Thursday, December 11, 2008

Kuncinya, Kembalikan Kepercayaan


Berbeda dengan krisis 1997/1998 yang dipicu faktor domestik, seperti ketergantungan konglomerat yang luar biasa pada utang luar negeri, tingginya proporsi utang jangka pendek valas, dan buruknya corporate governance, ada anggapan krisis sekarang ini sepenuhnya bersumber dari faktor eksternal.

Namun, tak semua panelis setuju dengan pandangan ini. Krisis sekarang, menurut mereka, juga dipicu kerentanan di dalam negeri Indonesia sendiri. Dalam berbagai kesempatan, pemerintah berusaha meyakinkan bahwa kondisi fundamental ekonomi solid sehingga masyarakat dan investor tak perlu panik. Namun, persoalan yang dihadapi sekarang ini sebenarnya bukan fundamental ekonomi, tetapi kepercayaan.

”Ini krisis likuiditas dan kepercayaan, bukan fundamental. Isunya bukan lagi fundamental ekonomi. Problem di Indonesia adalah indecisiveness (ketidaktegasan) dalam proses pembuatan kebijakan,” ujar seorang panelis.

Ia mencontohkan apa yang terjadi di pasar modal, maju-mundurnya pemerintah dengan keputusan menghentikan suspensi perdagangan yang ditujukan untuk melindungi emiten tertentu (menyusul anjlok tajamnya harga saham perusahaan tersebut) sebagai salah satu pemicu hancurnya kepercayaan bursa.

Faktor ini, ditambah keputusan BI untuk tetap menaikkan atau mempertahankan suku bunga di tengah ancaman resesi global dan perlambatan ekonomi domestik, menjadi dua faktor yang ikut memicu memburuknya secara dramatis krisis, terutama indeks saham sejak awal Oktober. Langkah BI menaikkan suku bunga dan upaya pemerintah menekan defisit APBN di awal krisis dianggap nyeleneh dan melawan arus global. Dalam situasi krisis, mestinya yang ditempuh adalah kebijakan stimulus dan pelonggaran moneter.

Ia mengibaratkan perekonomian Indonesia sekarang ini seperti kapal besar yang terdampar di sungai kecil karena airnya mengering di tengah krisis likuiditas yang melanda sistem keuangan global sebagai sungai besarnya. Lambat atau cepat, kapal ini akan kolaps jika air (likuiditas) tak segera mengalir. Dalam kondisi itu, pemerintah sebagai nakhoda sibuk menyerukan semua pihak agar tak panik, tetapi sikap pemerintah sendiri justru mempertontonkan kepanikan. Salah satunya, memberlakukan auto rejection atau penghentian perdagangan jika harga saham mengalami penurunan hingga titik tertentu.

Di perbankan, ketidakpercayaan ditunjukkan antara lain berbondong-bondongnya nasabah yang memindahkan simpanan dananya ke bank-bank besar, khususnya bank BUMN. Migrasi ini terutama dipicu krisis kepercayaan ke sektor perbankan, terutama bank-bank kecil, terkait tak adanya jaminan penuh pemerintah bagi simpanan nasabah. Mereka juga melihat, kalau Indover, anak perusahaan BI, saja bisa ditutup, bagaimana dengan bank-bank swasta?

Migrasi dana nasabah ini kian memperburuk ketimpangan likuiditas di perbankan dengan bank- bank besar kebanjiran likuiditas. Bank Mandiri, seperti dilaporkan Jakarta Post, mengalami lonjakan dana pihak ketiga (DPK) lebih dari Rp 10 triliun dalam sebulan menjadi Rp 157 triliun. Sementara DPK BCA sudah melampaui Rp 200 triliun, Mandiri Rp 245,3 triliun, dan BRI Rp 173,39 triliun.

Di kalangan industri perbankan sendiri, krisis kepercayaan ditunjukkan sikap konservatif berlebihan yang membuat transaksi antarbank tidak berjalan sehingga memperparah krisis likuiditas, menghambat penurunan suku bunga kredit, dan fungsi intermediasi.

Karena persoalannya lebih krisis kepercayaan, yang harus dilakukan adalah memulihkan lebih dulu kepercayaan, termasuk di sini menghindari pernyataan konyol. Ancaman pemerintah untuk menindak tegas mereka yang berusaha mengambil keuntungan dari transaksi di pasar saham, menurut panelis, menunjukkan salah kaprah pemahaman mengenai prinsip cara kerja pasar modal. Demikian pula pernyataan seorang pejabat tinggi yang mengatakan wajar saja bagi pemerintah untuk menyelamatkan sebuah kelompok usaha besar dari ancaman kebangkrutan.

Menurut sejumlah panelis, prinsip penyelamatan karena dalih too big to fail seharusnya hanya berlaku bagi institusi perbankan karena sifatnya yang sistemik, dan bukan untuk perusahaan di pasar modal. Terlihat di sini ada kebingungan luar biasa mengenai peran pemerintah di pasar modal.

Selain tidak berfungsinya pasar modal dan tak ditegakkannya aturan, hancurnya pasar modal di Indonesia juga disebabkan merajalelanya apa yang disebut toxic assets dan toxic behaviour yang selama ini tak tersentuh otoritas pasar modal. Disebut toxic assets karena pergerakan nilai asetnya bukan hanya ditentukan oleh fundamental perusahaan, tetapi juga karena digoreng-goreng. Ini sangat destruktif karena mengakibatkan kerusakan masif yang sistemik terhadap kepercayaan pada institusi pasar modal.

Contoh toxic asset itu adalah Share Repo Agreement yang berpotensi menciptakan market overhang. Saat ini ada upaya mengubah produk tersebut menjadi instrumen utang jangka menengah dan panjang (medium term/long term debt). Produk tersebut tidak jarang ditawarkan kepada investor yang tidak paham dan tidak memiliki kesesuaian profil risiko.

Akibatnya banyak investor atau calon investor yang tergiur dan kejeblos. Ditambah minimnya edukasi, hal ini memunculkan rasa jera dan kesan bahwa pasar modal memang benar-benar arena judi. Karena itu, jangan heran kalau uang umat gereja dan masjid pun ikut-ikutan nyangkut di pasar modal. ”Selama ini tak diregulasi karena orang berpikir, ’Ah, ngapain fixed something that ain’t broke? ’Apalagi semua pihak menikmati pesta pora itu dan tak menginginkan gelembung itu meletus,” ujarnya.

Krisis global sekarang ini, seperti dikatakan seorang panelis, menyadarkan kita betapa rapuhnya tatanan yang ada sehingga muncul tuntutan untuk dilakukannya penataan ulang terhadap sistem finansial global dan interaksi hubungan ekonomi antarbangsa. Ironisnya, masih kata si panelis, perekonomian kita justru mengarah ke pola AS yang rapuh itu.

sri hartati samhadi
KOMPAS, 11 Desember 2008

No comments: