Friday, May 12, 2017

Senja Kala Demokrasi Transaksional


Kemelut yang menimpa kepemimpinan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) melengkapi kesempurnaan krisis demokrasi di negara ini. Pemilihan umum menjadi ajang elevasi orang-orang semenjana (medioker) untuk meraih kedudukan tinggi dengan menyingkirkan orang-orang berprestasi. Panggung politik diwarnai kegaduhan remeh-temeh. Jabatan menjadi wilayah transaksional padat modal. Undang-undang disusun mengikuti penawar tertinggi. Supremasi hukum tersungkur di bawah logika kepentingan kedudukan dan fasilitas. Kesenjangan antara idealitas dan realitas demokrasi, antara apa yang dipikirkan warga dan apa yang dilakukan para penyelenggara negara, semakin melebar dan meluber (tak tertampung).

Setiap sistem politik harus mencapai keseimbangan di antara dua aspek fundamental: legitimasi dan efisiensi. Legitimasi menyangkut tingkat kepercayaan dan persetujuan rakyat pada lembaga kenegaraan dan kebijakannya. Efisiensi menyangkut seberapa cepat pemerintahan dapat menemukan solusi tepat dalam menjawab aspirasi dan masalah. Legitimasi berkaitan dengan dukungan rakyat, sedangkan efisiensi berkaitan dengan tindakan lugas (decisive). Demokrasi dikatakan sebagai bentuk pemerintahan paling sedikit keburukannya tiada lain karena usahanya untuk mencari keseimbangan yang sehat antara legitimasi dan efisiensi. Namun, demokrasi Indonesia saat ini justru diwarnai krisis keduanya: miskin legitimasi dan tak efisien, alias boros.


Krisis legitimasi demokrasi Indonesia ditandai oleh kecenderungan kian menurunnya tingkat partisipasi warga dalam pemilu/pilkada (voter turnout), kecuali di beberapa daerah yang padat politisasi identitas. Kedua, kecenderungan merosotnya tingkat kepercayaan dan loyalitas terhadap parpol dengan tingginya angka pelarian dukungan (voter turnover). Ketiga, kian tingginya tingkat ketidakpercayaan terhadap lembaga perwakilan seperti diindikasikan dari hasil berbagai survei yang menempatkan DPR sebagai lembaga yang paling tak bisa dipercaya. Keempat, indeks persepsi korupsi yang masih tetap tinggi.

Sementara itu, krisis efisiensi demokrasi diindikasikan oleh kemerosotan daya respons dan daya produktivitas lembaga perwakilan dalam menyusun dan merealisasikan Program Legislasi Nasional. Kedua, kian lamanya kegaduhan dan waktu yang diperlukan untuk menegosiasikan urusan antara berbagai kepentingan di lembaga perwakilan dan kian besarnya potensi kebocoran keuangan negara dalam menegosiasikan kepentingan-kepentingan tersebut, seperti tecermin dalam persoalan KTP elektronik. Ketiga, kecenderungan semakin meningginya tingkat ketidakpuasan terhadap pemimpin petahana, yang diindikasikan oleh naiknya tingkat ketidakterpilihan petahana.


Kecenderungan krisis demokrasi semacam ini dalam istilah David van Reybrouck (2016), disebut sebagai “sindrom keletihan demokrasi” (democratic fatigue syndrome). Di berbagai belahan dunia, respons atas sindrom ini melahirkan beragam bentuk serangan balik. Ada yang menimpakan krisis ini sebagai kesalahan elite politisi dengan solusi populisme. Ada yang melihatnya sebagai kesalahan demokrasi itu sendiri, dengan menawarkan bentuk teknokrasi atau berpaling ke bentuk pemerintahan lain. Ada yang menyalahkan demokrasi perwakilan dengan solusi kembali ke model demokrasi Athena yang menginginkan segala keputusan lewat partisipasi rakyat langsung. Ada yang melihat kesalahan itu sebagai akibat dari kelemahan sistem pemilihan demokrasi perwakilan.

Akar tunjang dari segala krisis ini sesungguhnya bermula ketika input kepemimpinan dalam demokrasi kita ini hanya mengandalkan faktor keterpilihan dan mengabaikan faktor keterwakilan. Yang jadi perhatian dalam institutional crafting hanyalah bagaimana agar orang bisa terpilih, bukan bagaimana memperbaiki mutu perwakilan yang demokratis. Akibatnya, lembaga-lembaga negara diisi oleh orang-orang yang penuh ambisi dengan modal popularitas dan kantong tebal, tetapi miskin kompetensi dan tidak mencerminkan rakyat yang diwakilinya.

Prinsip demokrasi perwakilan Indonesia sesungguhnya telah dipikirkan sungguh-sungguh oleh pendiri bangsa dengan mengombinasikan antara keterpilihan dan keterwakilan dalam semangat permusyawaratan. Perwujudan terpenting dari institusi permusyawaratan dalam demokrasi Pancasila adalah keberadaan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). MPR ditempatkan sebagai mandataris kedaulatan rakyat yang diharapkan dapat mencerminkan ekspresi seluruh kekuatan rakyat. Hal ini tecermin dari kemampuan MPR untuk menampung perwakilan hak liberal-individual (perwakilan rakyat), perwakilan hak komunitarian (perwakilan golongan), dan perwakilan hak teritorial (perwakilan daerah).


Dalam demokrasi permusyawaratan, persoalan legitimasi dan efisiensi dapat dicapai sejauh demokrasi bisa berjalan dengan mengapit dua sayap: persatuan dan keadilan. Dalam Pancasila, sila kerakyatan didahului dengan sila persatuan dan diakhiri oleh sila keadilan. Itu berarti bahwa demokrasi Indonesia mengandaikan semangat persatuan (kekeluargaan) terlebih dahulu, dan setelah demokrasi politik dijalankan, pemerintah yang memegang kekuasaan diharapkan dapat mewujudkan keadilan sosial.

Negara persatuan diperjuangkan dengan menempatkan lembaga perwakilan tidak sekedar memperhatikan keterpilihan berdasarkan hak-hak individual, namun juga keterwakilan golongan dan keterwakilan daerah. Bukan sekedar keterpilihan orang dari daerah, apalagi orang partai yang mengatasnamakan daerah. Sementara negara keadilan diperjuangkan dengan menempatkan parlemen (MPR) sebagai lembaga yang menetapkan prinsip-prinsip direktif pembangunan semesta-berencana, yang bernama garis-garis besar haluan negara (GBHN).

Untuk itu, sistem pemilu harus dipikirkan secara sungguh-sungguh agar mampu melahirkan mutu lembaga perwakilan yang benar-benar representatif dan diisi oleh wakil-wakil rakyat yang memiliki hikmat kebijaksanaan untuk menjalankan permusyawaratan yang positif, bukan asal akomodasi transaksional yang negatif.

Yudi Latif,
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
KOMPAS, 11 April 2017

No comments: