Tuesday, December 30, 2008

Mengenal Dinar dan Dirham Islam


Karena banyaknya pengunjung yang mengira bahwa Dinar Iraq dan lain sebagainya adalah sama dengan Dinar Islam. Maka perlu saya buat penjelasan yang sangat jelas bahwa Dinar Iraq dan sejenisnya adalah tidak sama dan bukan Dinar Islam. Dinar Iraq adalah uang kertas biasa, sedangkan Dinar Islam adalah uang emas 22 karat 4.25 gram.

Lebih jauh agar kita mengenal Dinar Islam ini lebih dekat, berikut saya petikkan uraian dari buku saya (Mengembalikan Kemakmuran Islam Dengan Dinar dan Dirham) yang menjelaskan detil tentang Dinar Islam.

Uang dalam berbagai bentuknya sebagai alat tukar perdagangan telah dikenal ribuan tahun yang lalu seperti dalam sejarah Mesir kuno sekitar 4000 SM – 2000 SM. Dalam bentuknya yang lebih standar uang emas dan perak diperkenalkan oleh Julius Caesar dari Romawi sekitar tahun 46 SM. Julius Caesar ini pula yang memperkenalkan standar konversi dari uang emas ke uang perak dan sebaliknya dengan perbandingan 12 : 1 untuk perak terhadap emas. Standar Julius Caesar ini berlaku di belahan dunia Eropa selama sekitar 1250 tahun yaitu sampai tahun 1204.

Di belahan dunia lainnya di Dunia Islam, uang emas dan perak yang dikenal dengan Dinar dan Dirham juga digunakan sejak awal Islam baik untuk kegiatan muamalah maupun ibadah seperti zakat dan diyat sampai berakhirnya Kekhalifahan Usmaniah Turki tahun 1924.

Standarisasi berat uang Dinar dan Dirham mengikuti Hadits Rasulullah SAW, ”Timbangan adalah timbangan penduduk Makkah, dan takaran adalah takaran penduduk Madinah” (HR. Abu Daud).

Pada zaman Khalifah Umar bin Khattab sekitar tahun 642 Masehi bersamaan dengan pencetakan uang Dirham pertama dimasa Kekhalifahan, standar hubungan berat antara uang emas dan perak dibakukan yaitu berat 7 Dinar sama dengan berat 10 Dirham.

Berat 1 Dinar ini sama dengan 1 mitsqal atau kurang lebih setara dengan berat 72 butir gandum ukuran sedang yang dipotong kedua ujungnya . Dari Dinar-Dinar yang tersimpan di museum setelah ditimbang dengan timbangan yang akurat maka di ketahui bahwa timbangan berat uang 1 Dinar Islam yang diterbitkan pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan adalah 4.25 gram, berat ini sama dengan berat mata uang Byzantium yang disebut Solidos dan mata uang Yunani yang disebut Drachma.

Atas dasar rumusan hubungan berat antara Dinar dan Dirham dan hasil penimbangan Dinar di museum ini, maka dapat pula dihitung berat 1 Dirham adalah 7/10 x 4.25 gram atau sama dengan 2.975 gram .

Sampai pertengahan abad ke 13 baik di negeri Islam maupun di negeri non Islam sejarah menunjukan bahwa mata uang emas yang relatif standar tersebut secara luas digunakan. Hal ini tidak mengherankan karena sejak awal perkembangannya-pun kaum muslimin banyak melakukan perjalanan perdagangan ke negeri yang jauh. Keaneka-ragaman mata uang di Eropa kemudian dimulai ketika Republik Florence di Italy pada tahun 1252 mencetak uangnya sendiri yang disebut emas Florin, kemudian diikuti oleh Republik Venesia dengan uangnya yang disebut Ducat.

Pada akhir abad ke 13 tersebut Islam mulai merambah Eropa dengan berdirinya kekalifahan Usmaniyah dan tonggak sejarahnya tercapai pada tahun 1453 ketika Muhammad Al Fatih menaklukkan Konstantinopel dan terjadilah penyatuan dari seluruh kekuasan Kekhalifahan Usmaniyah.

Selama tujuh abad dari abad ke 13 sampai awal abad 20, Dinar dan Dirham adalah mata uang yang paling luas digunakan. Penggunaan Dinar dan Dirham meliputi seluruh wilayah kekuasaan Usmaniyah yang meliputi tiga benua yaitu Eropa bagian selatan dan timur, Afrika bagian utara dan sebagian Asia.

Pada puncak kejayaannya kekuasaan Usmaniyah pada abad 16 dan 17 membentang mulai dari Selat Gibraltar di bagian barat (pada tahun 1553 mencapai pantai Atlantik di Afrika Utara ) sampai sebagian kepulauan nusantara di bagian timur, kemudian dari sebagian Austria, Slovakia dan Ukraine dibagian utara sampai Sudan dan Yemen di bagian selatan. Apabila ditambah dengan masa kejayaan Islam sebelumnya yaitu mulai dari awal kenabian Rasululullah SAW (610) maka secara keseluruhan Dinar dan Dirham adalah mata uang modern yang dipakai paling lama (14 abad) dalam sejarah manusia.

Selain emas dan perak, baik di negeri Islam maupun non Islam juga dikenal uang logam yang dibuat dari tembaga atau perunggu. Dalam fiqih Islam, uang emas dan perak dikenal sebagai alat tukar yang hakiki (thaman haqiqi atau thaman khalqi) sedangkan uang dari tembaga atau perunggu dikenal sebagai fulus dan menjadi alat tukar berdasar kesepakatan atau thaman istilahi. Dari sisi sifatnya yang tidak memiliki nilai intrinsik sebesar nilai tukarnya, fulus ini lebih dekat kepada sifat uang kertas yang kita kenal sampai sekarang .

Dinar dan Dirham memang sudah ada sejak sebelum Islam lahir, karena Dinar (Dinarium) sudah dipakai di Romawi sebelumnya dan Dirham sudah dipakai di Persia. Kita ketahui bahwa apa-apa yang ada sebelum Islam namun setelah turunnya Islam tidak dilarang atau bahkan juga digunakan oleh Rasulullah SAW– maka hal itu menjadi ketetapan (Taqrir) Rasulullah SAW yang berarti menjadi bagian dari ajaran Islam itu sendiri, Dinar dan Dirham masuk kategori ini.

Di Indonesia di masa ini, Dinar dan Dirham hanya diproduksi oleh Logam Mulia - PT. Aneka Tambang TBK. Saat ini Logam Mulia-lah yang secara teknologi dan penguasaan bahan mampu memproduksi Dinar dan Dirham dengan Kadar dan Berat sesuai dengan Standar Dinar dan Dirham di masa awal-awal Islam.

Standar kadar dan berat inipun tidak hanya di sertifikasi secara nasional oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN), tetapi juga oleh lembaga sertifikasi logam mulia internasional yang sangat diakui yaitu London Bullion Market Association (LBMA).

Seperti di awal Islam yang menekankan Dinar dan Dirham pada berat dan kadarnya - bukan pada tulisan atau jumlah/ukuran/bentuk keping - maka berat dan kadar emas untuk Dinar serta berat dan kadar perak untuk Dirham produksi Logam Mulia di Indonesia saat ini memenuhi syarat untuk kita sebut sebagai Dinar dan Dirham Islam zaman sekarang.

Seluruh Dinar dan Dirham yang diperkenalkan & dipasarkan oleh Gerai Dinar adalah produksi langsung dari Logam Mulia - PT. Aneka Tambang, Tbk.

Sumber: geraidinar.com

Thursday, December 11, 2008

Kuncinya, Kembalikan Kepercayaan


Berbeda dengan krisis 1997/1998 yang dipicu faktor domestik, seperti ketergantungan konglomerat yang luar biasa pada utang luar negeri, tingginya proporsi utang jangka pendek valas, dan buruknya corporate governance, ada anggapan krisis sekarang ini sepenuhnya bersumber dari faktor eksternal.

Namun, tak semua panelis setuju dengan pandangan ini. Krisis sekarang, menurut mereka, juga dipicu kerentanan di dalam negeri Indonesia sendiri. Dalam berbagai kesempatan, pemerintah berusaha meyakinkan bahwa kondisi fundamental ekonomi solid sehingga masyarakat dan investor tak perlu panik. Namun, persoalan yang dihadapi sekarang ini sebenarnya bukan fundamental ekonomi, tetapi kepercayaan.

”Ini krisis likuiditas dan kepercayaan, bukan fundamental. Isunya bukan lagi fundamental ekonomi. Problem di Indonesia adalah indecisiveness (ketidaktegasan) dalam proses pembuatan kebijakan,” ujar seorang panelis.

Ia mencontohkan apa yang terjadi di pasar modal, maju-mundurnya pemerintah dengan keputusan menghentikan suspensi perdagangan yang ditujukan untuk melindungi emiten tertentu (menyusul anjlok tajamnya harga saham perusahaan tersebut) sebagai salah satu pemicu hancurnya kepercayaan bursa.

Faktor ini, ditambah keputusan BI untuk tetap menaikkan atau mempertahankan suku bunga di tengah ancaman resesi global dan perlambatan ekonomi domestik, menjadi dua faktor yang ikut memicu memburuknya secara dramatis krisis, terutama indeks saham sejak awal Oktober. Langkah BI menaikkan suku bunga dan upaya pemerintah menekan defisit APBN di awal krisis dianggap nyeleneh dan melawan arus global. Dalam situasi krisis, mestinya yang ditempuh adalah kebijakan stimulus dan pelonggaran moneter.

Ia mengibaratkan perekonomian Indonesia sekarang ini seperti kapal besar yang terdampar di sungai kecil karena airnya mengering di tengah krisis likuiditas yang melanda sistem keuangan global sebagai sungai besarnya. Lambat atau cepat, kapal ini akan kolaps jika air (likuiditas) tak segera mengalir. Dalam kondisi itu, pemerintah sebagai nakhoda sibuk menyerukan semua pihak agar tak panik, tetapi sikap pemerintah sendiri justru mempertontonkan kepanikan. Salah satunya, memberlakukan auto rejection atau penghentian perdagangan jika harga saham mengalami penurunan hingga titik tertentu.

Di perbankan, ketidakpercayaan ditunjukkan antara lain berbondong-bondongnya nasabah yang memindahkan simpanan dananya ke bank-bank besar, khususnya bank BUMN. Migrasi ini terutama dipicu krisis kepercayaan ke sektor perbankan, terutama bank-bank kecil, terkait tak adanya jaminan penuh pemerintah bagi simpanan nasabah. Mereka juga melihat, kalau Indover, anak perusahaan BI, saja bisa ditutup, bagaimana dengan bank-bank swasta?

Migrasi dana nasabah ini kian memperburuk ketimpangan likuiditas di perbankan dengan bank- bank besar kebanjiran likuiditas. Bank Mandiri, seperti dilaporkan Jakarta Post, mengalami lonjakan dana pihak ketiga (DPK) lebih dari Rp 10 triliun dalam sebulan menjadi Rp 157 triliun. Sementara DPK BCA sudah melampaui Rp 200 triliun, Mandiri Rp 245,3 triliun, dan BRI Rp 173,39 triliun.

Di kalangan industri perbankan sendiri, krisis kepercayaan ditunjukkan sikap konservatif berlebihan yang membuat transaksi antarbank tidak berjalan sehingga memperparah krisis likuiditas, menghambat penurunan suku bunga kredit, dan fungsi intermediasi.

Karena persoalannya lebih krisis kepercayaan, yang harus dilakukan adalah memulihkan lebih dulu kepercayaan, termasuk di sini menghindari pernyataan konyol. Ancaman pemerintah untuk menindak tegas mereka yang berusaha mengambil keuntungan dari transaksi di pasar saham, menurut panelis, menunjukkan salah kaprah pemahaman mengenai prinsip cara kerja pasar modal. Demikian pula pernyataan seorang pejabat tinggi yang mengatakan wajar saja bagi pemerintah untuk menyelamatkan sebuah kelompok usaha besar dari ancaman kebangkrutan.

Menurut sejumlah panelis, prinsip penyelamatan karena dalih too big to fail seharusnya hanya berlaku bagi institusi perbankan karena sifatnya yang sistemik, dan bukan untuk perusahaan di pasar modal. Terlihat di sini ada kebingungan luar biasa mengenai peran pemerintah di pasar modal.

Selain tidak berfungsinya pasar modal dan tak ditegakkannya aturan, hancurnya pasar modal di Indonesia juga disebabkan merajalelanya apa yang disebut toxic assets dan toxic behaviour yang selama ini tak tersentuh otoritas pasar modal. Disebut toxic assets karena pergerakan nilai asetnya bukan hanya ditentukan oleh fundamental perusahaan, tetapi juga karena digoreng-goreng. Ini sangat destruktif karena mengakibatkan kerusakan masif yang sistemik terhadap kepercayaan pada institusi pasar modal.

Contoh toxic asset itu adalah Share Repo Agreement yang berpotensi menciptakan market overhang. Saat ini ada upaya mengubah produk tersebut menjadi instrumen utang jangka menengah dan panjang (medium term/long term debt). Produk tersebut tidak jarang ditawarkan kepada investor yang tidak paham dan tidak memiliki kesesuaian profil risiko.

Akibatnya banyak investor atau calon investor yang tergiur dan kejeblos. Ditambah minimnya edukasi, hal ini memunculkan rasa jera dan kesan bahwa pasar modal memang benar-benar arena judi. Karena itu, jangan heran kalau uang umat gereja dan masjid pun ikut-ikutan nyangkut di pasar modal. ”Selama ini tak diregulasi karena orang berpikir, ’Ah, ngapain fixed something that ain’t broke? ’Apalagi semua pihak menikmati pesta pora itu dan tak menginginkan gelembung itu meletus,” ujarnya.

Krisis global sekarang ini, seperti dikatakan seorang panelis, menyadarkan kita betapa rapuhnya tatanan yang ada sehingga muncul tuntutan untuk dilakukannya penataan ulang terhadap sistem finansial global dan interaksi hubungan ekonomi antarbangsa. Ironisnya, masih kata si panelis, perekonomian kita justru mengarah ke pola AS yang rapuh itu.

sri hartati samhadi
KOMPAS, 11 Desember 2008