Showing posts with label Karikatur. Show all posts
Showing posts with label Karikatur. Show all posts

Tuesday, July 10, 2018

Oom Pasikom dan Tenggang Rasa


Bahkan karikatur yang hanya berbisik pun, itu sudah lebih dari cukup untuk menggelitik perasaan intelektual pembacanya.
(GM Sudarta, mengutip pernyataan salah satu kartunis senior Jepang)

Bagi masyarakat, gambar karikatur lebih menarik daripada tulisan.

Ibarat sebuah cerita, karikatur dapat disebut sebagai cerita paling pendek di dunia. Ringkas dan padat. Hanya satu kotak —meski kadang dua, tiga, atau empat kotak— tetapi ia sudah berisi cerita dari awal, tengah, hingga akhir. Cerita yang tuntas dan paripurna. Pembaca dapat menyulam sendiri bangunan ceritanya. Dapat dimulai dari akhir, tengah, atau awal. Pemahaman holistiklah yang lalu membuat pembaca berkesimpulan, tersenyum, tertawa, merenung, atau marah kalau merasa tersindir.

Karikatur berbeda dengan poster (berisi informasi, ajakan, atau propaganda), ilustrasi (penggambaran semata, tanpa opini), atau kartun lelucon (gag cartoon) yang hanya menghibur. Karikatur memuat ketiganya: informasi, kritik/opini, dan hiburan. Karikatur adalah satu dari sekian banyak cabang humor. Sebagai karya seni —semi jurnalistik— ada faktor yang di dalamnya mengandung muatan penuh paradoks dan resistensi, bercampurnya fakta dengan opini. Sebuah nilai anomalistik yang tarik-menarik. Pada tataran fakta mungkin ia dekat dengan nalar obyektif, tetapi pada tataran opini justru bisa liar tak terbatas, khususnya ketika orang "menerjemahkan" makna di dalamnya.


Sesuai sifat dasarnya yang lahir dari kombinasi tiga disiplin (jurnalistik, artistik, dan cerdik cendekia), mustahil jika sembarang orang dapat menjadi kartunis yang baik. Dibutuhkan setidaknya wawasan memadai, kompetensi artistik yang "canggih", dan sudut padang orisinal. Karikatur yang bagus selalu lahir dari proses kontemplasi gagasan dan literatur yang tidak main-main.

Harian ini (KOMPAS) telah 50 tahun lebih memuat karikatur Oom Pasikom, terutama sejak GM Sudarta bergabung dengan KOMPAS tahun 1967. Sepanjang itu (1967-2018) telah terbit 40.000 lebih kartun politik/karikatur karya GM Sudarta. Maka, ketika pada Sabtu, 30 Juni 2018, diberitakan GM Sudarta (73) meninggal, semua kaget dan sangat kehilangan.

Tahun 1950-an ada beberapa kartunis menonjol, seperti Ramelan (Suluh Indonesia), Sibarani (Bintang Timur), Mieke Sd (Abadi), Sam Soeharto (Indonesia Raja), Abdul Salam (Kedaulatan Rakjat), dan Dukut Hendronoto (Angkatan Darat). Era 1960-an ada T Soetanto, Sanento Yuliman, dan Hariadi S Keulman. Di era 1970-2018, GM Sudarta adalah satu dari sedikit kartunis papan atas selain Pramono R Pramoedjo, Dwi Koendoro, Priyanto Sunarto, dan Jitet Koestana.

Konon GM Sudarta sempat berganti nama dari: Gerardus Mayela Sudarta menjadi Gafur Muhammad Sudarta.

"Pasemon" hingga satire
Sebagai karikaturis, GM Sudarta adalah "raksasa" fenomena. Ibarat pendekar silat, ia memiliki semua senjata bidik dan aneka jurus, dari yang paling halus hingga paling telak. Namun, ia tidak serampangan memakai semuanya. Dari kelas pasemon, guyon parikena, parodi (plesetan), olah logika, analogi (metafora), surealistik, hingga satire. Itu semua tecermin dari seluruh karyanya. Semua itu dia gunakan dalam batas porsi dan proporsi.

Kadang memang terlihat Oom Pasikom cenderung sangat naratif, tetapi itu ditempuh karena ingin menghindari terjadinya salah persepsi untuk topik-topik sensitif bagi pembaca jika ia menggunakan simbol atau metafora. Jalan naratif ditempuh karena alasan resistensi persepsi jika penggunaan simbol atau metafora cenderung tak terkendali.

Ia juga menyadari, tak semua orang senang dikritik. Ia berkesimpulan, setidaknya bagi dirinya sendiri: tak usah presiden, menteri, jenderal, atau pejabat, kita sendiri pun apabila dikritik juga punya kecenderungan untuk marah. Apalagi kalau kritik itu destruktif atau tajam menusuk.


Untuk menanggulangi hal yang tak diinginkan itu (kesadaran hidup di alam budaya Timur, bukan  Barat), dia menggunakan strategi tepa selira (tenggang rasa) agar bisa membuat karikatur yang baik. Dalam arti, punya kadar humor, kadar estetika gambar-menggambar, dan kadar pesan kritik, tetapi kena sasaran. Artinya, misi yang disampaikan selamat ke tujuan, tak ada beban saling curiga atas kritik tersebut.

Alhasil, hasil akhir dari strategi itu adalah kemampuan menghadirkan senyum untuk semua. Baik yang mengkritik maupun yang dikritik. Masyarakat pun terwakili aspirasinya. Menurut GM Sudarta, strategi itu cukup sulit dan absurd, tetapi begitulah Indonesia. Jika pers harus jadi pers Pancasila, maka karikatur juga harus jadi karikatur Pancasila.

Menurut dia, menikmati karikatur adalah menyimak wajah kita sendiri. Kedewasaan kita bisa diukur sejauh mana kita bisa menertawakan diri kita sendiri.

Sikap GM Sudarta pernah disindir kartunis kawakan Augustin Sibarani yang pernah berjaya dan "berlaga" di media massa di era Demokrasi Parlementer. Menurut Priyanto Sunarto tentang "Kartun Indonesia di Era Demokrasi Parlementer", kartun editorial era 1950-an seakan menikmati pesta kebebasan pers. Saat itu kartun dimanfaatkan untuk menyerang dan menjatuhkan citra lawan politik, baik kebijakan maupun tokohnya.


Masa itu, trial by the press seakan hal lumrah. Lelucon politik lewat kartun dieksplorasi dengan penuh semangat. Berkias (metafora) lewat gambar yang umumnya dipercaya sebagai upaya menghaluskan ungkapan malah sering dipakai untuk memperkerasnya menjadi kasar.

GM Sudarta dapat mengerti pandangan seniornya karena situasi dan kondisinya memang berbeda. Di era Orde Baru, orang akhirnya melihat kartunis Sibarani  tak bisa berkarya di media nasional. Selain dicekal penguasa, juga karena tak satu pun media arus utama yang "berani" memuat karikaturnya. Ia tetap memublikasikan karikaturnya, tetapi untuk media asing.

GM Sudarta tentu bersama Om Pasikom kini sudah pergi meninggalkan kita. Sesuatu yang mengoyak rasa rindu penggemarnya. Apa boleh buat, kehidupan harus terus berjalan. Kepergian GM Sudarta tidaklah sia-sia. Ia sudah meninggalkan jejak sangat penting bagi bangsa ini. Jejak tentang kesadaran bahwa belum terlambat bagi semua untuk memperbaiki pekerjaan rumah bangsa.

Darminto M Sudarmo,
Pemerhati Humor
KOMPAS, 7 Juli 2018

Thursday, January 15, 2015

Mahomet

Voltaire, tokoh Prancis yang membuat lakon teater dengan judul: "Le Fanatisme, ou Mahomet le Prophete."

April 1741, sebuah lakon tentang “Mahomet” dipanggungkan di sebuah teater di Lille, Prancis utara. Penulisnya akan dikenang orang berabad-abad (meskipun lakon ini jarang dibicarakan), karena ia Voltaire, karena Voltaire selalu mengutarakan pikiran-pikiran yang cerdas, kadang-kadang dalam, kadang-kadang dangkal, bisa kocak, bisa kasar, tapi umumnya merisaukan. Khususnya tentang sesuatu yang berlanjut hingga abad ke21 ini: manusia dan fanatisme dan kebengisan.

Ia mengerjakan karyanya itu, Le Fanatisme, ou Mahomet le Prophete, sejak 1739. Dari judulnya sudah kelihatan bahwa ia mengaitkan fanatisme dengan Nabi yang membawa Islam ke dunia.

Cerita yang terdiri atas lima babak ini berkisar pada rencana Mahomet untuk mengalahkan Zopire, Gubernur Kota Mekah. Dalam babak ke-4, Zopire dibunuh pemuda yang ia sayangi, Seid, yang sebenarnya anaknya sendiri tapi telah jadi pengikut Mahomet yang dengan patuh menjalankan perintah pembunuhan itu. Pada saat yang sama, Seid diracun Omar, orang kepercayaan Mahomet. Anak muda itu mati pelan-pelan. Ia harus disingkirkan agar tak lagi berada di dekat Palmira, gadis yang menawan hati sang Prophete. Di akhir lakon, Palmira menampik Mahomet dan perempuan itu bunuh diri.

Saya tak tahu adakah Mahomet sebuah karya utama dalam riwayat Voltaire; lakon ini tak seterkenal karyanya yang lain, Candide, misalnya, meskipun berkali-kali dipentaskan. Tapi ada seorang pengkritiknya yang layak didengar meskipun bukan datang dari kalangan sastra dan dikutip pendapatnya hampir seabad kemudian: Napoleon Bonaparte.

Napoleon Bonaparte, mengkritik lakon "Mahomet" karya Voltaire.

Ketika penguasa Prancis ini berjumpa dengan Goethe pada 1808 di Kota Erfurt, ia menyatakan ketidaksukaannya kepada Mahomet –meskipun Goethe-lah yang menerjemahkan lakon itu. Sebuah “karikatur”, kata Napoleon –dan saya bisa mengerti kenapa demikian– Mahomet tak mendalam, mudah ditebak tendensnya, tokohnya hampir sepenuhnya satu sisi. Mirip sebuah melodrama. Atau sebuah propaganda.

Goethe tak membantah. Ia pengagum Voltaire tapi pada saat yang sama amat kuat simpatinya kepada Islam; ia dijuluki “Meccarus” karena itu. Tak mengherankan bila ia mencoba mengubah sosok Mahomet dalam versi Jerman lakon ini. Ia tak ingin mengulang “sikap kasar” Voltaire. Dalam teks asli Mahomet mengatakan kepada Zopire ia siap jadi lebih kejam ketimbang musuhnya itu, Je serai plus que toi cruel, impitoyable, sementara dalam teks Goethe yang kita temukan adalah kalimat, “Kau mengundangku untuk bengis,” Du forderst selbst zur Grausamkeit mich auf.
Bagi Goethe, berbeda dari bagi Voltaire, kekerasan dalam sejarah Islam terjadi karena sesuatu yang datang dari luar. Tapi bersama Voltaire ia menolak iman yang melahirkan kebengisan dan agama yang bersandar pada kekuasaan yang tak mau digugat.

Dalam Mahomet, sang tokoh utama menyatakan ambisinya: ia, dengan “iman yang lebih murni” ketimbang keyakinan lain, ingin menegakkan imperium yang mencakup semesta. Mungkin sebab itu dalam tafsir Goethe, Mahomet adalah sindiran bagi Gereja Katolik –meskipun anehnya Voltaire mempersembahkan karyanya buat Paus Benediktus XIV. Bisa jadi ini caranya melindungi diri dari sensor. Permusuhan antara Voltaire dan Gereja memang termasyhur, dan di zamannya kekuasaan atas nama agama memang bisa terdengar bodoh tapi tetap mengancam: sebuah sajak Voltaire diperintahkan Parlemen Paris untuk dibakar di depan umum, 23 Januari 1759.

Gothe, tokoh Jerman yang menerjemahkan lakon "Mahomet" karya Voltaire.

Dari Voltaire ke Goethe, cukup panjang masa itu. Tapi ada yang berlanjut terus: hasrat akan kehidupan rohani yang berbeda dari yang ditunjukkan agama-agama. Para sejarawan mengatakan niat itu lahir bersama Zaman Pencerahan yang mengutamakan nalar manusia. Tapi saya kira tak hanya terbatas di masa itu. Tiap kali agama-agama bergerak jadi mekanisme pembalasan, tiap kali Tuhan dirindukan dengan cara lain.

Voltaire menampik agama-agama, ketika pada saat yang sama ia juga menolak atheisme. Ia menyebut diri seorang “theis”. Sekitar tahun 1750 ia mengumumkan penjelasannya tentang apa yang disebutnya “theisme”.

Seorang theis adalah seseorang yang menerima dengan teguh adanya satu Wujud Yang Maha Luhur yang menghukum kejahatan tanpa sikap yang kejam, dan yang dengan baik hati memberi anugerah kepada laku kebajikan. Seorang theis tak tahu bagaimana cara Tuhan menghukum, bagaimana cara Tuhan menganugerahi, bagaimana cara Tuhan mengampuni, sebab ia tak menganggap dirinya mengerti laku Tuhan. Yang ia ketahui Tuhan itu adil ....

Voltaire: hampir tiga abad kemudian. Rasanya ada yang salah di hari ini ketika dari Prancis ia seakan-akan perlu mengulang kata-katanya lagi.

Goenawan Mohamad,
Esais, Mantan Pemred Majalah Tempo
TEMPO.CO, 12 Januari 2015