Showing posts with label Ahok. Show all posts
Showing posts with label Ahok. Show all posts

Wednesday, November 9, 2016

Bung Jokowi, Jangan Terlambat!


Demo umat Islam yang dipimpin para ulama, zuama dan habaib Jakarta plus tokoh-tokoh dari berbagai kalangan (LSM, musisi, politisi, dll), pada 4 November lalu berlangsung damai. Memang ada kericuhan sekitar pukul 20.00 WIB, tetapi secara keseluruhan aksi itu berakhir damai. Alhamdulillah.

Saya berada di tengah massa pengunjuk rasa yang jumlahnya mungkin tiga kali lebih besar dari demo politik saat reformasi 20 Mei 1998 di halaman gedung DPR/MPR yang dijuluki sebagai people power Indonesia. Saya terharu melihat kehati-hatian para pemuda yang berdemo itu. Terlalu sering saya mendengar seruan para satgas: “Awas, jangan menginjak-injak rumput”, “Hei, hei, jangan menginjak tanaman,” juga seruan “Hati-hati, hati-hati, provokasi.”

Karena itu, di pengujung demo ketika terjadi pembakaran tiga mobil polisi, saya yakin, kejadian itu mustahil dilakukan demonstran. Mereka tulus dan tampak gembira sambil saling mengingatkan bahaya provokasi dari luar. Di samping pekikan takbir, lagu-lagu perjuangan juga terus diperdengarkan.

Umat Islam Indonesia tetap menjunjung tinggi Merah-Putih, tetap setia kepada NKRI.

Soal cinta mereka pada sang saka merah putih juga sangat mengesankan. Seorang Satgas bercerita pada saya, dia dan teman-temannya kecewa berat ketika pada 3 November sore mencari bendera merah putih ke Pasar Senen, ternyata sudah ludes. Bendera merah-putih dengan berbagai ukuran sudah diborong habis oleh para peserta demo.

Kita juga melihat bendera merah putih ukuran raksasa dibentangkan di atas kepala ribuan pendemo yang berkerumun di Bundaran BI (Bank Indonesia). Allahu Akbar !!! Kesetiaan pada agama dan cinta Tanah Air dari lautan manusia itu membuat banyak mata berkaca-kaca. Bahkan, banyak ibu-ibu yang mengusap air mata yang mengalir di pipi mereka.

Bung Jokowi, rasanya demo Aksi Damai 4 November lalu adalah demo terbesar yang pernah terjadi di persada Indonesia. Oleh karena itu, sekali-kali jangan Anda remehkan! Dari Maluku sampai Aceh, dari Medan sampai Malang, dari Solo sampai Makassar, dari semua kota besar dan mungkin semua kabupaten di Indonesia, masyarakat bergerak ikhlas dan spontan menuntut hal yang sama: Adili Ahok, penista Al-Quran dan penghina ulama, secepat mungkin.

Tokoh Reformasi 1998 dan mantan Ketua MPR-RI, Dr. Amien Rais pun turun gunung untuk ikut serta dalam Aksi Damai 4 November 2016.

Tidak mungkin ada seorang tokoh dengan kharisma sehebat apa pun, tidak ada koodinator lapangan (korlap) dengan biaya sebanyak apa pun, dan tidak ada kekuasaan yang berasal dari mana pun yang dapat menggerakkan jutaan anak bangsa dengan tuntutan yang sama.

Bung Jokowi, saya yakin Aksi Damai 4 November itu digerakkan para malaikat. Ramalan cuaca Badan Meteorologi mengatakan 4 November akan ada hujan lebat. Ternyata? Mendung merata melingkupi Jakarta sehingga demonstran ikut sejuk hatinya, di samping memang sudah diniatkan sejak awal harus menjadi demo sejuk dan damai.

Sesuai ramalan ilmiah BMKG, harusnya Jakarta mengalami hujan dan petir di Jumat siang. Namun tidak ada gerimis, tidak terlihat kilat petir dan halilintar, apalagi geluduk yang sering membarengi hujan lebat. Manusia boleh meramal, tapi takdir Allah yang berjalan.

Apakah ini sekedar fenomena alam yang kebetulan dan biasa saja? Wallahu a'lam.

Bung Jokowi, saya dapat sepenuhnya memahami, bila ratusan ribu (ada yang memperkirakan sekitar satu juta orang) peserta Aksi Damai 4 November itu sangat kecewa dengan Anda. Bukankah Anda Presiden mereka juga?

Mengapa Anda memilih menghindar dan pergi ke bandara melihat-lihat hal sepele yang bisa Anda tunda kapan saja? Mengapa Anda menggunakan teknik prokrastinasi (mengulur-ulur waktu), mengabaikan hal mendesak yang harus segera diatasi dan mengalihkan perhatian ke sasaran lain yang jelas dapat ditunda?

Ketika kita kaget saat demo tanggal 14 Oktober lalu di depan Balai Kota dan Kantor Bareskrim yang menghadirkan puluhan ribu orang, dengan tuntutan yang Anda tentu sudah mafhum, tiba-tiba Anda menggebu bicara pungli. Pungli! Teknik prokrastinasi itu ternyata kandas.

Mestinya Bung Jokowi tidak mengulangi teknik yang sama menghadapi demo Aksi Damai 4 November, yang menurut saya, sudah sampai ke tahapan unstoppable. Tidak mungkin lagi dapat dihentikan. Dengan memakai teknik apa pun, apakah dengan ancaman, hardikan, dengan iming-iming berbagai janji yang membius, yakinlah, semuanya akan kandas.


Namun Bung Jokowi, kita mengucap Alhamdulillah, setelah kita mendengar garansi Anda tentang kasus skandal Ahok yang Anda sampaikan di Istana pada dini hari 5 November. Sikap Anda yang tegas memang sudah ditunggu dalam sebulan terakhir ini.

Setelah Anda kabur menghindar, akhirnya Anda berjanji, “...bahwa proses hukum terhadap saudara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan dilakukan secara tegas, cepat, dan transparan.” Kemudian, Anda mengatakan sesuatu yang melegakan, “Biarkan aparat keamanan menyelesaikan proses penegakan hukum seadil-adilnya.” Dus, penegakan hukum atas skandal Ahok memang harus tegas, cepat, transparan, dan adil.

Bung Jokowi, satu hal penting harus saya ingatkan. Dalam kehidupan orang Jawa, harga diri keluarga dan harga diri menyangkut hak milik kita, wajib dilindungi. Guru bahasa Jawa saya di SMP Muhammadiyah Solo menyuruh murid-muridnya menghafal di luar kepala selusinan pepatah-petitih Jawa. Antara lain: “sadumuk bathuk sanyari bumi, pecahing dada, wutahing ludira, ditohi pati.

Karena Anda juga lahir dan besar di Solo, guru bahasa Jawa Anda tentu juga mengajarkan hal ini. Bila satu atau dua jari lelaki lain berani sembarangan memegang dahi istri kita (sadumuk bathuk), orang Jawa akan mengambil risiko dadanya terbelah dan darahnya tumpah, bahkan nyawa pun dipertaruhkan untuk melindungi kehormatan keluarga. Demikian juga bila sejengkal tanah miliknya (sanyari bumi) diserobot orang lain.

Para peserta demo Aksi Damai 411, berkumpul di Masjid Istiqlal untuk menjalankan Shalat Jumat.

Bung Jokowi, orang beriman menempatkan Allah, Rasul, dan Kitab Suci-Nya jauh di atas sadumuk bathuk, sanyari bumi tersebut. Al-Quran surat At-Taubah ayat 24 dengan jelas menerangkan, bila kaum beriman mencintai bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, keluarga dekat, harta kekayaan mereka, perniagaan yang ditakuti ruginya, sampai rumah yang disenanginya ternyata lebih besar dari cintanya pada Allah, Rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya, maka mereka dipersilakan menunggu keputusan (palu godam) dari Allah.

Bung Jokowi, lautan manusia yang berdemo di depan Istana 4 November lalu sedang mengekspresikan kecintaan puncaknya pada agama mereka. Kami bukannya tidak tahu kesulitan Anda menghadapi skandal Ahok itu. Ibarat menghadapi buah simalakama, mungkin tepat sebagai analogi posisi Anda menghadapi skandal Ahok. Memang sangat dilematis.

Bila Anda dorong proses hukum yang tegas, cepat, transparan dan adil, dan hasil logisnya Ahok terkena hukuman badan, maka sejumlah pemodal yang cukup digdaya yang mungkin telah banyak membiayai kampanye Anda sewaktu maju di Pilkada Jakarta dan kemudian Pilpres 2014, akan marah besar.

Karena itu, Anda jadi gamang. Ahok adalah kunci awal untuk melicinkan rencana besar mereka buat negara kita. Ini hipotesis saya.

Ratusan ribu umat Islam peserta demo Aksi Damai 411 nampak menyemut di sekitar Bundaran BI (Bank Indonesia), Jakarta.

Sebaliknya, bila Ahok lolos dari jeratan hukum karena praktik hukum di Indonesia yang sering masih bisa dibengkak-bengkokkan, sebagian rakyat (sebagian besar rakyat, saya yakin), akan membuat perhitungan dengan Anda. Dengan kata lain, people power yang dikhawatirkan banyak kalangan akan bisa menjadi kenyataan.

Akhirnya, Bung Jokowi, saya harap dalam situasi pelik ini sisa-sisa jiwa petarung Anda dapat muncul lagi. Anda dulu, sebagai Walikota Solo berani menentang keinginan pemodal besar yang ingin membangun mall di atas lahan bangunan kuno bekas pabrik es Saripetojo.

Alasan Anda tegas: keberadaan mall bisa menggerus rezeki rakyat kecil yang sudah puluhan tahun berdagang di sekitar lokasi. Malah bangunan pabrik es itu (didirikan pada 1888) layak dijadikan cagar budaya.

Dan jiwa petarung Anda muncul lagi setelah jadi Presiden. Anda tetap melaksanakan hukuman mati kepada 10 orang bandar narkoba, semuanya asing, kecuali satu. Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan, Anda berprinsip sekalipun ada 1.000 negara lain dan 1.000 Sekjen PBB yang mengancam, hukuman mati akan tetap dilaksanakan. We were proud of you.

Presiden Jokowi tak mau menemui delegasi pimpinan demo Aksi Damai 411 dengan alasan sedang meninjau proyek di Bandara Soetta, Cengkareng. Baru pada dini hari beliau menyampaikan pidato singkat setelah terjadi sedikit kericuhan di depan Istana.

Ayo, Bung Jokowi, kali ini tunjukkan lagi jiwa petarung Anda. Jangan sampai muncul people power di Indonesia gara-gara seorang Ahok. Anda tahu, di Amerika Latin, di Timur Tengah dan di Asia tidak ada satupun kepala negara yang dapat mengalahkan people power rakyatnya. Kita sudah dua kali menyaksikan itu di Indonesia. Pada 1966 dan 1998.

Saya yakin Anda bisa. Dengarkan baik-baik masukan dari berbagai kalangan, jangan hanya mendengarkan orang-orang di sekeliling Anda yang pasti bermental ABS (Asal Bapak Senang). Seorang pemimpin runtuh biasanya karena masukan picik dari orang-orang sekeliling sang pemimpin. Kebanyakan mereka adalah orang-orang yang berpikir jangka pendek dan telah kehilangan wawasan jangka panjang, sehingga buta, tuli, serta pekok terhadap kepentingan nasional bangsanya.

Bung Jokowi, hari sudah menjelang pagi. Bangun, bangun, bangun ...!!!

Amien Rais,
Tokoh Reformasi 1998 dan Mantan Ketua MPR
REPUBLIKA, 8 November 2016

Wednesday, March 16, 2016

Menanti Sang Penantang Ahok


Pemilihan Gubernur DKI Jakarta baru akan digelar April 2017 dalam pilkada serentak kedua. Namun, gaungnya sudah terasa. Maklum, ini pilkada di ibu kota negara.

Sebagai petahana, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sudah menyatakan akan maju lewat perseorangan, berpasangan dengan Heru Budi Hartono, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) DKI. Sejak tahun lalu, komunitas Teman Ahok sudah bekerja keras mengumpulkan KTP para pemilih DKI agar Ahok bisa maju lewat jalur perseorangan. Mereka sadar bahwa Ahok bukan orang partai sehingga rentan tak mendapatkan dukungan partai. Sejauh ini satu-satunya dukungan partai yang telah diperolehnya hanya dari Nasdem yang hanya memiliki lima kursi di DPRD DKI Jakarta. Komitmen tersebut bahkan diwujudkan dengan membentuk Muda-Mudi Ahok untuk membantu Teman Ahok.

Keputusan cepat Ahok untuk maju lewat perseorangan bisa dipahami karena syarat pencalonan perseorangan memang tidak mudah. Untuk DKI Jakarta, setidaknya dibutuhkan 532.210 KTP atau 7,5 persen dari jumlah pemilih. Sampai sejauh ini data yang tertera di situs temanahok.com sudah 784.977 KTP. Artinya sudah melampaui batas minimum persyaratan. Namun, pengumpulan masih dilanjutkan karena targetnya satu juta KTP.

Tak ada yang salah dengan pilihan Ahok untuk maju lewat perseorangan karena itu merupakan hak pribadi yang tak perlu digugat karena sesuai UU Pilkada. Pada Pilgub DKI Jakarta 2012 juga ada dua pasangan perseorangan, yakni Faisal Basri-Biem Benyamin dan Hendardji Supandji-Ahmad Riza Patria. Hanya saja, harus diakui bahwa ada sedikit komunikasi yang kurang baik antara Ahok dan PDI Perjuangan (PDI-P). Permintaan Ahok untuk memperoleh jawaban cepat dari PDI-P tentang dukungan pencalonannya dinilai telah mengganggu mekanisme yang ada dalam partai dan dianggap sebagai upaya untuk mendekonstruksi mekanisme yang berlangsung di internal PDI-P.


Petahana
Seperti halnya di banyak daerah, petahana jelas merupakan kompetitor terberat bagi sang penantang. Hal ini bisa dipahami karena ia memiliki popularitas, SDM, dan jaringan yang lebih baik daripada para penantangnya. Kinerjanya selama lima tahun merupakan modal besar yang bisa dijual kepada rakyat. Namun, bukan berarti telah pasti menang. Jika merujuk pada hasil pilkada serentak 9 Desember 2015, mayoritas petahana memang lebih unggul. Dari 82,5 persen petahana yang ikut pilkada serentak tersebut, 63,2 persen di antaranya menang.

Sebagai kepala daerah, Ahok termasuk paling kontroversial. Karakternya yang meledak-ledak dan tak jarang dengan “bahasa pasar” merupakan fenomena yang tak biasa di kalangan pemimpin pemerintahan. Bagi sebagian orang, karakter Ahok tersebut dipandang sebagai kelemahan utamanya. Sebab, ia bukan saja dinilai telah melabrak tata krama dan kesantunan pemimpin pemerintahan, melainkan juga tata nilai masyarakat Indonesia. Kepala daerah dianggap bukan sekadar pemimpin pemerintahan, melainkan juga teladan (role model) bagi rakyat yang dipimpinnya.

Bertentangan dengan hal tersebut, sebagian publik lainnya bersikap permisif. Terutama bagi kalangan muda. Menurut mereka, hal itu bukan isu krusial karena dilakukan untuk membenahi kebobrokan birokrasi dan ketidaktertiban kota. Dengan ketegasan dan karakternya itu, Ahok justru dinilai bukan pemimpin hipokrit yang retorikanya indah, tapi rasanya pahit. Di mata mereka, Ahok justru berhasil melakukan sejumlah terobosan, seperti penertiban pasar-pasar tradisional dan pedagang kaki lima (PKL), masalah angkutan jalan raya, khususnya transjakarta dan kopaja, pembersihan Ciliwung dan Waduk Ria-Rio, penyegelan Mal Tebet Green yang tak berizin, dan penggusuran lokasi prostitusi Kalijodo.


Keberhasilan lain yang juga dinilai fenomenal adalah dalam mengatasi masalah efisiensi anggaran dan reformasi birokrasi. Umum diketahui bahwa korupsi, penyelewengan anggaran, dan pelayanan publik yang buruk telah menjadi noda hitam birokrasi dan pemerintahan. Dalam hal ini, Ahok dinilai berhasil menurunkannya dengan memperkenalkan e-budgeting dan melakukan pengawasan ketat terhadap penggunaan anggaran. Nyanyiannya tentang dana siluman dan masalah UPS (uninterruptible power supply) yang diduga juga melibatkan oknum-oknum di DPRD tak urung telah menimbulkan perseteruan dan ketidakharmonisan hubungan antara Ahok dan DPRD.

Sementara, di dalam pemerintahannya, banyak pejabat yang juga tak nyaman dengan kebijakan Ahok, khususnya, karena sikapnya yang sering bongkar pasang pejabat untuk mencari orang yang sesuai dengan visi, misi, dan cara kerjanya. Wali Kota Jakarta Selatan, misalnya, pernah dipecatnya karena dianggap tidak tegas.

Terlepas dari pro-kontra atas karakternya, Ahok jelas merupakan “musuh bersama” bagi penantangnya, khususnya dari partai. Apalagi karena sikap Ahok yang dipandang kurang menghargai eksistensi fungsi dan peran partai. Sebagaimana diketahui, tak lama setelah menjadi gubernur, Ahok memutuskan keluar dari Gerindra, partai yang mengusungnya. Ia juga dinilai tak mampu menjaga hubungan yang harmonis dengan mitranya di DPRD. Bahwa sampai hari ini belum satu partai pun yang mengumumkan pasangan calonnya (kecuali Nasdem), untuk satu hal bisa dimaknai sebagai kehati-hatian mereka dalam mempertimbangkan pasangan cagub-cawagub yang bisa mengungguli Ahok dan sesuai harapan pemilih DKI yang rasional.


Terlepas dari “karakter negatif”-nya, para penantangnya harus bisa meyakinkan publik tentang konsep dan program konkret dalam membangun DKI Jakarta yang lebih baik daripada Ahok. Selain itu, pasangan tersebut juga harus merupakan pasangan yang memiliki ketokohan kuat.

Setidaknya ada tiga kriteria yang perlu diperhatikan partai dalam mengusung/mendukung calonnya. Pertama, sosok itu harus memiliki integritas yang kuat, yakni bersih, lugas, dan berani.

Dalam era keterbukaan dan kebebasan, yang dibutuhkan bukan sekadar pemimpin yang jujur, melainkan juga yang apa adanya, melayani, dan punya nyali besar. Apalagi di ibu kota negara yang disinyalir banyak mafianya. Namun, ini tak berarti harus kasar dan tak memedulikan sopan santun.

Kedua, sosok itu harus memiliki rekam jejak yang baik sebagai referensi. Lebih utama yang pernah menjadi kepala daerah. Pengalaman karier Joko Widodo (Jokowi), misalnya, merupakan contoh nyata. Ketiga, selain dukungan partai, sosok tersebut merupakan tokoh yang merakyat dan bukan sosok yang tinggal di menara gading. Kemampuan pemimpin dalam menyerap aspirasi dan memahami kebutuhan rakyatnya merupakan faktor penting yang mempengaruhi tingkat legitimasi dan kharisma kepemimpinannya.


Penantang Ahok
Sejauh ini ada banyak nama yang ikut meramaikan bursa cagub DKI, tetapi kebanyakan bukan kader partai besar yang berpotensi mengusung calonnya. Dengan 28 kursi di DPRD DKI, hanya PDI-P yang bisa mengusung cagub-cawagubnya secara sendiri. Partai lain harus berkoalisi karena syarat minimal pengajuan cagub-cawagub DKI Jakarta 22 kursi (20 persen). Namun, seperti halnya partai lain, PDI-P juga belum menentukan calonnya. Selain karena alasan mekanisme partai, bagi partai salah satu masalah utamanya adalah soal tawar-menawar “mahar politik”. Bagi publik, soal ini ibarat makhluk gaib yang hanya bisa diyakini adanya, tetapi sulit dibuktikan wujudnya, sebab tak satu partai pun mau mengakuinya.

Melihat sifat koalisi partai dalam pilpres maupun pilkada selama ini yang lebih bersifat pragmatis ketimbang ideologis, tak mudah memetakan secara pasti peta koalisi partai dalam Pilgub DKI. Bukan tak mungkin ada pula partai yang mengikuti jejak Nasdem mendukung Ahok. Namun, jika dilihat dari jumlah kursinya, boleh jadi setidaknya akan ada tiga pasangan calon penantang Ahok. Pertama, sebagai pemilik kursi terbesar (28 kursi), PDI-P boleh jadi akan maju sendiri dengan mengusung pasangan kadernya atau dengan memilih pendamping dari kalangan profesional/nonpartai. Bagi PDI-P, ini bukan hal aneh. Salah satunya adalah pasangan Tri Rismaharini dan Wisnu Sakti Buana yang memenangi Pemilihan Wali Kota Surabaya dalam pilkada serentak 2015.

Kedua, sebagai partai kedua terbesar, bisa jadi Gerindra juga akan mengajukan cagubnya. Namun, dengan 15 kursi di DPRD, ia harus berkoalisi dengan setidaknya satu partai menengah. Ketiga, seperti Pilgub DKI 2012, sebagai partai terbesar ketiga (11 kursi), tak tertutup kemungkinan PKS juga berpotensi mengusung cagubnya dengan syarat harus berpasangan dengan setidaknya dua partai lain. Akan tetapi, karena jumlah kursinya yang hanya berselisih satu kursi (11 kursi) dengan tiga partai lainnya (Demokrat, PPP, dan Hanura yang masing-masing 10 kursi), bukan tak mungkin PKS hanya akan menempatkan calonnya sebagai DKI 2.


Meski masalah suku/etnis tak lagi menjadi unsur pokok, tidak berarti tidak penting. Isu representasi dalam politik masih menjadi salah satu pertimbangan signifikan dalam pilkada. Ini bukan sekadar masalah kebhinnekaan, melainkan tentang strategi untuk memenangi kontestasi. Sebab, tidak semua pemilih DKI merupakan pemilih rasional.

Sebagai gambaran, menurut Sensus Penduduk 2010, empat suku/etnis terbesar di DKI adalah Jawa (35,16 persen), Betawi (27,65 persen), Sunda (15,27 persen), dan Tionghoa (5,53 persen). Sebagian kekalahan Fauzi Bowo dan Nachrawi Ramli karena keduanya menafikan hal itu atau sama-sama Betawi.

Ahok sudah melempar tantangannya. Namun, sampai sejauh ini, kecuali Nasdem, tak satu partai pun yang telah mengumumkan calonnya. Bagi publik, lebih cepat lebih baik karena mereka akan lebih bisa mengenal calonnya. Tidak seperti orang yang membeli kucing dalam karung. Yang jelas, kehadiran calon perseorangan merupakan hal positif yang dapat mencegah partai untuk tidak mem-fait accompli rakyat dengan calon yang tak diinginkan.

Sebab, tujuan pilkada langsung adalah untuk menghasilkan pemimpin terbaik, bukan semata-mata sekadar pergantian penguasa.

R Siti Zuhro,
Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
KOMPAS, 15 Maret 2016

Thursday, November 27, 2014

Pahlawan Kesiangan


Tulisan ini kesiangan. Hari Pahlawan sudah lewat, kok baru nulis tentang pahlawan? Dalam dunia pers istilahnya “sudah lewat momentumnya”. Tetapi memang saya tidak bermaksud mengejar momentum, apalagi “kejar tayang”.

Saya justru ingin melihat apa saja yang dilakukan oleh anak-anak bangsa ini untuk memperingati Hari Pahlawan di era Revolusi Mental ini. Adakah perubahan perilaku atau masih sama saja dengan yang dulu-dulu? Tetapi persis seperti yang sudah saya duga, acara Hari Pahlawan masih yang itu-itu juga, misalnya peragaan perang di Surabaya tanggal 10 November 1945.

Dengan Bung Tomo mengepalkan tangan ke atas, dan anak-anak sekolah berpakaian ala seragam tentara rakyat yang sudah tertanam di benak mereka, yaitu seragam warna cokelat khaki, dengan simbol merah-putih di dada, dan ikat kepala merah-putih terbuat dari ikat leher Pramuka (walaupun zaman itu belum ada Pramuka). Tidak aneh, kalau keesokan harinya, pasca-peringatannya, orang sudah lupa lagi pada hari Pahlawan, apalagi pada makna kepahlawanan itu sendiri.

Konon, Dr Philip Zimbardo adalah psikolog sosial paling kondang saat ini.

Pada tahun 2008, di sebuah Kongres Psikologi Internasional di Berlin, Jerman, saya menghadiri sebuah paparan tentang heroisme (kepahlawanan) oleh psikolog sosial paling kondang saat ini, Dr Philip Zimbardo. Dalam paparan yang dihadiri sekitar 1.000 psikolog sedunia itu, Dr Zimbardo menayangkan sebuah rekaman CCTV singkat yang sangat mencekam.

Dalam CCTV itu, tampak suasana di sebuah stasiun Metro (kereta api bawah tanah) di London, dengan sebuah kereta api sedang meluncur dari kegelapan dan sudah terlihat lampunya akan segera masuk kawasan stasiun. Tiba-tiba seorang balita terjatuh dari kereta dorong ibunya yang berdiri terlalu di pinggir peron (tempat tunggu penumpang). Balita itu pun jatuh langsung masuk di tengah-tengah dua rel yang sekejap lagi akan dilewati kereta api.

Seketika semua orang menjerit histeris, dan tentu saja ibu yang malang itu berteriak paling histeris. Semua panik. Sebentar lagi si balita akan remuk digilas kereta api. Tetapi tiba-tiba sesosok laki-laki meloncat turun dari peron ke rel dan segera bertiarap dengan memeluk balita. Sekejap kemudian kereta api Metro menderu lewat di atas kepala mereka, dan ketika kereta itu berhenti, balita dan laki-laki itu sama-sama selamat, tidak ada yang terluka sedikit pun.

Pasca peristiwa itu laki-laki penolong itu diwawancara, dan ternyata dia sendiri punya dua anak. Satu di antaranya masih balita. Ia mengatakan bahwa tidak berpikir panjang ketika menolong balita. Spontan ia meloncat saja untuk melindungi balita, dan akhirnya memang balita itu selamat. Dr Zimbardo kemudian memberikan analisisnya tentang perilaku kepahlawanan.

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Seorang pahlawan itu, kata Dr Zimbardo, hanya mau menolong orang lain, atau menyelamatkan orang banyak, tanpa memikirkan keselamatan, apalagi keuntungan untuk dirinya sendiri. Arti kepahlawanan (heroisme dari kata Yunani kuno hero) itu sendiri adalah keberanian atau pengorbanan diri sendiri yang ditunjukkan seseorang dalam keadaan yang sangat berbahaya, atau dari posisinya yang sangat lemah, namun tetap berani mengambil risiko demi kebaikan yang lebih besar untuk keseluruhan kelompok yang lebih besar atau umat manusia.

Awalnya istilah ini hanya untuk dunia militer (perang), tetapi belakangan banyak digunakan dalam kaitannya dengan nilai-nilai moral. Dalam kaitannya dengan nilai-nilai moral inilah saya dan beberapa teman dari sebuah kelompok WA (WhatsApp) pada hari Senin, 10 November 2014 yang lalu, menyelenggarakan sebuah diskusi kecil di Gedung Joang, Jakarta, dengan para pemuka agama (lintas agama) untuk menggali nilai-nilai kepahlawanan baru untuk dikembangkan ke masa yang akan datang.

Nilai kepahlawanan zaman sekarang adalah antikorupsi. Semua orang tahu bahwa bukan barang gampang untuk tidak korupsi di tengah lingkungan yang semua orang korupsi. Diperlukan keberanian, kenekatan, dan yang jelas pengorbanan untuk bersikap antikorupsi di zaman sekarang.

Karena itu, tokoh-tokoh yang berani antikorupsi seperti Ahok harus kita dorong, karena mereka itulah pahlawan yang sebenarnya. Tokoh seperti inilah yang harus dijadikan ikon pahlawan hari ini, yaitu tokoh yang jadi fans-nya generasi muda, bukan lagi Bung Tomo yang (dengan segala hormat kepada beliau) sudah menjadi masa lalu.

Abraham Samad dan Joko Widodo.

Berdasarkan definisi Dr Zimbardo seperti di atas, siapa pun bisa tiba-tiba menjadi pahlawan kalau ada situasi-situasi yang mendadak mendesak seperti yang dialami bapak penolong tadi. Dengan definisi Dr Zimbardo, setiap orang bisa jadi pahlawan asalkan dia mau mengorbankan dirinya sendiri untuk kepentingan yang lebih besar atau orang lain.

Namun, tampaknya bukan itu yang dipahami oleh para penggembira di dalam perayaan 10 November 2014 yang baru lalu di Jakarta. Di ruangan lain dari Gedung Joang, ada beberapa ibu yang katanya mau demo ke salah satu direktorat jenderal, karena katanya rumah salah satu ibu itu digusur oleh instansi ditjen itu, padahal ibu itu janda pahlawan yang mendapat bintang jasa dari pemerintah.

Sementara itu, di jalanan, ribuan buruh berdemo minta kenaikan UMR, karena mereka merasa sudah berjasa bekerja untuk negeri ini sehingga layaklah kalau upahnya dinaikkan. Dan, lebih banyak lagi anggota ormas yang berdemo karena merasa sudah menertibkan Ibu Kota dari kemaksiatan sehingga merasa dirinya sudah jadi pahlawan dan menuntut agar Ahok turun dari jabatan gubernur DKI.

Seperti itulah orang-orang Indonesia yang merayakan Hari Pahlawan. Mereka merasa dirinya adalah pahlawan, padahal tidak ada pahlawan yang merasa dirinya sendiri pahlawan, kecuali pahlawan kesiangan.

Sarlito Wirawan Sarwono,
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 16 November 2014