Wednesday, March 15, 2017

Raja Salman Juga Menghadapi Disruption

Ahok, yang sudah jadi terdakwa penista ajaran Islam pun sempat menyalami Raja Arab Saudi, Salman bin Abdul Aziz al-Saud, ketika baru saja mendarat di Indonesia.

Luar biasa! Itulah dua kata yang saya dengar banyak dilontarkan masyarakat kita ketika membaca berita tentang kunjungan Salman bin Abdul Aziz al-Saud, Raja Arab Saudi. Mereka kagum. Ada banyak hal yang mereka nilai luar biasa. Bahkan, sangat luar biasa. Misalnya, soal jumlah rombongan. Ini adalah kunjungan resmi —meski kedatangannya sekaligus untuk liburan. Dalam kunjungan resmi, jarang sekali ada kepala negara/pemerintahan yang membawa rombongan begitu besar. Ratusan orang, mungkin. Itu pun untuk sekelas Presiden Amerika Serikat. Ini, Raja Salman, membawa rombongan sebanyak 1.500-an orang. Luar biasa! Masih ada lagi 15 menteri dan 25 pangeran.

Selebihnya anggota keluarga, pengawal, ajudan, staf kerajaan, sekretaris, asisten pribadi, dan seterusnya. Isu luar biasa lainnya yang ramai dibicarakan adalah soal kemewahan fasilitas untuk Sang Raja dan rombongannya. Misalnya, tarif kamar hotelnya yang luar biasa. Per malam mencapai Rp 133 juta. Isu lainnya soal Raja Salman yang mem-booking tiga hotel papan atas selama kunjungannya di Jakarta.

Lalu, untuk liburan di Bali, rombongan Raja Salman bahkan mem-booking sampai empat hotel dan menyewa 300-an kendaraan. Hal yang luar biasa lainnya adalah sekarang semakin banyak ibu-ibu yang mulai ramai melirik layar smartphone-nya. Setelah itu mereka saling berbisik dan kemudian tertawa cekikikan. Anda tahu apa yang mereka lihat dan bicarakan? Ada 25 pangeran yang bakal menemani kunjungan Raja Salman di Indonesia. Beberapa fotonya muncul di layar smartphone mereka.

Kata ibu-ibu tadi, wow luar biasa tampannya. Sebagian di antara mereka, terutama yang masih muda, lalu melamun. Mungkin membayangkan seandainya saja menjadi suaminya. Lalu, bapak-bapaknya juga tak mau kalah. Di layar smartphone mereka muncul gambar putri-putri Raja Salman yang luar biasa cantiknya! Sebagian sempat salah karena yang ditampilkan adalah wajah Kim Kardashian atau bintang film India.

Presiden Joko Widodo menyetiri sendiri mobil bugi yang ditumpangi Raja Salman bin Abdul Aziz.

Saya tersenyum sendiri membayangkan fenomena tersebut. Sebab, tak ada di antara mereka yang bisa memastikan bahwa foto-foto tersebut benar foto para pangeran atau para putri. Pokoknya selama wajahnya terlihat kearab-araban, serta tampan atau cantik, sebut saja mereka pangeran dan putri. Luar biasa! Masih banyak hal luar biasa lainnya yang bisa dibahas di sini.

Misalnya, lamanya waktu kunjungan, jumlah pesawat yang digunakan untuk mengangkut rombongan, eskalator khusus, burung rajawali peliharaan para pangeran yang masing-masing punya paspor sendiri, sampai kepada santunan kepada keluarga anggota Densus 88 Antiteror —yang meninggal karena tugas.

Saya yakin Anda masih punya daftar luar biasa lainnya. Misalnya, kalau menurut saya, kesediaan Raja Salman untuk berlibur ke Bali. Mengapa? Anda tahu, Bali adalah provinsi dengan penduduk mayoritasnya beragama Hindu. Kesediaan Raja Salman berlibur ke Bali tentu memberikan pesan tentang pentingnya kesediaan untuk hidup berdampingan secara damai. Mau menerima perbedaan. Ia bahkan juga bersalaman dengan gubernur ibukota yang juga berbeda keyakinan. Juga agendanya menerima tokoh-tokoh agama dari negeri ini. Bukan hanya tokoh agama Islam, tetapi juga tokoh-tokoh dari agama lainnya.

Dua agenda ini, menurut saya, adalah sebuah disruption dari seorang raja. Ia berani membongkar tradisi lama, atau minimal membongkar otak-otak kolot kita yang kurang rajin bergaul lintas peradaban, lintas bangsa. Dan, ini menjadi penting bagi kita yang kebhinekaannya tengah mengalami banyak ujian.

Raja Salman di antara para pangeran kerajaan Arab Saudi.

Dua Faktor
Baiklah sekarang kita bicara bisnis. Heboh kunjungan Raja Salman ke negara kita, dan sejumlah negara lainnya, adalah penggalan dari potret perjalanan transformasi Kerajaan Arab Saudi. Negara itu kini mulai menyadari bahwa mereka tak bisa lagi mengendalikan roda pemerintahan, roda perekonomiannya, di tengah perubahan besar yang terjadi di lingkungan sekitarnya yang ditengarai dengan banyaknya perubahan atau disruption.

Peta geopolitik dunia kini sudah berubah. Apa saja disruption-nya? Pertama, penemuan shale oil dan shale gas di Amerika Serikat (AS) yang membuat dunia kebanjiran minyak dan gas murah. Ingat disruption berdampak deflasi berat. Berkat penemuan tersebut, kalau dihitung dengan tingkat konsumsi seperti sekarang, kebutuhan migas AS bakal aman hingga 100 tahun ke depan. Maka, AS tak lagi bergantung pada pasokan migas dari Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya.

Bahkan akibat penemuan shale oil dan shale gas tersebut, AS memangkas impor migas dari Arab Saudi. Volumenya tidak tanggung-tanggung, hingga 30%. Lalu, ke mana Arab Saudi “membuang” kelebihan produksi minyak dan gasnya?

Banjirnya gas murah telah membuat negara pemilik shale gas menyetop impor pupuk dan kini pupuk impor yang murah mulai membanjiri Asia yang bahkan berpotensi mengguncang industri pupuk kita, minimal wilayah pasar ekspor kita.

Raja Salman dan Pangeran Waleed.

Kedua, hukum pasar pun berlaku. Akibat kelebihan pasokan, harga minyak dan gas di pasar dunia pun turun. Harga minyak, misalnya, yang sempat menembus USD 120 per barel kini anjlok menjadi kurang dari separuhnya. Bahkan sampai kini harga minyak masih bergerak pada kisaran USD 50 per barel.

Dua faktor tadi berimplikasi serius bagi Arab Saudi. Penerimaan negara pun berkurang. Apalagi sekitar 70% pendapatan negara berasal dari minyak dan gas. Maka, tak heran kalau pada tahun lalu, untuk menutupi anggaran belanjanya, Arab Saudi sampai berutang. Banyak pakar memprediksi bahwa harga minyak yang rendah akan berlangsung secara berkepanjangan. Kalau hal tersebut benar-benar terjadi, ini tentu akan memukul Arab Saudi. Lalu, apa solusinya?

Saya kira, pengalaman negara-negara yang tergabung dalam Uni Emirat Arab (UEA) bisa menjadi referensi. Para emir di negara-negara tersebut sadar bahwa mereka tak boleh menggantungkan hidupnya pada sumber daya yang tak dapat diperbaharui. Maka, sejak beberapa tahun silam UEA mulai melakukan transformasi. Mereka mulai melakukan disruption dengan mengalihkan pendapatan negaranya dari minyak dan gas ke industri jasa. Di antaranya, dengan mengembangkan bisnis pariwisata dengan membangun gedung-gedung pencakar langit, pulau-pulau baru dan lain sebagainya sebagai destinasi wisata.

Bahkan, UEA juga melakukan transformasi terhadap industri penerbangannya. Kini, selama bertahun-tahun maskapai-maskapai penerbangan asal UEA, seperti Emirates dan Etihad, selalu menempati peringkat yang tinggi dalam survei yang dilakukan oleh Skytrax, lembaga pemeringkat yang berbasis di London.

Majlis Syura (Parlemen) Kerajaan Arab Saudi yang saat ini sudah mengakomodasi perwakilan dari kaum perempuan.

Potret Disrupsi
Berbekal transformasi dan disrupsi tadi, dari tahun ke tahun kunjungan wisata ke UEA terus meningkat. Arab Saudi, saya kira, punya modal untuk melakukan transformasi perekonomiannya. Apa itu? Bisnis tumpahan dari ibadah haji. Di Indonesia, saya kira, kita bisa menyaksikan proses transformasi yang serupa. Hanya kali ini dalam bisnis migas.

Arab Saudi kini tak lagi menjual minyak mentah, tetapi juga sekaligus membangun kilangnya. Jadi, minyak mentah asal Arab Saudi diolah dulu di kilang. Kilangnya yang membangun juga Arab Saudi, melalui Saudi Aramco —perusahaan migas milik negara.

Untuk Anda ketahui, minyak mentah asal Arab Saudi tergolong jenis sour (masam) karena tingginya kandungan sulfur. Jenis minyak mentah seperti ini tak bisa diolah di sembarang kilang. Kilang minyak Pertamina yang di Cilacap, misalnya, memang khusus dibangun untuk mengolah minyak mentah yang diimpor dari Arab Saudi. Anda tahu, selalu ada nilai tambah dari proses hilirisasi. Bahkan, nilai tambahnya semakin besar ketimbang kalau yang dijual adalah bahan baku atau bahan mentahnya. Ini, saya kira, adalah potret lain dari transformasi tata kelola perekonomian Arab Saudi.

Catatan saya lainnya adalah soal kabar rencana Saudi Aramco untuk menjual sebagian sahamnya. Ini adalah potret lain transformasi negara itu. Kita tahu, Arab Saudi adalah negara yang dikelola dengan sangat konservatif. Banyak pimpinannya yang begitu kolot. Namun, langkah Raja Salman membuktikan bahwa mereka tidak sekolot yang kita bayangkan. Kalau negara sekonservatif Arab Saudi saja mampu berubah, mengapa kita tidak!

Petuah yang saya pelajari mengatakan, siapa yang tak melakukan self disruption, seriuh apapun kekuatan ototnya, akan terdisrupsi.

Rhenald Kasali,
Pendiri Rumah Perubahan
KORAN SINDO, 2 Maret 2017


Di Balik Kunjungan Raja Salman

Di tengah instabilitas kawasan Timur Tengah dan upaya Kerajaan Arab Saudi melakukan transformasi ekonomi, Raja Salman bin Abdul Aziz al-Saud, berkunjung ke Indonesia. Kendati ini kunjungan balasan atas kunjungan Presiden Joko Widodo ke Arab Saudi pada tahun 2015, bisa dikatakan ini adalah kunjungan historis Raja Arab Saudi ke Indonesia setelah kedatangan Raja Faisal, kakak tiri Salman, pada tahun 1970. Tingkat kepentingannya dapat dilihat dari besarnya rombongan dan lamanya mereka di Tanah Air.

Raja Salman tiba di Jakarta pada Rabu (1/3/2017) bersama 1.500 orang, 15 menteri, dan 25 pangeran, dan akan berada di Jakarta selama tiga hari untuk kunjungan resmi dan tujuh hari di Bali untuk berlibur.

Ada tiga hal yang ingin dicapai Kerajaan Arab Saudi di bawah Raja Salman dalam kerja sama lebih erat dengan pemerintahan Jokowi-JK, yaitu politik, ekonomi, dan kebudayaan.


Politik
Timur Tengah adalah kawasan paling panas di dunia. Arab Saudi menghadapi perang saudara di Suriah, instabilitas di Irak, bahkan perang di Yaman, dimana Arab Saudi terlibat secara langsung, ketegangan hubungan Palestina-Israel, ketegangan hubungan Kerajaan Bahrain dengan penduduk yang mayoritas Syiah, dan keresahan warga minoritas Syiah di Arab Saudi sendiri, dll. Semua persoalan ini terkait dengan Iran, musuh bebuyutan Saudi.

Di Suriah, Saudi dan Iran bertarung memperebutkan pengaruh. Iran mendukung rezim Bashar al-Assad, sementara Saudi mendukung kelompok-kelompok oposisi Islamis. Di Irak, Saudi menjalin hubungan erat dengan kaum Kurdi dan Arab Sunni untuk mengimbangi pemerintahan kaum Syiah dukungan Iran. Di Yaman, Saudi memimpin koalisi Arab yang mendukung pemerintah Abed Rabbo Mansour Hadi, menghajar pemberontak Syiah Houthi sokongan Iran.

Saudi pun sempat mengirim tentara ke Bahrain untuk meredam pemberontakan mayoritas kaum Syiah yang didukung Iran. Tak kalah penting adalah kekecewaan Saudi atas dukungan Iran pada minoritas Syiah Arab Saudi. Itu terlihat jelas saat Pemerintah Arab Saudi mengeksekusi mati ulama Syiah Saudi, Syeikh Nimr al-Nimr, pada Januari 2016. Protes Iran atas eksekusi itu berujung pada pemutusan hubungan diplomatik kedua negara.

Raja Abdul Aziz al-Saud, ayahanda Raja Salman, pendiri Kerajaan Arab Saudi.

Konflik Iran-Saudi juga terkait Palestina. Riyadh melihatPalestina sebagai masalah Arab, sementara Teheran mengaitkannya dengan isu Islam. Tak heran jika Saudi menyokong pemerintahan Presiden Mahmoud Abbas yang berbasis di Tepi Barat, sementara Iran mendukung pemerintahan Hamas yang berbasis di Jalur Gaza. Dukungan Iran ini membuat Hamas bersama Jihad Islam Palestina tetap radikal. Akibatnya, perdamaian dengan Israel yang diidam-idamkan Saudi kian sulit diwujudkan.

Memang Saudi telah membangun pakta militer dengan Mesir dan Jordania untuk menghadapi Iran. Selain itu, juga memperkuat kerja sama angkatan laut dengan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) serta bersekutu dengan AS. Namun, semua itu belum cukup.

Maka, Desember 2015, Saudi berinisiatif membangun aliansi militer Islam untuk memerangi terorisme. Pusat komando ada di Riyadh. Organisasi yang telah diikuti oleh 39 negara ini bertujuan memerangi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang bertebaran di Irak, Suriah, Mesir, Libya, Afganistan, dan di kelompok teror mana pun.

Sulit untuk tidak mengatakan bahwa aliansi militer Islam ini lebih ditujukan untuk menghadang Iran dan proxy-nya di sejumlah negara seperti Hizbullah dukungan Iran di Lebanon dan Houthi di Yaman.

Raja Arab Saudi, Salman bin Abdul Aziz al-Saud.

“Ancaman” Iran dan ketidakpastian di Timur Tengah membuat Saudi memandang perlunya membangun persahabatan lebih erat dengan banyak negara, khususnya Indonesia, setelah Saudi tidak dapat membangun aliansi dengan Rusia dan Tiongkok, serta Israel karena belum berdamai dengan Palestina.

AS di bawah Presiden Barack Obama telah mengeluarkan Iran dari isolasi dengan menandatangani kesepakatan nuklir (Juli 2015). Sebaliknya Presiden AS Donald Trump mengambil sikap anti-Iran, dengan mengancam membatalkan perjanjian nuklir yang juga ditandatangani oleh Rusia, China, Inggris, Perancis, plus Jerman.

Belum lama ini AS menjatuhkan sanksi baru atas Iran terkait dengan uji coba rudal balistik negeri itu. Namun, mengingat upaya AS menghancurkan NIIS di Irak dan Suriah memerlukan Iran, sangat mungkin Trump akan melunak sikapnya.

Maka, kerja sama politik dengan Indonesia penting bagi Saudi untuk keamanan Saudi dan stabilisasi Timur Tengah. Indonesia yang tidak terlibat perang di Yaman, bersikap netral dalam perang saudara di Suriah, dan berhubungan dekat dengan Iran, dapat berperan bagi perdamaian di negeri-negeri yang bergolak itu.

Bendera Arab Saudi.

Ekonomi
Ekonomi juga menjadi alasan penting kedatangan Raja Salman dan rombongan ke Indonesia. Sejak tahun lalu, Arab Saudi melancarkan Rencana Transformasi Ekonomi Nasional (Visi Arab Saudi 2030), yang intinya meninggalkan basis minyak.

Turunnya harga minyak membuat ekonomi Saudi terpukul. Paling tidak Saudi defisit anggaran 98 miliar dollar AS. Defisit terjadi karena 75 persen APBN Saudi berasal dari minyak.

Untuk mentransformasikan ekonomi, Arab Saudi perlu investasi asing di bidang infrastruktur, industri militer, perumahan, pariwisata, pendidikan, dan kesehatan. Kendati dipandang ambisius, diprakarsai oleh Wakil Putra Mahkota Muhammad bin Salman (putra Raja Salman), Visi Saudi 2030 diyakini bisa dicapai dalam waktu 14 tahun, saat diversifikasi ekonomi tercapai dengan pendapatan per kapita lebih dari 30.000 dollar AS.

Dalam konteks inilah Raja Salman, para menteri, dan ratusan pebisnis datang. Pasar Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah, anggota G-20, dan dengan jumlah penduduk 250 juta, dipandang cukup menggiurkan.

Selanjutnya kedua negara dapat meningkatkan kerja sama di bidang pariwisata, perminyakan, perbankan, pendidikan, dan industri kemiliteran. Indonesia juga harus ambil bagian dalam proyek-proyek infrastruktur Saudi yang bernilai miliaran dollar AS.

Kota Suci Makkah di Arab Saudi, dimana terdapat Ka'bah sebagai kiblat umat Islam seluruh dunia.

Kebudayaan
Selama di Jakarta, Raja Salman diagendakan bertemu dengan ormas-ormas Islam. Bukan tidak mungkin Saudi akan mengkonkretkan rencana pembangunan sekolah-sekolah di Indonesia via ormas-ormas yang dipercaya Saudi. Rencana ini mungkin akan mendapat perlawanan dari kelompok Islam moderat yang menganggap Wahabisme, yang dianut mayoritas penduduk Saudi, sebagai ajaran radikal dan intoleran, walau sejak almarhum Raja Abdullah berkuasa moderasi terhadap Wahabisme terus dipromosikan.

Misalnya, pada polisi akhlak (mutawin), yang anggotanya mulai digantikan oleh anggota baru yang lebih toleran terhadap budaya luar. Kaum perempuan diberi tempat dengan mengangkat anggota Dewan Syura (semacam parlemen yang anggotanya diangkat raja) dari kalangan perempuan, serta menunjuk perempuan sebagai wakil menteri.

Kerjasama Saudi dengan ormas-ormas Islam bisa mengarah pada pembendungan pengaruh Syiah yang oleh Saudi dipandang sebagai alat Iran bagi menanamkan pengaruhnya di Indonesia.

Wahabisme dan Syiahisme memang berbeda. Keduanya adalah pulau di antara lautan ahlu sunnah wal jamaah (Sunni). Wahabisme lebih menekankan pada teks dengan mengabaikan peran figur, termasuk Nabi Muhammad SAW sebagai penyampai wahyu saja (bahkan melarang merayakan Maulid dan ziarah kubur wali). Syiahisme lebih menekankan pada figur (nabi, para imam, dan figur suci lain), dan mengedepankan rasionalitas dengan ajaran yang filosofis.

Di tengahnya adalah lautan kaum Sunni yang menganggap teks Al-Quran dan figur (Nabi dan para wali) sama-sama penting. Rasio penting, tetapi wahyu lebih tinggi daripada rasio.

Smith Alhadar,
Penasihat ISMES,
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education
KOMPAS, 2 Maret 2017

No comments: