Showing posts with label Amerika Serikat. Show all posts
Showing posts with label Amerika Serikat. Show all posts

Tuesday, December 19, 2017

Sejarah Konflik di Jerusalem


Konflik di Jerusalem dimulai ribuan tahun lalu, termasuk saat zaman Al-Kitab, Kekaisaran Romawi, dan Perang Salib. Namun konflik di abad ke-20 ini berakar pada kolonialisme, nasionalisme, dan anti-Semitisme.

The New York Times meminta beberapa ahli untuk membimbing pembaca melewati momen-momen penting di Jerusalem sejak beberapa abad yang lalu.


1917-1948 Mandat Inggris
Pada Desember 1917, 100 tahun yang lalu di bulan ini, Jenderal Inggris Edmund Allenby mengambil alih Jerusalem dari Turki Ottoman. Dengan menghentikan kudanya, dia memasuki Kota Tua dengan berjalan kaki, melewati Gerbang Jaffa, untuk menghormati status sucinya.

Bagi Inggris, Jerusalem sangat penting. Mereka adalah orang-orang yang mendirikan Jerusalem sebagai ibu kota. Sebelumnya, tempat itu bukan ibu kota siapapun sejak zaman Kuil Pertama dan Kedua,” kata Profesor Yehoshua Ben-Arieh, ahli geografi sejarah di Hebrew University.

Tiga dekade pemerintahan Inggris yang diikuti dengan pengambilalihan Jerusalem oleh Allenby, membuka pintu bagi masuknya pemukim Yahudi. Mereka ditarik oleh pandangan Zionis tentang tanah air Yahudi. Sementara penduduk Arab setempat menyesuaikan diri dengan kenyataan runtuhnya Kekaisaran Ottoman, yang telah memerintah kota tersebut sejak 1517.


Paradoksnya, Zionisme tersingkir dari Jerusalem, terutama Kota Tua. Pertama karena Jerusalem dianggap sebagai simbol diaspora, dan yang kedua karena situs suci umat Kristen dan Islam dipandang sebagai komplikasi yang tidak memungkinkan penciptaan sebuah negara Yahudi dengan Jerusalem sebagai ibu kotanya,” jelas Amnon Ramon, peneliti senior di Institut Penelitian Kebijakan Jerusalem.

Menurutnya, Zionis awal adalah kaum sosialis sekuler Eropa. Mereka lebih termotivasi oleh nasionalisme, penentuan nasib sendiri, dan pelarian dari penganiayaan daripada agama.

Jerusalem adalah sebuah regresi terhadap budaya konservatif yang mereka coba pindahkan. Tel Aviv adalah kota baru yang cerah di atas bukit, enkapsulasi modernitas,” papar Michael Dumper, profesor politik Timur Tengah di Universitas Exeter di Inggris.


Ia mengatakan, bagi orang Arab, ada semacam kejutan karena mereka tidak lagi berada di Kekaisaran Ottoman. Ada penataan kembali di masyarakat mereka. Aristokrasi Palestina setempat, keluarga besar Jerusalem, muncul sebagai pemimpin gerakan nasional Palestina, yang tiba-tiba dihadapkan pada migrasi Yahudi.

Pertentangan migrasi tersebut memicu beberapa kerusuhan mematikan yang dilakukan orang-orang Palestina. Sementara orang-orang Yahudi menertawakan peraturan Inggris dan pembatasan imigrasi yang diberlakukan pada 1939. Pembatasan ini menghalangi banyak orang Yahudi yang melarikan diri dari Holocaust untuk masuk.

Setelah perang, pada 1947, PBB menyetujui sebuah rencana partisi untuk dua negara, satu Yahudi, satu Arab. Sementara Jerusalem diatur khusus oleh badan internasional karena statusnya yang unik.

Purnama di langit kota Tel Aviv.

1948-1967 Kota yang Terbagi
Orang-orang Arab menolak rencana pembagian wilayah ini. Sehari setelah Israel mengumumkan kemerdekaannya pada 1948, negara-negara Arab menyerang negara baru tersebut. Di tengah kekerasan yang dilakukan oleh milisi dan massa di kedua pihak, sejumlah besar orang Yahudi dan Arab mengungsi.

Jerusalem kemudian terbagi. Bagian barat menjadi bagian dari negara baru Israel (dan ibu kotanya, di bawah hukum Israel disahkan pada 1950). Sedangkan bagian timur, termasuk Kota Tua, diduduki oleh Yordania. “Bagi orang-orang Palestina, ini dilihat sebagai titik temu,” kata Profesor Dumper.

Israel dan Yordania, katanya, sebagian besar fokus di tempat lain. Israel membangun daerah pesisir yang makmur, termasuk Haifa, Tel Aviv, dan Ashkelon, menjadi zona komersial yang berkembang. Sementara Raja Yordania, Abdullah I, berfokus pada pengembangan ibu kota Yordania, Amman.


Negara Israel awalnya ragu-ragu untuk terlalu fokus pada Jerusalem. Menurut Issam Nassar, seorang sejarawan di Illinois State University, Israel mendapat tekanan dari PBB dan Eropa.

Selama dua dekade, Israel memindahkan banyak gedung pemerintahan ke Jerusalem. Namun, negara-negara lain menghindari Jerusalem untuk membuka kedutaan besar mereka dan lebih memilih Tel Aviv, demi menghormati resolusi Dewan Keamanan PBB.

Setelah menerima gagasan tentang kendali internasional terhadap Jerusalem, pemimpin Israel mencari alternatif tempat untuk dijadikan ibu kota, mungkin Herzliya atau suatu tempat di selatan. Israel juga menyadari, mereka tidak memiliki kendali atas situs suci Jerusalem.

Pembagian 4 wilayah di Kota Tua Jerusalem, 1. Muslim Quarter, 2. Christian Quarter, 3. Armenian Quarter, dan 4. Jewish Quarter.

1967-1993 Dua Perang dan Intifadah
Dalam perang Arab-Israel pada 1967, Israel tidak hanya berhasil mengalahkan tentara Arab, tetapi juga mengambil alih Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir, Tepi Barat dan Jerusalem Timur dari Yordania, dan Dataran Tinggi Golan dari Suriah.

Poin pada 1967 ada dua: kemenangan besar, termasuk pergeseran cepat dari ketakutan akan kekalahan sebelum perang sampai euforia dan perasaan segala sesuatu mungkin terjadi, dan dampak emosional setelah menduduki Kota Tua,” kata Menachem Klein, ilmuwan politik di Universitas Bar-Ilan di Israel.

Jerusalem menjadi pusat pengabdian seperti kultus, yang sebelumnya tidak pernah ada sebelumnya. Kota ini sekarang telah difetiskan ke tingkat yang luar biasa karena garis keras nasionalisme agama telah mendominasi politik Israel, dengan Tembok Barat sebagai fokusnya,” tambah Klein.

Ariel Sharon - Yasser Arafat (Kiri). Anwar Sadat - Jimmy Carter - Menachem Begin (Kanan Atas). Yitzhak Rabin - Bill Clinton - Yasser Arafat (Kanan Bawah).

Kemenangan partai Likud pada 1977, di bawah kepemimpinan Menachem Begin, membantu memperkuat penekanan bahwa Jerusalem adalah bagian integral dari identitas Israel. Pemukim agama menjadi lebih menonjol dalam kehidupan politik di Israel.

Kaum sosialis garis keras yang berakar di Rusia dan Eropa Timur memberi jalan masuk kepada populasi Israel yang lebih beragam, dan juga lebih religius, yang berasal dari Timur Tengah, Afrika Utara, dan daerah lainnya.

Proses ini memuncak pada 1980, ketika anggota parlemen mengeluarkan sebuah undang-undang yang menyatakan “Jerusalem yang lengkap dan bersatu, adalah ibu kota Israel.” Langkah ini kemudian menimbulkan kemarahan internasional.

Wilayah Palestina makin hari makin menyusut, sementara itu wilayah jajahan Israel makin hari makin bertambah luas.

1993-sekarang, Oslo dan seterusnya
Perjanjian Oslo pada 1993 mengatur pembentukan Otoritas Palestina untuk memerintah Tepi Barat dan Jalur Gaza. Sementara resolusi isu-isu utama masih ditangguhkan, yaitu isu perbatasan, pengungsi, dan status Jerusalem.

Kunjungan politisi sayap kanan Ariel Sharon pada 2000 ke kompleks suci yang dikenal orang Yahudi sebagai Temple Mount dan Muslim sebagai Tempat Suci, yang berisi Masjid Al-Aqsha dan Kubah Batu, memicu bentrokan. Pemberontakan kedua ini merenggut nyawa sekitar 3.000 warga Palestina dan 1.000 warga Israel selama lima tahun.


Orang-orang Palestina mengatakan pemukim Yahudi telah merambah Jerusalem Timur dan Israel telah menambah masalah dengan mencabut izin tinggal warga Palestina. Meski begitu, komposisi etnis penduduk Jerusalem tetap sekitar 30 persen sampai 40 persen warga Arab.

Seluruh masyarakat internasional telah sepakat, bahwa pendudukan Israel di Jerusalem Timur sejak 1967 adalah ilegal, dan menolak untuk mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel,” jelas Profesor Khalidi.

Jika Trump mengubah posisi ini, mengingat pentingnya Jerusalem bagi orang Arab dan umat Muslim, sulit untuk melihat bagaimana kesepakatan Palestina-Israel yang berkelanjutan atau normalisasi tradisional Arab-Israel akan mungkin terjadi,” kata dia.

Sumber:
Republika.co.id
7 Desember 2017

Saturday, October 28, 2017

Sakitnya Ditolak Masuk ke Negara Lain


Orang yang punya pengalaman mengurus visa untuk bepergian ke Amerika Serikat tentu mafhum, masuk ke negara itu bukan perkara mudah. Kalau menurut bahasa U.S. Customs and Border Protection, “Please be aware, entering the United States is a privilege, not a right,” masuk Amerika itu keistimewaan, bukan hak.

Menurut cerita, orang-orang dengan nama Arab termasuk yang sulit mendapat visa. Ini tentu berkaitan dengan paranoia AS pada terorisme sesudah 9/11. Selain itu, kabarnya orang yang belum menikah juga sulit masuk karena dikhawatirkan punya niat mengawini orang AS demi menjadi warga negara Paman Sam.

Jika mendapatkan visa ke AS saja sulit, punya visa pun masih bisa ditolak masuk. Amerika punya daftar alasan-alasan apa saja yang bisa membuat seseorang tidak bisa masuk ke negaranya, bahkan ketika sudah memegang visa, sebagaimana yang terjadi pada Jenderal Gatot Nurmantyo tempo hari.


Menurut U.S. Customs and Border Protection, orang yang telah memegang visa ke AS, tetap bisa dilarang masuk jika ia terindikasi punya niat menjadi imigran, pernah atau berniat jadi pekerja ilegal di AS, terkait dengan organisasi kriminal atau terorisme, diketahui bersalah dalam kejahatan moral (seperti penganiayaan anak, pemerkosaan, penipuan, pencurian, dll.), diketahui bersalah dalam kejahatan penyerangan (pembunuhan, perampokan), mengidap penyakit menular, dan sebelumnya pernah tinggal di AS melewati masa berlakunya visa.

Sejak pemerintahan Donald Trump, AS juga punya daftar negara yang warganya dilarang masuk ke Amerika. Setelah sempat bongkar pasang, daftar terbaru memuat delapan negara, yakni Chad, Iran, Libya, Korut, Somalia, Suriah, Venezuela, dan Yaman. Salah satu alasan utama AS mengeluarkan daftar tersebut yakni karena negara-negara tersebut dianggap sebagai sumber terorisme. Selain itu, orang yang pernah dideportasi dan pernah dicabut kewarganegaraannya juga otomatis nggak bisa masuk AS lagi.

Yang jelas, pelarangan seseorang masuk ke AS sebenarnya bersifat sementara. Tergantung pergantian rezim dan bisa dicabut apabila U.S. Department of State mengeluarkan keputusan pencabutan (waiver).

Tidak cuma tokoh politik dan militer yang pernah dilarang masuk AS, penyanyi seperti Lily Allen, Yusuf Islam (dulu Cat Steven), dan Amy Winehouse juga pernah mengalami. Sosok lain seperti pesepakbola Maradona, PM India Narendra Modi, dan Tom Hanks di film The Terminal juga tak luput dari pencabutan “privilege” tersebut.


Namun, masalah larang-melarang masuk ini bukan dilakukan AS saja. China, misalnya, melarang Justin Bieber, Brad Pitt, dan Miley Cyrus masuk ke negaranya. Sedangkan Indonesia pernah melarang Lady Gaga masuk. Menurut berita Hukum Online, pada 2004 ada 100 orang WNA yang masuk daftar-nggak-boleh-masuk Indonesia, tapi tidak diumumkan siapa saja mereka. Sejumlah tentara Singapura juga ada yang masuk kedalam daftar ini.

Di kalangan sejarawan Indonesia, ada nama Benedict Anderson, warga negara Irlandia, seorang Indonesianis terkemuka pengarang karya klasik Imagined Communities, yang dilarang masuk ke Indonesia sejak 1981 (dalam kondisi sudah memegang visa) hingga 1999 karena mengkritik Orde Baru. Ben Anderson bersama rekannya, Ruth McVey, adalah dua orang pertama yang menulis analisis peristiwa G-30-S/PKI yang berlawanan dengan sejarah versi Orde Baru.

Hikmah dari pelarangan ini adalah kini kita bisa membayangkan, betapa menyakitkannya ketika kita dilarang masuk ke satu wilayah tertentu. Padahal, bisa jadi kita punya kepentingan yang berkaitan dengan nafkah hidup di sana. Jadi, sekarang tahu kan, penderitaan yang dirasakan pemulung ketika sedang berdinas dan menemukan plang “Pemulung Dilarang Masuk”.

MOJOK
Redaksi, 24 OKTOBER 2017
https://mojok.co/redaksi-mojok/corak/kilas/sakitnya-ditolak-masuk-ke-negara-lain/


Jenderal Gatot Ditolak karena Dekat dengan Islam?

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menduga, penolakan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo oleh Amerika Serikat (AS) karena Gatot selama ini dikenal dekat dengan umat Muslim di Indonesia. Menurutnya, tak mungkin negara sebesar AS melakukan penolakan terhadap seseorang tanpa ada sebab yang jelas.

Kita tahu sendiri, sejak masa kampanye, Presiden AS Donald Trump sudah menunjukkan dirinya anti-Islam. Jadi indikasinya bisa dilihat dari sisi itu,” ungkap Ujang kepada Republika.co.id, Selasa (24/10/2017).

Ujang menjelaskan, AS tidak mungkin melakukan penolakan tersebut tanpa ada alasan yang sangat genting bagi negara adidaya itu. Tentu mereka memiliki alasan, baik itu masalah keamanan atau yang lainnya. “Tidak mungkin itu hanya kesalahan teknis dari otoritas tertentu. Pasti terkoneksi sampai pada Presidennya. Saya kira itu berkaitan langsung dengan kebijakan Donald Trump,” kata dia.


Apalagi, lanjut dia, ketika terjadi demo besar Aksi Bela Islam, Gatot terindikasi berpihak kepada umat Islam. Umat yang melakukan aksi itu. Menurut Ujang, kelompok itu merupakan kelompok yang dicap oleh kelompok tertentu lainnya sebagai Islam garis keras. Meski pun hal itu masih bisa diperdebatkan. “Nah, di situlah saya kira titik temunya dengan Presiden Trump yang sangat anti dengan Islam garis keras,” terangnya.

Ujang juga mengungkapkan adanya kemungkinan lain. Penolakan AS terhadap Gatot merupakan shock therapy bagi Indonesia. Selama kepemimpinan Joko Widodo, Indonesia lebih condong berkiblat ke Negeri Tirai Bambu. “Bisa juga ini shock therapy dari AS untuk Indonesia karena ketergantungannya terhadap Cina lebih besar daripada AS,” tutur dia.

Dosen Hubungan Internasional Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Jakarta ini juga mengapresiasi langkah cepat pemerintah Indonesia dalam merespons penolakan tersebut. Meskipun, Ujang mengatakan, penolakan itu tetap merupakan tamparan keras bagi pemerintah Indonesia.

REPUBLIKA
Rabu , 25 Oktober 2017
Rep: Ronggo Astungkoro
Red: Andi Nur Aminah


Ditolak Sebelum Berangkat

Larangan masuk Negara Paman Sam diketahui sesaat sebelum dia bertolak pada Sabtu, 21 Oktober 2017. Gatot Nurmantyo dan rombongan dijadwalkan terbang pukul 17.50 WIB dengan pesawat Emirates Airlines melalui Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.

Sedianya Gatot akan menghadiri acara Chiefs of Defense Conference on Countering Violent Extremism ( VEOs), 23-24 Oktober 2017. Ia diundang Kepala Staf Gabungan AS Jenderal Joseph Dunford Jr.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayjen Wuryanto, menyatakan Jenderal Gatot kemudian memutuskan untuk tidak berangkat sampai ada penjelasan resmi dari pihak pemerintah Amerika Serikat.


Panglima TNI, kata dia, langsung melaporkan kejadian tersebut kepada Presiden Jokowi, Menko Polhukam, dan Menteri Luar Negeri.

Panglima TNI hingga saat ini belum mengetahui alasan yang jelas dari Amerika Serikat terkait pelarangan tersebut,” ujar Wuryanto dalam jumpa pers di Jakarta, Minggu, 22 Oktober 2017.

Wuryanto menyatakan, Panglima TNI sudah sering melawat ke Amerika. Oleh karena itu, TNI mempertanyakan alasan pemerintah AS melarang Jenderal Gatot untuk masuk.

“Sudah beberapa kali ke AS, Februari juga sudah pernah ke sana dan tidak ada masalah,” ujar Wuryanto.

Liputan6 SCTV 
http://news.liputan6.com/read/3138582/dugaan-jk-di-balik-panglima-tni-ditolak-masuk-amerika

Wednesday, April 17, 2013

Tiga Pertanyaan untuk SBY


Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Sanur Bali yang diduga akan diwarnai ketegangan antarfaksi yang bertarung, yaitu faksi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Anas Urbaningrum, ternyata berlangsung adem-ayem dan berakhir dengan keputusan aklamasi memilih SBY sebagai ketua umum Partai Demokrat sampai 2015.

Meskipun proses pemilihan SBY sebagai ketua umum Partai Demokrat menggantikan Anas Urbaningrum berlangsung lancar, bukan berarti Partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilu 2009 otomatis bebas dari persoalan politik. Justru menurut hemat penulis, tampilnya Presiden SBY sebagai ketua umum Partai Demokrat akan memunculkan persoalan baru di tengah belum tuntasnya persoalan lama.

Apabila dikalkulasi beberapa soal krusial yang melekat dalam tubuh Partai Demokrat satu tahun menjelang Pemilu 2014, setidaknya ada tiga pertanyaan yang patut dijawab Partai Demokrat di bawah kepemimpinan SBY.

Pertama, mampukah Demokrat menaikkan elektabilitasnya setelah langsung dipimpin SBY? Kedua, mampukah Demokrat di bawah kepemimpinan SBY merangkul faksi-faksi yang saling bertikai? Ketiga, di bawah pelukan dan arahan dari SBY apakah Partai Demokrat dapat menjadi partai modern yang mandiri atau akan tetap menjadi partai yang tidak bisa lepas dari nama besar SBY dan keluarganya?


Peran SBY
Persoalan pertama, terpilihnya SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat menggantikan Anas Urbaningrum ini oleh para pendukungnya dianggap sebagai suatu kebutuhan yang mendesak, sebab hanya beliaulah yang dianggap mampu mengarahkan Partai Demokrat untuk kembali menjadi partai pemenang sekaligus mendongkrak elektabilitas yang tengah terjun bebas.

Meskipun argumen ini terlihat kuat, karena SBY merupakan Presiden yang terpilih dalam dua kali masa jabatan, namun pandangan ini bukan tanpa kelemahan. Realitasnya, turunnya elektabilitas Partai Demokrat tidak terpisah dengan persepsi publik terhadap kinerja Kabinet di bawah pimpinan Presiden SBY. Seperti diutarakan dalam riset Lingkaran Survei Indonesia (5 Februari 2013) bahwa buruknya persepsi publik terhadap kinerja kabinet SBY mempengaruhi turunnya elektabilitas Partai Demokrat.

Lebih jauh LSI menjelaskan bahwa sebanyak 42,56% publik tidak puas terhadap kinerja menteri dari Partai Demokrat. Pendeknya bahwa turun gunungnya SBY akan mendongkrak elektabilitas partai belum tentu solusi yang tepat, mengingat kepemimpinan SBY dalam mengelola pemerintahan turut menyumbang jatuhnya elektabilitas Partai Demokrat.

Apalagi sentimen publik baik terhadap SBY maupun demokrat bisa mengarah negatif ketika secara obyektif mereka melihat bahwa di tengah banyaknya persoalan yang ia hadapi sebagai presiden, ia masih mengambil jabatan sebagai ketua umum Partai. Rakyat akan bertanya-tanya di tengah tumpang tindihnya peran dan jabatan. Siapakah yang didahulukan? Kepentingan bangsa atau kepentingan golongan?


Benturan Antarfaksi
Persoalan kedua yang patut dikemukakan terkait dengan konflik di internal Partai Demokrat adalah bahwa para pendukung SBY di lingkup internal Partai Demokrat mempercayai bahwa tampilnya SBY akan menjadi perekat dan merangkul semua kelompok. Sehingga setiap pihak yang bertikai akan segan terhadap SBY untuk melakukan manuver-manuver bagi persoalan konflik di internal PD.

Namun demikian jawaban seperti ini juga mengandung persoalan. Dengan tetap mengandalkan figur SBY setiap ada keretakan ataupun faksionalisasi politik, maka Demokrat akan kehilangan kesempatan membangun mekanisme organisasi dan sistem yang dapat menjadi sarana rekonsiliasi konflik antara faksi-faksi di dalamnya.

Sangat disayangkan proses pembangunan kelembagaan politik yang telah dibangun pilarnya pada masa kepemimpinan Anas Urbaningrum, terancam runtuh kembali ketika figur dikedepankan kembali (SBY) di atas mekanisme institusional. Sementara itu kembalinya elite-elite Partai Demokrat kepada SBY ketika ada persoalan, menunjukkan dan mempertontonkan bahwa proses rekrutmen kepemimpinan tidak berjalan dengan baik.

Kondisi ini menunjukkan kepada publik, bahwa tidak ada figur di dalam Partai Demokrat yang mampu mengelola konflik dan memimpin partai di tengah gelombang badai konflik. Apabila dibiarkan terus seperti ini Partai Demokrat hanya akan memproduksi model politisi yang tak bisa menyapih dan tak bisa disapih, bukan negarawan yang handal.

Dalam perkembangan politik di Indonesia, di mana publik semakin lama semakin melek politik dan semakin memiliki pendidikan politik yang baik, maka konsekuensinya akan semakin sedikit publik yang akan melirik apalagi memilih partai berlambang mercy ini.

Hatta Rajasa dan Aulia Pohan, dua besan SBY.

Konsolidasi Dinasti
Problem ketiga yang muncul setelah dipilihnya SBY sebagai Ketua Umum adalah Partai Demokrat berpotensi menjadi partai yang mengonsolidasikan kekuatan dinasti SBY. Apalagi saat ini SBY sebagai ketua umum masih bersanding dengan sekjen, yaitu anaknya sendiri, Eddy Baskoro alias Ibas.

Memang benar bahwa politik dinasti terjadi di mana-mana, tidak saja di Indonesia namun juga di India bahkan di negara demokrasi matang seperti Amerika Serikat. Bagi mereka yang menghalalkan politik dinasti dengan argumen bahwa di Amerika Serikat juga mengadopsi model politik dinasti yang sama, mereka melupakan faktor sejarah.

Di masa awal pembangunan demokrasi di Amerika Serikat setiap sanak saudara dalam keluarga yang terjun dalam politik selalu dalam partai yang berbeda. John Quincy Adams menjadi presiden pada tahun 1824 setelah 24 tahun sebelumnya ayahnya John Adams gagal menjadi presiden dari partai yang berbeda.

Presiden OBAMBANG dan Presiden OBAMA.

Sementara Franklin Roosevelt menjadi presiden pada 1932 setelah dua puluh empat tahun sebelumnya sepupunya Theodore Roosevelt menjadi presiden juga dari partai yang berbeda. Tradisi politik dinasti satu partai baru muncul setelah kelembagaan politik demokrasi mapan sehingga regulasi bisa dijalankan tanpa pilih kasih.

Misalnya ketika seorang kulit hitam kaum akademisi dan aktivis progresif seperti Obama mampu menghadang kekuatan dinasti Clinton yang mencalonkan Hillary di Partai Demokrat AS. Di sinilah letak problem politik dinasti di Indonesia khususnya seperti yang dialami Partai Demokrat. Intervensi SBY ke partai justru mengonsolidasikan kekuatan dinasti politiknya ke dalam partai secara utuh di tengah lemahnya kelembagaan partai dan seruan-seruan mengiba dari kader-kader di dalam yang bergantung pada pilihan politik Pak Presiden.

Demikianlah agaknya Demokrat bukanlah perkecualian, tetapi ini masih menjadi miniatur politik Indonesia. Pada akhirnya sungguhlah aneh ketika umumnya ketua partai berjuang untuk menjadi presiden, di Partai Demokrat ada seorang presiden yang justru ingin mengambil peran sebagai ketua umum berdampingan dengan anaknya yang menjadi sekjen Partai Demokrat.

Airlangga Pribadi Kusman;
Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga,
Kandidat PhD di Asia Research Center Murdoch University, Australia

KORAN SINDO, 4 April 2013


Tonggak Rapuh

“Siapa bilang ngurus Indonesia itu sulit. Lihatlah mereka yang bertanggung jawab ngurus negeri ini bisa melaksanakannya hanya sebagai sambilan.” (KH Mustofa Bisri)

Komentar KH Mustofa Bisri yang akrab dipanggil Gus Mus (1/4/2013) itu sungguh tepat menggambarkan perilaku elite partai politik di Indonesia yang memegang jabatan rangkap di pemerintahan dan di partai.

Harian Kompas (2/4/2013) di halaman dua secara gamblang membuat tabel rangkap jabatan beberapa tokoh partai, yakni Partai Demokrat (PD), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).


Rangkap jabatan tokoh politik di partai dan pemerintahan bukanlah suatu hal yang baru dalam politik di Indonesia. Ini sudah terjadi sejak era demokrasi parlementer. Hingga kini juga tidak ada aturan perundang-undangan yang melarang seorang ketua umum partai menduduki jabatan rangkap di partai dan di pemerintahan.

Pro-kontra mengenai hal ini juga sudah sering jadi wacana di negeri ini, tetapi tak ada kata putus untuk mengharamkan rangkap jabatan tersebut. Dengan kata lain, rangkap jabatan adalah sesuatu yang lumrah dalam sejarah politik di Indonesia. Namun, sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diputuskan secara aklamasi sebagai ketua umum Partai Demokrat pada kongres luar biasa di Sanur, Bali, 30 Maret 2013, ia menjadi pemegang rekor rangkap jabatan di Indonesia.

Pertama kalinya dalam sejarah Indonesia seorang presiden memiliki begitu banyak jabatan di partainya, mulai dari ketua majelis tinggi, ketua dewan pembina, ketua dewan kehormatan, sampai ketua umum. Presiden Soekarno tidak menjadi ketua partai apa pun saat menjadi Presiden RI karena alasan ia ingin “menempatkan diri di atas semua golongan”. Presiden Soeharto juga tidak pernah menjadi Ketua Umum Golkar dan hanya sebagai ketua dewan pembina. Soeharto juga tidak ikut campur tangan langsung mengelola Golkar. Presiden BJ Habibie juga bukan Ketua Golkar. Presiden Abdurrahman Wahid hanya menjadi petinggi Majelis Syuro PKB dan tidak merangkap ketua Tanfidziah. Namun Megawati Soekarnoputri juga menduduki jabatan rangkap, yakni sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan dan Presiden RI.

EE Mangindaan, Marzuki Alie, dan Syarief Hasan.

Demokrasi ala SBY
Apa yang terjadi saat ini adalah gambaran benar-benar diterapkannya gagasan kekuasaan dalam kebudayaan Jawa di masa lalu yang menganggap kekuasaan itu harus bulat dan tidak terbagi-bagi. Ini tidak sejalan dengan gagasan distribusi kekuasaan, apalagi pemisahan kekuasaan agar terjadi saling mengimbangi dan saling mengecek (checks and balances).

Meskipun ada pendelegasian wewenang sebagian kepada Ketua Harian DPP Partai Demokrat Syarifuddin Hasan, Wakil Ketua Majelis Tinggi Marzuki Alie, dan Wakil Ketua Dewan Pembina EE Mangindaan, tetap saja masih ada konsentrasi kekuasaan dari hulu sampai ke hilir di Partai Demokrat. Jabatan-jabatan rangkap itu juga bertentangan dengan petuah Presiden pada Oktober 2012 bahwa tahun 2013 adalah tahun politik dan para menteri yang berasal dari parpol harus fokus pada pelaksanaan kerja kabinet dan jangan fokus mengurusi partai.

Para kader Demokrat dan rakyat secara umum diharapkan mafhum pada situasi di Partai Demokrat yang amat darurat. Pertanyaannya, seberapa daruratkah situasinya sehingga Presiden harus turun gunung langsung menangani operasional partai?

Kesediaan SBY menjadi ketua umum menjadikan para kader semakin bergantung pada figur SBY. Tidakkah ini memperpanjang proses menuju kedewasaan berpolitik di Partai Demokrat yang kini sudah berusia 12 tahun? Tidakkah ini menunjukkan betapa SBY tidak percaya kepada kader-kader senior di Partai Demokrat untuk memegang tampuk kepemimpinan di partai?

Pasangan Bapak SBY dan Ibu Ani, zaman dulu dan saat ini.

Preseden Buruk
Terlepas dari sifat kesementaraan jabatan SBY sebagai ketua umum Partai Demokrat, satu setengah atau dua tahun, hal ini tetap menjadi preseden buruk dalam mengelola pemerintahan dan partai di Indonesia. Seperti dikatakan Gus Mus, seakan mengurus Indonesia itu tidak sulit sehingga bisa sebagai sambilan. Ini menunjukkan betapa SBY meletakkan fondasi yang rapuh dalam mengelola pemerintahan dan partai. Di masa akhir jabatannya yang sampai 20 Oktober 2014, sepatutnya Presiden SBY fokus pada kinerja kabinetnya sehingga ia bisa meninggalkan warisan yang apik kepada rakyat dan bangsa Indonesia.

Impian agar elektabilitas Partai Demokrat meningkat sejak SBY terpilih menjadi ketua umum juga harus dibuktikan kemudian. SBY pada Pemilu Presiden 2004 harus diakui memiliki medan magnet yang kuat untuk menyerap dukungan rakyat. Kemudian pada pemilu legislatif dan Pemilu Presiden 2009, SBY juga semakin menjadi medan magnet yang kuat. Alhasil Partai Demokrat menjadi pemenang pemilu legislatif dan SBY terpilih kembali menjadi presiden RI.

Namun, SBY pada 2014 belum tentu memiliki kekuatan magnet tersebut. Dikarenakan ia tidak bisa lagi menjadi calon presiden dan adanya persepsi buruk Partai Demokrat di mata sebagian masyarakat sebagai partai paling korup. Seorang jenderal pensiunan sepatutnya memang menjauh dari urusan-urusan kemiliteran dan politik serta memberikan tampuk kepemimpinan kepada generasi muda.

Ikrar Nusa Bhakti;
Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta
KOMPAS, 4 April 2013