Thursday, September 17, 2015

Foto Itu: Aylan Kurdi


... and the grave
Proves the child ephemeral...

-- W.H. Auden

Foto itu ––foto yang mengharu-biru perasaan itu, foto yang tak ingin kita lihat itu, foto yang ditakutkan akan membawa mimpi buruk bagi orang-orang lembut hati di seluruh dunia itu–– dengan segera jadi penanda kecemasan kita hari ini. Mayat seorang bocah berumur tiga tahun telungkup di garis pantai Turki. Jidatnya yang rapuh dan kecil tercelup ombak yang menghanyutkan tubuhnya kembali. Warna biru celana pendeknya dan merah kausnya seakan-akan memanggil-manggil seantero Semenanjung Bodrum.

Kemudian diketahui ia bernama Aylan. Dari Suriah. Bersama kakaknya, Galip, yang berumur lima tahun dan ibunya, Rehan, ia tenggelam ketika perahu yang membawa mereka terbalik. Mereka menuju Pulau Kos, di wilayah Yunani, empat kilometer saja jaraknya dari sana, tapi tak sampai. Hanya si ayah, Abdullah, yang lepas dari bencana. Ada 12 orang pengungsi dalam dua kapal yang penuh, dan delapan di antaranya anak-anak.


Tak mudah kita untuk bertanya, apalagi menjawab, apa yang akan terjadi berikutnya pada bapak yang malang itu. “Masa depan saya hilang”, hanya itu yang dikatakannya setelah memakamkan jasad anak-anak dan isterinya. Ia kembali ke Suriah.

Hari buruk itu 2 September 2015, menjelang musim gugur Yunani. Abdullah pernah inginkan masa depan dan musim Kanada yang tenang: ia meninggalkan tanah kelahirannya yang dihancurkan perang yang kejam antara “IS”, ad-Dawlah al-Islamiyah, dan tentara pemerintah dan pasukan pemberontak dan pasukan Kurdi dan entah apa lagi. Tapi Kanada, dengan birokrasi yang dingin hati, menolak Abdullah dan anak isterinya masuk.

Mereka pun mencoba mencari negeri lain, lewat sebuah ujung Turki, mencoba menyeberangi laut Aegia, mencapai pulau tempat kelahiran Hipokrates, bapak kedokteran, di wilayah Yunani itu. Mereka seperti ribuan pengungsi yang kini menabrak pagar Republik Hungaria, menerobos tepi-tepi Eropa ––barisan harapan yang berubah jadi barisan perkabungan yang panjang.


Perkabungan atas rubuhnya ribuan rumah asal dan runtuhnya bumi kelahiran. Perkabungan untuk orang-orang yang terusir, Timur Tengah yang remuk redam, Afrika yang dihantam kebengisan, negeri yang dirobek sengitnya perlawanan terhadap kekuasaan yang zalim, dicincang mata-gelap fanatisme agama, dijahanami kerakusan memperoleh wilayah, minyak bumi, dan posisi, disulut dendam yang tersimpan bertahun-tahun.

Kita, jauh dari sana sekalipun, mau tak mau ikut dalam barisan itu. Bukan cuma untuk Aylan. Kita juga murung untuk Abdullah yang berkata, “masa depan saya hilang”. Sebab apa gerangan yang akan tiba nanti dengan harapan-harapan manusia yang patah ––setelah dunia menghela nafas lega karena perang nuklir tak jadi meletus 25 tahun yang lalu, tapi ternyata hidup tak lebih jauh dari putus asa?

Foto itu, foto di pasir basah itu. Aylan.


Tiap anak lahir dengan pesan bahwa Tuhan belum hilang harapan kepada manusia”, konon Rabindranath Tagore pernah berkata. Penyair besar Bengali ini selalu punya frase-frase yang canggih dan cerah, yang manis ––dan agak memabukkan. Tapi mungkin karena ia belum menyaksikan Aylan kecil tergeletak dengan muka tersungkur. Aylan yang datang dengan pesan yang baik tapi tiba-tiba tenggelam.

Di pantai semenanjung itu, adakah Tuhan masih belum hilang harapan dan semangat kepada manusia? Sebaliknya masih belum hilangkah semangat manusia di hadapan Tuhan, setelah anak-anak dengan cepat dan mudah jadi korban kekuatan-kekuatan besar yang brutal ––di dunia yang tak mereka pilih, tak mereka pahami, seperti mereka juga tak memilih dan memahami pesan Tuhan–– jika pun itu ada?

Barangkali pesan itu, kalaupun ada, memang keras, muram. Tapi sejarah selalu menunjukkan bahwa pada saat yang sama yang keras dan muram itu juga mengundang sebuah komitmen: yang lahir akan bisa segera hilang, yang tak bersalah atau pun yang berdosa tak akan bertahan, tapi yang hidup layak dipertahankan.


Hanya mereka yang pernah berada dalam barisan harapan dan perkabungan saja yang bisa mengalami kontradiksi itu dengan teguh dan diam: keteguhan yang berbisik seperti doa.

Saya kira itulah yang ada dalam baris-baris “Lullaby”, Nina Bobok, yang ditulis Auden dalam tahun-tahun yang terancam perang dan kematian, antara 1930-1940-an. Ia tak bisa membawakan optimisme Tagore. Tapi ia juga jauh dari kegetiran kepada hidup, meskipun di dunia yang cidera.

Barangkali kita bisa membaca “Lullaby” dan teringat Aylan yang tersenyum dalam foto bersama Galip sebelum ayah-ibunya berangkat mengungsi:

... kubur
mengingatkan betapa sementara
anak itu. Tapi di pelukanku
sampai fajar datang
biarlah makhluk yang hidup, telentang
fana, berdosa, tapi
indah, sepenuhnya.


Goenawan Mohamad,
Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
TEMPO.CO, 7 September 2015



Aylan Kurdi

Aylan Kurdi. Bocah 3 tahun itu, hingga Selasa lalu, bukan siapa-siapa. Ia anak kedua pasangan Abdullah Kurdi dan Rehan Kurdi. Anak pertama mereka diberi nama Galip Kurdi (5). Mereka adalah orang Kurdi yang tinggal di Kobani.

Kobani, kota di perbatasan antara Suriah dan Turki. Kota yang masuk Provinsi Aleppo, Suriah utara, adalah kota lama yang sering juga disebut Ayn al-Arab. Kobani sebenarnya adalah nama sebuah perusahaan Jerman yang membangun jaringan rel kereta api Konya-Baghdad pada tahun 1911. Dan pada tahun 1980-an, saat Hafez al-Assad berkuasa di Suriah, nama Kobani diubah menjadi Ayn al-Arab sebagai usaha untuk Arabisasi.

Sejak Rabu lalu, kisah Aylan Kurdi mendunia. Semua itu gara-gara foto: foto Aylan tertelungkup di pantai dekat kota wisata Bodrum, Turki barat daya. Foto itu memperlihatkan bocah kecil berbaju kaus warna merah cerah, bercelana pendek, dan bersepatu. Wajah bocah kecil itu mencium pasir pantai yang basah. Badannya tidak hanya basah, tetapi juga sudah dingin. Badan itu sudah tak bernyawa lagi. Tewas!


Kematian Aylan mengguncang dunia setelah fotonya tersebar luas. Ia tewas. Galip tewas. Rehan juga tewas. Mereka tewas ketika tengah berusaha mewujudkan mimpinya pergi ke Jerman. Mereka tewas ketika meninggalkan kampung halamannya di Kobani yang hancur. Kobani yang sebelumnya berpenduduk sekitar 45.000 orang-Kurdi, Arab, Turkoman, dan Armenia-selama enam bulan dua hari (13 September 2014 - 15 Maret 2015) dikepung oleh kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Penduduk kota itu kabur mencari selamat, begitu pula keluarga Abdullah. Beberapa bulan lalu, 11 anggota keluarga Abdullah tewas dibunuh NIIS.

Apakah kematian tragis Aylan Kurdi, juga saudara dan ibunya, benar-benar akan membuka mata dunia, mata negara-negara maju, mata dan hati para pemimpin negara Eropa, mata orang-orang beradab bahwa tragedi kemanusiaan akibat perang sudah demikian tak terkira? Ratusan ribu orang menerjang perbatasan dan berusaha menundukkan laut untuk masuk ke Eropa. Lebih dari 2.500 orang di antaranya tewas saat menggapai mimpi. Ratusan ribu orang mati akibat perang. Ratusan ribu lainnya terluka.

Bukan tidak mungkin tragedi seperti yang dialami Aylan akan terjadi lagi dan lagi. Gelombang manusia mencari selamat akan terus terjadi selama kekerasan, perang, teror, dan segala macam tindakan penghinaan terhadap rasa kemanusiaan masih terus terjadi di Suriah, Irak, Libya, dan sejumlah negara lainnya yang dikuasai nafsu kekerasan.

Dalam Perang: "Menang jadi Arang, Kalah jadi Abu."

Di Suriah dan Irak, jelas, bahwa tindakan brutal NIIS yang menjadi pemicu terjadinya gelombang migrasi. Rasa sakit sebagai akibat tindak kekerasan dapat ditemukan dalam batin orang-orang Suriah, juga Irak, Libya, dan banyak negara di Afrika yang nekat berimigrasi ke Eropa. Rasa sakit yang tersimpan seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat muncul secara tiba-tiba dalam kemarahan sporadis.

Dunia telah kehilangan hatinya. Perasaan “kita semua bersaudara” seperti yang diungkapkan Mahatma Gandhi dan ungkapan Ahimsa, berjuang tanpa kekerasan, telah punah. NIIS, misalnya, tidak mengenal kata “berjuang tanpa kekerasan” karena ideologi mereka adalah kekerasan dan teror. Mereka tidak mengenal istilah rasa kesetiakawanan, tidak mengenal cinta kasih.

Padahal, cinta kasih menjadi kekuatan yang mendorong sekaligus berperan sebagai perekat dalam kesatuan tanpa ada dimensi diskriminatif. Apabila setiap orang mengedepankan cinta kasih, tidak akan ada lagi kebencian dan perang.


Namun, nyatanya ada anak seperti Aylan yang tewas dalam mimpi di pantai. Bolehkah anak tidak bersalah seperti mereka itu ––dan masih banyak lagi anak-anak tidak bersalah di dan dari Suriah, Irak, Libya, negara-negara Afrika–– menderita dan mati karena keganasan orang-orang dewasa yang beku hatinya?

Mengapa anak-anak itu harus dilibatkan dalam penderitaan dan mengalami kematian tragis? Mengapa NIIS, sebagai contoh, membangun masa depan di atas penderitaan dan kematian anak-anak dan genangan air mata ribuan anak-anak lainnya yang tak berdosa?

Itulah yang kita saksikan sekarang. Sejarah seperti berulang: rezim-rezim revolusioner yang menegakkan terorisme dan kekerasan membenarkan penderitaan manusia demi masa depan dan demi keadilan di dunia menurut gambaran mereka. Itulah akar dari otoritarianisme dan totalitarisme, seperti Nazisme atau Stalinisme di zaman modern, yang sangat kejam, brutal, dan nihilistis terhadap kemanusiaan.

Trias Kuncahyono,
Penulis Kolom “Kredensial” Kompas Minggu
KOMPAS, 6 September 2015

No comments: