidak loyal kepada beliau. Saya dikatakan sudah main mata dengan Pak Habibie dan karena itu menyarakan agar Pak Harto lengser pada pertengahan Mei. Mungkin itu yang membuat Pak Harto marah kepada saya. Ironis, bukan? Oleh masyarakat saya dianggap sebagai status quo karena menjadi bagian dari Pak Harto. Saya tidak menyesal. Memang saya menikah dengan putrinya. Tapi Pak Harto sendiri, dan keluarganya, justru marah kepada saya.

Benarkah Anda mengusulkan agar Pak Harto lengser?
Ya. Malah sebelum Pak Harto mundur, setelah terjadi peristiwa Trisakti, saya pernah mengatakan kepada seorang diplomat asing. Tampaknya Pak Harto akan mundur. Eskalasi situasi dan peta geopolitik saat itu menghendaki demikian. Saya juga kemukakan ini sehari setelah Pak Harto kembali dari Kairo (15 Mei 1998—Red.). Apalagi Pak Harto di Kairo memang mengisyaratkan kesediaan untuk lengser. Mungkin ada yang tidak suka saya bicara terbuka. Tapi saya biasa bicara apa adanya dan terus terang. Saya tidak suka basa-basi. Mungkin di situ masalahnya.

Kenapa akhirnya Anda mengambil tanggung jawab penculikan sembilan aktivis?
Di situ saya merasa agak dicurangi dan diperlakukan tidak adil. Mengamankan enam orang ini kan suatu keberhasilan. Wong orang mau melakukan aksi pengeboman, kita mencegahnya. Mereka merakit 40 bom. Kita mendapatkan 18, ada 22 bom yang masih beredar di masyarakat. Katanya yang 22 itu sudah dibawa ke Banyuwangi. Bom yang meledak di rusun Tanah Tinggi dan di Demak, Jawa Tengah itu kan karena anak-anak itu, para aktivis, nggak begitu ahli merakit bom. Jadi, kurang hati-hati, salah sentuh, meledak. Di Kopassus pun tidak sembarang orang bisa merakit bom. Tidak semua orang bisa. Ini ada spesialisasinya. Saya tidak bisa bikin bom. Jadi kita ini mencegah peledakan bom di tempat-tempat strategis dan pembakaran terminal. Kita harusnya dapat ucapan terima kasih karena melindungi hak asasi masyarakat yang terancam peledakan itu. Soal tiga orang, memang kesalahan. Saya minta maaf pada Haryanto Taslam dan yang lain. Tapi dia juga akhirnya terima kasih. Untung yang menangkap saya. Kan hidup semua. Saya mau bertemu mereka.

Anda pernah berpikir tidak, bahwa dokumen atau daftar yang berasal dari rusun Tanah Tinggi itu buatan pihak yang berniat jahat?
Belakangan saya berpikir juga. Jangan-jangan dokumen itu bikinan. Dalam dokumen itu, seolah-olah ada rapat di rumah Megawati. Saya nggak bisa dan tidak mau menyalahkan anak buah. Saya katakan kepada mereka, you di pengadilan mau ngomong apa aja deh, saya akan ikuti. Saya diadili juga siap. Saya bilang, Haryanto Taslam saya perintahkan nggak untuk ditangkap? Tidak ada. Tapi saya ambil alih tanggung jawab. Di DKP pun saya katakan bahwa anak-anak itu tidak bersalah. Mereka adalah perwira-perwira yang terbaik. Saya tahu persis karena saya komandan mereka. Cek saja rekamannya di DKP. Tapi bahwa mungkin mereka salah menafsirkan, terlalu antusias, sehingga menjabarkan perintah saya begitu, ya bisa saja. Atau ada titipan perintah dari yang lain, saya tidak tahu. Intinya, saya mengaku bertanggung jawab.

Apa memang ada pihak yang ikut nimbrung saat itu memberikan perintah?
Bisa saja. Saya tidak tahu. Tapi tetap apa yang sudah terjadi adalah tanggung jawab saya. Tetap itu anak buah saya. Saya kan mesti percaya sama anak buah. Makanya saya nggak apa-apa diberhentikan. Saya nggak heran. Ini risiko saya. Iya kan?

Tapi kalau kemudian saya sudah berhenti, masih diisukan ini, itu, dibuat begini, begitu. Ah…, saya merasa dikecewakan oleh Pak Wiranto. Saya merasa harusnya dia tahu situasinya saat itu bagaimana. Dia tahu kok ada perintah penyelidikan itu. Begitu dia jadi Pangab, saya juga laporkan, sedang ada operasi intelijen, sandi yudha, begini, begitu. Kepada beberapa menteri Pak Harto ngomong bahwa itu operasi intelijen. Tapi begitu Pak Harto tidak berkuasa, situasinya dimanfaatkan oleh perwira yang ingin menyingkirkan saya.

Presiden Soeharto dan Presiden AS, Bill Clinton.

Apa betul AS berkepentingan agar Anda dipecat?
Tidak tahu. Tapi Cohen (Menhan AS William Cohen—Red.) kan ketemu saya juga.

Perintahnya menyelidiki kok bisa kepeleset menculik. Bagaimana itu?
Ya. Tapi dalam operasi intelijen itu kan biasanya kita ambil, ditanyai, dan kalau bisa terus dia berkerja untuk kita. Kan begitu prosedurnya. Sudahlah, itu kesalahan teknis, yang kemudian dipolitisasi. Dan memang waktu itu saya harus dihabisi. Dulu Jenderal Soemitro dituduh terlibat Malari, mau menyaingi Pak Harto. Pak H.R. Dharsono dituduh terlibat kasus Tanjung Priok. Itu politik. Yang kemudian naik orang yang nggak bisa apa-apa, nggak pernah bikin inisiatif dan karenanya tidak pernah bikin salah. Lihat Prancis, itu kan negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Tapi, dia ledakkan kapal Greenpeace yang mau masuk ke perairan nasionalnya. Kalau sudah kepentingan nasional dia ledakkan itu.

Anda kan lama di luar negeri, besar di negara yang liberal, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kok Anda tetap mentolerir gaya penangkapan atau penculikan itu? Bukankah itu menjadi sorotan dunia internasional terhadap penegakan HAM di Indonesia?
Benar. Begini, secara moral, saya tidak salah karena orang-orang itu berniat berbuat kejahatan yang bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Menurut saya membuat aksi pengeboman, membakar terminal, untuk mengorbankan orang-orang tidak berdosa, itu mereka justru membahayakan hak asasi manusia orang lain. Tidak bisa dong. Kalau you berbeda dalam politik, you bertempur lewat partai politik. Jangan bikin aksi teror.

Informasi soal rencana pengeboman itu didapat dari interogasi, bukan kita ngarang. Dapat keterangan dari mereka. Anda dengar ancaman bom tiap minggu. Seluruh bank tutup, BI tutup. Korban kepada bangsa bagaimana. Itu aksi destabilisasi. Jadi, jangan salah, untuk menegakkan demokrasi, kita justru harus menjaga keamanan. Tidak bisa demokrasi tanpa keamanan. Itu duty kita, panggilan kita. Tapi, lawan-lawan saya lebih kuat. Punya media massa, punya kemampuan untuk perang psikologi massa.

Kok Anda dulu tidak segera membantah kalau memang merasa tidak bersalah?
Hashim memang menyuruh saya. Kamu harus jawab dong. Saya malas juga. Saya kan tidak berbuat. Saya percaya kebenaran akan muncul. Hashim bilang, “Tidak bisa dong kalau kamu diam berarti kamu mengakui itu benar.” Memang ada teori itu. Teori pengulangan kebohongan. Kalau diulang-ulang terus, orang jadi percaya. Itu teori yang digunakan Hitler kepada rakyat Jerman.

Anda tidak mau nuntut soal pemecatan itu karena tidak ingin mempermalukan Pak Harto?
Benar, terutama itu. Juga tak ingin mencemari institusi ABRI, khususnya TNI AD. Bagaimanapun juga, Pak Harto jenderal bintang lima. Ini kan tidak baik dalam iklim dan budaya bangsa Indonesia. Apa pun yang terjadi. Ada masalah dilematis, bagaimanapun dia kakek dari anak saya. Itu yang dilematis. Walaupun dia kemudian membenci saya.

Jenderal R Hartono, Subagyo dan Prabowo Subianto.

Sebelumnya, Prabowo merasa diperlakukan tidak adil kala dipaksa menyerahkan jabatan sebagai Pangkostrad pada 22 Mei 1998. “Saya tak sempat membuat memorandum serah terima jabatan. Istri saya, ketua Persit pun, tak sempat serah terima. Setahu saya, dalam sejarah ABRI, belum pernah ada perwira tinggi dipermalukan oleh institusinya, seperti yang saya alami,” kata Bowo. Dia memang digeser saat situasi politik gonjang-ganjing dan Soeharto baru lengser pada 21 Mei 1998. Dugaan yang beredar saat itu, Bowo diganti karena dianggap hendak melancarkan kudeta kepada Habibie. Malam itu, sesudah pergantian presiden pagi harinya, situasi Jakarta memang genting. Sejumlah pasukan berseragam loreng tampak di seputar wilayah Istana Negara, Monas, Jakarta.

Dugaan terjadi pengepungan Istana sempat dibantah habis-habisan oleh Mabes ABRI. Padahal, sejumlah media massa memberitakannya. Kemudian, pada 22 Februari 1999, di depan sejumlah eksekutif pers dalam forum Asia-German Editors, di Istana Merdeka, Presiden Habibie bercerita soal pengepungan itu. Habibie mengaku keluarganya terancam malam itu, dan nyaris diungsikan. “Tidak usah ditutup-tutupi, kita tahulah yang memimpin konsentrasi pasukan itu, orangnya Prabowo Subianto,” kata Habibie berapi-api. Dia mengaku diberi tahu Wiranto. Pers geger. Prabowo saat itu sudah di luar negeri. Lewat kawan dekatnya, ia membantah.

Dan, dua hari kemudian, dalam sidang di Komisi I DPR RI, Jenderal Wiranto membantah ucapan Habibie. Menurutnya, itu bukan konsentrasi pasukan, melainkan konsolidasi. Tak ada yang berniat kudeta saat itu. Anehnya, Habibie tak bereaksi atas bantahan Wiranto itu. Sehingga publik makin bingung, mana yang benar, ucapan Habibie atau Wiranto. Benarkah Habibie dapat masukan dari Wiranto? Sebab dalam satu pertemuannya dengan tokoh Dewan Dakwah Islamiyah, 30 Juni 1998, Habibie mengaku diberi tahu soal konsentrasi pasukan itu oleh Letjen TNI Sintong Panjaitan, orang dekat Habibie yang kini menjabat Sesdalopbang.

Setelah berkelana di luar negeri, ketenangan Prabowo terusik oleh ucapan Habibie itu, yang dikutip oleh pers luar negeri pula. Tapi, bantahan Wiranto cukup menenangkannya. “Pak Wiranto harus membantah karena memang apa yang diucapkan Habibie tidak benar,” kata Bowo. Menurutnya, semua panglima saat itu menerima perintah dari Mabes ABRI. Saat situasi genting, ada pembagian tugas, bahwa Kopassus dipasrahi mengawal presiden dan wakil presiden, sedangkan Kostrad diminta menjaga obyek vital dan strategis. Kata Prabowo, untuk melaksanakan perintah Mabes ABRI itulah sejumlah pasukan berada di sekitar kawasan Istana dan Monas. “Pak Wiranto tahu persis bahwa perintah itu ada. Saksinya banyak, para panglima komando,” kata Bowo.

Habibie mengatakan kepada saya. “Bowo, kalau saya jadi Presiden, you Pangab.” Itu faktanya. Habibie bahkan mengatakan saya ini sudah dianggap anak ketiganya.

Dalam pemeriksaan oleh TGPF, ada kesan kegiatan Anda pada 13 Mei 1998 tidak diketahui. Muncul kecurigaan, Anda sedang apa saat itu? Apa sih yang Anda lakukan hari itu?
Saya mulai dari 12 Mei 1998. Malam itu, pukul 20.00 wib, ketika di rumah Jl. Cendana No. 7, saya ditelepon Sjafrie (Pangdam Jaya saat itu, Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin). Kata dia, “Gawat nih, Wo, ada mahasiswa yang tewas tertembak.” Saya lalu bergegas ke Makostrad. Saya sudah antisipasi, besok pasti ramai. Maka pasukan saya konsolidasi. Kalau perlu tambahan pasukan kan mesti disiapkan tempatnya. Mau ditaruh di mana mereka. Malam itu saya terus memantau situasi. Lalu, terpikir oleh saya, kelanjutan rencana acara Kostrad di Malang pada 14 Mei 1998. Rencananya inspektur upacara adalah Pangab Wiranto. Pangkostrad juga harus hadir. Kalau ibu kota genting, apa kita masih mau pergi juga?

Keesokan harinya, sejak pukul 08.00 WIB, saya mengontak Kol. Nur Muis dan menyampaikan usulan agar acara di Malang ditunda. Atau, kehadiran Pangab dibatalkan saja karena situasi ibukota genting. Biar saya saja yang berangkat. Jawaban dari Pak Wiranto yang disampaikan lewat Kol. Nur Muis, acara tetap berlangsung sesuai rencana. Irup (Inspektur Upacara—Red.) tetap Pak Wiranto dan saya selaku Pangkostrad tetap hadir. Beberapa opsi usulan saya tawarkan kepada Pak Wiranto, yang intinya agar tidak meninggalkan ibukota, karena keadaan sedang gawat. Posisi terpenting yang harus diamankan adalah ibukota. Tapi, sampai sekitar delapan kali saya telepon, keputusan tetap sama. Itu terjadi sampai malam hari.

Jadi, pada 14 Mei, pukul 06.00 WIB kita sudah berada di lapangan Halim Perdanakusumah. Saya kaget juga. Panglima utama ada di sana. Danjen Kopassus segala ikut. Saya membatin, sedang genting begini kok seluruh panglima, termasuk panglima ABRI malah pergi ke Malang? Padahal, komandan batalion sekalipun sudah diminta membuat perkiraan cepat, perkiraan operasi, begini, lantas bagaimana setelahnya. Tapi, ya sudah, saya patuh saja pada perintah. Saya ikut ke Malang.

Kembali ke Jakarta sekitar pukul 11.00 WIB. Ketika hendak mendarat di Halim, ibu kota terlihat diselimuti asap hitam. Selanjutnya, seperti telah ditulis di berbagai media massa, saya membantu mengingatkan Sjafrie perlunya mengamankan ibukota lewat patroli dengan panser di sepanjang Jl. Thamrin. Malam harinya, saya bertemu dengan sejumlah orang di Makostrad. Itu yang kemudian dituduh mau merencanakan kerusuhan. Padahal, di tengah jalan sore itu saya ditelepon, karena Setiawan Djodi dan Bang Buyung Nasution ingin bertemu. Ternyata sudah ada beberapa orang di kantor saya, ada Fahmi Idris, Bambang Widjojanto, dan beberapa orang lain. Itu pertemuan terbuka, membicarakan situasi yang terakhir. Bang Buyung dominan sekali malam itu. Dia banyak bicara. Acara ditutup makan malam dan kemudian kami ada rapat staf di Mabes. Kalau kemudian surat Muladi mengatakan saya bersalah karena gagal menjaga keselamatan negara sehingga menimbulkan kerusuhan 13-14 Mei, bagaimana ceritanya?

Pangkoops, selaku penanggung jawab keamanan ibukota adalah Pangdam Sjafrie?
Mestinya iya. Penanggung jawab yang lebih tinggi ya panglima ABRI.

Jujur saja, kalau memang saya ingin kudeta, bisa saja. Jangan meremehkan pasukan Kopassus, tempat saya dibesarkan. Dan anak buah saya memang ada yang sakit hati karena saya diberhentikan seperti itu.

Dalam pemeriksaan di TGPF, mantan Ka-BIA (Kepala Badan Intelijen ABRI—Red.) Zacky Makarim, konon mengatakan bahwa sebulan sebelum peristiwa Trisakti, ada perkiraan situasi intelijen versi Anda, yang mengatakan, eskalasi meningkat dan dikhawatirkan akan ada martir di kalangan mahasiswa. Bagaimana Anda sampai pada kesimpulan itu?
Situasinya memang demikian. Aksi mahasiswa kan bukan cuma di Jakarta, melainkan meluas ke daerah. Di Yogyakarta, aksi mahasiswa malah sempat bentrok. Berdasarkan analisis situasi, saya mengingatkan kemungkinan adanya eskalasi yang memanas dan kalau aksi mahasiswa meluas, bukan tidak mungkin jatuh korban atau ada pihak-pihak yang ingin ada korban di pihak mahasiswa. Itu saya ingatkan.

Tapi, justru Anda dituduh bertanggung jawab atas penembakan mahasiswa Trisakti?
Iyalah. Saya ini selalu dituduh. Apa untungnya bagi saya membuat jatuh korban? Saat itu kan presidennya Pak Harto. Mertua saya. Saya bagian dari status quo itu. Kan begitu tuduhannya. Masak saya membuat situasi agar Pak Harto jatuh. Pak Harto jatuh kan saya jatuh juga. Sejarah kan begitu kejadiannya.

Mungkin Anda ingin menunjukkan bahwa Wiranto tidak kapabel mengamankan Jakarta?
Tidak ada alasan juga. Motifnya tidak ada.

Bukankah Anda pernah disebut-sebut minta jabatan Pangab dan katanya dijanjikan Habibie untuk jadi Pangab?
Lebih dari tiga kali Habibie mengatakan kepada saya. “Bowo, kalau saya jadi Presiden, you Pangab.” Itu faktanya. Habibie bahkan mengatakan saya ini sudah dianggap anak ketiganya. Saya memang dekat dengan Habibie, karena saya mengagumi kepandaiannya, visinya. Meskipun sekarang saya kecewa karena dia menuduh saya berbuat sesuatu yang bohong. Saya merasa dikhianati. Bahwa saya ingin jadi Pangab, apakah itu salah? Setiap prajurit, tentara, tentu bercita-cita menjadi Pangab. Why not? Saya tidak pernah menyembunyikan itu. Bahwa kemudian dipolitisasi, seolah-olah pada saat genting, saat pergantian kepemimpinan, 21 Mei 1998 itu, saya minta jadi Pangab, silakan saja. Tapi, saya tak pernah minta jadi Pangab kepada Habibie.

Benar tidak Anda pernah didesak jadi Pangab sekitar 19-20 Mei itu?
Ada yang mendesak. Bahkan ada yang mengusulkan agar saya mengambil alih situasi. Saya tolak. Saya orang yang konstitusional. Wapres masih ada dan sehat. Menhankam/Pangab masih ada. Tidak ada alasan untuk mengambil alih. Kalau saya melakukan kudeta, setelah itu mau apa? Inkonstitusional, tidak demokratis, dan lebih berat lagi, secara psikologis saya ini kan terkait dengan keluarga Pak Harto. Kalau Pak Harto sudah menyerahkan ke Habibie, masak saya mau kudeta? Di luar itu semua, yang terpenting, saya berasal dari keturunan keluarga pejuang. Anda tahu paman saya gugur sebagai pahlawan muda. Kakek saya pejuang. Moyang saya, selalu berjuang melawan penjajah kolonial Belanda. Bagaimana mungkin saya menodai garis keturunan yang begitu saya banggakan, dengan berpikir mengambil alih kekuasaan secara inkonstitusional?

Prabowo: "Saya memang dekat dengan Habibie, karena saya mengagumi kepandaiannya, visinya."

Ketika Habibie mengatakan Anda datang menemui Habibie pada 22 Mei 1998, benarkah Anda membawa senjata dan pasukan sehingga Habibie merasa terancam?
Senjata saya tanggalkan di depan pintu. Jangankan menghadap Presiden, wong menghadap komandan kompi saja senjata harus dicopot. Bohong besar berita yang mengatakan saya hendak mengancam Habibie.

Jujur saja, kalau memang saya ingin, bisa saja. Jangan meremehkan pasukan Kopassus, tempat saya dibesarkan. Ingat, Pak Sarwo Edhi (almarhum) hanya butuh dua kompi untuk mengatasi situasi saat G-30-S/PKI. Dan anak buah saya memang ada yang sakit hati karena saya diberhentikan seperti itu. Pataka komando hendak diambil begitu saja tanpa sepengetahuan saya. Saya datang ke Habibie karena sebelumnya dia selalu berkata. “Bowo, kalau ada keragu-raguan, jangan segan-segan menemui saya.” Itulah yang saya lakukan. Menemui Habibie untuk bertanya apakah betul dia ingin mengganti saya dari jabatan Pangkostrad. Habibie bilang turuti saja perintah atasan. Ini kemauan ayah mertua kamu juga. Jadi, Pak Harto memang minta saya diganti.

Soal anggapan bahwa para jenderal ingin menyingkirkan Anda, apakah ini disebabkan oleh sikap Anda sebelumnya yang disebut arogan, karena dekat dengan pusat kekuasaan?
Saya akui, itu ciri khas. Dan itu jadi senjata buat yang ingin menjatuhkan. Tapi kita lihat kepemimpinan itu dari output. Bisa tidak meraih prestasi kalau prajuritnya tak semangat. Semangat itu tidak bisa dibeli dengan uang. Kadang-kadang mereka mau mati karena bendera. Kain itu harganya berapa? Tentara Romawi mati-matian demi bendera. Itu kan kebanggaan. Bagaimana? Saya ciptakan teriakan, berapa harganya? Saya dapatkan dari gaya suku Dayak. Teriakan panjang itu bisa membangkitkan semangat, mengurangi ketakutan, dan menakutkan musuh. Pakai duit berapa? Tapi hal-hal ini tidak populer di mata the salon officer. Apa nih Prabowo pakai nyanyi-nyanyi segala. Pakai bendera, pakai teriakan. Kenapa orang fanatik membela sepakbola, sampai membakar, ini psikologi massa. Masak kita mau mati karena uang? Buat apa uangnya kalau kita harus mati?!

Sebagai menantu presiden saat itu, tentu Anda lebih mudah naik pangkat dibanding yang lain. Ini bikin cemburu juga kan?
Ya, tapi akses kepada penguasa politik. Itu wajar. Jenderal Colin Powell, peringkat ke berapa dia bisa jadi Pangab AS. Dia bekas sekretaris militer Bush waktu jadi Wakil Presiden. Jadi, waktu Bush jadi Presiden, dia jadi Pangab. Bahwa saya punya akses kepada penguasa politik, saya sependapat. Tapi kan bukan hanya saya. Pak Wiranto kan dari ajudan Presiden, langsung Kasdam, langsung Pangdam, langsung Pangkostrad. Itu kan tuduhan saja kepada saya. Coba dilihat berapa kali saya VC (kontak senjata langsung di medan operasi), berapa kali bertugas di daerah operasi, berapa kali tim saya di Kopassus merebut kejuaraan, berapa kali operasi militer saya selesaikan, apa yang saya buat di Mount Everest itu kan mengangkat bangsa. Berapa saya melatih prajurit komando dari beberapa negara. Itu kan tidak dilihat. Yang dicari cuma daftar dosa saya. Ya memang kalau you dalam keadaan kalah politik, segala dosa bisa ditemukan. Dia keluar negeri nggak izin, dia ini, dia itu. Semua bisa ketemu. Tapi kalau menang? (pasti lain cerita—Red.) Itu kan politik.

Prabowo bersama sahabatnya, Abdullah, Raja Jordania.

Jordania, seolah menjadi negara ibu yang kedua bagi Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto. Di Amman, ibukota Jordania yang terletak di jazirah Arab, mantan Pangkostrad ini tinggal di apartemen. Prabowo, yang dicopot dari jabatan dan kariernya di ABRI, mengaku jatuh cinta pada Jordania tanpa sengaja. “Saat saya disingkirkan oleh ABRI, oleh elite politik di Indonesia, negeri ini menerima saya dengan baik,” kata dia.

Persahabatannya dengan Raja Abdullah dimulai kala sang raja masih pangeran dan menjadi komandan tentara Jordania. Mereka bertemu di AS, tak lama setelah Prabowo selesai berobat di Jerman, setelah pensiun dari militer tahun lalu. Pangeran Abdullah menyatakan simpati dan mengundangnya mampir ke Amman.

Undangan itu dipenuhi Bowo. Pada hari dan jam yang ditentukan (sekitar pukul satu siang), Prabowo berkunjung ke markas tentara pimpinan Pangeran Abdullah. Terkejut dia karena untuk menyambut kehadirannya telah disiapkan upacara penyambutan tamu secara militer. Padahal Prabowo datang mengenakan busana kasual. Oleh anak buah Pangeran Abdullah, Prabowo “dipaksa” menginspeksi pasukan. Di ujung barisan, Pangeran Abdullah tampak tersenyum-senyum dan memeluk Bowo. “Di sini, Anda tetap jenderal,” bisik Abdullah. Tak lama kemudian, menjelang ayahnya, Raja Hussein mangkat, Abdullah dinobatkan sebagai putra mahkota dan kemudian menjadi Raja Jordania.

Sumber:
Uni Z. Lubis
Wawancara Khas Majalah PANJI No. 28/III, 27 Oktober 1999