Wednesday, March 16, 2016

Menanti Sang Penantang Ahok


Pemilihan Gubernur DKI Jakarta baru akan digelar April 2017 dalam pilkada serentak kedua. Namun, gaungnya sudah terasa. Maklum, ini pilkada di ibu kota negara.

Sebagai petahana, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sudah menyatakan akan maju lewat perseorangan, berpasangan dengan Heru Budi Hartono, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) DKI. Sejak tahun lalu, komunitas Teman Ahok sudah bekerja keras mengumpulkan KTP para pemilih DKI agar Ahok bisa maju lewat jalur perseorangan. Mereka sadar bahwa Ahok bukan orang partai sehingga rentan tak mendapatkan dukungan partai. Sejauh ini satu-satunya dukungan partai yang telah diperolehnya hanya dari Nasdem yang hanya memiliki lima kursi di DPRD DKI Jakarta. Komitmen tersebut bahkan diwujudkan dengan membentuk Muda-Mudi Ahok untuk membantu Teman Ahok.

Keputusan cepat Ahok untuk maju lewat perseorangan bisa dipahami karena syarat pencalonan perseorangan memang tidak mudah. Untuk DKI Jakarta, setidaknya dibutuhkan 532.210 KTP atau 7,5 persen dari jumlah pemilih. Sampai sejauh ini data yang tertera di situs temanahok.com sudah 784.977 KTP. Artinya sudah melampaui batas minimum persyaratan. Namun, pengumpulan masih dilanjutkan karena targetnya satu juta KTP.

Tak ada yang salah dengan pilihan Ahok untuk maju lewat perseorangan karena itu merupakan hak pribadi yang tak perlu digugat karena sesuai UU Pilkada. Pada Pilgub DKI Jakarta 2012 juga ada dua pasangan perseorangan, yakni Faisal Basri-Biem Benyamin dan Hendardji Supandji-Ahmad Riza Patria. Hanya saja, harus diakui bahwa ada sedikit komunikasi yang kurang baik antara Ahok dan PDI Perjuangan (PDI-P). Permintaan Ahok untuk memperoleh jawaban cepat dari PDI-P tentang dukungan pencalonannya dinilai telah mengganggu mekanisme yang ada dalam partai dan dianggap sebagai upaya untuk mendekonstruksi mekanisme yang berlangsung di internal PDI-P.


Petahana
Seperti halnya di banyak daerah, petahana jelas merupakan kompetitor terberat bagi sang penantang. Hal ini bisa dipahami karena ia memiliki popularitas, SDM, dan jaringan yang lebih baik daripada para penantangnya. Kinerjanya selama lima tahun merupakan modal besar yang bisa dijual kepada rakyat. Namun, bukan berarti telah pasti menang. Jika merujuk pada hasil pilkada serentak 9 Desember 2015, mayoritas petahana memang lebih unggul. Dari 82,5 persen petahana yang ikut pilkada serentak tersebut, 63,2 persen di antaranya menang.

Sebagai kepala daerah, Ahok termasuk paling kontroversial. Karakternya yang meledak-ledak dan tak jarang dengan “bahasa pasar” merupakan fenomena yang tak biasa di kalangan pemimpin pemerintahan. Bagi sebagian orang, karakter Ahok tersebut dipandang sebagai kelemahan utamanya. Sebab, ia bukan saja dinilai telah melabrak tata krama dan kesantunan pemimpin pemerintahan, melainkan juga tata nilai masyarakat Indonesia. Kepala daerah dianggap bukan sekadar pemimpin pemerintahan, melainkan juga teladan (role model) bagi rakyat yang dipimpinnya.

Bertentangan dengan hal tersebut, sebagian publik lainnya bersikap permisif. Terutama bagi kalangan muda. Menurut mereka, hal itu bukan isu krusial karena dilakukan untuk membenahi kebobrokan birokrasi dan ketidaktertiban kota. Dengan ketegasan dan karakternya itu, Ahok justru dinilai bukan pemimpin hipokrit yang retorikanya indah, tapi rasanya pahit. Di mata mereka, Ahok justru berhasil melakukan sejumlah terobosan, seperti penertiban pasar-pasar tradisional dan pedagang kaki lima (PKL), masalah angkutan jalan raya, khususnya transjakarta dan kopaja, pembersihan Ciliwung dan Waduk Ria-Rio, penyegelan Mal Tebet Green yang tak berizin, dan penggusuran lokasi prostitusi Kalijodo.


Keberhasilan lain yang juga dinilai fenomenal adalah dalam mengatasi masalah efisiensi anggaran dan reformasi birokrasi. Umum diketahui bahwa korupsi, penyelewengan anggaran, dan pelayanan publik yang buruk telah menjadi noda hitam birokrasi dan pemerintahan. Dalam hal ini, Ahok dinilai berhasil menurunkannya dengan memperkenalkan e-budgeting dan melakukan pengawasan ketat terhadap penggunaan anggaran. Nyanyiannya tentang dana siluman dan masalah UPS (uninterruptible power supply) yang diduga juga melibatkan oknum-oknum di DPRD tak urung telah menimbulkan perseteruan dan ketidakharmonisan hubungan antara Ahok dan DPRD.

Sementara, di dalam pemerintahannya, banyak pejabat yang juga tak nyaman dengan kebijakan Ahok, khususnya, karena sikapnya yang sering bongkar pasang pejabat untuk mencari orang yang sesuai dengan visi, misi, dan cara kerjanya. Wali Kota Jakarta Selatan, misalnya, pernah dipecatnya karena dianggap tidak tegas.

Terlepas dari pro-kontra atas karakternya, Ahok jelas merupakan “musuh bersama” bagi penantangnya, khususnya dari partai. Apalagi karena sikap Ahok yang dipandang kurang menghargai eksistensi fungsi dan peran partai. Sebagaimana diketahui, tak lama setelah menjadi gubernur, Ahok memutuskan keluar dari Gerindra, partai yang mengusungnya. Ia juga dinilai tak mampu menjaga hubungan yang harmonis dengan mitranya di DPRD. Bahwa sampai hari ini belum satu partai pun yang mengumumkan pasangan calonnya (kecuali Nasdem), untuk satu hal bisa dimaknai sebagai kehati-hatian mereka dalam mempertimbangkan pasangan cagub-cawagub yang bisa mengungguli Ahok dan sesuai harapan pemilih DKI yang rasional.


Terlepas dari “karakter negatif”-nya, para penantangnya harus bisa meyakinkan publik tentang konsep dan program konkret dalam membangun DKI Jakarta yang lebih baik daripada Ahok. Selain itu, pasangan tersebut juga harus merupakan pasangan yang memiliki ketokohan kuat.

Setidaknya ada tiga kriteria yang perlu diperhatikan partai dalam mengusung/mendukung calonnya. Pertama, sosok itu harus memiliki integritas yang kuat, yakni bersih, lugas, dan berani.

Dalam era keterbukaan dan kebebasan, yang dibutuhkan bukan sekadar pemimpin yang jujur, melainkan juga yang apa adanya, melayani, dan punya nyali besar. Apalagi di ibu kota negara yang disinyalir banyak mafianya. Namun, ini tak berarti harus kasar dan tak memedulikan sopan santun.

Kedua, sosok itu harus memiliki rekam jejak yang baik sebagai referensi. Lebih utama yang pernah menjadi kepala daerah. Pengalaman karier Joko Widodo (Jokowi), misalnya, merupakan contoh nyata. Ketiga, selain dukungan partai, sosok tersebut merupakan tokoh yang merakyat dan bukan sosok yang tinggal di menara gading. Kemampuan pemimpin dalam menyerap aspirasi dan memahami kebutuhan rakyatnya merupakan faktor penting yang mempengaruhi tingkat legitimasi dan kharisma kepemimpinannya.


Penantang Ahok
Sejauh ini ada banyak nama yang ikut meramaikan bursa cagub DKI, tetapi kebanyakan bukan kader partai besar yang berpotensi mengusung calonnya. Dengan 28 kursi di DPRD DKI, hanya PDI-P yang bisa mengusung cagub-cawagubnya secara sendiri. Partai lain harus berkoalisi karena syarat minimal pengajuan cagub-cawagub DKI Jakarta 22 kursi (20 persen). Namun, seperti halnya partai lain, PDI-P juga belum menentukan calonnya. Selain karena alasan mekanisme partai, bagi partai salah satu masalah utamanya adalah soal tawar-menawar “mahar politik”. Bagi publik, soal ini ibarat makhluk gaib yang hanya bisa diyakini adanya, tetapi sulit dibuktikan wujudnya, sebab tak satu partai pun mau mengakuinya.

Melihat sifat koalisi partai dalam pilpres maupun pilkada selama ini yang lebih bersifat pragmatis ketimbang ideologis, tak mudah memetakan secara pasti peta koalisi partai dalam Pilgub DKI. Bukan tak mungkin ada pula partai yang mengikuti jejak Nasdem mendukung Ahok. Namun, jika dilihat dari jumlah kursinya, boleh jadi setidaknya akan ada tiga pasangan calon penantang Ahok. Pertama, sebagai pemilik kursi terbesar (28 kursi), PDI-P boleh jadi akan maju sendiri dengan mengusung pasangan kadernya atau dengan memilih pendamping dari kalangan profesional/nonpartai. Bagi PDI-P, ini bukan hal aneh. Salah satunya adalah pasangan Tri Rismaharini dan Wisnu Sakti Buana yang memenangi Pemilihan Wali Kota Surabaya dalam pilkada serentak 2015.

Kedua, sebagai partai kedua terbesar, bisa jadi Gerindra juga akan mengajukan cagubnya. Namun, dengan 15 kursi di DPRD, ia harus berkoalisi dengan setidaknya satu partai menengah. Ketiga, seperti Pilgub DKI 2012, sebagai partai terbesar ketiga (11 kursi), tak tertutup kemungkinan PKS juga berpotensi mengusung cagubnya dengan syarat harus berpasangan dengan setidaknya dua partai lain. Akan tetapi, karena jumlah kursinya yang hanya berselisih satu kursi (11 kursi) dengan tiga partai lainnya (Demokrat, PPP, dan Hanura yang masing-masing 10 kursi), bukan tak mungkin PKS hanya akan menempatkan calonnya sebagai DKI 2.


Meski masalah suku/etnis tak lagi menjadi unsur pokok, tidak berarti tidak penting. Isu representasi dalam politik masih menjadi salah satu pertimbangan signifikan dalam pilkada. Ini bukan sekadar masalah kebhinnekaan, melainkan tentang strategi untuk memenangi kontestasi. Sebab, tidak semua pemilih DKI merupakan pemilih rasional.

Sebagai gambaran, menurut Sensus Penduduk 2010, empat suku/etnis terbesar di DKI adalah Jawa (35,16 persen), Betawi (27,65 persen), Sunda (15,27 persen), dan Tionghoa (5,53 persen). Sebagian kekalahan Fauzi Bowo dan Nachrawi Ramli karena keduanya menafikan hal itu atau sama-sama Betawi.

Ahok sudah melempar tantangannya. Namun, sampai sejauh ini, kecuali Nasdem, tak satu partai pun yang telah mengumumkan calonnya. Bagi publik, lebih cepat lebih baik karena mereka akan lebih bisa mengenal calonnya. Tidak seperti orang yang membeli kucing dalam karung. Yang jelas, kehadiran calon perseorangan merupakan hal positif yang dapat mencegah partai untuk tidak mem-fait accompli rakyat dengan calon yang tak diinginkan.

Sebab, tujuan pilkada langsung adalah untuk menghasilkan pemimpin terbaik, bukan semata-mata sekadar pergantian penguasa.

R Siti Zuhro,
Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
KOMPAS, 15 Maret 2016

No comments: