Tuesday, July 22, 2014

Mengetuk Nurani


Empat tahun silam, tepat sepekan sebelum Ramadan, saya menginjakkan kaki di tanah Gaza, Palestina bersama para relawan dari Tanah Air. Selama hampir dua pekan saya berada di wilayah konflik yang berkepanjangan itu dan melihat langsung bencana kemanusiaan yang menyesakkan hati.

Belakangan ini memori pilu kembali muncul tentang pengungsi yang berdesakan di Camp Jabaliyah akibat Zionis Israel membombardir kawasan Gaza, tepatnya di Beit Al-Hanun, Beit Lahiya (Gaza Utara) dan wilayah Khan Yunis. Kini kejadian serupa kembali terulang, intensitas serangannya pun cukup gencar dan telah menewaskan ratusan korban sipil yang tak berdosa serta ribuan orang terluka.

Mempertahankan diri dijadikan argumen dalam aksi genosida Israel itu. Waktu bergulir begitu cepat. Tidak ada perubahan yang mendasar yang tercipta di tanah Palestina meski kita memang harus terus berdoa agar kemerdekaan Palestina benar-benar terwujud, tidak terjadi lagi penjajahan terhadap warga negara Palestina.

Dunia seharusnya sadar bahwa penjajahan Israel atas Palestina merupakan aib terhadap peradaban manusia modern yang harus segera dihapus. Pemberitaan soal kepiluan dan penderitaan rakyat Palestina di Jalur Gaza sudah sering menghiasi ruang publik. Berita itu memang fakta yang perlu dipublikasikan terus-menerus, agar kita sesama muslim mempunyai empati terhadap saudara-saudara kita yang tengah berjuang membebaskan wilayahnya dari cengkeraman kaum Zionis.


Dan sebenarnya jika kita mau berkaca, bukan hanya rakyat Palestina saja yang tengah dalam ujian berat dari masalah ini, melainkan kita sebagai pribadi muslim di seluruh dunia juga tengah diuji bagaimana sikap dan kepedulian kita terhadap penderitaan mereka.

Ini yang ditegaskan Allah dalam firman-Nya bahwa sesama orang beriman adalah bersaudara (QS.49: 10). Konflik panjang yang terjadi dan telah merenggut ribuan nyawa tak berdosa ini memang tidak lepas dari campur tangan asing yang bermain. Sementara negara-negara Islam maupun organisasi yang menaunginya juga tidak berdaya jika sudah terjadi kecamuk perang. Bahkan beberapa negara Islam yang semestinya menjadi ujung tombak sejumlah bantuan untuk rakyat di Palestina saat ini, justru tengah dilanda konflik internal di negaranya masing-masing serta beberapa yang lain berada dalam transisi pucuk kekuasaan yang belum stabil.

Kita menyaksikan ada dua negara Arab besar yang memboikot KTT darurat Liga Arab di Doha, Qatar yang sedianya direncanakan menghasilkan keputusan yang “keras” dan efektif untuk menghentikan kebiadaban Israel. Mesir yang menjadi negara tetangga Palestina juga tidak berkutik di bawah bayang-bayang Amerika Serikat dan sekutunya.

Mesir sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Jalur Gaza seharusnya bisa lebih kooperatif untuk dengan segera membuka pintu perbatasannya melalui Raffah agar sejumlah bantuan yang akan masuk, baik peralatan medis, obat-obatan, makanan, maupun relawan dari berbagai negara menuju Jalur Gaza tidak menemui kendala. Berbagai pihak menyesali kebijakan Mesir yang melakukan buka-tutup gerbang Raffah yang mengesankan Mesir seolah menganggap remeh penderitaan para korban.


Kita memang harus selalu menggelorakan hasrat kita untuk membantu perjuangan rakyat Palestina yang tengah tertindas itu. Minimal kita bisa menyampaikan doa dengan harapan menjadi salah satu upaya kita untuk memberi spirit bagi segenap warga Palestina yang tengah terluka. Bagaimanapun perang yang terjadi adalah perang yang tak seimbang. Jika kita menilik sejumlah peralatan perang yang dimiliki kedua belah pihak, terlihat nyata ketimpangan yang luar biasa. Selama ini sayap militer Hamas yaitu Brigade Assyahid Izzuddin Al-Qassam masih mengandalkan sejumlah peralatan tempur seadanya walaupun sudah memiliki beberapa roket yang cukup canggih.

Sementara pasukan Israel memiliki berbagai senjata modern yang ditopang teknologi canggih. Mereka memiliki tank Markava yang terkenal hebat di dunia, pesawat tempur F-16, heli tempur Apache, serta ribuan ton bom canggih buatan Amerika Serikat. Namun demikian, hasil pertempuran selama ini masih sulit diprediksi. Hingga kini negara penjajah tersebut seperti telah kehabisan cara untuk bagaimana menguasai Jalur Gaza sehingga menargetkan kalangan sipil termasuk wanita dan anak-anak dalam setiap serangan. Dan yang terjadi, selalu saja muncul pertolongan Allah yang datang mengiringi pasukan mujahidin seperti yang digambarkan Allah: “Jika kalian menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan sekaligus meneguhkan kedudukanmu.” (QS 47: 7)

Perdamaian di antara dua negara tersebut tampaknya tidak mungkin kita sandarkan kepada Dewan Keamanan PBB (DK PBB). Setiap upaya diplomasi yang dilakukan beberapa negara dalam mencari solusi keamanan selalu saja menemui jalan buntu. DK PBB gagal menetapkan resolusi dan mengkriminalisasikan Israel sebagai pelaku kejahatan perang. Selalu saja negara-negara pembela keadilan bagi Palestina kalah oleh hak veto yang menjadi jurus kunci negara-negara adidaya.


Ironisnya, kita juga tidak bisa menaruh harapan begitu saja kepada pihak-pihak yang tengah bertikai selama ini. Sebut saja gagasan perdamaian yang digagas dua kubu yang berseteru yakni Hamas dan Fatah, yang di Palestina sendiri telah berakhir dengan antiklimaks, alias nihil.

Entah berapa banyak lagi nyawa harus melayang untuk menjadikan negara Palestina merdeka, berdaulat, berdiri di atas kaki sendiri. Kini saatnya Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia dan beberapa negara Islam lain bersatu-padu melakukan langkah konkret bagi saudara-saudara kita yang teraniaya oleh zionis itu.

Bukankah jauh sebelumnya, yakni pada tahun 1962, presiden pertama kita Bung Karno telah dengan lantang berpidato di forum resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB):

Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang terhadap penjajahan Israel”.

Pemerintah Indonesia harus proaktif melakukan diplomasi untuk menggalang negara-negara nonblok dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) agar ikut peduli dan bertanggung jawab terhadap amanat penderitaan rakyat Palestina. Janganlah merasa sudah cukup dengan hanya melakukan pengecaman dan mengutuk terhadap aksi biadab Israel, tanpa melakukan langkah konkret dengan cara diplomasi internasional yang jitu dan nyata.

Negara-negara Islam yang selama ini tidur juga harus dibangunkan agar menjadi garda terdepan dalam mengambil langkah konkret dalam upaya menggalang negara-negara nonblok untuk segera menerjunkan pasukan perdamaiannya demi menjaga bumi Palestina agar Israel tidak seenaknya meluncurkan roket perangnya ke wilayah Palestina.

Mashuri NS,
Jurnalis SINDO TV
KORAN SINDO, 17 Juli 2014

No comments: