Showing posts with label SBY. Show all posts
Showing posts with label SBY. Show all posts

Wednesday, April 17, 2013

Tiga Pertanyaan untuk SBY


Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Sanur Bali yang diduga akan diwarnai ketegangan antarfaksi yang bertarung, yaitu faksi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Anas Urbaningrum, ternyata berlangsung adem-ayem dan berakhir dengan keputusan aklamasi memilih SBY sebagai ketua umum Partai Demokrat sampai 2015.

Meskipun proses pemilihan SBY sebagai ketua umum Partai Demokrat menggantikan Anas Urbaningrum berlangsung lancar, bukan berarti Partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilu 2009 otomatis bebas dari persoalan politik. Justru menurut hemat penulis, tampilnya Presiden SBY sebagai ketua umum Partai Demokrat akan memunculkan persoalan baru di tengah belum tuntasnya persoalan lama.

Apabila dikalkulasi beberapa soal krusial yang melekat dalam tubuh Partai Demokrat satu tahun menjelang Pemilu 2014, setidaknya ada tiga pertanyaan yang patut dijawab Partai Demokrat di bawah kepemimpinan SBY.

Pertama, mampukah Demokrat menaikkan elektabilitasnya setelah langsung dipimpin SBY? Kedua, mampukah Demokrat di bawah kepemimpinan SBY merangkul faksi-faksi yang saling bertikai? Ketiga, di bawah pelukan dan arahan dari SBY apakah Partai Demokrat dapat menjadi partai modern yang mandiri atau akan tetap menjadi partai yang tidak bisa lepas dari nama besar SBY dan keluarganya?


Peran SBY
Persoalan pertama, terpilihnya SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat menggantikan Anas Urbaningrum ini oleh para pendukungnya dianggap sebagai suatu kebutuhan yang mendesak, sebab hanya beliaulah yang dianggap mampu mengarahkan Partai Demokrat untuk kembali menjadi partai pemenang sekaligus mendongkrak elektabilitas yang tengah terjun bebas.

Meskipun argumen ini terlihat kuat, karena SBY merupakan Presiden yang terpilih dalam dua kali masa jabatan, namun pandangan ini bukan tanpa kelemahan. Realitasnya, turunnya elektabilitas Partai Demokrat tidak terpisah dengan persepsi publik terhadap kinerja Kabinet di bawah pimpinan Presiden SBY. Seperti diutarakan dalam riset Lingkaran Survei Indonesia (5 Februari 2013) bahwa buruknya persepsi publik terhadap kinerja kabinet SBY mempengaruhi turunnya elektabilitas Partai Demokrat.

Lebih jauh LSI menjelaskan bahwa sebanyak 42,56% publik tidak puas terhadap kinerja menteri dari Partai Demokrat. Pendeknya bahwa turun gunungnya SBY akan mendongkrak elektabilitas partai belum tentu solusi yang tepat, mengingat kepemimpinan SBY dalam mengelola pemerintahan turut menyumbang jatuhnya elektabilitas Partai Demokrat.

Apalagi sentimen publik baik terhadap SBY maupun demokrat bisa mengarah negatif ketika secara obyektif mereka melihat bahwa di tengah banyaknya persoalan yang ia hadapi sebagai presiden, ia masih mengambil jabatan sebagai ketua umum Partai. Rakyat akan bertanya-tanya di tengah tumpang tindihnya peran dan jabatan. Siapakah yang didahulukan? Kepentingan bangsa atau kepentingan golongan?


Benturan Antarfaksi
Persoalan kedua yang patut dikemukakan terkait dengan konflik di internal Partai Demokrat adalah bahwa para pendukung SBY di lingkup internal Partai Demokrat mempercayai bahwa tampilnya SBY akan menjadi perekat dan merangkul semua kelompok. Sehingga setiap pihak yang bertikai akan segan terhadap SBY untuk melakukan manuver-manuver bagi persoalan konflik di internal PD.

Namun demikian jawaban seperti ini juga mengandung persoalan. Dengan tetap mengandalkan figur SBY setiap ada keretakan ataupun faksionalisasi politik, maka Demokrat akan kehilangan kesempatan membangun mekanisme organisasi dan sistem yang dapat menjadi sarana rekonsiliasi konflik antara faksi-faksi di dalamnya.

Sangat disayangkan proses pembangunan kelembagaan politik yang telah dibangun pilarnya pada masa kepemimpinan Anas Urbaningrum, terancam runtuh kembali ketika figur dikedepankan kembali (SBY) di atas mekanisme institusional. Sementara itu kembalinya elite-elite Partai Demokrat kepada SBY ketika ada persoalan, menunjukkan dan mempertontonkan bahwa proses rekrutmen kepemimpinan tidak berjalan dengan baik.

Kondisi ini menunjukkan kepada publik, bahwa tidak ada figur di dalam Partai Demokrat yang mampu mengelola konflik dan memimpin partai di tengah gelombang badai konflik. Apabila dibiarkan terus seperti ini Partai Demokrat hanya akan memproduksi model politisi yang tak bisa menyapih dan tak bisa disapih, bukan negarawan yang handal.

Dalam perkembangan politik di Indonesia, di mana publik semakin lama semakin melek politik dan semakin memiliki pendidikan politik yang baik, maka konsekuensinya akan semakin sedikit publik yang akan melirik apalagi memilih partai berlambang mercy ini.

Hatta Rajasa dan Aulia Pohan, dua besan SBY.

Konsolidasi Dinasti
Problem ketiga yang muncul setelah dipilihnya SBY sebagai Ketua Umum adalah Partai Demokrat berpotensi menjadi partai yang mengonsolidasikan kekuatan dinasti SBY. Apalagi saat ini SBY sebagai ketua umum masih bersanding dengan sekjen, yaitu anaknya sendiri, Eddy Baskoro alias Ibas.

Memang benar bahwa politik dinasti terjadi di mana-mana, tidak saja di Indonesia namun juga di India bahkan di negara demokrasi matang seperti Amerika Serikat. Bagi mereka yang menghalalkan politik dinasti dengan argumen bahwa di Amerika Serikat juga mengadopsi model politik dinasti yang sama, mereka melupakan faktor sejarah.

Di masa awal pembangunan demokrasi di Amerika Serikat setiap sanak saudara dalam keluarga yang terjun dalam politik selalu dalam partai yang berbeda. John Quincy Adams menjadi presiden pada tahun 1824 setelah 24 tahun sebelumnya ayahnya John Adams gagal menjadi presiden dari partai yang berbeda.

Presiden OBAMBANG dan Presiden OBAMA.

Sementara Franklin Roosevelt menjadi presiden pada 1932 setelah dua puluh empat tahun sebelumnya sepupunya Theodore Roosevelt menjadi presiden juga dari partai yang berbeda. Tradisi politik dinasti satu partai baru muncul setelah kelembagaan politik demokrasi mapan sehingga regulasi bisa dijalankan tanpa pilih kasih.

Misalnya ketika seorang kulit hitam kaum akademisi dan aktivis progresif seperti Obama mampu menghadang kekuatan dinasti Clinton yang mencalonkan Hillary di Partai Demokrat AS. Di sinilah letak problem politik dinasti di Indonesia khususnya seperti yang dialami Partai Demokrat. Intervensi SBY ke partai justru mengonsolidasikan kekuatan dinasti politiknya ke dalam partai secara utuh di tengah lemahnya kelembagaan partai dan seruan-seruan mengiba dari kader-kader di dalam yang bergantung pada pilihan politik Pak Presiden.

Demikianlah agaknya Demokrat bukanlah perkecualian, tetapi ini masih menjadi miniatur politik Indonesia. Pada akhirnya sungguhlah aneh ketika umumnya ketua partai berjuang untuk menjadi presiden, di Partai Demokrat ada seorang presiden yang justru ingin mengambil peran sebagai ketua umum berdampingan dengan anaknya yang menjadi sekjen Partai Demokrat.

Airlangga Pribadi Kusman;
Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga,
Kandidat PhD di Asia Research Center Murdoch University, Australia

KORAN SINDO, 4 April 2013


Tonggak Rapuh

“Siapa bilang ngurus Indonesia itu sulit. Lihatlah mereka yang bertanggung jawab ngurus negeri ini bisa melaksanakannya hanya sebagai sambilan.” (KH Mustofa Bisri)

Komentar KH Mustofa Bisri yang akrab dipanggil Gus Mus (1/4/2013) itu sungguh tepat menggambarkan perilaku elite partai politik di Indonesia yang memegang jabatan rangkap di pemerintahan dan di partai.

Harian Kompas (2/4/2013) di halaman dua secara gamblang membuat tabel rangkap jabatan beberapa tokoh partai, yakni Partai Demokrat (PD), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).


Rangkap jabatan tokoh politik di partai dan pemerintahan bukanlah suatu hal yang baru dalam politik di Indonesia. Ini sudah terjadi sejak era demokrasi parlementer. Hingga kini juga tidak ada aturan perundang-undangan yang melarang seorang ketua umum partai menduduki jabatan rangkap di partai dan di pemerintahan.

Pro-kontra mengenai hal ini juga sudah sering jadi wacana di negeri ini, tetapi tak ada kata putus untuk mengharamkan rangkap jabatan tersebut. Dengan kata lain, rangkap jabatan adalah sesuatu yang lumrah dalam sejarah politik di Indonesia. Namun, sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diputuskan secara aklamasi sebagai ketua umum Partai Demokrat pada kongres luar biasa di Sanur, Bali, 30 Maret 2013, ia menjadi pemegang rekor rangkap jabatan di Indonesia.

Pertama kalinya dalam sejarah Indonesia seorang presiden memiliki begitu banyak jabatan di partainya, mulai dari ketua majelis tinggi, ketua dewan pembina, ketua dewan kehormatan, sampai ketua umum. Presiden Soekarno tidak menjadi ketua partai apa pun saat menjadi Presiden RI karena alasan ia ingin “menempatkan diri di atas semua golongan”. Presiden Soeharto juga tidak pernah menjadi Ketua Umum Golkar dan hanya sebagai ketua dewan pembina. Soeharto juga tidak ikut campur tangan langsung mengelola Golkar. Presiden BJ Habibie juga bukan Ketua Golkar. Presiden Abdurrahman Wahid hanya menjadi petinggi Majelis Syuro PKB dan tidak merangkap ketua Tanfidziah. Namun Megawati Soekarnoputri juga menduduki jabatan rangkap, yakni sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan dan Presiden RI.

EE Mangindaan, Marzuki Alie, dan Syarief Hasan.

Demokrasi ala SBY
Apa yang terjadi saat ini adalah gambaran benar-benar diterapkannya gagasan kekuasaan dalam kebudayaan Jawa di masa lalu yang menganggap kekuasaan itu harus bulat dan tidak terbagi-bagi. Ini tidak sejalan dengan gagasan distribusi kekuasaan, apalagi pemisahan kekuasaan agar terjadi saling mengimbangi dan saling mengecek (checks and balances).

Meskipun ada pendelegasian wewenang sebagian kepada Ketua Harian DPP Partai Demokrat Syarifuddin Hasan, Wakil Ketua Majelis Tinggi Marzuki Alie, dan Wakil Ketua Dewan Pembina EE Mangindaan, tetap saja masih ada konsentrasi kekuasaan dari hulu sampai ke hilir di Partai Demokrat. Jabatan-jabatan rangkap itu juga bertentangan dengan petuah Presiden pada Oktober 2012 bahwa tahun 2013 adalah tahun politik dan para menteri yang berasal dari parpol harus fokus pada pelaksanaan kerja kabinet dan jangan fokus mengurusi partai.

Para kader Demokrat dan rakyat secara umum diharapkan mafhum pada situasi di Partai Demokrat yang amat darurat. Pertanyaannya, seberapa daruratkah situasinya sehingga Presiden harus turun gunung langsung menangani operasional partai?

Kesediaan SBY menjadi ketua umum menjadikan para kader semakin bergantung pada figur SBY. Tidakkah ini memperpanjang proses menuju kedewasaan berpolitik di Partai Demokrat yang kini sudah berusia 12 tahun? Tidakkah ini menunjukkan betapa SBY tidak percaya kepada kader-kader senior di Partai Demokrat untuk memegang tampuk kepemimpinan di partai?

Pasangan Bapak SBY dan Ibu Ani, zaman dulu dan saat ini.

Preseden Buruk
Terlepas dari sifat kesementaraan jabatan SBY sebagai ketua umum Partai Demokrat, satu setengah atau dua tahun, hal ini tetap menjadi preseden buruk dalam mengelola pemerintahan dan partai di Indonesia. Seperti dikatakan Gus Mus, seakan mengurus Indonesia itu tidak sulit sehingga bisa sebagai sambilan. Ini menunjukkan betapa SBY meletakkan fondasi yang rapuh dalam mengelola pemerintahan dan partai. Di masa akhir jabatannya yang sampai 20 Oktober 2014, sepatutnya Presiden SBY fokus pada kinerja kabinetnya sehingga ia bisa meninggalkan warisan yang apik kepada rakyat dan bangsa Indonesia.

Impian agar elektabilitas Partai Demokrat meningkat sejak SBY terpilih menjadi ketua umum juga harus dibuktikan kemudian. SBY pada Pemilu Presiden 2004 harus diakui memiliki medan magnet yang kuat untuk menyerap dukungan rakyat. Kemudian pada pemilu legislatif dan Pemilu Presiden 2009, SBY juga semakin menjadi medan magnet yang kuat. Alhasil Partai Demokrat menjadi pemenang pemilu legislatif dan SBY terpilih kembali menjadi presiden RI.

Namun, SBY pada 2014 belum tentu memiliki kekuatan magnet tersebut. Dikarenakan ia tidak bisa lagi menjadi calon presiden dan adanya persepsi buruk Partai Demokrat di mata sebagian masyarakat sebagai partai paling korup. Seorang jenderal pensiunan sepatutnya memang menjauh dari urusan-urusan kemiliteran dan politik serta memberikan tampuk kepemimpinan kepada generasi muda.

Ikrar Nusa Bhakti;
Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta
KOMPAS, 4 April 2013

Sunday, September 27, 2009

Dinasti Soeharto Berlanjut Lagi ?


Pasca pemilu, apapun yang terjadi, analisa mendalam perlu diambil demi masa depan bersama. Ibarat mengedit sebuah film berjudul Pemilu 2009, saya harus memutuskan dari mana film dimulai, dan di mana film itu berakhir, dengan meninggalkan sebuah pesan kepada penontonnya. Film tersebut kita tonton bersama lalu kita coba menangkap pesan dari film tersebut, pesan itu menjadi bahan referensi bagi kita bersama, untuk melangkah ke film seri berikutnya.

Di tengah proses editing, ternyata saya merasa perlu menampilkan flashback atau cuplikan-cuplikan film, 5 bahkan 10 tahun yang lalu. Bahkan lebih dari itu, karena sesungguhnya, sejarah masa kini dan yang akan datang, adalah sebuah sinetron kehidupan yang perlu dilihat secara keseluruhan, jika kita ingin memahami film tersebut secara utuh.

Beberapa bulan sebelum pemilu legislatif, beberapa talkshow menampilkan topik visi misi partai secara proporsional, mungkin semua partai peserta pemilu mendapat kesempatan yang sama dalam menyampaikan visi misinya. Dan semua visi misi partai (selain Partai Demokrat) adalah kritik terhadap pemerintahan yang sedang berjalan, tidak terkecuali visi misi partai PAN, PKS, PKB dan PPP, (empat partai yang kemudian ternyata berkoalisi dengan partai yang dikritiknya). Semuanya mengkritik kinerja pemerintahan yang sedang berjalan.


Materi kritik antara lain tentang hutang yang terus bertambah, pengelolaan sumber daya alam dan pembagian hasilnya yang selalu lebih menguntungkan pihak asing. Ada pula yang menyinggung tentang sumber dana kampanye yang belum transparan yang memungkinkan dana asing masuk dengan konsekuensi yang diperkirakan akan merugikan rakyat Indonesia.

Ajakan untuk kembali ke konstitusi UUD ‘45 adalah salah satu solusi yang mereka tawarkan waktu itu, salah satunya pasal 33 yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam oleh Negara dan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ibarat pertempuran dunia persilatan, Partai Demokrat dikeroyok rame-rame oleh para pengkritiknya.

Namun apa yang terjadi setelah pemilu legislatif usai dan dimenangkan oleh Partai Demokrat? PKB dan PPP tanpa pikir panjang langsung merapat untuk berkoalisi dengan partai yang beberapa bulan sebelumnya mereka kritik itu. Khusus PAN dan PKS beberapa saat mengalami pergolakan internal antara kubu yang memilih untuk tidak berkoalisi vs kubu yang menganggap koalisi merupakan pilihan yang lebih bijak.

Kemudian kedua partai tersebut mengajukan cawapres, mungkin dengan maksud untuk mengawal kebijakan-kebijakan presiden terpilih di masa datang. Sambil menunggu jawaban, kedua partai dengan sekuat tenaga mencoba meredam konflik internal partai masing-masing.

Tanpa mereka sadari cawapres yang mereka tawarkan ternyata tidak pernah sedikit pun diperhatikan, apa lagi dipertimbangkan untuk diterima. Jauh sebelum keputusan itu diambil, SBY mengatakan sudah mengantongi sebuah nama, namun baru akan ia buka pada saatnya nanti.

Saya baru sadar sekarang, strategi untuk terus memberi harapan kepada kedua partai tersebut adalah sebuah strategi jitu untuk tetap memegang buntut PKS dan PAN agar supaya tidak lari ke partai atau koalisi lain.


Satu lagi kemungkinan yang hampir pasti, alasan SBY menunda pengumuman cawapres pilihannya adalah untuk menghindari manuver The King Maker “Amien Rais” yang sangat ditakuti lawan-lawan politiknya. Sampai pada hari terakhir pendaftaran calon presiden pada pukul 7 malam, yang artinya tinggal 12 jam sebelum hari H, barulah nama Boediono muncul.

Dan benar perkiraan Demokrat, ada perlawanan dari PAN mupun PKS, tapi sudah tidak cukup waktu lagi bagi mereka untuk berimprovisasi. The King Maker Amien Rais pun tidak bisa lagi melakukan manuvernya.

Kampanye pun akhirnya dilakukan oleh semua capres dan cawapres. BLT adalah senjata pamungkas Partai Demokrat. Penawaran yang lebih bagus dari BLT yang ditawarkan oleh partai lain, karena waktu yang terlalu singkat membuat tawaran menarik itu tak sempat terdengar oleh seluruh rakyat.

Banyak yang menganggap tim sukses pemenang pemilu mempunyai strategi yang hebat, bagi saya mereka biasa-biasa saja. Kalau kita lihat data BPS, lebih dari 60% rakyat Indonesia adalah rakyat miskin, sebagian besar malah tinggal di pedesaan, alhasil waktu menonton televisi mereka tidak banyak, karena waktu mereka sudah habis untuk bekerja mencari sesuap nasi.

Ditambah lagi TV nasional kita yang belum 100% independen, buktinya banyak iklan Mega Pro yang ditolak. Pola pikir mereka simple saja, pilih lagi SBY, maka BLT dilanjutkan. Mereka tidak tahu kalau sebenarnya dana BLT hanya sampai bulan September atau Oktober saja, seperti yang dengan jujur diakui oleh tim sukses SBY dalam salah satu acara di Metro TV seusai pemilu Pilpres.


Bagi saya pada saat BLT dibagikan di situlah kampanye partai Demokrat sudah dimulai. Itulah sebabnya survey yang dilakukan sebelum pemilu oleh beberapa lembaga menunjukkan tingkat elektabilitas SBY yang tinggi. Dan elektabilitas yang tinggi itu perlahan-lahan menurun seiring dengan penyampaian visi misi partai-partai lain yang mencoba mencerahkan kepada publik tentang bagaimana keadaan Indonesia apa adanya.

Yang menarik, elektabilitas JK menjelang pemilu menunjukan grafik yang menanjak naik cukup cepat. Bahkan salah satu penyelenggara survey mengatakan, jika pemilu diundur beberapa bulan lagi, kemungkian JK bisa menang. Bila itu yang terjadi, berarti kampanye Golkar sebenarnya sukses, dengan pertimbangan, dalam waktu singkat bisa mempengaruhi elektabilitas SBY yang dibangun jauh sebelum Pemilu, yakni pada saat BLT mulai dibagikan.

Khusus mengenai BLT saya yakin itu adalah ciptaan JK, karena saya meliput pembahasannya sekitar 3 tahun lalu, dan master filmnya pun mungkin masih ada di Kantor Pos Pusat dekat Lapangan Banteng. Tapi design JK tentang BLT waktu itu dananya diambil dari penghematan dana subsidi BBM, bukan dari pinjaman asing seperti temuan BPK belakangan ini.

Tapi sekali lagi rakyat miskin tidak punya waktu untuk memikirkan siapa yang menciptakan BLT dan dari mana sumber dana BLT, yang ada dalam benak mereka adalah simple saja, pilih lagi SBY maka BLT dilanjutkan.

Rakyat miskin pun tidak punya waktu memikirkan kontrak karya pengelolaan sumber daya alam kita yang lebih meguntungkan pihak asing, mereka juga tidak terlalu memikirkan hutang Negara yang bertambah 400 triliun seperti yang diinformasikan oleh Rizal Ramli, salah satu capres independen. Padahal hutang itu akan membebani kita semua hingga ke anak cucu kita di kemudian hari, dengan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok dan barang lain pada umumnya sebagai akibat berkurangnya subsidi untuk membayar hutang.


Singkatnya, mereka juga tidak percaya pada janji-janji capres lain yang sesungguhnya lebih bagus dari sekedar BLT. Mereka lebih percaya dengan apa yang sudah dan sedang berjalan yaitu BLT.

Satu lagi imajnasi saya tentang kemenangan Demokrat, baik pada Pemilu 2004 maupun Pemilu 2009 adalah, mungkin … sebenarnya yang mewarisi tahta Dinasti Soeharto adalah SBY, bukan Golkar, dan apalagi Prabowo mantan mantunya. Khusus di tahun 2004, saya yakin sekali Soeharto waktu itu masih merupakan tokoh yang bisa menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin Indonesia. Ibarat organisasi mafia di Itali, ia masih merupakan Godfather yang dari tempat tidurnya bisa mengatur pergerakan para pengikutnya.

Saya teringat dalam suatu talkshow-nya AA Gym, saat AA Gym sebagai presenter menanyakan apakah SBY akan mengusut kasus Soeharto, baik itu penelusuran hartanya di luar negeri maupun kasus-kasus yag lainnya? Pada waktu itu SBY diam saja, tidak menjawab! Bahkan beberapa detik sempat terjadi … hening … tanpa ada suara, sebelum akhirnya AA Gym menegur, “ Halo, halo pak … kok diem?” SBY tetap diam dan akhirnya iklan masuk sebagai penyelamat dan mencairkan suasana yang kaku. Dan setelah iklan berlalu AA Gym mengalihkan pertanyaan ke topik yang lain. Bukti lainnya adalah di kedua Pemilu baik tahun 2004 maupun 2009, Demokrat selalu menang di daerah Cendana.

So, kalau benar prediksi saya, tanpa Amien Rais sadari, dan juga mungkin tanpa PKS sadari, mereka telah berkoalisi dengan pewaris tahta musuh lamanya di kala reformasi. Menurut saya sebaikya kedua partai itu berkoalisi dengan Golkar “Baru” atau dengan Gerindra. Namun sayang sekali, seperti yang telah saya uraikan di atas, mereka semua kini sudah terjerat dan kehabisan waktu untuk berimprovisasi.


Akhir kata saya ingin mengingatkan kepada rekan-rekan sebangsa dan setanah air, bahwa seburuk apapun pemerintahan yang ada sekarang, yang menjadi musuh kita adalah their mind, pola pikirnya, sedang orang-orangnya adalah tetap saudara sebangsa yang mesti kita cintai juga. Pertanyaannya sekarang, bisakah kita berperang dengan their mind tanpa melukai orang-orangnya? Demi persatuan dan kesatuan bangsa, jawabnya adalah: harus bisa!!!

Dan mungkin juga demikianlah yang ada dalam benak saudara-saudara kita di PAN dan di PKS, mereka akan mengkoreksi dari dalam. Betapapun sulitnya mereka pasti akan mengeluarkan segenap kemampuannya demi kepentingan rakyat Indonesia. Hal yang sama juga akan dilakukan oleh beberapa partai oposisi untuk selalu mengontrol dengan ketat jalannya pemerintahan.

Dan semua yang mereka lakukan itu pastilah demi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dengan tanpa melupakan Persatuan Indonesia. Semoga begitu.
Amiiin ….
Wassalam.

Rudi Imam, 14 Juli 2009
http://rudiimam.blogdetik.com/2009/07/14/dinasti-soeharto-berlanjut-lagi/