Showing posts with label Bung Karno. Show all posts
Showing posts with label Bung Karno. Show all posts

Wednesday, April 11, 2018

Persekolahan dan Nekolim Berkelanjutan


Bahaya neokolonialisme dan imperialisme sudah diingatkan oleh Bung Karno sebelum dijatuhkan secara tragis justru oleh kekuatan nekolim itu. Kini peringatan itu semakin menjadi kenyataan di banyak negara yang dulu dimerdekakan di atas rumah negara-bangsa, termasuk Indonesia. Melalui jargon investasi, globalisasi dan pasar bebas, hampir semua kekayaan alam kita saat ini sudah dikuasai asing.

Dulu penjajahan dilakukan dengan menghadirkan penjajah beserta seluruh perangkat kerasnya. Sekarang penjajahan itu bisa dilakukan tanpa menghadirkan tentara dan penjajah, namun cukup dilakukan secara –remotely controlled– dengan menghadirkan seperangkat instrumen. Sang Penjajah cukup duduk-duduk manis di rumah sambil tekan tombol “remote”. Instrumen itu berupa regulasi internasional dan nasional, sekaligus kelembagaannya.


Berbagai perjanjian internasional dilakukan terutama perjanjian perdagangan dan keuangan; bukan dengan semangat “duduk sama rendah berdiri sama tinggi”. Tapi antara majikan dan pesuruh. Dibentuklah Bank Dunia (World Bank) dan IMF (International Monetary Fund). Melalui perjanjian Bretton Woods 1944 dibentuklah IMF yang konstitusinya menghalalkan uang kertas dan mengharamkan dinar. Padahal selama kekhalifahan Islam, perdagangan hanya bisa dilakukan dengan dinar, uang kertas dilarang. Namun sejak 1974, Nixon secara sepihak menyatakan tidak lagi harus memenuhi seluruh perjanjian Bretton Woods. Pencetakan uang kertas tidak perlu lagi dikaitkan dengan stock emas sebagai pondasi uang kertas itu.

Melihat US Dollar akan segera kehilangan kredibilitas, Henry Kissinger, Menlu AS saat itu memperoleh persetujuan Raja Faisal dari Kerajaan Saudi Arabia, untuk mengaitkan US Dollar dengan setiap transaksi minyak bumi: pembelian minyak bumi hanya bisa dilakukan dengan US Dollar. Maka lahirlah Petrodollar.


Secara sederhana berarti AS boleh mencetak US Dollar –out of thin air–, sementara untuk setiap lembar $ 100 US Dollar kita harus membayarnya dengan ekspor 1 ton mangga atau 1 m3 minyak. Melalui model perdagangan ini negara penghasil produk pertanian dan pertambangan seperti Indonesia dimiskinkan, lingkungan hidupnya dihancurkan, dan mentalitas manusianya dirusak secara terus menerus hingga saat ini.

Harus dikatakan bahwa, “kemajuan” negara-negara “dunia pertama” bukan karena mereka lebih cerdas, lebih produktif dan lebih jujur dari negara-negara “dunia ketiga”, tapi dilakukan dengan penjarahan sistemik melalui transaksi ribawi ini. Bung Karno, JF Kennedy, Charles de Gaulle, lalu Saddam Hussein dan Muammar Khadafy dijatuhkan atau dibunuh karena mereka tahu dan tidak mau negara-negara mereka dijarah seperti itu.


Sementara itu, agar proses penjajahan secara –remotely controlled– ini bisa berjalan secara berkelanjutan –sustained colonialism–, harus diciptakan juga sebuah masyarakat baru dengan satu cara berpikir “inlander” melalui sistem persekolahan (school system). Sistem persekolahan yang dikenalkan di Hindia Belanda sejak Politik Etis di akhir abad 19 tidak pernah dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Apalagi untuk menumbuhkan jiwa merdeka seperti kata Ki Hadjar Dewantara. Rancangan dasar persekolahan yang kita kenal sejak Orde Baru hingga saat ini tidak banyak berubah sejak persekolahan diperkenalkan: menciptakan buruh dan pegawai.

Di sekolah, guru memberikan pelajaran untuk menguji kemampuan siswa. Sedangkan di kehidupan nyata, alam menguji manusia untuk memberi pelajaran dalam menghadapi segala permasalahan.

Melalui sistem persekolahan itu, taruhan besar atas nasib negara-negara muslim di dunia, termasuk Indonesia, dipindah dari masjid ke sekolah. Guru adalah khotib-khotib baru, –seperti dikatakan Ali Syariati–, kitab-kitab fiqh dibawa dari kuburan ke kota, sedangkan Al-Qurān dibacakan (di kuburan) untuk orang-orang yang mati.

Korban instrumen nekolim berupa persekolahan itu tidak hanya masjid, tapi juga keluarga. Keluarga dijadikan unit konsumtif (non-edukatif) dalam model ekonomi makro. Tugas produktif keluarga digeser ke pabrik, sedangkan tugas edukatifnya dirampas oleh sistem persekolahan. Melalui persekolahan itu warga negara dipersiapkan mentalnya untuk kompeten (hanya) sebagai buruh.

KA Argobromo Anggrek 31 Maret 2018

Prof. Daniel Mohammad Rosyid PhD, M.RINA,
Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
MEPNews.id

Saturday, January 13, 2018

Kebesaran “Bung Besar”


Tidak seorang pun dalam peradaban modern ini bisa menimbulkan demikian banyak perasaan pro dan kontra seperti Soekarno. Aku dikutuk seperi bandit dan dipuja bagai dewa ….

Teks di atas ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (1984).

Penyambung lidah rakyat, pemimpin besar revolusi, waliyul amri, panglima tertinggi, dan lain sebagainya adalah beberapa gelar yang dinisbatkan untuk menggambarkan kebesaran Bung Besar. Bahkan, seorang penulis, Bernhard Dahm, menelusuri rujukan kultural Ratu Adil untuk melukiskan Soekarno di panggung politik ke-Indonesiaan.

Walaupun bukan satu-satunya penyebab revolusi Indonesia, tidak bisa ditampik bahwa Bung Karno memiliki peran besar menggerakkan mesin revolusi. Bersama Hatta, dengan mengatasnamakan seluruh rakyat Indonesia, memproklamasikan kemerdekaan. Setelah itu, secara politik Indonesia terlepas dari jerat kolonialisasi bangsa asing yang telah menjajah ratusan tahun.


Daulat pikiran
Salah satu kelebihan Bung Karno bukan sebatas kefasihan artikulasi politik, tetapi kesungguhannya melaksanakan pikiran-pikirannya yang disemai sejak belia. Gagasan yang mulai ditulis pada tahun 1911 dengan nama samaran Bima di penerbitan nasionalis “Oetoesan Hindia” hendak ditubuhkannya dalam negara yang “dimerdekakannya”.

Bung Karno hadir bukan hanya sebagai politikus, melainkan juga pemikir. Politik yang diyakininya bisa dirujukkan pada pergulatan pemikirannya. Atau sebaliknya, pemikirannya adalah hasil refleksi dari amal politiknya. Tak sekadar mengandalkan pukau orasi retorikanya yang mampu menghipnotis massa, tetapi juga kekuatan wacana yang memberi ruang bagi pembaca untuk merenungkannya. Politik dan kerjanya seperti darah dan daging yang menggarami sel-sel ke-Indonesiaan.


Soekarno muda (lahir 6 Juni 1902) telah memperlihatkan minat yang tinggi terhadap politik. Bukan hanya sejak kepindahannya ke Bandung, ketika masih bersekolah di Surabaya (masuk HBS, Hogere Burgerschool) pun sudah terlibat dalam organisasi Tri Koro Darmo yang pada tahun 1918 beralih nama menjadi Jong Java.

Di Bandung, warna ideologis dan langgam pemikiran Bung Karno semakin matang. Kalau di Surabaya pekat dengan homogenitas ke-Islaman (Syarikat Islam), di Semarang dominan alur marxisme, maka di Bandung nyaris semua ideologi berkembang. Dipengaruhi pula oleh perjumpaan intensifnya dengan tokoh-tokoh nasionalis, seperti Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara dan Tjipto Mangunkusumo.

Tanpa berlama-lama mengambil keputusan terjun total di dunia politik, alih-alih menerima tawaran menjadi asisten dosen di THS (Technische Hoogeschool), Bung Karno justru mendirikan kelompok Algemeene Studie Club (1926). Lewat klub diskusi ini, Bung Karno mengembangkan horison pemikiran sekaligus kaderisasi dan mempromosikan gagasan kebangsaannya secara gencar lewat pendekatan nonkooperasi dan pentingnya Indonesia merdeka secara utuh, secara penuh!


Manifesto  politiknya dituangkan dalam pamflet, “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” (selanjutnya menjadi Nasakom – Nasionalisme, Agama dan Komunisme), yang disebarluaskan dalam majalah Indonesia Moeda. Pamflet ini menggambarkan kecerdikan sekaligus juga keluasan cakrawala Bung Karno dalam meramu hasil bacaan dan kejeliannya melihat persoalan bangsanya. Bung Karno tidak ingin melihat ke-Islaman, nasionalisme, dan marxisme ditarik dalam garis dikotomik dan sengketa tak berujung yang pada akhirnya malah akan melemahkan perjuangan melawan kolonialis, kapitalis dan imperialis.

Sinkretisme adalah jalan yang ditempuh Bung Karno untuk mendamaikan ketiga aliran yang acap bentrok di lapangan itu. Di tangan Bung Karno ketiganya diakomodasi dan dijadikan alat perjuangan untuk menumbuhkan kesadaran baru melawan kolonialisme dan imperialisme.


Kepada kaum Muslimin, Bung Karno mengingatkan, “Kaum Muslim tidak boleh lupa bahwa kapitalisme, musuh marxisme itu, ialah musuh Islam pula. Sepanjang paham marxisme, meerwaarde, pada hakikatnya adalah riba dalam paham Islam …. Karena Islam tertindas, maka pemeluk Islam mesti nasionalis. Karena modal di Indonesia adalah modal asing, maka kaum Marxis yang berjuang melawan kapitalis haruslah pejuang nasionalis.

Bagi Soekarno “persatuan” menjadi kunci percepatan menuju kemerdekaan. “… Persatuanlah yang akan membawa kita ke arah terkabulnya impian kita, yakni Indonesia Merdeka!

Tampak jelas Soekarno menjadikan isu nasionalisme sebagai titik tengah (kalimatun sawaa) yang menyatukan semua kubu. Nasionalisme merupakan traject, titik persilangan yang mempertemukan semua kelompok. Nasionalisme adalah zat efektif yang meleburkan tidak saja gerakan politik dan keagamaan, tetapi juga nalar kebangsaan dan imajinasi kemerdekaan. “Buat saya cinta Tanah Air adalah cinta kepada umat manusia,” demikian kata Bung Karno mengutip Mahatma Gandhi.

Sejumlah metamorfose dari gagasan Marhaenisme Bung Karno.

Jalur partai
Bung Karno merasa tidak cukup mendirikan kelompok studi. Maka pada tanggal 4 Juli 1927, ia mendirikan Partai Nasional Indonesia. Partai digunakannya sebagai alat melipatgandakan gagasan agar semakin massif, sistemik dan semakin cepat sampai ke masyarakat. Programnya adalah “Mengusahakan Kemerdekaan Indonesia” dengan slogan penuh gelora, “Merdeka Sekarang Juga!”

Untuk mengantisipasi benturan dengan wadah-wadah perjuangan yang sudah ada, SI dan lain sebagainya, Bung karno mengajukan gagasan pembentukan PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) yang menyatukan unsur PNI, SI, Budi Utomo, Serikat Sumatera, Pasundan, Kaum Betawi, dan kelompok berbasis kedaerahan lainnya.


Kiprah politik dan pemikiran yang radikal itu juga mengantarkan Bung Besar dan tokoh-tokoh PNI yang lain, dijebloskan ke Penjara Banceuy dengan pasal: merencanakan pemberontakan kepada pemerintah Belanda. Dan Soekarno (1930) justru menjadikan pengadilan —tampak dalam pleodoinya “Indonesia Menggugat”— sebagai mimbar untuk menyebarluaskan mimpi-mimpinya sekaligus memperkenalkan idiom baru yang lebih membumi “Marhaen(isme)” menggeser kata buruh yang dirasa terlalu dangkal dan sempit.

Radikalisme dan sikap nonkooperatifnya membuat Soekarno masuk-keluar bui. Pada 17 Februari 1934, ia dibuang ke Ende, Flores; Februari 1938, ia dipindahkan ke Bengkulu. Namun statusnya sebagai manusia buangan justru semakin menahbiskan dirinya sebagai sosok yang layak di garis terdepan dari seluruh manusia pergerakan.


Menemukan adabnya
Tentu saja menarasikan penggalan riwayat Bung Besar bukan sekadar untuk dikenang, bahwa di dalam tubuh bangsa ini ada banyak jiwa pahlawan yang seharusnya menyadarkan kita untuk tak henti bersyukur, berterima kasih, tetapi ada lagi nilai penting yang melampaui itu, yakni etos dan spirit kejuangan Bung Besar.

Bahwa politik tak sekadar mengejar kekuasaan, tetapi bagaimana agar kekuasaan itu dapat membawa faedah kepada khalayak. Kepada sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Takhta yang mendatangkan rasa gembira, bahagia dan sejahtera bagi semua. Ini juga barangkali makna dari nubuat ideologisnya bahwa “revolusi belum selesai”. Bahwa revolusi mental yang diusung Presiden Joko Widodo bukan hanya penting, melainkan jalan ruhaniyah yang dapat mempercepat bangsa ini menemukan adabnya. Tentu saja dengan segenap perjuangan dan kesabaran. Seutuhnya dan sepenuhnya sebagai manusia Indonesia yang merdeka!

Asep Salahudin,
Tenaga Ahli Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila;
Wakil Rektor IAILM Suryalaya Tasikmalaya
KOMPAS, 8 Januari 2018

Monday, October 12, 2015

Permadi dan “400 Satrio Piningit”


Permadi SH adalah sosok yang unik. Setidaknya, dilihat dari sisi “julukan”. Pada diri lelaki asal Semarang itu, setidaknya melekat tiga julukan. Ia bisa dijuluki sebagai aktivis, mengingat untuk sekian lama Permadi malang-melintang sebagai Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Permadi juga dikenal sebagai paranormal. Dari tahun 80-an, Permadi sudah bercokol sebagai salah satu tokoh paranormal nasional. Sekitar tahun 1985, dia dan kawan-kawan pernah memprakarsai “seminar tuyul” di Semarang.

Predikat ketiga adalah Permadi sebagai seorang politisi. Sejak bergabung dengan PDI Perjuangan, kiprahnya cukup mengesankan. Sebagai anggota dewan, dia cukup vokal. Karenanya, acap berbenturan dengan eksekutif, bahkan sesama anggota dewan, terlebih sesama kader PDIP. Dia bahkan mengaku pernah berkonflik dengan Megawati Soekarnoputri, sekalipun keduanya sangat dekat.

“Kurang dekat gimana… tengah malam dia sering menelepon saya, meminta datang ke rumahnya, lalu dia curhat sambil nangis,” ujar Permadi sambil tersenyum, “dan itu tidak hanya sekali,” tambahnya.


Belakangan, dia bahkan memutuskan keluar dari DPR RI, keluar pula dari PDI Perjuangan. Kini, dia malah bercokol sebagai salah satu anggota dewan Pembina DPP Partai Gerindra pimpinan Prabowo Subianto. “Saya masuk Gerindra karena diminta oleh Prabowo. Meski banyak masukan saya tidak dipakai, saya ya bertahan. Kecuali Prabowo memecat saya dari Gerindra, baru saya keluar,” katanya.

Nah, itu sekilas tentang Permadi. Lebih dalam tentang ketiga julukan yang melekat pada dirinya, ternyata tersimpan banyak sekali cerita menarik. Bahkan sangat menarik. “Makanya saya ingin membukukan. Tapi saya inginnya menerbitkan sepuluh buku sekaligus, karena memang sangat banyak dan beragam temanya,” ujar Permadi pula.

Salah satu yang menarik adalah ketika berbicara tentang “Satrio Piningit”. Permadi mengaku, selama ini dia telah menerima sedikitnya 400 (empat ratus) orang tamu yang mengaku sebagai Satrio Piningit, titisan Bung Karno. “Setiap menerima mereka, saya selalu test, apakah bisa ‘mendatangkan’ Bung Karno di hadapan saya. Ternyata banyak yang palsu, hanya mengaku-aku, kecuali satu. Ya, hanya ada satu yang benar-benar memuaskan saya,” kata Permadi.


Sang “Satrio Piningit” yang satu itu, ketika diminta ‘menghadirkan’ Bung Karno, lebih dari itu, bahkan bisa ‘menghadirkan’ Raja Brawijaya. “Saya berdialog dengan Brawijaya, juga Bung Karno. Saya puas. Karena saya rasa, yang ‘hadir’ benar-benar Bung Karno. Dia bisa menjawab semua pertanyaan saya dengan sangat memuaskan. Berbeda dengan Satrio Piningit ‘gadungan’ lainnya, yang sangat mengecewakan,” ujar Permadi.

Apa saja yang ia dialogkan dengan “Bung Karno?” Permadi menjawab, “Banyak hal. Mulai dari soal ideologi sampai wanita, ha…ha…ha…,” katanya sambil tertawa. Bahkan dia juga mengonsultasikan ihwal julukan yang ia pakai, “Penyambung Lidah Bung Karno”. Atas predikat itu, Bung Karno pada prinsipnya merestui.

Roso Daras
https://rosodaras.wordpress.com/2013/07/08/permadi-dan-400-satrio-piningit/