Saturday, January 13, 2018

Kebesaran “Bung Besar”


Tidak seorang pun dalam peradaban modern ini bisa menimbulkan demikian banyak perasaan pro dan kontra seperti Soekarno. Aku dikutuk seperi bandit dan dipuja bagai dewa ….

Teks di atas ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (1984).

Penyambung lidah rakyat, pemimpin besar revolusi, waliyul amri, panglima tertinggi, dan lain sebagainya adalah beberapa gelar yang dinisbatkan untuk menggambarkan kebesaran Bung Besar. Bahkan, seorang penulis, Bernhard Dahm, menelusuri rujukan kultural Ratu Adil untuk melukiskan Soekarno di panggung politik ke-Indonesiaan.

Walaupun bukan satu-satunya penyebab revolusi Indonesia, tidak bisa ditampik bahwa Bung Karno memiliki peran besar menggerakkan mesin revolusi. Bersama Hatta, dengan mengatasnamakan seluruh rakyat Indonesia, memproklamasikan kemerdekaan. Setelah itu, secara politik Indonesia terlepas dari jerat kolonialisasi bangsa asing yang telah menjajah ratusan tahun.


Daulat pikiran
Salah satu kelebihan Bung Karno bukan sebatas kefasihan artikulasi politik, tetapi kesungguhannya melaksanakan pikiran-pikirannya yang disemai sejak belia. Gagasan yang mulai ditulis pada tahun 1911 dengan nama samaran Bima di penerbitan nasionalis “Oetoesan Hindia” hendak ditubuhkannya dalam negara yang “dimerdekakannya”.

Bung Karno hadir bukan hanya sebagai politikus, melainkan juga pemikir. Politik yang diyakininya bisa dirujukkan pada pergulatan pemikirannya. Atau sebaliknya, pemikirannya adalah hasil refleksi dari amal politiknya. Tak sekadar mengandalkan pukau orasi retorikanya yang mampu menghipnotis massa, tetapi juga kekuatan wacana yang memberi ruang bagi pembaca untuk merenungkannya. Politik dan kerjanya seperti darah dan daging yang menggarami sel-sel ke-Indonesiaan.


Soekarno muda (lahir 6 Juni 1902) telah memperlihatkan minat yang tinggi terhadap politik. Bukan hanya sejak kepindahannya ke Bandung, ketika masih bersekolah di Surabaya (masuk HBS, Hogere Burgerschool) pun sudah terlibat dalam organisasi Tri Koro Darmo yang pada tahun 1918 beralih nama menjadi Jong Java.

Di Bandung, warna ideologis dan langgam pemikiran Bung Karno semakin matang. Kalau di Surabaya pekat dengan homogenitas ke-Islaman (Syarikat Islam), di Semarang dominan alur marxisme, maka di Bandung nyaris semua ideologi berkembang. Dipengaruhi pula oleh perjumpaan intensifnya dengan tokoh-tokoh nasionalis, seperti Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara dan Tjipto Mangunkusumo.

Tanpa berlama-lama mengambil keputusan terjun total di dunia politik, alih-alih menerima tawaran menjadi asisten dosen di THS (Technische Hoogeschool), Bung Karno justru mendirikan kelompok Algemeene Studie Club (1926). Lewat klub diskusi ini, Bung Karno mengembangkan horison pemikiran sekaligus kaderisasi dan mempromosikan gagasan kebangsaannya secara gencar lewat pendekatan nonkooperasi dan pentingnya Indonesia merdeka secara utuh, secara penuh!


Manifesto  politiknya dituangkan dalam pamflet, “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” (selanjutnya menjadi Nasakom – Nasionalisme, Agama dan Komunisme), yang disebarluaskan dalam majalah Indonesia Moeda. Pamflet ini menggambarkan kecerdikan sekaligus juga keluasan cakrawala Bung Karno dalam meramu hasil bacaan dan kejeliannya melihat persoalan bangsanya. Bung Karno tidak ingin melihat ke-Islaman, nasionalisme, dan marxisme ditarik dalam garis dikotomik dan sengketa tak berujung yang pada akhirnya malah akan melemahkan perjuangan melawan kolonialis, kapitalis dan imperialis.

Sinkretisme adalah jalan yang ditempuh Bung Karno untuk mendamaikan ketiga aliran yang acap bentrok di lapangan itu. Di tangan Bung Karno ketiganya diakomodasi dan dijadikan alat perjuangan untuk menumbuhkan kesadaran baru melawan kolonialisme dan imperialisme.


Kepada kaum Muslimin, Bung Karno mengingatkan, “Kaum Muslim tidak boleh lupa bahwa kapitalisme, musuh marxisme itu, ialah musuh Islam pula. Sepanjang paham marxisme, meerwaarde, pada hakikatnya adalah riba dalam paham Islam …. Karena Islam tertindas, maka pemeluk Islam mesti nasionalis. Karena modal di Indonesia adalah modal asing, maka kaum Marxis yang berjuang melawan kapitalis haruslah pejuang nasionalis.

Bagi Soekarno “persatuan” menjadi kunci percepatan menuju kemerdekaan. “… Persatuanlah yang akan membawa kita ke arah terkabulnya impian kita, yakni Indonesia Merdeka!

Tampak jelas Soekarno menjadikan isu nasionalisme sebagai titik tengah (kalimatun sawaa) yang menyatukan semua kubu. Nasionalisme merupakan traject, titik persilangan yang mempertemukan semua kelompok. Nasionalisme adalah zat efektif yang meleburkan tidak saja gerakan politik dan keagamaan, tetapi juga nalar kebangsaan dan imajinasi kemerdekaan. “Buat saya cinta Tanah Air adalah cinta kepada umat manusia,” demikian kata Bung Karno mengutip Mahatma Gandhi.

Sejumlah metamorfose dari gagasan Marhaenisme Bung Karno.

Jalur partai
Bung Karno merasa tidak cukup mendirikan kelompok studi. Maka pada tanggal 4 Juli 1927, ia mendirikan Partai Nasional Indonesia. Partai digunakannya sebagai alat melipatgandakan gagasan agar semakin massif, sistemik dan semakin cepat sampai ke masyarakat. Programnya adalah “Mengusahakan Kemerdekaan Indonesia” dengan slogan penuh gelora, “Merdeka Sekarang Juga!”

Untuk mengantisipasi benturan dengan wadah-wadah perjuangan yang sudah ada, SI dan lain sebagainya, Bung karno mengajukan gagasan pembentukan PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) yang menyatukan unsur PNI, SI, Budi Utomo, Serikat Sumatera, Pasundan, Kaum Betawi, dan kelompok berbasis kedaerahan lainnya.


Kiprah politik dan pemikiran yang radikal itu juga mengantarkan Bung Besar dan tokoh-tokoh PNI yang lain, dijebloskan ke Penjara Banceuy dengan pasal: merencanakan pemberontakan kepada pemerintah Belanda. Dan Soekarno (1930) justru menjadikan pengadilan —tampak dalam pleodoinya “Indonesia Menggugat”— sebagai mimbar untuk menyebarluaskan mimpi-mimpinya sekaligus memperkenalkan idiom baru yang lebih membumi “Marhaen(isme)” menggeser kata buruh yang dirasa terlalu dangkal dan sempit.

Radikalisme dan sikap nonkooperatifnya membuat Soekarno masuk-keluar bui. Pada 17 Februari 1934, ia dibuang ke Ende, Flores; Februari 1938, ia dipindahkan ke Bengkulu. Namun statusnya sebagai manusia buangan justru semakin menahbiskan dirinya sebagai sosok yang layak di garis terdepan dari seluruh manusia pergerakan.


Menemukan adabnya
Tentu saja menarasikan penggalan riwayat Bung Besar bukan sekadar untuk dikenang, bahwa di dalam tubuh bangsa ini ada banyak jiwa pahlawan yang seharusnya menyadarkan kita untuk tak henti bersyukur, berterima kasih, tetapi ada lagi nilai penting yang melampaui itu, yakni etos dan spirit kejuangan Bung Besar.

Bahwa politik tak sekadar mengejar kekuasaan, tetapi bagaimana agar kekuasaan itu dapat membawa faedah kepada khalayak. Kepada sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Takhta yang mendatangkan rasa gembira, bahagia dan sejahtera bagi semua. Ini juga barangkali makna dari nubuat ideologisnya bahwa “revolusi belum selesai”. Bahwa revolusi mental yang diusung Presiden Joko Widodo bukan hanya penting, melainkan jalan ruhaniyah yang dapat mempercepat bangsa ini menemukan adabnya. Tentu saja dengan segenap perjuangan dan kesabaran. Seutuhnya dan sepenuhnya sebagai manusia Indonesia yang merdeka!

Asep Salahudin,
Tenaga Ahli Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila;
Wakil Rektor IAILM Suryalaya Tasikmalaya
KOMPAS, 8 Januari 2018

No comments: