Showing posts with label Golkar. Show all posts
Showing posts with label Golkar. Show all posts

Friday, October 13, 2017

The Power of Setya Novanto


Harus diakui, Setya Novanto memiliki kemampuan lobi diatas rata-rata. Sebagai pengusaha muda ia sempat melejit. Ia pun sukses berkiprah di panggung politik. Benarkah ia hebat?

Bulan Agustus tahun 1999, barangkali bulan yang paling gegap-gempita dalam catatan hidup Setya Novanto. Hari-hari belakangan ini, pengusaha muda yang selalu tampil necis dengan semerbak parfum ini bak seorang selebriti yang memancarkan aura popularitas. Ia diburu puluhan wartawan dalam negeri dan luar negeri. Kilatan lampu blitz dan sorotan kamera televisi kerap mengiringi ayunan langkahnya.

Bahkan, ketika berakhir pekan dengan putranya di bioskop pun ia tak lepas dari kuntitan wartawan. Para nyamuk pers ini setia menongkrongi kediamannya di Pondok Indah, Jakarta Selatan. “Saya capai, betul-betul capai,” ungkap Nova ––begitu ia akrab disapa–– sembari mengusap muka dengan kedua tangannya.

Belakangan ini, hampir semua media cetak dan TV memuat wawancara dan sepak terjangnya. Jangan salah, bukan popularitas yang didapat. Hujatan dan kecurigaan mengarah ke ayah sepasang putra-putri ini. “Bagi saya pribadi tak soal, saya sudah tahan banting,” ujarnya kalem. Ia mengaku tak bisa menikmati publikasi media akhir-akhir ini. Maklum, yang diberitakan bukan lagi prestasinya sebagai pengusaha. “Saya sedih karena dampak pemberitaan itu juga dirasakan keluarga saya,” tuturnya dengan wajah muram.


Suami Luciana Lily Herliyanti ini memang wajar menyimpan kegundahan. Akibat liputan pers akhir-akhir ini, orang tuanya jatuh sakit. “Kedua anak saya pun pulang sekolah menangis dan mengadu pada ibunya, apa dosa Bapak? Bapak ditangkap, ya? Bapak salah enggak sih?” ceritanya.

Masih dengan nada sedih, Nova mengungkapkan keprihatinannya kepada guru putrinya di sekolah bergengsi yang khusus untuk orang-orang berduit, Sekolah Global Jaya. “Kamu tanya bapakmu siapa,” ungkapnya. Ia mengaku akan protes keras kepada guru tersebut. Namun, setelah dijelaskan, buah hatinya, Rezha Herwindo (11 tahun) dan Dwina Michaela (9 tahun), bisa mengerti. “Yang jelas, saya tidak mungkin melakukan kesalahan dalam hal ini,” tandas menantu mantan Wakil Kapolda Jawa Barat, Brigjen Sudharsono ini.

Siang itu Nova yang mengenakan setelan celana dan jas dark blue terlihat muram dan kuyu. Gurat-gurat kelelahan tak bisa ia sembunyikan, meski ia berusaha rileks dan banyak mengumbar senyum. “Saya ngantuk sekali, saya mau cuci muka dulu, ya,” pintanya kepada SWA yang siang itu, Kamis 5 Agustus lalu (th 1999), menemuinya di ruang kerjanya yang cukup lapang dan tertata apik di Plaza Bank Mandiri, lantai 26.

Sembari berbincang-bincang, ia yang ditemani beberapa stafnya tak bisa duduk tenang. Ia kerap mondar-mandir antara meja tamu dan meja kerjanya. Bahkan, beberapa kali ia minta izin keluar ruangan. Entah apa yang dikerjakan. Ia pun beberapa kali menerima telepon masuk. “Gila, kasus ini benar-benar menguras energi saya. Dalam seminggu ini berat badan saya turun dua kilogram,” ungkapnya terus terang.


Kasus transaksi pembelian hak piutang Bank Bali (BB) ke Bank Dagang Nasional Indonesia oleh PT Era Giat Prima (EGP) yang mencuat awal bulan ini telah melambungkan nama Nova. Maklum, Chairman kerajaan bisnis Grup Nova ––menaungi sekitar 11 perusahaan–– dan wakil bendahara Partai Golkar ini adalah orang nomor satu di EGP. Seiring dengan bergulirnya kasus pembobolan Rp 905 miliar yang menghebohkan itu, nama “harum” pengusaha bershio kuda ini pun dipertaruhkan. Pasalnya, kasus BB bukan semata transaksi bisnis. Ditengarai, dana miliaran rupiah yang masuk kocek pribadi dan EGP digunakan untuk kepentingan partai berlambang beringin demi mengegolkan B.J. Habibie ke kursi presiden yang kedua kali. Tak urung, isu money politic pun semakin keras menghantam partai yang di zaman reformasi ini kabarnya menawarkan paradigma baru.

Selama ini, Nova yang 12 November mendatang (th 1999) berusia 44 tahun memang memiliki dua “wajah”. Sebagai pengusaha, ia dikenal binaan konglomerat Sudwikatmono. Ia dipercaya Pak Dwi ––begitulah ia menyapa sang suhu–– menjadi tangan kanannya untuk menggerakkan roda bisnis Grup Global Putera Nasional, pemilik 15 anak perusahaan.

Menurut Dwi, ia dua kali bertemu dengan Nova. Yang pertama, beberapa hari setelah kasus BB mencuat ke permukaan, dan yang kedua, pada Senin, 2 Agustus lalu (th 1999). Dwi menuturkan, Nova datang bersama seorang temannya bernama Nursalim. “Kami ketawa-ketawa saja, yang dibicarakan hanya urusan bisnis,” ungkapnya. Sayangnya, ia tidak merinci bisnis apa yang dibicarakan itu. Memang, Dwi menanyakan kasus BB, dan menurut pengakuan Nova, apa yang ia lakukan hanya bisnis biasa. Dwi menambahkan, “Saya rasa dia tidak bohong, orangnya jujur, dan sampai sekarang dia tidak pernah membohongi saya.


Terlepas dari kasus itu, Dwi bangga karena kini Nova sudah berhasil sebagai pengusaha. “Saya senang, dia maju. Tapi, saya tidak tahu-menahu dan tidak mengikuti kasus itu,” jelasnya. Saat ini, tambahnya, ia tidak membimbing Nova lagi. Ia hanya menasihatinya, agar berhati-hati dalam menjalankan bisnis debt collection, sebab “Bisnis itu banyak risikonya.

Juga, agar Nova tidak mencampuradukkan bisnis dengan politik. Berdasarkan pengalaman Dwi, Nova dan Joko Soegiarto Tjandra, bos Grup Mulia, memang punya kemampuan lobi di atas rata-rata. “Mereka hebat kalau meyakinkan orang. Menurut saya, mereka jago lobi, dua-duanya hebat,” jelasnya. Namun, dalam pengamatan Dwi, dibandingkan Nova, Joko lebih matang.

Sebagai pengusaha, pamor Nova cepat melejit. Sederet perusahaan pun berhasil dibangunnya, mulai dari jasa, resort, padang golf, real estate, hotel, kafe, kawasan industri, granit, sampai pertambangan. Bahkan, ia juga sukses menggandeng ––tepatnya digandeng–– sejumlah pengusaha besar.

Putri sulung mantan Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut juga mempercayakan kemudi PT Citra Permatasakti Persada di tangannya. Perusahaan yang mengelola surat izin mengemudi swasta di Polri ini ditengarai meraup untung gede.


Nama mantan Pria Tampan se-Surabaya tahun 1975 ini memang mulai mencorong setelah ia diangkat menjadi anak binaan Sudwikatmono. Sebelumnya, meski telah malang melintang di dunia bisnis, ia boleh dibilang bukan siapa-siapa. Menerjuni rimba bisnis ketika masih belia ––setamat SMA IX Jakarta–– putra ketiga dari 6 bersaudara ini berjualan beras dan madu bersama seorang temannya. “Untuk mengisi waktu karena saya terlambat ikut ujian masuk ke Universitas Airlangga, Surabaya,” ceritanya pada SWA beberapa waktu lalu.

Dengan modal Rp 82.500, ketika itu ia mengaku bisa kulakan tiga kuintal beras. Ketekunannya berusaha membuat ia bisa berjualan beras sampai dua truk yang langsung diambil dari pusatnya di Lamongan. Saat itu ia juga punya kios di pasar Keputren, Surabaya. Sayang, usaha tersebut tak bertahan lama. Predikat juragan beras pun terpaksa ditanggalkannya karena mitra usahanya mulai tidak jujur. Toh, pehobi tenis meja ini tak lantas patah arang. Bersama putra Direktur Bank BRI Surabaya, Hartawan, Nova mengibarkan bendera CV Mandar Teguh. Seiring dengan itu, ia pun ditawari bekerja oleh bos PT Sinar Mas Galaxi –dealer Suzuki untuk Indonesia Bagian Timur– sebagai salesman. Kesempatan itu tak disia-siakannya. Ia pun memilih membubarkan CV yang baru seumur jagung. Keputusan tersebut tak dinyana malah mengantarkannya ke tangga sukses. Dalam waktu relatif singkat, berkat kepiawaiannya menjual, Nova yang waktu itu berusia 22 tahun dan tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Akuntansi Universitas Widya Mandala Surabaya dipercaya menjadi Kepala Penjualan Mobil untuk wilayah Indonesia Bagian Timur.

Toh, kesuksesan itu tak menyurutkan cita-citanya menjadi pengusaha. “Itu cita-cita saya sejak kecil,” ungkapnya. Dengan jujur dan berani sebagai pijakan bisnisnya, ia pun melanglang belantara bisnis. Dengan niat melanjutkan kuliahnya dan meluaskan cakrawala bisnisnya, ia hijrah ke Jakarta. Di sela-sela kegiatannya sebagai mahasiswa Jurusan Akuntansi Universitas Trisakti, Jakarta, ia tetap menjalankan kiprahnya sebagai pengusaha. Dibantu istri tercinta, ia mengembangkan pompa bensin milik mertuanya di Cikoto, Tangerang.


Bisnisnya terus merambah. Bersama beberapa rekannya ia mendirikan PT Obor Swastika yang mengusahakan peternakan. Lewat usaha inilah putra perwira AURI ini mengenal jasa bank. Ia mendapat suntikan dana sebesar Rp 200 juta dari Bank Dagang Negara. Langkahnya pun makin maju seiring intuisi bisnisnya yang makin tajam. Kemashyuran nama mertua pun secara tak langsung membantu bisnisnya. Pabrik tekstil Naintex di Bandung mempercayakan pengadaan bahan baku tekstil maklon kepadanya. Tak sampai di situ, ia pun berhasil menembus pabrik kertas PN Padalarang dan PN Sandang dengan memasok pulp bahan baku kertas. “Saat itu saya mulai berkenalan dengan mitra dagang dari mancanegara,” ceritanya.

Rupanya Dewi Fortuna terus mendampinginya. Masih di tahun 1980-an, ia berhasil mendapatkan tender pembangunan kawasan industri kayu Marunda, Jakarta Utara. Ia mengaku tak gampang memenangkan tender senilai Rp 1,6 miliar tersebut. Menurut pengakuannya, ia mesti menongkrongi kantor Wali Kota Jakarta Utara sejak pagi hari. Soalnya, ia empat kali gagal menemui Pak Wali Kota. Berkat kegigihan dan tangan dinginnya, bisnisnya terus melaju kencang. Ia pun tak berhenti hanya sebatas jadi kontraktor. Ia melangkah pula ke bidang transportasi dan industri lewat PT Duta Kencana Bakti dan PT Citra Wahana.

Perjalanan membangun bisnisnya memang tak selalu mulus. Ia juga kerap mendapat kendala. Toh, ambisinya menjadi pengusaha besar tak goyah. “Saya malah semakin tertantang,” katanya kalem. Pengalaman dianggapnya merupakan pelajaran yang paling berharga. Dari pengalaman ia menilai, kekuatan lobi menjadi bagian dari kunci sukses usaha. Karenanya, ia mulai menebar jaring dengan menjalin persahabatan kepada para pejabat tinggi dan pengusaha besar. Ia mendekati orang-orang yang dekat dengan mereka, seperti ajudan, sekretaris pribadi, sampai bawahan si pejabat.


Sifat pantang menyerah sepertinya melekat dalam jiwa Nova. Keteguhan dan kegigihannya makin teruji ketika ia berniat mendekati Sudwikatmono. Usai menyelesaikan proyek Nagoya Plaza Hotel di Batam yang menelan investasi Rp 8,5 miliar (th 1986) bersama tiga pengusaha Indonesia, ia melihat kawasan Pulau Batam potensial dikembangkan menjadi daerah wisata. Untuk mewujudkan impiannya, ia melirik sang taipan itu. Soalnya, tanah yang diincarnya di Pantai Nongsa, Batam, adalah milik Dwi, Ciputra dan Liem Sioe Liong. “Saya baru bisa bicara dengan Pak Dwi setelah berhari-hari mencegatnya di lapangan parkir,” ceritanya. Malahan, sebelum ketemu Dwi, ia mengaku telah mengumpulkan sejumlah bekal menyangkut biodata Dwi dan jurus-jurus jitu meyakinkannya.

Kesabaran dan ketahanan mental yang luar biasa memang. Akhirnya, kegigihannya membuahkan hasil. Ia tak cuma bisa mewujudkan impiannya membangun Talvas Resort Island Batam –padang golf bertaraf internasional seluas 2x18 hole di atas tanah seluas 400 hektare yang menelan investasi US$ 100 juta. Ia pun mampu meyakinkan Dwi bahwa ia patut menjadi anak didiknya. “Karena krisis, proyek pembangunan resort dan hotelnya agak tertunda,” jelasnya. Kerjasamanya dengan Dwi lewat PT Pan Island Development tersebut –patungan pengusaha Indonesia (40%, yang 30% dimilikinya bersama Dwi dan Komatsubara Kensha Jigyodan Co, Jepang (60%)– semakin melekatkan pertalian antara keduanya.

Sang guru rupanya semakin kepincut dengan semangat tinggi si murid. Proyek-proyek prestisius lainnya pun mulai mereka garap, seperti bidang telekomunikasi (PT Putri Selaka Kencana), proyek real estate dan kawasan industri di Batam yang menggandeng mitra dari Taiwan, Ericaro Industrial Development, industri water pump dan paper cup juga di Batam, dan pembangunan hotel dan kota satelit di Palembang. “Sampai saat ini saya masih bermitra dengan Pak Dwi,” ujarnya menampik tudingan “anak durhaka”, yang dialamatkan kepadanya. Di matanya, Dwi tetap gurunya. “Saya hormat dan bangga padanya. Beliau yang mendidik saya. Segala usaha saya tak lepas dari peran beliau,” tuturnya.

Setya Novanto dibalut selendang batik, hasil karya seniman Photoshop, Agan Harahap.

Angin reformasi yang merubuhkan kekuasaan Soeharto pada Mei 1998 yang berdampak pada perubahan politik dinilainya juga mempengaruhi iklim bisnis di Indonesia. “Kalau dulu kami masih bisa berbisnis dengan para senior, seperti Pak Eka Wijaya, Pak Dwi, Pak Prajogo, kenyataannya mereka sekarang pada ambruk semua,” ungkapnya lirih. Karenanya, ia melihat perubahan besar terjadi pada peta bisnis di Indonesia. “Sekarang beralih ke generasi muda yang berarti ada perubahan pemikiran,” tuturnya sembari mencomot kudapan yang tersedia di atas meja tamu.

Ia menjelaskan, bisnis-bisnisnya pun tak luput dari hantaman krisis ekonomi. “Ya, efisiensi di sana-sini,” katanya. Ia mengaku beberapa proyeknya memang ditunda, seperti proyek real estate di Batam dan sejumlah proyek lainnya. Sayangnya, ia menampik merincinya. “Ya, adalah beberapa,” tambahnya. Sementara core business Grup Nova dikatakannya masih tetap di bidang industri, investment company (EGP), pariwisata, properti dan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, di antaranya ke Arab Saudi. “Yang menjadi andalan bisnis ekspor damar kucing (bahan untuk cat) ke New York,” jelasnya.

Selain dikenal sebagai pengusaha, peraih ASEAN Entrepreneur Award 1993 ini juga dikenal luas sebagai politisi dan aktif di organisasi keolahragaan.

Memang, kedekatannya dengan Dwi membuat jalan baginya semakin mulus. Ia dengan mudah bisa melobi kalangan pejabat tinggi dan pengusaha besar lainnya. Berkat Dwi pula, ia bisa dipercaya menduduki kursi Bendahara Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat. Ia pun pernah tercatat sebagai Pembina Golf Putra-Putri ABRI dan Pembina Olahraga Generasi Muda Kosgoro (1995). Sederet jabatan lainnya pun pernah mampir di pundaknya, sebut saja Bendahara Lemkari (1997), Bendahara Proyek Sea Games XVIII/1995, Bendahara Proyek Olympic Games XXVI/1996 dan Wakil Bendahara PON XIV/1996.


Di panggung politik, kiprahnya dimulai sebagai kader Kosgoro (1974). Lewat organisasi massa inilah ia menjalin persahabatan dengan mantan Menpora Hayono Isman yang telah dikenalnya ketika sama-sama menjadi siswa SMA IX, Jakarta. Dalam satu kesempatan ia mengaku merasa memperoleh binaan dari tiga orang. “Sudwikatmono adalah pembina usaha saya, Hayono Isman membina saya dalam politik, dan Wismoyo Arismunandar (jenderal purnawirawan, kini Ketua KONI, Red.) membina wawasan pengabdian pada bangsa dan negara,” tuturnya bangga. Toh, Hayono menilai lain. “Dia baru belajar politik,” ujarnya.

Belakangan kedekatan mantan Ketua Umum Badan Musyawarah Pengusaha Swasta Kosgoro dan anggota Pimpinan Pusat Kolektif Kosgoro ini dengan putra pendiri Kosgoro itu retak. Pasalnya, ia menuduh Hayono berada di balik kebijakan supaya Kosgoro memisahkan diri dari Golkar. Hayono yang kemudian keluar dari rimbunan Pohon Beringin akhirnya bergabung dengan Partai Keadilan dan Persatuan yang dimotori mantan Pangab dan Menhankam Edi Sudrajat. Sementara Nova memilih mengundurkan diri dari Kosgoro dan tetap “berlindung” di kerindangan partai tersebut sampai akhirnya pada Munaslub Partai Golkar, Juli tahun lalu, ia terpilih sebagai Wakil Bendahara dan Ketua Korwil IV. Kini, ia juga tercatat sebagai calon legislatif jadi dari daerah Timor-Timur yang dalam waktu dekat akan melakukan jajak pendapat untuk menentukan nasibnya sendiri.

Politik ini pendidikan kader sebenarnya yang akan mengasah kita untuk bisa memberikan pertimbangan-pertimbangan yang jernih kepada perjuangan rakyat Indonesia,” jelasnya. Ia menambahkan, dengan terjun ke gelanggang poltik ia menjumpai pengalaman yang luas. Toh, ia menampik punya ambisi.

Dengan begini saja, sudah cukup,” ujarnya sembari tertawa. Menurutnya, ada bagusnya pengusaha terjun sebagai politisi. “Bisa memberikan nuansa yang bijaksana dalam pengambilan keputusan,” tandasnya. Ketika ditanya apakah politik ia pakai sebagai kendaraan untuk meraih sukses, Nova tertawa. “Wah, kalimat yang bagus. Apa tadi, jangan menggunakan politik sebagai kendaraan untuk menuju sukses. Kalimat bagus, tolong dicatat, nanti saya pasang gede-gede,” pintanya kepada salah seorang stafnya yang serta-merta mencatat kalimat tersebut pada secarik kertas.

Sumber:
Harmanto Edy Djatmiko 
Reportase: Firdanianty, Sudarmadi dan Albert Weldison.
Riset: Tantri Riyanthi.
Sajian Khusus Majalah SWA (Setya Novanto),
Majalah SWA Edisi 16 Tahun 1999

Monday, April 21, 2014

Skenario Pencapresan

Jokowi, Prabowo dan Ical.

Ketika pemilihan legislatif sudah terselenggara pada 9 April 2014, tiga pemenang yang muncul dengan suara terbanyak versi perhitungan cepat berbagai lembaga survei sudah resmi mengajukan calon presiden untuk pemilihan bulan Juli 2014. Terakhir diumumkan calon PDIP, Joko Widodo, populer dipanggil Jokowi, yang baru setahun lebih menjabat gubernur DKI-Jakarta itu, tetapi langsung mencuat elektabilitasnya sebagai calon presiden hasil jajak pendapat berkat gebrakan-gebrakan dan gaya komunikasi serta kepemimpinannya yang membuatnya populer itu.

Sebelumnya, Golkar telah menetapkan Aburizal Bakrie (ARB) sebagai calon tunggal. Namun, yang pertama mengajukan calon presiden adalah Partai Gerindra, yang menampilkan Prabowo Subianto yang juga cepat populer dan menimbulkan optimisme tinggi. Akan tetapi, berbagai lembaga survei juga telah menampilkan beberapa calon dari berbagai partai yang memiliki tingkat elektabilitas yang berbeda. Yang tinggi diproyeksikan sebagai presiden, sedangkan yang sedang dan rendah sebagai wakil presiden.

Dalam basa-basi politik, pencalonan tidak hanya didasarkan pada ketokohan atau popularitasnya, tetapi juga pada platform politik dan ideologi yang menjadi basis partai dari mana calon berasal. Mengantisipasi penyederhanaan struktur dan sistem kepartaian, di antara 12 partai kontestan pemilu dapat dibagi menjadi tiga atau empat golongan atau kekuatan politik.

Golongan Kebangsaan, Golongan Islam, dan Golongan Kerakyatan.

Pertama, adalah golongan kebangsaan yang didukung oleh parta-partai, di antaranya Golkar, Hanura, dan PKP, dengan perolehan suara 20,9 persen. Kedua, golongan Islam, yang terdiri dari PKB, PAN, PKS, PPP, dan PBB dengan 31,4 persen suara. Ketiga, golongan kerakyatan dengan basis PDIP, Gerindra, dan Nasdem dengan elektabilitas 37,7 persen.

Namun, golongan-golongan yang berbasis ideologi dan platform politik itu sulit dibentuk dalam menghadapi pemilu, pertama-tama karena setiap partai dengan kesamaan ideologi, misalnya PDIP dan Gerindra, telah menetapkan calon presidennya sendiri-sendiri. Sungguhpun begitu jika PDIP memenangi pemilu presidensial, partai kerakyatan itu bisa mengajak Gerindra dan Nasdem ikut dalam pemerintahan dan mendukung kabinet dari DPR.

Ketika ditanya mengenai koalisi, Jokowi menolak berbicara mengenai koalisi yang berkonotasi transaksional, yaitu sekedar bagi-bagi kursi. Namun dalam realitas, dari partai manapun, termasuk pemenang pileg, tetap akan melakukan koalisi, terutama untuk mengajak pasangan presiden-wakil presiden dengan berbagai pertimbangan. Misalnya untuk mencapai ambang batas pencalonan atas dasar perolehan suara (popular vote) dan perolehan kursi (elektoral vote), memperoleh pasangan yang saling mengisi atau memilih pasangan yang bisa bekerja sama, juga untuk dukungan dana, tapi ujung-ujungnya mendukung elektabilitas. Namun, demi elegansi, koalisi akan dilakukan atas dasar kesamaan platform politik atau ideologi walaupun sebenarnya bukan merupakan pertimbangan utama.

Akan tetapi, atas dasar elegansi itu, Shalahuddin Wahid, pemimpin Pesantren Tebuireng, yang juga tokoh NU itu mengusulkan tokoh Mahfud MD untuk menjadi pasangan Jokowi yang juga didasarkan pada kedekatan politik kebangsaan antara NU dan kelompok nasionalis. Namun, Surya Paloh mengusulkan Jusuf Kalla untuk pasangan Jokowi atas dasar pertimbangan lain, yaitu memperkuat kepemimpinan Jokowi dengan pengalaman merealisasikan kebijakan dan program.

Hatta Rajasa, Mahfud MD, dan Jusuf Kalla.

Prabowo Subianto konon juga melirik JK, tapi JK sendiri punya banyak pilihan. Sebelumnya, Prabowo konon melirik Hatta Rajasa karena perimbangan “kuat gizinya”. Diharapkan, melalui Hatta Rajasa, Gerindra bisa menghimpun partai-partai Islam lainnya yang sedang memikirkan nasibnya karena perolehan suara di bawah 10 persen itu, kecuali dari PKB jika mengajukan Mahfud MD untuk pasangan Jokowi. Akan tetapi, PKB bisa diterima jika dipasangkan dengan JK walaupun kemungkinan tidak memperoleh dukungan PAN.

Golkar agak sulit memperoleh pasangan karena calonnya, ARB, tersandera dengan kasus Lapindo sehingga elektabilitasnya ical (hilang) dalam survei. Namun, karena kampanye ARB yang simpatik terhadap Islam, peluangnya akan muncul jika partai-partai Islam bisa bersatu untuk mencalonkan tokoh yang komplementer, yaitu Mahfud MD. Jika tidak, peluang satu-satunya adalah berkoalisi dengan Partai Demokrat (PD), apabila PD bersatu untuk mencalonkan Jenderal Pramono Edhie Wibowo, adik ipar SBY.

Dengan skenario semacam itu, persatuan partai-partai Islam, dengan indikator mampu memiliki suara yang sama dalam pencalonan presiden-wakil presiden, diperkirakan sulit terjadi. Hambatan utamanya adalah karena para pemimpin partai yang punya orientasi sendiri-sendiri. Di antara yang tampak adalah bahwa PKB ingin mencalonkan Mahfud MD atau JK berpasangan dengan Jokowi, tapi Hatta Rajasa masih ingin berkuasa melalui Prabowo yang memiliki postur yang lebih kuat untuk menjadi presiden itu. Kedua tokoh itu sama-sama memiliki peluang untuk mendapatkan dukungan dari partai-partai Islam yang bisa menyebabkan partai-partai Islam sulit kompak untuk bersatu.

Hidayat Nurwahid dan Khafifah Indar Parawansa.

Namun, jika ada negosiator yang berwibawa, misalnya para ulama terkemuka yang mendorong partai Islam untuk bersatu dan menjadi kekuatan politik yang menentukan, karena suaranya mencapai 31,4 persen itu, partai Islam bersatu akan bisa mengajukan calon presiden-wakil presiden sendiri dari kalangan mereka sendiri. Meski begitu, partai-partai Islam itu belum menemukan tokoh yang bisa mempersatukan mereka. Dan, peluang tertinggi ada pada JK.

Kemungkinan pasangan JK ada dua. Pertama, Mahfud MD. Namun, dua tokoh itu dicalonkan oleh PKB sendiri sehingga perlu dipilih tokoh dari luar PKB. Kedua, tokoh yang pantas adalah dari kalangan lelaki, Hidayat Nurwahid dari PKS, dan dari perempuan, Khafifah Indar Parawansa.

Fachry Ali mengusulkan agar dilakukan suatu konvensi untuk bisa menentukan pilihan calon presiden-wakil presiden. Gagasan ini perlu diikuti karena pilihan calon tidak bisa dilakukan melalui tawar-menawar transaksional. Dengan konvensi itu, pilihan akan dilakukan dari bawah secara bebas-rahasia, jujur, dan adil yang bisa mengawali tradisi demokrasi yang sehat.

M Dawam Rahardjo,
Ketua Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF)
REPUBLIKA, 15 April 2014

Friday, April 18, 2014

Susun Strategi untuk Pemilihan Presiden


Pemilihan umum legislatif telah berlangsung secara serentak, Rabu (9/4) lalu. Komisi Pemilihan Umum akan menghitung perolehan suara setiap partai politik peserta pemilu, dan diharapkan hasilnya akan diumumkan pada tanggal 5 atau 6 Mei mendatang.

Namun, dari hasil hitung cepat Kompas, disebutkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berada di urutan teratas dengan raihan suara 19,24 persen, diikuti Golkar di urutan kedua dengan 15,01 persen, Gerindra di urutan ketiga (11,77 persen), Demokrat di urutan keempat (9,43 persen), dan PKB di urutan kelima (9,12 persen).

Walaupun PDI-P berada di urutan teratas, raihan suaranya tidak sebesar yang diperkirakan dalam survei Kompas pada bulan Januari lalu. Menurut hasil survei Kompas itu, PDI-P akan meraih suara 21,8 persen. Survei itu dilakukan sebelum Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, diumumkan PDI-P sebagai calon presiden. Sama seperti PDI-P, survei Kompas menempatkan Golkar di tempat kedua dengan raihan suara 16,5 persen. Adapun Gerindra berada di urutan ketiga dengan 11,5 persen suara. Khusus Gerindra, angkanya hampir sama dengan hasil hitung cepat Kompas, hanya terpaut sekitar 0,2 persen.

Adapun Demokrat berada di urutan keempat dengan raihan suara 6,9 persen. Angka ini 2,53 persen lebih rendah dari capaian Demokrat dalam hitung cepat Kompas. Kejutan terjadi di urutan kelima. Survei Kompas menempatkan Nasdem di urutan kelima dengan 6,9 persen. Kenyataannya, Nasdem memang memperoleh 6,71 persen. Namun, dengan angka itu, Nasdem berada di urutan kedelapan. Dan, urutan kelima ditempati oleh PKB dengan perolehan 9,12 persen.

Kelihatannya dalam hari-hari mendatang, persoalan tentang siapa akan berkoalisi dengan siapa akan ramai diperdebatkan. Mengingat tidak ada satu pun partai politik yang meraih suara di atas 25 persen, yaitu angka yang diperlukan untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Joko Widodo alias Jokowi, capres dari PDI-P.

Berpengaruh atau tidak
Melihat hasil yang diperoleh PDI-P dalam hitung cepat Kompas, banyak yang mempertanyakan, apakah ada pengaruh dari dicalonkannya Jokowi sebelum pemilu legislatif dilaksanakan? Sangat sulit menjawab pertanyaan itu. Ini karena pihak yang mengatakan ada pengaruhnya bisa saja mengatakan, tanpa Jokowi perolehan PDI-P akan lebih rendah lagi. Hal itu mengingat, dalam Pemilu Legislatif 2009, perolehan suara PDI-P hanya 14,03 persen.

Sementara pihak yang mengatakan tidak ada pengaruhnya dapat beralasan, sesungguhnya pada 2009, perolehan PDI-P sekitar 19,22 persen. Kecurangan dalam Pemilu 2009-lah yang membuat perolehan suara PDI-P hanya 14,03 persen.

Perdebatan kedua pihak bisa panjang dan menghabiskan energi, dan tetap tidak akan dapat ditemukan jawabannya. Apakah dicalonkannya Jokowi sebelum pemilu legislatif dilaksanakan, ada pengaruhnya atau tidak? Daripada menghabiskan energi yang tidak perlu, lebih baik PDI-P berpikir keras akan berkoalisi dengan siapa. Dan, segera menyusun strategi untuk menghadapi pemilihan presiden (pilpres) pada 9 Juli mendatang. Demikian pula dengan partai-partai lain, khususnya tiga parpol yang berada di urutan teratas.

Prabowo Subianto, capres yang diusung Gerindra.

Perhitungkan matang-matang
Ketiga partai yang berada di urutan teratas perlu melihat kembali ke Pilpres 2004, ketika itu presiden terpilih justru datang dari Partai Demokrat yang berada di urutan kelima dengan hanya meraih suara 7,45 persen. Pilpres 2004 memperlihatkan tidak adanya keterkaitan antara partai yang memperoleh suara mayoritas dan calon presiden yang diajukannya.

Dalam Pemilu Legislatif 2004, PDI-P yang berada di urutan kedua dengan perolehan suara 18,53 persen ternyata tidak berhasil memenangkan Megawati sebagai presiden. Bahkan, calon presiden yang diajukan Golkar, yang dalam pemilu legislatif saat itu (tahun 2004) menempati urutan teratas dengan raihan suara 21,58 persen, ternyata tidak lolos ke putaran kedua.

Keadaan yang hampir sama juga terjadi dalam Pilpres 2009. Memang dalam pemilu legislatif tahun 2009, Partai Demokrat memperoleh suara 20,85 persen, tetapi itu tidak ada kaitannya dengan terpilihnya kembali Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden.

Dengan partai yang hanya memperoleh suara 7,45 persen saja, Susilo Bambang Yudhoyono bisa terpilih sebagai presiden. Apalagi ketika Pilpres 2009, saat itu ia maju kembali sebagai petahana.

Siapa yang akan menjadi Presiden Indonesia 2014 - 2019 ?

Dalam Pemilu Legislatif 2009, Golkar berada di urutan kedua dengan raihan suara 14,45 persen, diikuti PDI-P di urutan ketiga dengan 14,03 persen. Namun, dalam pemilihan presiden tahun 2009 itu, Jusuf Kalla-Wiranto yang diajukan Golkar, hanya meraih 12,41 persen suara, kalah dari Megawati-Prabowo yang meraih 26,79 persen. Adapun Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono meraih 60,80 persen.

Melihat kecenderungan seperti itu, maka tidak ada pilihan lain bagi partai yang masuk lima besar, untuk memperhitungkan opsi yang mungkin dimainkannya. Kompromi jelas diperlukan mengingat tidak adanya satu pun partai politik yang mampu meraih suara di atas 20 persen.

Untuk memperoleh gambaran tentang siapa yang memiliki peluang paling besar untuk menjadi presiden RI periode 2014-2019, tidak ada salahnya jika kita melirik hasil survei Kompas tentang sosok presiden pilihan publik yang diadakan tahun 2014. Tempat teratas diduduki oleh Jokowi (43,5 persen), diikuti Prabowo di urutan kedua (11,2 persen), kemudian Aburizal Bakrie berada di tempat ketiga (9,2 persen) dan Wiranto di tempat keempat dengan perolehan 6,3 persen.

Adalah penting untuk menentukan pasangan yang paling cocok untuk dipilih sebagai presiden dan wakil presiden. Sepopuler apa pun calon yang diajukan sebagai presiden, dapat menjadi tidak berarti jika calon itu dipasangkan dengan orang yang salah.

James Luhulima,
Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 12 April 2014

Friday, November 2, 2012

Melintasi Cakrawala Sejarah


Bulan Oktober baru saja lewat. Pada sampul biografi pengusaha Julius Tahija (1916-2002) tertera kutipan pernyataannya, ‘Di Indonesia ini, selama mayoritas bangsa kita masih hidup pas-pasan, maka kita yang menduduki posisi ekonomi menonjol patut hidup serba sederhana tanpa suka memamerkan kelebihan pribadi’. Edisi kedua biografi pejuang kemerdekaan berjudul Melintas Cakrawala itu terbit Oktober tahun lalu.

Seruan moral tersebut meluncur tepat pada Oktober, bulan yang diwarnai catatan-catatan sejarah politik dan sosial penting bagi bangsa ini. Oktober diawali dengan Hari Kesaktian Pancasila pada tanggal 1, yang memperingati ketetapan bahwa Pancasila menjadi dasar NKRI. Paragraf ke-4 Pembukaan UUD 1945 mencantumkan lima sendi utama: Sila Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Namun kita akhir-akhir ini abai mengamalkannya.


Tanggal penting berikutnya ialah peringatan hari berdirinya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober. TKR bermula dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang bukan tentara resmi. Tetapi TKR organisasi tentara resmi yang diperlukan oleh sebuah negara merdeka. Setelah digabungi barisan-barisan bersenjata lain yang ada waktu itu, TKR menjadi TNI. Melalui Dekrit Presiden, tanggal 5 Oktober 1945 diperingati sebagai hari kelahiran TNI.

Di bidang politik praktis, Oktober juga mencatat terbentuknya Sekretariat Bersama Golongan Karya yang didirikan golongan militer pada 20 Oktober 1964 untuk menghadapi yang dianggap peningkatan rongrongan PKI. Sekber Golkar menghimpun puluhan organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan. Sesuai ketentuan dan ketetapan MPRS mengenai perlunya penataan kembali kehidupan politik Indonesia, pada 17 Juli 1971 Sekber Golkar mengubah diri menjadi Golkar; kemudian menjadi Partai Golkar setelah reformasi.

Bulan Oktober memang menghembuskan elan perjuangan. Jauh sebelum perjuangan fisik berangsur mewujud menjadi perjuangan kemerdekaan yang gegap gempita, Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 menengarai lahirnya bangsa Indonesia setelah proses perjuangan ideologi yang berlangsung lama melawan penindasan penjajah selama ratusan tahun.


Lintasan Sejarah bagi Orang Muda
Sebagian dari lintasan sejarah yang terpapar tadi mungkin menimbulkan nostalgia pada yang pernah mengalaminya atau ikut berjuang di dalamnya. Tontonan televisi yang informatif dan edukatif tentang masa-masa penderitaan maupun kejayaan masa lalu bisa membangkitkan rasa bangga. Ada yang bertanya, mengapa ada di antara generasi muda masa kini yang terkesan tidak peduli pada sejarah perjuangan masa lalu sekalipun menikmati hasil-hasil pembangunan generasi sebelumnya. Bagaimana kadar rasa kebangsaan mereka?

Dakwa-mendakwa biasa terjadi antargenerasi. Pernah seorang dari angkatan ‘66 menjadi berang ketika disebut hidup di menara gading oleh angkatan sebelumnya. Dia menjawab, generasi muda memiliki masa depan lebih panjang daripada generasi sebelumnya. Itu sebabnya dia lebih berorientasi ke masa depan daripada selalu menengok ke belakang.

Barangkali memang tidak adil mengharapkan pemuda sekarang memiliki alam pikiran seperti alam pikiran pemuda di awal bangkitnya kesadaran nasional. Juga tidak adil bila memastikan bahwa rasa kebangsaannya kalah tebal. Angkatan ‘28, ‘45, ‘55, ‘66, dan angkatan sekarang memiliki gaya hidup berbeda-beda. Tetapi kalau soal rasa kebangsaan, belum tentu yang satu kalah dari lainnya. Bukan tidak mungkin anak-anak sekarang mencemaskan bagaimana membangun kehidupan dan penghidupan masa depan, dan bagaimana memberi respons terhadap tantangan zaman. Tiap generasi adalah produk dari zamannya.


Rakyat Besar, Rakyat Kecil
Sejarah untuk dikenang, sejarah untuk pelajaran. Apa yang bisa dipelajari oleh generasi masa depan tentang kehidupan sekarang? Tahun-tahun terakhir menyaksikan terbukanya kotak pandora berkat kebijakan pemerintahan SBY. Terbongkarlah cela rohaniah sebagian rakyat besar. Berbeda dengan rakyat kecil, rakyat besar menikmati hidup karena dimanjakan oleh kekayaan, kekuasaan, dan prestise yang kait-mengait.

Menurut Society Today (Richard L Roe, editor, 1971), kekuasaan bisa berarti kemampuan mempertahankan sesuatu sekalipun ada tentangan. Dengan demikian, kekuasaan juga berarti ‘kemampuan’. Sumbernya ada empat: posisi institusional, harta kekayaan, kekuatan fisik, dan kharisma.

Mereka yang memiliki kekuasaan umumnya banyak mengambil keputusan dalam kehidupan masyarakat. Mereka juga kita kenal sebagai kaum elite –dari kalangan pemerintahan, cerdik pandai, bisnis, penegak hukum, gerakan politik, bahkan kalangan agama yang memiliki kharisma, yang mampu memengaruhi lain-lainnya.


Tentu hanya oknum-oknum bermoral rendah yang mengalami cela rohaniah. Selama mereka memegang kekuasaan, mereka cenderung bersikap arogan; suatu gejala yang mengganggu dan menekan perasaan masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan, khususnya rakyat kecil.

William Fulbright, penulis The Arrogance of Power, menyatakan, “Bila mau berbenah diri, bahaya-bahaya arogansi kekuasaan pasti bisa disingkirkan. Tentunya itu berarti bersedia mengorbankan sebagian perasaan yang menganggap diri hebat. Namun pengorbanan itu akan memadai demi akibat-akibat positif yang bisa dihasilkan.

Dalam kaitan itu, patut disebut kemenangan Jokowi yang dianggap kemenangan aspirasi rakyat kecil. Gejala ini sejalan dengan keinginan rakyat banyak untuk membuat perubahan atas kehidupan yang dirasakan kehilangan keteladanan. Gerakan perubahan menjadi tuntutan demi terciptanya kehidupan yang lebih baik.

Toeti Prahas Adhitama
Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 2 November 2012