Friday, November 2, 2012

Melintasi Cakrawala Sejarah


Bulan Oktober baru saja lewat. Pada sampul biografi pengusaha Julius Tahija (1916-2002) tertera kutipan pernyataannya, ‘Di Indonesia ini, selama mayoritas bangsa kita masih hidup pas-pasan, maka kita yang menduduki posisi ekonomi menonjol patut hidup serba sederhana tanpa suka memamerkan kelebihan pribadi’. Edisi kedua biografi pejuang kemerdekaan berjudul Melintas Cakrawala itu terbit Oktober tahun lalu.

Seruan moral tersebut meluncur tepat pada Oktober, bulan yang diwarnai catatan-catatan sejarah politik dan sosial penting bagi bangsa ini. Oktober diawali dengan Hari Kesaktian Pancasila pada tanggal 1, yang memperingati ketetapan bahwa Pancasila menjadi dasar NKRI. Paragraf ke-4 Pembukaan UUD 1945 mencantumkan lima sendi utama: Sila Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Namun kita akhir-akhir ini abai mengamalkannya.


Tanggal penting berikutnya ialah peringatan hari berdirinya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober. TKR bermula dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang bukan tentara resmi. Tetapi TKR organisasi tentara resmi yang diperlukan oleh sebuah negara merdeka. Setelah digabungi barisan-barisan bersenjata lain yang ada waktu itu, TKR menjadi TNI. Melalui Dekrit Presiden, tanggal 5 Oktober 1945 diperingati sebagai hari kelahiran TNI.

Di bidang politik praktis, Oktober juga mencatat terbentuknya Sekretariat Bersama Golongan Karya yang didirikan golongan militer pada 20 Oktober 1964 untuk menghadapi yang dianggap peningkatan rongrongan PKI. Sekber Golkar menghimpun puluhan organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan. Sesuai ketentuan dan ketetapan MPRS mengenai perlunya penataan kembali kehidupan politik Indonesia, pada 17 Juli 1971 Sekber Golkar mengubah diri menjadi Golkar; kemudian menjadi Partai Golkar setelah reformasi.

Bulan Oktober memang menghembuskan elan perjuangan. Jauh sebelum perjuangan fisik berangsur mewujud menjadi perjuangan kemerdekaan yang gegap gempita, Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 menengarai lahirnya bangsa Indonesia setelah proses perjuangan ideologi yang berlangsung lama melawan penindasan penjajah selama ratusan tahun.


Lintasan Sejarah bagi Orang Muda
Sebagian dari lintasan sejarah yang terpapar tadi mungkin menimbulkan nostalgia pada yang pernah mengalaminya atau ikut berjuang di dalamnya. Tontonan televisi yang informatif dan edukatif tentang masa-masa penderitaan maupun kejayaan masa lalu bisa membangkitkan rasa bangga. Ada yang bertanya, mengapa ada di antara generasi muda masa kini yang terkesan tidak peduli pada sejarah perjuangan masa lalu sekalipun menikmati hasil-hasil pembangunan generasi sebelumnya. Bagaimana kadar rasa kebangsaan mereka?

Dakwa-mendakwa biasa terjadi antargenerasi. Pernah seorang dari angkatan ‘66 menjadi berang ketika disebut hidup di menara gading oleh angkatan sebelumnya. Dia menjawab, generasi muda memiliki masa depan lebih panjang daripada generasi sebelumnya. Itu sebabnya dia lebih berorientasi ke masa depan daripada selalu menengok ke belakang.

Barangkali memang tidak adil mengharapkan pemuda sekarang memiliki alam pikiran seperti alam pikiran pemuda di awal bangkitnya kesadaran nasional. Juga tidak adil bila memastikan bahwa rasa kebangsaannya kalah tebal. Angkatan ‘28, ‘45, ‘55, ‘66, dan angkatan sekarang memiliki gaya hidup berbeda-beda. Tetapi kalau soal rasa kebangsaan, belum tentu yang satu kalah dari lainnya. Bukan tidak mungkin anak-anak sekarang mencemaskan bagaimana membangun kehidupan dan penghidupan masa depan, dan bagaimana memberi respons terhadap tantangan zaman. Tiap generasi adalah produk dari zamannya.


Rakyat Besar, Rakyat Kecil
Sejarah untuk dikenang, sejarah untuk pelajaran. Apa yang bisa dipelajari oleh generasi masa depan tentang kehidupan sekarang? Tahun-tahun terakhir menyaksikan terbukanya kotak pandora berkat kebijakan pemerintahan SBY. Terbongkarlah cela rohaniah sebagian rakyat besar. Berbeda dengan rakyat kecil, rakyat besar menikmati hidup karena dimanjakan oleh kekayaan, kekuasaan, dan prestise yang kait-mengait.

Menurut Society Today (Richard L Roe, editor, 1971), kekuasaan bisa berarti kemampuan mempertahankan sesuatu sekalipun ada tentangan. Dengan demikian, kekuasaan juga berarti ‘kemampuan’. Sumbernya ada empat: posisi institusional, harta kekayaan, kekuatan fisik, dan kharisma.

Mereka yang memiliki kekuasaan umumnya banyak mengambil keputusan dalam kehidupan masyarakat. Mereka juga kita kenal sebagai kaum elite –dari kalangan pemerintahan, cerdik pandai, bisnis, penegak hukum, gerakan politik, bahkan kalangan agama yang memiliki kharisma, yang mampu memengaruhi lain-lainnya.


Tentu hanya oknum-oknum bermoral rendah yang mengalami cela rohaniah. Selama mereka memegang kekuasaan, mereka cenderung bersikap arogan; suatu gejala yang mengganggu dan menekan perasaan masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan, khususnya rakyat kecil.

William Fulbright, penulis The Arrogance of Power, menyatakan, “Bila mau berbenah diri, bahaya-bahaya arogansi kekuasaan pasti bisa disingkirkan. Tentunya itu berarti bersedia mengorbankan sebagian perasaan yang menganggap diri hebat. Namun pengorbanan itu akan memadai demi akibat-akibat positif yang bisa dihasilkan.

Dalam kaitan itu, patut disebut kemenangan Jokowi yang dianggap kemenangan aspirasi rakyat kecil. Gejala ini sejalan dengan keinginan rakyat banyak untuk membuat perubahan atas kehidupan yang dirasakan kehilangan keteladanan. Gerakan perubahan menjadi tuntutan demi terciptanya kehidupan yang lebih baik.

Toeti Prahas Adhitama
Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 2 November 2012

No comments: