Wednesday, June 14, 2017

Persatuan atau Persatean Nasional?


Sekitar tahun 1921, ketika pertengkaran keras antara CSI (Centraal Sarekat Islam) dan PKH (Partai Komunis Hindia), Tan Malaka (2 Juni 1897-21 Feb 1949), seorang tokoh Marxisme legendaris yang tidak anti-Islam, berupaya melerai konflik itu. Sikap Abdoel Moeis, tokoh CSI, malah sebaliknya, agar SI dan PKH tidak lagi bekerja sama.

Dalam suasana panas ini, Tan Malaka merasa tertolong oleh tokoh Muhammadiyah Ki Bagoes Hadikoesoemo (24 Nov 1890-4 Nov 1954) yang justru membelanya. Seperti kita maklum, baik Tan Malaka maupun Abdoel Moeis sama-sama berasal dari Ranah Minang tetapi berbeda ideologi dan sikap politik.

Rupanya Ki Bagoes melihat bahwa perpecahan antara kedua partai akan sangat melemahkan perjuangan untuk menuju kemerdekaan tanah air. Kita kutip Tan Malaka: “Untungnya, Haji Hadikoesoemo, pemimpin Muhammadiyah, cepat maju ke depan, dan menyatakan setuju dengan pidato saya. Ia pun menjunjung tinggi persatuan di antara rakyat tertindas. Ia berani menyatakan sebagai penutup pidatonya bahwa barang siapa yang memecah-belah pergerakan rakyat, bukanlah seorang Muslim sejati.” (Lih Harry A Poeze, Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik, jilid I. Jakarta: Grafitipers, 1988, hlm 211).


Tentu sebuah pendapat yang dilontarkan dipengaruhi oleh waktu dan tempat. Moeis, novelis-politikus dan penulis Salah Asuhan itu yang pengetahuan agamanya tidak seluas Ki Bagoes, malah menentang kerja sama antara pihak Komunis dengan pihak Islam. Pernyataan Ki Bagoes tentang orang yang memecah pergerakan rakyat “bukanlah seorang Muslim sejati” adalah sebuah keberanian tingkat tinggi di era itu. Dengan bantuan Ki Bagoes, Tan Malaka rupanya merasa berasa di atas angin dan senang sekali.

Usia keduanya berbeda tujuh tahun. Keduanya ingin agar buhul persatuan rakyat tidak berubah menjadi persatean rakyat. Itulah seni politik sepanjang zaman yang bisa memunculkan sikap berbeda, seperti yang ditunjukkan Moeis, tergantung kepada bacaan peta masing-masing dengan syarat membudayakan sikap lapang dada dan tanggung jawab untuk meraih tujuan yang lebih besar: kemerdekaan tanah air. Tampaknya Ki Bagoes mendasarkan pendiriannya kepada tujuan jangka panjang itu, sekalipun dia paham bahwa sebagai filosofi, ajaran Islam dan Marxisme tidak akan pernah bertemu.

Dalam bacaan saya, semua para pendiri bangsa telah menjadikan kredo persatuan sebagai senjata yang paling ampuh untuk meraih tujuan perjuangan nasional, sekalipun tidak jarang perbedaan pendapat di antara mereka cukup tajam. Generasi yang lebih muda seperti Soekarno dan Mohammad Hatta juga berbeda pendapat tentang pembubaran PNI (Partai Nasional Indonesia) oleh Sartono tahun 1930 dan kemudian membentuk partai baru Partindo (Partai Indonesia). Soekarno tampaknya tidak keberatan, sedangkan Hatta mengkritiknya sebagai suatu yang “memalukan dan perbuatan itu melemahkan pergerakan rakyat”. (Lih Mohammad Hatta, Memoir. Jakarta: Yayasan Hatta, 2002, hlm 243).


Apa kata Bung Karno tentang kredo persatuan yang dilancarkan PNI untuk melumpuhkan politik divide et impera (pecah-belah dan kuasai) dari pihak kolonial? Ini kutipannya:

PNI menjawab politik divide et impera itu dengan mendengungkan tekad persatuan Indonesia, menjawab politik yang memecah belah itu dengan adanya mantra nasionalisme Indonesia yang merapatkan barisan. Dari zaman dahulu sampai zaman sekarang, berabad-abad rakyat kami itu kemasukan baji pemecah, tak henti-hentinya, baik zaman kompeni maupun zaman modern.

Memang di dalam perceraian dan dalam ketidakrukunan itulah letaknya kelemahan kami, di dalam perceraian kami itulah letaknya kemenangan musuh, “verdeel en heers” [pecahkanlah, nanti kamu bisa memerintahinya] itulah mantra tiap-tiap rakyat yang mau mengalahkan rakyat lain …. (Lih Soekarno, Indonesia Menggugat: Pidato Pembelaan Bung Karno di Muka Hakim Kolonial. Yogyakarta: Aditya Media-Pustep UGM, 2004, hlm 134.)

Bung Karno yakin betul dengan filosofi peribahasa: bersatu itu teguh, bercerai itu runtuh. Kredo persatuan dipegang Bung Karno sampai akhir hayatnya, setidak-tidaknya secara verbal.


Bung Karno lalu mengutip pendapat Clive Day berikut ini: “Divide et impera itulah peribahasa asli yang dituruti apabila berhubungan dengan kerajaan-kerajaan anak negeri dan itulah asas yang dipakai oleh sebagian besar orang Belanda untuk mencapai hasil yang baik.” (Ibid, hlm 136).

Hantaman Bung Karno terhadap imperialisme yang memecah belah rakyat Indonesia terasa sangat berani. Dan rakyat itu sendiri ternyata masih rentan terhadap politik divide et impera ini, sebagaimana diakui Bung Karno sebagai salah satu kelemahan bangsa kita, mudah dijadikan sate.

Lalu, bagaimana upaya untuk menyadarkan rakyat banyak akan bahaya penyakit perpecahan ini? Bung Karno menjawab: “Kami, kaum PNI, kami mencoba memberantas penyakit ini dengan mengadakan lebih banyak pendidikan rakyat, menyokong sekolah-sekolah rakyat, mengurangi buta huruf di kalangan rakyat.” (Ibid, hlm 140). Bung Karno sangat sadar betapa baji divide et impera ini cukup ampuh untuk menghancurkan mental rakyat agar tetap menjadi rapuh, demi mengekalkan sistem penjajahan yang rakus itu. Tetapi lambat laun nasionalisme Indonesia yang mengobarkan semangat persatuan nasional telah membuahkan hasil, sekalipun harus didahului oleh PD (Perang Dunia) II, 1939-1945.


Bagaimana pula Bung Hatta berbicara tentang kolonialisme melalui bahasa yang sangat tajam dalam pidato pembelaannya di Pengadilan Den Haag bulan Maret 1928 setelah dia dikurung selama sekian bulan di negeri induk itu. Kita kutip: “Nafsu untuk mengambil sebanyak mungkin keuntungan dari Indonesia secara langsung maupun tidak langsung, membuat Nederland melakukan politik kolonial yang garis-garis besarnya ditentukan oleh pikiran, bagaimana kekuatan supremasi Negeri Belanda dapat dipertahankan untuk membendung kesadaran bangsa Indonesia yang semakin meluas.” (Lih Mohammad Hatta, Indonesia Merdeka, terj Hazil dari bahasa Belanda. Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hlm 93).

Saat menyampaikan pembelaan itu, usia Hatta baru 26 tahun, tetapi secara politik dan intelektual terasa sudah matang karena ditempa oleh pemihakan total yang tulus terhadap penderitaan rakyat tanah jajahan yang sebagian besar masih buta aksara.

Saya sudah lama menganjurkan kepada elite politik Indonesia agar mau membaca pembelaan Bung Hatta dan pembelaan Bung Karno melawan rezim kolonial. Dengan menghayati jeritan nurani dua proklamator ini, siapa tahu kekerdilan wawasan yang mencekam pikiran mereka akan sedikit dapat dicerahkan. Pembelaan terhadap prinsip persatuan dan perlawanan terhadap virus persetanan akan tetap hidup dalam sanubari bangsa ini. Tanpa kesediaan menengok kelampauan yang belum terlalu jauh sejarah bangsa ini, orang tidak akan pernah paham apa makna penjajahan dan apa makna kemerdekaan bagi negara tercinta ini.


Hatta selanjutnya mengatakan: “Maka demikianlah politik yang di satu pihak berpura-pura memenuhi hasrat penduduk daerah jajahan, dan di pihak lain menjaga agar kekuatan tetap ada pada kaum penjajah. Posisinya yang kuat itu harus dipertahankan terus. Pada kenyataannya penduduk bangsa Indonesia hampir tidak mempunyai hak-hak politik; ia juga tidak dilindungi terhadap ekses nafsu-berkuasanya kaum kulit putih dan pejabat pemerintah yang merajalela di daerah jajahan.” (Ibid).

Sebagai salah seorang tokoh puncak PI (Perhimpunan Indonesia) di Negeri Belanda, pandangan politik Hatta dari waktu ke waktu semakin radikal, seperti di sini terbaca: “Selamat tinggal politik memohon dan mengemis! Selamat tinggal politik memohon restu! Selamat tinggal politik menadahkan tangan!” (Ibid, hlm 97).

Terus terang batin saya bergetar keras membaca sikap perlawanan Bung Hatta ini. Lalu Hatta mengutip pendirian PI yang tegas dan ringkas yang dirumuskan pada 1926: “Lebih suka kami melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan, daripada melihatnya sebagai embel-embel abadi daripada suatu negara asing.” (Ibid, hlm 136-137). Dalam usia yang masih belia, Hatta telah menampakkan dirinya sebagai negarawan-petarung sejati, bak ayam kinantan dari Timur, bukan lagi sebagai politikus ingusan yang baru belajar berkokok.

Bung Karno dan Bung Hatta pada masa kabinet Perdana Menteri M Natsir.

Bung Karno menyadari bahwa untuk mencerahkan mental rakyat jajahan, cara yang terbaik adalah melalui pendidikan politik yang dilakukan PNI, sekalipun selama ini dalam kenyataannya agitasi politik lebih menonjol. Bung Hatta juga punya pendirian serupa, karena jika persatuan nasional hanya direkat melalui agitasi politik maka tidak akan efektif.

Itulah sebabnya nama PPNI (Partai Pendidikan Nasional Indonesia) Sjahrir-Hatta yang dibentuk pada Desesember 1931 bukan perpanjangan dari Partai Nasional Indonesia, tetapi partai ini berdasarkan “Kedaulatan Rakyat.” (Hatta, Memoir, hlm. 261). Setelah kepulangan Bung Hatta dari Negeri Belanda tahun 1932, PPNI yang semula dipimpin Sutan Sjahrir, lalu diserahkan kepada Bung Hatta.

Mengapa harus didirikan partai baru yang P keduanya berarti Pendidikan? Sebagaimana telah disebutkan terdahulu, Bung Hatta kecewa dengan pembubaran PNI oleh Mr. Sartono setelah Bung Karno ditangkap oleh pemerintah kolonial pada 29 Desember 1929. Ini pernyataan Hatta selanjutnya: “Pemimpin-pemimpin yang membubarkan P.N.I. lupa, bahwa dengan tidakan itu mereka menunjukkan kelemahan mereka dan menyatakan pula bahwa mereka tidak bersedia berkorban. Pada hal kemauan memberikan korban itulah yang dididik bertahun-tahun oleh Perhimpunan Indonesia.” (Ibid., hlm. 244). Pendidikan politik kepada kader PPNI-Baru masih diteruskan Bung Hatta di Jakarta setelah kembali ke tanah air.


Mengapa masalah pendidikan rakyat itu demikian penting di mata Hatta? Agar mereka berdaulat penuh dalam menentukan nasib bangsanya sekarang dan di kemudian hari! Inilah jawaban yang diberikan Bung Hatta:

Bagi kita rakyat itu yang utama, rakyat umum yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan (souvereiniteit). Karena rakyat itu jantung hati bangsa. Dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi-rendahnya derajat kita. Dengan rakyat itu kita naik dan dengan rakyat itu kita akan tenggelam… Penganjur-penganjur dan golongan kaum terpelajar baru ada berarti, kalau di belakangnya ada rakyat yang sadar dan insaf akan kedaulatannya sendiri. (Ibid.).

Sekiranya pemikiran Hatta ini menjadi arus utama dalam perpolitikan nasional pasca-Proklamasi, tentu bangsa ini tidak perlu tertatih-tatih dan sempoyongan dalam menata dan memperjuangkan prinsip demokrasi yang kuat dan sehat yang memang sudah menjadi pilihan kita semua sejak pergerakan kebangsaan dulu. Ulang lagi baca kutipan di atas: “Penganjur-penganjur dan golongan kaum terpelajar baru ada berarti, kalau di belakangnya ada rakyat yang sadar dan insaf akan kedaulatannya sendiri.” Untuk membentuk mentalitas “rakyat yang sadar dan insaf akan kedaulatannya sendiri” itu ternyata bukan pekerjaan mudah, apalagi jika gagasan mulia itu tidak menjadi perhatian elite politik bangsa.


Amat disayangkan pendidikan politik ini terpaksa terhenti karena tidak lama sesudah itu Bung Karno dan Bung Hatta ditangkap rezim kolonial dan dibuang ke tempat yang berbeda selama beberapa tahun sampai invasi tentara Jepang ke Indonesia bulan Maret 1942 yang tidak kurang brutalnya. Dalam bacaan saya, sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai hari ini, partai-partai politik tidak punya agenda yang sungguh-sungguh untuk pendidikan politik para kadernya. Akibat buruknya adalah bahwa rahim bangsa ini kesulitan melahirkan negarawan dengan wawasan keindonesiaan yang menukik jauh ke depan. Yang banyak muncul adalah politisi dengan pragmatisme untuk kepentingan sesaat, sebagaimana yang kita rasakan sekarang ini.

Dalam majalah Daulat Rakyat No 37, tertanggal 20 September 1932, Hatta menulis: “Tidak perlu tepuk dan sorak, kalau kita tidak sanggup berjuang, tidak tahu menahan sakit. Indonesia Merdeka tidak akan tercapai dengan agitasi saja. Perlu kita bekerja dengan teratur; dari agitasi ke organisasi.” (Ibid., hlm. 260-261). Ini adalah sindiran Hatta, 13 tahun sebelum proklamasi, kepada demagog bangsa dengan yel-yel penuh emosi dan hasutan, tetapi kurang atau tidak menghiraukan metode kerja yang teratur dan disiplin.

Tujuan kemerdekaan bangsa hanya mungkin dicapai melaui alur fikir yang benar dan cara kerja yang direncanakan secara matang, sesuatu yang sering luput dalam sejarah perpolitikan kita. Maksud penulis menghadirkan kembali pemikiran Bung Karno dan Bung Hatta pada saat bangsa ini seperti kehilangan pedoman dan arah adalah agar kita semua menjadi sadar dan insaf kembali tentang keteledoran dan kecerobohan kita dalam mengurus bangsa dan negara, demi menguatkan buhul persatuan dan menghindari perpecahan yang parah yang bisa meluluhlantakkan negeri ini.

Ahmad Syafii Maarif,
Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Penulis Kolom RESONANSI Republika
Di muat di REPUBLIKA, 16 Mei 2017 (I), 23 Mei 2017 (II) dan 30 Mei 2017 (III).

No comments: