Showing posts with label Syria. Show all posts
Showing posts with label Syria. Show all posts

Wednesday, March 15, 2017

Raja Salman Juga Menghadapi Disruption

Ahok, yang sudah jadi terdakwa penista ajaran Islam pun sempat menyalami Raja Arab Saudi, Salman bin Abdul Aziz al-Saud, ketika baru saja mendarat di Indonesia.

Luar biasa! Itulah dua kata yang saya dengar banyak dilontarkan masyarakat kita ketika membaca berita tentang kunjungan Salman bin Abdul Aziz al-Saud, Raja Arab Saudi. Mereka kagum. Ada banyak hal yang mereka nilai luar biasa. Bahkan, sangat luar biasa. Misalnya, soal jumlah rombongan. Ini adalah kunjungan resmi —meski kedatangannya sekaligus untuk liburan. Dalam kunjungan resmi, jarang sekali ada kepala negara/pemerintahan yang membawa rombongan begitu besar. Ratusan orang, mungkin. Itu pun untuk sekelas Presiden Amerika Serikat. Ini, Raja Salman, membawa rombongan sebanyak 1.500-an orang. Luar biasa! Masih ada lagi 15 menteri dan 25 pangeran.

Selebihnya anggota keluarga, pengawal, ajudan, staf kerajaan, sekretaris, asisten pribadi, dan seterusnya. Isu luar biasa lainnya yang ramai dibicarakan adalah soal kemewahan fasilitas untuk Sang Raja dan rombongannya. Misalnya, tarif kamar hotelnya yang luar biasa. Per malam mencapai Rp 133 juta. Isu lainnya soal Raja Salman yang mem-booking tiga hotel papan atas selama kunjungannya di Jakarta.

Lalu, untuk liburan di Bali, rombongan Raja Salman bahkan mem-booking sampai empat hotel dan menyewa 300-an kendaraan. Hal yang luar biasa lainnya adalah sekarang semakin banyak ibu-ibu yang mulai ramai melirik layar smartphone-nya. Setelah itu mereka saling berbisik dan kemudian tertawa cekikikan. Anda tahu apa yang mereka lihat dan bicarakan? Ada 25 pangeran yang bakal menemani kunjungan Raja Salman di Indonesia. Beberapa fotonya muncul di layar smartphone mereka.

Kata ibu-ibu tadi, wow luar biasa tampannya. Sebagian di antara mereka, terutama yang masih muda, lalu melamun. Mungkin membayangkan seandainya saja menjadi suaminya. Lalu, bapak-bapaknya juga tak mau kalah. Di layar smartphone mereka muncul gambar putri-putri Raja Salman yang luar biasa cantiknya! Sebagian sempat salah karena yang ditampilkan adalah wajah Kim Kardashian atau bintang film India.

Presiden Joko Widodo menyetiri sendiri mobil bugi yang ditumpangi Raja Salman bin Abdul Aziz.

Saya tersenyum sendiri membayangkan fenomena tersebut. Sebab, tak ada di antara mereka yang bisa memastikan bahwa foto-foto tersebut benar foto para pangeran atau para putri. Pokoknya selama wajahnya terlihat kearab-araban, serta tampan atau cantik, sebut saja mereka pangeran dan putri. Luar biasa! Masih banyak hal luar biasa lainnya yang bisa dibahas di sini.

Misalnya, lamanya waktu kunjungan, jumlah pesawat yang digunakan untuk mengangkut rombongan, eskalator khusus, burung rajawali peliharaan para pangeran yang masing-masing punya paspor sendiri, sampai kepada santunan kepada keluarga anggota Densus 88 Antiteror —yang meninggal karena tugas.

Saya yakin Anda masih punya daftar luar biasa lainnya. Misalnya, kalau menurut saya, kesediaan Raja Salman untuk berlibur ke Bali. Mengapa? Anda tahu, Bali adalah provinsi dengan penduduk mayoritasnya beragama Hindu. Kesediaan Raja Salman berlibur ke Bali tentu memberikan pesan tentang pentingnya kesediaan untuk hidup berdampingan secara damai. Mau menerima perbedaan. Ia bahkan juga bersalaman dengan gubernur ibukota yang juga berbeda keyakinan. Juga agendanya menerima tokoh-tokoh agama dari negeri ini. Bukan hanya tokoh agama Islam, tetapi juga tokoh-tokoh dari agama lainnya.

Dua agenda ini, menurut saya, adalah sebuah disruption dari seorang raja. Ia berani membongkar tradisi lama, atau minimal membongkar otak-otak kolot kita yang kurang rajin bergaul lintas peradaban, lintas bangsa. Dan, ini menjadi penting bagi kita yang kebhinekaannya tengah mengalami banyak ujian.

Raja Salman di antara para pangeran kerajaan Arab Saudi.

Dua Faktor
Baiklah sekarang kita bicara bisnis. Heboh kunjungan Raja Salman ke negara kita, dan sejumlah negara lainnya, adalah penggalan dari potret perjalanan transformasi Kerajaan Arab Saudi. Negara itu kini mulai menyadari bahwa mereka tak bisa lagi mengendalikan roda pemerintahan, roda perekonomiannya, di tengah perubahan besar yang terjadi di lingkungan sekitarnya yang ditengarai dengan banyaknya perubahan atau disruption.

Peta geopolitik dunia kini sudah berubah. Apa saja disruption-nya? Pertama, penemuan shale oil dan shale gas di Amerika Serikat (AS) yang membuat dunia kebanjiran minyak dan gas murah. Ingat disruption berdampak deflasi berat. Berkat penemuan tersebut, kalau dihitung dengan tingkat konsumsi seperti sekarang, kebutuhan migas AS bakal aman hingga 100 tahun ke depan. Maka, AS tak lagi bergantung pada pasokan migas dari Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya.

Bahkan akibat penemuan shale oil dan shale gas tersebut, AS memangkas impor migas dari Arab Saudi. Volumenya tidak tanggung-tanggung, hingga 30%. Lalu, ke mana Arab Saudi “membuang” kelebihan produksi minyak dan gasnya?

Banjirnya gas murah telah membuat negara pemilik shale gas menyetop impor pupuk dan kini pupuk impor yang murah mulai membanjiri Asia yang bahkan berpotensi mengguncang industri pupuk kita, minimal wilayah pasar ekspor kita.

Raja Salman dan Pangeran Waleed.

Kedua, hukum pasar pun berlaku. Akibat kelebihan pasokan, harga minyak dan gas di pasar dunia pun turun. Harga minyak, misalnya, yang sempat menembus USD 120 per barel kini anjlok menjadi kurang dari separuhnya. Bahkan sampai kini harga minyak masih bergerak pada kisaran USD 50 per barel.

Dua faktor tadi berimplikasi serius bagi Arab Saudi. Penerimaan negara pun berkurang. Apalagi sekitar 70% pendapatan negara berasal dari minyak dan gas. Maka, tak heran kalau pada tahun lalu, untuk menutupi anggaran belanjanya, Arab Saudi sampai berutang. Banyak pakar memprediksi bahwa harga minyak yang rendah akan berlangsung secara berkepanjangan. Kalau hal tersebut benar-benar terjadi, ini tentu akan memukul Arab Saudi. Lalu, apa solusinya?

Saya kira, pengalaman negara-negara yang tergabung dalam Uni Emirat Arab (UEA) bisa menjadi referensi. Para emir di negara-negara tersebut sadar bahwa mereka tak boleh menggantungkan hidupnya pada sumber daya yang tak dapat diperbaharui. Maka, sejak beberapa tahun silam UEA mulai melakukan transformasi. Mereka mulai melakukan disruption dengan mengalihkan pendapatan negaranya dari minyak dan gas ke industri jasa. Di antaranya, dengan mengembangkan bisnis pariwisata dengan membangun gedung-gedung pencakar langit, pulau-pulau baru dan lain sebagainya sebagai destinasi wisata.

Bahkan, UEA juga melakukan transformasi terhadap industri penerbangannya. Kini, selama bertahun-tahun maskapai-maskapai penerbangan asal UEA, seperti Emirates dan Etihad, selalu menempati peringkat yang tinggi dalam survei yang dilakukan oleh Skytrax, lembaga pemeringkat yang berbasis di London.

Majlis Syura (Parlemen) Kerajaan Arab Saudi yang saat ini sudah mengakomodasi perwakilan dari kaum perempuan.

Potret Disrupsi
Berbekal transformasi dan disrupsi tadi, dari tahun ke tahun kunjungan wisata ke UEA terus meningkat. Arab Saudi, saya kira, punya modal untuk melakukan transformasi perekonomiannya. Apa itu? Bisnis tumpahan dari ibadah haji. Di Indonesia, saya kira, kita bisa menyaksikan proses transformasi yang serupa. Hanya kali ini dalam bisnis migas.

Arab Saudi kini tak lagi menjual minyak mentah, tetapi juga sekaligus membangun kilangnya. Jadi, minyak mentah asal Arab Saudi diolah dulu di kilang. Kilangnya yang membangun juga Arab Saudi, melalui Saudi Aramco —perusahaan migas milik negara.

Untuk Anda ketahui, minyak mentah asal Arab Saudi tergolong jenis sour (masam) karena tingginya kandungan sulfur. Jenis minyak mentah seperti ini tak bisa diolah di sembarang kilang. Kilang minyak Pertamina yang di Cilacap, misalnya, memang khusus dibangun untuk mengolah minyak mentah yang diimpor dari Arab Saudi. Anda tahu, selalu ada nilai tambah dari proses hilirisasi. Bahkan, nilai tambahnya semakin besar ketimbang kalau yang dijual adalah bahan baku atau bahan mentahnya. Ini, saya kira, adalah potret lain dari transformasi tata kelola perekonomian Arab Saudi.

Catatan saya lainnya adalah soal kabar rencana Saudi Aramco untuk menjual sebagian sahamnya. Ini adalah potret lain transformasi negara itu. Kita tahu, Arab Saudi adalah negara yang dikelola dengan sangat konservatif. Banyak pimpinannya yang begitu kolot. Namun, langkah Raja Salman membuktikan bahwa mereka tidak sekolot yang kita bayangkan. Kalau negara sekonservatif Arab Saudi saja mampu berubah, mengapa kita tidak!

Petuah yang saya pelajari mengatakan, siapa yang tak melakukan self disruption, seriuh apapun kekuatan ototnya, akan terdisrupsi.

Rhenald Kasali,
Pendiri Rumah Perubahan
KORAN SINDO, 2 Maret 2017


Di Balik Kunjungan Raja Salman

Di tengah instabilitas kawasan Timur Tengah dan upaya Kerajaan Arab Saudi melakukan transformasi ekonomi, Raja Salman bin Abdul Aziz al-Saud, berkunjung ke Indonesia. Kendati ini kunjungan balasan atas kunjungan Presiden Joko Widodo ke Arab Saudi pada tahun 2015, bisa dikatakan ini adalah kunjungan historis Raja Arab Saudi ke Indonesia setelah kedatangan Raja Faisal, kakak tiri Salman, pada tahun 1970. Tingkat kepentingannya dapat dilihat dari besarnya rombongan dan lamanya mereka di Tanah Air.

Raja Salman tiba di Jakarta pada Rabu (1/3/2017) bersama 1.500 orang, 15 menteri, dan 25 pangeran, dan akan berada di Jakarta selama tiga hari untuk kunjungan resmi dan tujuh hari di Bali untuk berlibur.

Ada tiga hal yang ingin dicapai Kerajaan Arab Saudi di bawah Raja Salman dalam kerja sama lebih erat dengan pemerintahan Jokowi-JK, yaitu politik, ekonomi, dan kebudayaan.


Politik
Timur Tengah adalah kawasan paling panas di dunia. Arab Saudi menghadapi perang saudara di Suriah, instabilitas di Irak, bahkan perang di Yaman, dimana Arab Saudi terlibat secara langsung, ketegangan hubungan Palestina-Israel, ketegangan hubungan Kerajaan Bahrain dengan penduduk yang mayoritas Syiah, dan keresahan warga minoritas Syiah di Arab Saudi sendiri, dll. Semua persoalan ini terkait dengan Iran, musuh bebuyutan Saudi.

Di Suriah, Saudi dan Iran bertarung memperebutkan pengaruh. Iran mendukung rezim Bashar al-Assad, sementara Saudi mendukung kelompok-kelompok oposisi Islamis. Di Irak, Saudi menjalin hubungan erat dengan kaum Kurdi dan Arab Sunni untuk mengimbangi pemerintahan kaum Syiah dukungan Iran. Di Yaman, Saudi memimpin koalisi Arab yang mendukung pemerintah Abed Rabbo Mansour Hadi, menghajar pemberontak Syiah Houthi sokongan Iran.

Saudi pun sempat mengirim tentara ke Bahrain untuk meredam pemberontakan mayoritas kaum Syiah yang didukung Iran. Tak kalah penting adalah kekecewaan Saudi atas dukungan Iran pada minoritas Syiah Arab Saudi. Itu terlihat jelas saat Pemerintah Arab Saudi mengeksekusi mati ulama Syiah Saudi, Syeikh Nimr al-Nimr, pada Januari 2016. Protes Iran atas eksekusi itu berujung pada pemutusan hubungan diplomatik kedua negara.

Raja Abdul Aziz al-Saud, ayahanda Raja Salman, pendiri Kerajaan Arab Saudi.

Konflik Iran-Saudi juga terkait Palestina. Riyadh melihatPalestina sebagai masalah Arab, sementara Teheran mengaitkannya dengan isu Islam. Tak heran jika Saudi menyokong pemerintahan Presiden Mahmoud Abbas yang berbasis di Tepi Barat, sementara Iran mendukung pemerintahan Hamas yang berbasis di Jalur Gaza. Dukungan Iran ini membuat Hamas bersama Jihad Islam Palestina tetap radikal. Akibatnya, perdamaian dengan Israel yang diidam-idamkan Saudi kian sulit diwujudkan.

Memang Saudi telah membangun pakta militer dengan Mesir dan Jordania untuk menghadapi Iran. Selain itu, juga memperkuat kerja sama angkatan laut dengan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) serta bersekutu dengan AS. Namun, semua itu belum cukup.

Maka, Desember 2015, Saudi berinisiatif membangun aliansi militer Islam untuk memerangi terorisme. Pusat komando ada di Riyadh. Organisasi yang telah diikuti oleh 39 negara ini bertujuan memerangi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang bertebaran di Irak, Suriah, Mesir, Libya, Afganistan, dan di kelompok teror mana pun.

Sulit untuk tidak mengatakan bahwa aliansi militer Islam ini lebih ditujukan untuk menghadang Iran dan proxy-nya di sejumlah negara seperti Hizbullah dukungan Iran di Lebanon dan Houthi di Yaman.

Raja Arab Saudi, Salman bin Abdul Aziz al-Saud.

“Ancaman” Iran dan ketidakpastian di Timur Tengah membuat Saudi memandang perlunya membangun persahabatan lebih erat dengan banyak negara, khususnya Indonesia, setelah Saudi tidak dapat membangun aliansi dengan Rusia dan Tiongkok, serta Israel karena belum berdamai dengan Palestina.

AS di bawah Presiden Barack Obama telah mengeluarkan Iran dari isolasi dengan menandatangani kesepakatan nuklir (Juli 2015). Sebaliknya Presiden AS Donald Trump mengambil sikap anti-Iran, dengan mengancam membatalkan perjanjian nuklir yang juga ditandatangani oleh Rusia, China, Inggris, Perancis, plus Jerman.

Belum lama ini AS menjatuhkan sanksi baru atas Iran terkait dengan uji coba rudal balistik negeri itu. Namun, mengingat upaya AS menghancurkan NIIS di Irak dan Suriah memerlukan Iran, sangat mungkin Trump akan melunak sikapnya.

Maka, kerja sama politik dengan Indonesia penting bagi Saudi untuk keamanan Saudi dan stabilisasi Timur Tengah. Indonesia yang tidak terlibat perang di Yaman, bersikap netral dalam perang saudara di Suriah, dan berhubungan dekat dengan Iran, dapat berperan bagi perdamaian di negeri-negeri yang bergolak itu.

Bendera Arab Saudi.

Ekonomi
Ekonomi juga menjadi alasan penting kedatangan Raja Salman dan rombongan ke Indonesia. Sejak tahun lalu, Arab Saudi melancarkan Rencana Transformasi Ekonomi Nasional (Visi Arab Saudi 2030), yang intinya meninggalkan basis minyak.

Turunnya harga minyak membuat ekonomi Saudi terpukul. Paling tidak Saudi defisit anggaran 98 miliar dollar AS. Defisit terjadi karena 75 persen APBN Saudi berasal dari minyak.

Untuk mentransformasikan ekonomi, Arab Saudi perlu investasi asing di bidang infrastruktur, industri militer, perumahan, pariwisata, pendidikan, dan kesehatan. Kendati dipandang ambisius, diprakarsai oleh Wakil Putra Mahkota Muhammad bin Salman (putra Raja Salman), Visi Saudi 2030 diyakini bisa dicapai dalam waktu 14 tahun, saat diversifikasi ekonomi tercapai dengan pendapatan per kapita lebih dari 30.000 dollar AS.

Dalam konteks inilah Raja Salman, para menteri, dan ratusan pebisnis datang. Pasar Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah, anggota G-20, dan dengan jumlah penduduk 250 juta, dipandang cukup menggiurkan.

Selanjutnya kedua negara dapat meningkatkan kerja sama di bidang pariwisata, perminyakan, perbankan, pendidikan, dan industri kemiliteran. Indonesia juga harus ambil bagian dalam proyek-proyek infrastruktur Saudi yang bernilai miliaran dollar AS.

Kota Suci Makkah di Arab Saudi, dimana terdapat Ka'bah sebagai kiblat umat Islam seluruh dunia.

Kebudayaan
Selama di Jakarta, Raja Salman diagendakan bertemu dengan ormas-ormas Islam. Bukan tidak mungkin Saudi akan mengkonkretkan rencana pembangunan sekolah-sekolah di Indonesia via ormas-ormas yang dipercaya Saudi. Rencana ini mungkin akan mendapat perlawanan dari kelompok Islam moderat yang menganggap Wahabisme, yang dianut mayoritas penduduk Saudi, sebagai ajaran radikal dan intoleran, walau sejak almarhum Raja Abdullah berkuasa moderasi terhadap Wahabisme terus dipromosikan.

Misalnya, pada polisi akhlak (mutawin), yang anggotanya mulai digantikan oleh anggota baru yang lebih toleran terhadap budaya luar. Kaum perempuan diberi tempat dengan mengangkat anggota Dewan Syura (semacam parlemen yang anggotanya diangkat raja) dari kalangan perempuan, serta menunjuk perempuan sebagai wakil menteri.

Kerjasama Saudi dengan ormas-ormas Islam bisa mengarah pada pembendungan pengaruh Syiah yang oleh Saudi dipandang sebagai alat Iran bagi menanamkan pengaruhnya di Indonesia.

Wahabisme dan Syiahisme memang berbeda. Keduanya adalah pulau di antara lautan ahlu sunnah wal jamaah (Sunni). Wahabisme lebih menekankan pada teks dengan mengabaikan peran figur, termasuk Nabi Muhammad SAW sebagai penyampai wahyu saja (bahkan melarang merayakan Maulid dan ziarah kubur wali). Syiahisme lebih menekankan pada figur (nabi, para imam, dan figur suci lain), dan mengedepankan rasionalitas dengan ajaran yang filosofis.

Di tengahnya adalah lautan kaum Sunni yang menganggap teks Al-Quran dan figur (Nabi dan para wali) sama-sama penting. Rasio penting, tetapi wahyu lebih tinggi daripada rasio.

Smith Alhadar,
Penasihat ISMES,
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education
KOMPAS, 2 Maret 2017

Thursday, September 17, 2015

Foto Itu: Aylan Kurdi


... and the grave
Proves the child ephemeral...

-- W.H. Auden

Foto itu ––foto yang mengharu-biru perasaan itu, foto yang tak ingin kita lihat itu, foto yang ditakutkan akan membawa mimpi buruk bagi orang-orang lembut hati di seluruh dunia itu–– dengan segera jadi penanda kecemasan kita hari ini. Mayat seorang bocah berumur tiga tahun telungkup di garis pantai Turki. Jidatnya yang rapuh dan kecil tercelup ombak yang menghanyutkan tubuhnya kembali. Warna biru celana pendeknya dan merah kausnya seakan-akan memanggil-manggil seantero Semenanjung Bodrum.

Kemudian diketahui ia bernama Aylan. Dari Suriah. Bersama kakaknya, Galip, yang berumur lima tahun dan ibunya, Rehan, ia tenggelam ketika perahu yang membawa mereka terbalik. Mereka menuju Pulau Kos, di wilayah Yunani, empat kilometer saja jaraknya dari sana, tapi tak sampai. Hanya si ayah, Abdullah, yang lepas dari bencana. Ada 12 orang pengungsi dalam dua kapal yang penuh, dan delapan di antaranya anak-anak.


Tak mudah kita untuk bertanya, apalagi menjawab, apa yang akan terjadi berikutnya pada bapak yang malang itu. “Masa depan saya hilang”, hanya itu yang dikatakannya setelah memakamkan jasad anak-anak dan isterinya. Ia kembali ke Suriah.

Hari buruk itu 2 September 2015, menjelang musim gugur Yunani. Abdullah pernah inginkan masa depan dan musim Kanada yang tenang: ia meninggalkan tanah kelahirannya yang dihancurkan perang yang kejam antara “IS”, ad-Dawlah al-Islamiyah, dan tentara pemerintah dan pasukan pemberontak dan pasukan Kurdi dan entah apa lagi. Tapi Kanada, dengan birokrasi yang dingin hati, menolak Abdullah dan anak isterinya masuk.

Mereka pun mencoba mencari negeri lain, lewat sebuah ujung Turki, mencoba menyeberangi laut Aegia, mencapai pulau tempat kelahiran Hipokrates, bapak kedokteran, di wilayah Yunani itu. Mereka seperti ribuan pengungsi yang kini menabrak pagar Republik Hungaria, menerobos tepi-tepi Eropa ––barisan harapan yang berubah jadi barisan perkabungan yang panjang.


Perkabungan atas rubuhnya ribuan rumah asal dan runtuhnya bumi kelahiran. Perkabungan untuk orang-orang yang terusir, Timur Tengah yang remuk redam, Afrika yang dihantam kebengisan, negeri yang dirobek sengitnya perlawanan terhadap kekuasaan yang zalim, dicincang mata-gelap fanatisme agama, dijahanami kerakusan memperoleh wilayah, minyak bumi, dan posisi, disulut dendam yang tersimpan bertahun-tahun.

Kita, jauh dari sana sekalipun, mau tak mau ikut dalam barisan itu. Bukan cuma untuk Aylan. Kita juga murung untuk Abdullah yang berkata, “masa depan saya hilang”. Sebab apa gerangan yang akan tiba nanti dengan harapan-harapan manusia yang patah ––setelah dunia menghela nafas lega karena perang nuklir tak jadi meletus 25 tahun yang lalu, tapi ternyata hidup tak lebih jauh dari putus asa?

Foto itu, foto di pasir basah itu. Aylan.


Tiap anak lahir dengan pesan bahwa Tuhan belum hilang harapan kepada manusia”, konon Rabindranath Tagore pernah berkata. Penyair besar Bengali ini selalu punya frase-frase yang canggih dan cerah, yang manis ––dan agak memabukkan. Tapi mungkin karena ia belum menyaksikan Aylan kecil tergeletak dengan muka tersungkur. Aylan yang datang dengan pesan yang baik tapi tiba-tiba tenggelam.

Di pantai semenanjung itu, adakah Tuhan masih belum hilang harapan dan semangat kepada manusia? Sebaliknya masih belum hilangkah semangat manusia di hadapan Tuhan, setelah anak-anak dengan cepat dan mudah jadi korban kekuatan-kekuatan besar yang brutal ––di dunia yang tak mereka pilih, tak mereka pahami, seperti mereka juga tak memilih dan memahami pesan Tuhan–– jika pun itu ada?

Barangkali pesan itu, kalaupun ada, memang keras, muram. Tapi sejarah selalu menunjukkan bahwa pada saat yang sama yang keras dan muram itu juga mengundang sebuah komitmen: yang lahir akan bisa segera hilang, yang tak bersalah atau pun yang berdosa tak akan bertahan, tapi yang hidup layak dipertahankan.


Hanya mereka yang pernah berada dalam barisan harapan dan perkabungan saja yang bisa mengalami kontradiksi itu dengan teguh dan diam: keteguhan yang berbisik seperti doa.

Saya kira itulah yang ada dalam baris-baris “Lullaby”, Nina Bobok, yang ditulis Auden dalam tahun-tahun yang terancam perang dan kematian, antara 1930-1940-an. Ia tak bisa membawakan optimisme Tagore. Tapi ia juga jauh dari kegetiran kepada hidup, meskipun di dunia yang cidera.

Barangkali kita bisa membaca “Lullaby” dan teringat Aylan yang tersenyum dalam foto bersama Galip sebelum ayah-ibunya berangkat mengungsi:

... kubur
mengingatkan betapa sementara
anak itu. Tapi di pelukanku
sampai fajar datang
biarlah makhluk yang hidup, telentang
fana, berdosa, tapi
indah, sepenuhnya.


Goenawan Mohamad,
Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
TEMPO.CO, 7 September 2015



Aylan Kurdi

Aylan Kurdi. Bocah 3 tahun itu, hingga Selasa lalu, bukan siapa-siapa. Ia anak kedua pasangan Abdullah Kurdi dan Rehan Kurdi. Anak pertama mereka diberi nama Galip Kurdi (5). Mereka adalah orang Kurdi yang tinggal di Kobani.

Kobani, kota di perbatasan antara Suriah dan Turki. Kota yang masuk Provinsi Aleppo, Suriah utara, adalah kota lama yang sering juga disebut Ayn al-Arab. Kobani sebenarnya adalah nama sebuah perusahaan Jerman yang membangun jaringan rel kereta api Konya-Baghdad pada tahun 1911. Dan pada tahun 1980-an, saat Hafez al-Assad berkuasa di Suriah, nama Kobani diubah menjadi Ayn al-Arab sebagai usaha untuk Arabisasi.

Sejak Rabu lalu, kisah Aylan Kurdi mendunia. Semua itu gara-gara foto: foto Aylan tertelungkup di pantai dekat kota wisata Bodrum, Turki barat daya. Foto itu memperlihatkan bocah kecil berbaju kaus warna merah cerah, bercelana pendek, dan bersepatu. Wajah bocah kecil itu mencium pasir pantai yang basah. Badannya tidak hanya basah, tetapi juga sudah dingin. Badan itu sudah tak bernyawa lagi. Tewas!


Kematian Aylan mengguncang dunia setelah fotonya tersebar luas. Ia tewas. Galip tewas. Rehan juga tewas. Mereka tewas ketika tengah berusaha mewujudkan mimpinya pergi ke Jerman. Mereka tewas ketika meninggalkan kampung halamannya di Kobani yang hancur. Kobani yang sebelumnya berpenduduk sekitar 45.000 orang-Kurdi, Arab, Turkoman, dan Armenia-selama enam bulan dua hari (13 September 2014 - 15 Maret 2015) dikepung oleh kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Penduduk kota itu kabur mencari selamat, begitu pula keluarga Abdullah. Beberapa bulan lalu, 11 anggota keluarga Abdullah tewas dibunuh NIIS.

Apakah kematian tragis Aylan Kurdi, juga saudara dan ibunya, benar-benar akan membuka mata dunia, mata negara-negara maju, mata dan hati para pemimpin negara Eropa, mata orang-orang beradab bahwa tragedi kemanusiaan akibat perang sudah demikian tak terkira? Ratusan ribu orang menerjang perbatasan dan berusaha menundukkan laut untuk masuk ke Eropa. Lebih dari 2.500 orang di antaranya tewas saat menggapai mimpi. Ratusan ribu orang mati akibat perang. Ratusan ribu lainnya terluka.

Bukan tidak mungkin tragedi seperti yang dialami Aylan akan terjadi lagi dan lagi. Gelombang manusia mencari selamat akan terus terjadi selama kekerasan, perang, teror, dan segala macam tindakan penghinaan terhadap rasa kemanusiaan masih terus terjadi di Suriah, Irak, Libya, dan sejumlah negara lainnya yang dikuasai nafsu kekerasan.

Dalam Perang: "Menang jadi Arang, Kalah jadi Abu."

Di Suriah dan Irak, jelas, bahwa tindakan brutal NIIS yang menjadi pemicu terjadinya gelombang migrasi. Rasa sakit sebagai akibat tindak kekerasan dapat ditemukan dalam batin orang-orang Suriah, juga Irak, Libya, dan banyak negara di Afrika yang nekat berimigrasi ke Eropa. Rasa sakit yang tersimpan seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat muncul secara tiba-tiba dalam kemarahan sporadis.

Dunia telah kehilangan hatinya. Perasaan “kita semua bersaudara” seperti yang diungkapkan Mahatma Gandhi dan ungkapan Ahimsa, berjuang tanpa kekerasan, telah punah. NIIS, misalnya, tidak mengenal kata “berjuang tanpa kekerasan” karena ideologi mereka adalah kekerasan dan teror. Mereka tidak mengenal istilah rasa kesetiakawanan, tidak mengenal cinta kasih.

Padahal, cinta kasih menjadi kekuatan yang mendorong sekaligus berperan sebagai perekat dalam kesatuan tanpa ada dimensi diskriminatif. Apabila setiap orang mengedepankan cinta kasih, tidak akan ada lagi kebencian dan perang.


Namun, nyatanya ada anak seperti Aylan yang tewas dalam mimpi di pantai. Bolehkah anak tidak bersalah seperti mereka itu ––dan masih banyak lagi anak-anak tidak bersalah di dan dari Suriah, Irak, Libya, negara-negara Afrika–– menderita dan mati karena keganasan orang-orang dewasa yang beku hatinya?

Mengapa anak-anak itu harus dilibatkan dalam penderitaan dan mengalami kematian tragis? Mengapa NIIS, sebagai contoh, membangun masa depan di atas penderitaan dan kematian anak-anak dan genangan air mata ribuan anak-anak lainnya yang tak berdosa?

Itulah yang kita saksikan sekarang. Sejarah seperti berulang: rezim-rezim revolusioner yang menegakkan terorisme dan kekerasan membenarkan penderitaan manusia demi masa depan dan demi keadilan di dunia menurut gambaran mereka. Itulah akar dari otoritarianisme dan totalitarisme, seperti Nazisme atau Stalinisme di zaman modern, yang sangat kejam, brutal, dan nihilistis terhadap kemanusiaan.

Trias Kuncahyono,
Penulis Kolom “Kredensial” Kompas Minggu
KOMPAS, 6 September 2015