Showing posts with label Zionis. Show all posts
Showing posts with label Zionis. Show all posts

Tuesday, December 19, 2017

Sejarah Konflik di Jerusalem


Konflik di Jerusalem dimulai ribuan tahun lalu, termasuk saat zaman Al-Kitab, Kekaisaran Romawi, dan Perang Salib. Namun konflik di abad ke-20 ini berakar pada kolonialisme, nasionalisme, dan anti-Semitisme.

The New York Times meminta beberapa ahli untuk membimbing pembaca melewati momen-momen penting di Jerusalem sejak beberapa abad yang lalu.


1917-1948 Mandat Inggris
Pada Desember 1917, 100 tahun yang lalu di bulan ini, Jenderal Inggris Edmund Allenby mengambil alih Jerusalem dari Turki Ottoman. Dengan menghentikan kudanya, dia memasuki Kota Tua dengan berjalan kaki, melewati Gerbang Jaffa, untuk menghormati status sucinya.

Bagi Inggris, Jerusalem sangat penting. Mereka adalah orang-orang yang mendirikan Jerusalem sebagai ibu kota. Sebelumnya, tempat itu bukan ibu kota siapapun sejak zaman Kuil Pertama dan Kedua,” kata Profesor Yehoshua Ben-Arieh, ahli geografi sejarah di Hebrew University.

Tiga dekade pemerintahan Inggris yang diikuti dengan pengambilalihan Jerusalem oleh Allenby, membuka pintu bagi masuknya pemukim Yahudi. Mereka ditarik oleh pandangan Zionis tentang tanah air Yahudi. Sementara penduduk Arab setempat menyesuaikan diri dengan kenyataan runtuhnya Kekaisaran Ottoman, yang telah memerintah kota tersebut sejak 1517.


Paradoksnya, Zionisme tersingkir dari Jerusalem, terutama Kota Tua. Pertama karena Jerusalem dianggap sebagai simbol diaspora, dan yang kedua karena situs suci umat Kristen dan Islam dipandang sebagai komplikasi yang tidak memungkinkan penciptaan sebuah negara Yahudi dengan Jerusalem sebagai ibu kotanya,” jelas Amnon Ramon, peneliti senior di Institut Penelitian Kebijakan Jerusalem.

Menurutnya, Zionis awal adalah kaum sosialis sekuler Eropa. Mereka lebih termotivasi oleh nasionalisme, penentuan nasib sendiri, dan pelarian dari penganiayaan daripada agama.

Jerusalem adalah sebuah regresi terhadap budaya konservatif yang mereka coba pindahkan. Tel Aviv adalah kota baru yang cerah di atas bukit, enkapsulasi modernitas,” papar Michael Dumper, profesor politik Timur Tengah di Universitas Exeter di Inggris.


Ia mengatakan, bagi orang Arab, ada semacam kejutan karena mereka tidak lagi berada di Kekaisaran Ottoman. Ada penataan kembali di masyarakat mereka. Aristokrasi Palestina setempat, keluarga besar Jerusalem, muncul sebagai pemimpin gerakan nasional Palestina, yang tiba-tiba dihadapkan pada migrasi Yahudi.

Pertentangan migrasi tersebut memicu beberapa kerusuhan mematikan yang dilakukan orang-orang Palestina. Sementara orang-orang Yahudi menertawakan peraturan Inggris dan pembatasan imigrasi yang diberlakukan pada 1939. Pembatasan ini menghalangi banyak orang Yahudi yang melarikan diri dari Holocaust untuk masuk.

Setelah perang, pada 1947, PBB menyetujui sebuah rencana partisi untuk dua negara, satu Yahudi, satu Arab. Sementara Jerusalem diatur khusus oleh badan internasional karena statusnya yang unik.

Purnama di langit kota Tel Aviv.

1948-1967 Kota yang Terbagi
Orang-orang Arab menolak rencana pembagian wilayah ini. Sehari setelah Israel mengumumkan kemerdekaannya pada 1948, negara-negara Arab menyerang negara baru tersebut. Di tengah kekerasan yang dilakukan oleh milisi dan massa di kedua pihak, sejumlah besar orang Yahudi dan Arab mengungsi.

Jerusalem kemudian terbagi. Bagian barat menjadi bagian dari negara baru Israel (dan ibu kotanya, di bawah hukum Israel disahkan pada 1950). Sedangkan bagian timur, termasuk Kota Tua, diduduki oleh Yordania. “Bagi orang-orang Palestina, ini dilihat sebagai titik temu,” kata Profesor Dumper.

Israel dan Yordania, katanya, sebagian besar fokus di tempat lain. Israel membangun daerah pesisir yang makmur, termasuk Haifa, Tel Aviv, dan Ashkelon, menjadi zona komersial yang berkembang. Sementara Raja Yordania, Abdullah I, berfokus pada pengembangan ibu kota Yordania, Amman.


Negara Israel awalnya ragu-ragu untuk terlalu fokus pada Jerusalem. Menurut Issam Nassar, seorang sejarawan di Illinois State University, Israel mendapat tekanan dari PBB dan Eropa.

Selama dua dekade, Israel memindahkan banyak gedung pemerintahan ke Jerusalem. Namun, negara-negara lain menghindari Jerusalem untuk membuka kedutaan besar mereka dan lebih memilih Tel Aviv, demi menghormati resolusi Dewan Keamanan PBB.

Setelah menerima gagasan tentang kendali internasional terhadap Jerusalem, pemimpin Israel mencari alternatif tempat untuk dijadikan ibu kota, mungkin Herzliya atau suatu tempat di selatan. Israel juga menyadari, mereka tidak memiliki kendali atas situs suci Jerusalem.

Pembagian 4 wilayah di Kota Tua Jerusalem, 1. Muslim Quarter, 2. Christian Quarter, 3. Armenian Quarter, dan 4. Jewish Quarter.

1967-1993 Dua Perang dan Intifadah
Dalam perang Arab-Israel pada 1967, Israel tidak hanya berhasil mengalahkan tentara Arab, tetapi juga mengambil alih Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir, Tepi Barat dan Jerusalem Timur dari Yordania, dan Dataran Tinggi Golan dari Suriah.

Poin pada 1967 ada dua: kemenangan besar, termasuk pergeseran cepat dari ketakutan akan kekalahan sebelum perang sampai euforia dan perasaan segala sesuatu mungkin terjadi, dan dampak emosional setelah menduduki Kota Tua,” kata Menachem Klein, ilmuwan politik di Universitas Bar-Ilan di Israel.

Jerusalem menjadi pusat pengabdian seperti kultus, yang sebelumnya tidak pernah ada sebelumnya. Kota ini sekarang telah difetiskan ke tingkat yang luar biasa karena garis keras nasionalisme agama telah mendominasi politik Israel, dengan Tembok Barat sebagai fokusnya,” tambah Klein.

Ariel Sharon - Yasser Arafat (Kiri). Anwar Sadat - Jimmy Carter - Menachem Begin (Kanan Atas). Yitzhak Rabin - Bill Clinton - Yasser Arafat (Kanan Bawah).

Kemenangan partai Likud pada 1977, di bawah kepemimpinan Menachem Begin, membantu memperkuat penekanan bahwa Jerusalem adalah bagian integral dari identitas Israel. Pemukim agama menjadi lebih menonjol dalam kehidupan politik di Israel.

Kaum sosialis garis keras yang berakar di Rusia dan Eropa Timur memberi jalan masuk kepada populasi Israel yang lebih beragam, dan juga lebih religius, yang berasal dari Timur Tengah, Afrika Utara, dan daerah lainnya.

Proses ini memuncak pada 1980, ketika anggota parlemen mengeluarkan sebuah undang-undang yang menyatakan “Jerusalem yang lengkap dan bersatu, adalah ibu kota Israel.” Langkah ini kemudian menimbulkan kemarahan internasional.

Wilayah Palestina makin hari makin menyusut, sementara itu wilayah jajahan Israel makin hari makin bertambah luas.

1993-sekarang, Oslo dan seterusnya
Perjanjian Oslo pada 1993 mengatur pembentukan Otoritas Palestina untuk memerintah Tepi Barat dan Jalur Gaza. Sementara resolusi isu-isu utama masih ditangguhkan, yaitu isu perbatasan, pengungsi, dan status Jerusalem.

Kunjungan politisi sayap kanan Ariel Sharon pada 2000 ke kompleks suci yang dikenal orang Yahudi sebagai Temple Mount dan Muslim sebagai Tempat Suci, yang berisi Masjid Al-Aqsha dan Kubah Batu, memicu bentrokan. Pemberontakan kedua ini merenggut nyawa sekitar 3.000 warga Palestina dan 1.000 warga Israel selama lima tahun.


Orang-orang Palestina mengatakan pemukim Yahudi telah merambah Jerusalem Timur dan Israel telah menambah masalah dengan mencabut izin tinggal warga Palestina. Meski begitu, komposisi etnis penduduk Jerusalem tetap sekitar 30 persen sampai 40 persen warga Arab.

Seluruh masyarakat internasional telah sepakat, bahwa pendudukan Israel di Jerusalem Timur sejak 1967 adalah ilegal, dan menolak untuk mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel,” jelas Profesor Khalidi.

Jika Trump mengubah posisi ini, mengingat pentingnya Jerusalem bagi orang Arab dan umat Muslim, sulit untuk melihat bagaimana kesepakatan Palestina-Israel yang berkelanjutan atau normalisasi tradisional Arab-Israel akan mungkin terjadi,” kata dia.

Sumber:
Republika.co.id
7 Desember 2017

Tuesday, July 22, 2014

Mengetuk Nurani


Empat tahun silam, tepat sepekan sebelum Ramadan, saya menginjakkan kaki di tanah Gaza, Palestina bersama para relawan dari Tanah Air. Selama hampir dua pekan saya berada di wilayah konflik yang berkepanjangan itu dan melihat langsung bencana kemanusiaan yang menyesakkan hati.

Belakangan ini memori pilu kembali muncul tentang pengungsi yang berdesakan di Camp Jabaliyah akibat Zionis Israel membombardir kawasan Gaza, tepatnya di Beit Al-Hanun, Beit Lahiya (Gaza Utara) dan wilayah Khan Yunis. Kini kejadian serupa kembali terulang, intensitas serangannya pun cukup gencar dan telah menewaskan ratusan korban sipil yang tak berdosa serta ribuan orang terluka.

Mempertahankan diri dijadikan argumen dalam aksi genosida Israel itu. Waktu bergulir begitu cepat. Tidak ada perubahan yang mendasar yang tercipta di tanah Palestina meski kita memang harus terus berdoa agar kemerdekaan Palestina benar-benar terwujud, tidak terjadi lagi penjajahan terhadap warga negara Palestina.

Dunia seharusnya sadar bahwa penjajahan Israel atas Palestina merupakan aib terhadap peradaban manusia modern yang harus segera dihapus. Pemberitaan soal kepiluan dan penderitaan rakyat Palestina di Jalur Gaza sudah sering menghiasi ruang publik. Berita itu memang fakta yang perlu dipublikasikan terus-menerus, agar kita sesama muslim mempunyai empati terhadap saudara-saudara kita yang tengah berjuang membebaskan wilayahnya dari cengkeraman kaum Zionis.


Dan sebenarnya jika kita mau berkaca, bukan hanya rakyat Palestina saja yang tengah dalam ujian berat dari masalah ini, melainkan kita sebagai pribadi muslim di seluruh dunia juga tengah diuji bagaimana sikap dan kepedulian kita terhadap penderitaan mereka.

Ini yang ditegaskan Allah dalam firman-Nya bahwa sesama orang beriman adalah bersaudara (QS.49: 10). Konflik panjang yang terjadi dan telah merenggut ribuan nyawa tak berdosa ini memang tidak lepas dari campur tangan asing yang bermain. Sementara negara-negara Islam maupun organisasi yang menaunginya juga tidak berdaya jika sudah terjadi kecamuk perang. Bahkan beberapa negara Islam yang semestinya menjadi ujung tombak sejumlah bantuan untuk rakyat di Palestina saat ini, justru tengah dilanda konflik internal di negaranya masing-masing serta beberapa yang lain berada dalam transisi pucuk kekuasaan yang belum stabil.

Kita menyaksikan ada dua negara Arab besar yang memboikot KTT darurat Liga Arab di Doha, Qatar yang sedianya direncanakan menghasilkan keputusan yang “keras” dan efektif untuk menghentikan kebiadaban Israel. Mesir yang menjadi negara tetangga Palestina juga tidak berkutik di bawah bayang-bayang Amerika Serikat dan sekutunya.

Mesir sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Jalur Gaza seharusnya bisa lebih kooperatif untuk dengan segera membuka pintu perbatasannya melalui Raffah agar sejumlah bantuan yang akan masuk, baik peralatan medis, obat-obatan, makanan, maupun relawan dari berbagai negara menuju Jalur Gaza tidak menemui kendala. Berbagai pihak menyesali kebijakan Mesir yang melakukan buka-tutup gerbang Raffah yang mengesankan Mesir seolah menganggap remeh penderitaan para korban.


Kita memang harus selalu menggelorakan hasrat kita untuk membantu perjuangan rakyat Palestina yang tengah tertindas itu. Minimal kita bisa menyampaikan doa dengan harapan menjadi salah satu upaya kita untuk memberi spirit bagi segenap warga Palestina yang tengah terluka. Bagaimanapun perang yang terjadi adalah perang yang tak seimbang. Jika kita menilik sejumlah peralatan perang yang dimiliki kedua belah pihak, terlihat nyata ketimpangan yang luar biasa. Selama ini sayap militer Hamas yaitu Brigade Assyahid Izzuddin Al-Qassam masih mengandalkan sejumlah peralatan tempur seadanya walaupun sudah memiliki beberapa roket yang cukup canggih.

Sementara pasukan Israel memiliki berbagai senjata modern yang ditopang teknologi canggih. Mereka memiliki tank Markava yang terkenal hebat di dunia, pesawat tempur F-16, heli tempur Apache, serta ribuan ton bom canggih buatan Amerika Serikat. Namun demikian, hasil pertempuran selama ini masih sulit diprediksi. Hingga kini negara penjajah tersebut seperti telah kehabisan cara untuk bagaimana menguasai Jalur Gaza sehingga menargetkan kalangan sipil termasuk wanita dan anak-anak dalam setiap serangan. Dan yang terjadi, selalu saja muncul pertolongan Allah yang datang mengiringi pasukan mujahidin seperti yang digambarkan Allah: “Jika kalian menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan sekaligus meneguhkan kedudukanmu.” (QS 47: 7)

Perdamaian di antara dua negara tersebut tampaknya tidak mungkin kita sandarkan kepada Dewan Keamanan PBB (DK PBB). Setiap upaya diplomasi yang dilakukan beberapa negara dalam mencari solusi keamanan selalu saja menemui jalan buntu. DK PBB gagal menetapkan resolusi dan mengkriminalisasikan Israel sebagai pelaku kejahatan perang. Selalu saja negara-negara pembela keadilan bagi Palestina kalah oleh hak veto yang menjadi jurus kunci negara-negara adidaya.


Ironisnya, kita juga tidak bisa menaruh harapan begitu saja kepada pihak-pihak yang tengah bertikai selama ini. Sebut saja gagasan perdamaian yang digagas dua kubu yang berseteru yakni Hamas dan Fatah, yang di Palestina sendiri telah berakhir dengan antiklimaks, alias nihil.

Entah berapa banyak lagi nyawa harus melayang untuk menjadikan negara Palestina merdeka, berdaulat, berdiri di atas kaki sendiri. Kini saatnya Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia dan beberapa negara Islam lain bersatu-padu melakukan langkah konkret bagi saudara-saudara kita yang teraniaya oleh zionis itu.

Bukankah jauh sebelumnya, yakni pada tahun 1962, presiden pertama kita Bung Karno telah dengan lantang berpidato di forum resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB):

Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang terhadap penjajahan Israel”.

Pemerintah Indonesia harus proaktif melakukan diplomasi untuk menggalang negara-negara nonblok dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) agar ikut peduli dan bertanggung jawab terhadap amanat penderitaan rakyat Palestina. Janganlah merasa sudah cukup dengan hanya melakukan pengecaman dan mengutuk terhadap aksi biadab Israel, tanpa melakukan langkah konkret dengan cara diplomasi internasional yang jitu dan nyata.

Negara-negara Islam yang selama ini tidur juga harus dibangunkan agar menjadi garda terdepan dalam mengambil langkah konkret dalam upaya menggalang negara-negara nonblok untuk segera menerjunkan pasukan perdamaiannya demi menjaga bumi Palestina agar Israel tidak seenaknya meluncurkan roket perangnya ke wilayah Palestina.

Mashuri NS,
Jurnalis SINDO TV
KORAN SINDO, 17 Juli 2014