Thursday, February 14, 2019

Mewaspadai Siklus Gempa

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen. Doni Monardo.

Gempa beruntun yang mengepung Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat pada tanggal 2 dan 5 Februari 2019 yang lalu, menjadi alarm yang mengingatkan kembali tentang ancaman bahaya dari zona patahan raksasa (megathrust) di kawasan ini. Upaya mitigasi besar-besaran harus terus dilakukan, namun kapan gempa itu akan terjadi masih menjadi misteri alam.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Doni Monardo dan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Dwikorita Karnawati, serta sejumlah pakar telah datang ke Padang dan Mentawai, untuk menyiapkan masyarakat dari kemungkinan terburuk. Salah satu pakar gempa yang turut serta adalah Danny Hilman Natawidjaja dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Danny telah meneliti siklus gempa bumi di barat Sumatera sejak belasan tahun lalu dan meyakini segmen megathrust (patahan raksasa) Mentawai telah berada di ujung siklus. Bahkan, setahun sebelum tsunami Aceh 2004, dia telah menyampaikan tentang ancaman gempa bumi besar dari segmen Mentawai ini (Kompas, 2 Oktober 2003).

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Prof. Dwikorita Karnawati, MSc, PhD.

Keberulangan gempa bumi dan tsunami di kawasan ini, menurut Danny, terjadi setiap 200 – 300 tahun. Perulangan gempa ini diketahui berdasarkan jejak pada koral atol genus porites mikro atol yang banyak tumbuh di perairan Mentawai, Simeulue, Nias, dan pulau-pulau lain di barat Sumatera.

Koral ini akan tumbuh hingga mendekati permukaan laut. Apabila pantai terangkat karena gempa, tubuh mikroatol yang tersembul ke atas air akan mati. Namun, bagian koral yang masih berada dalam air akan tetap hidup. Sebaliknya, apabila muka pantai turun setelah periode gempa, koral akan tenggelam dan bagian atasnya akan bertambah tinggi hingga mendekati permukaan. Dari siklus hidup dan matinya mikro atol ini, Danny menemukan, proses naik dan turunnya pulau-pulau di pantai barat Sumatera akibat gempa telah berulang kali terjadi.

Sedangkan untuk mengetahui potensi energi yang tersimpan dapat diketahui dari pergeseran terus menerus puluhan alat Global Positioning System (GPS) yang dipasang di kawasan ini. Laju pergeseran lempeng di zona subduksi ini ––yang mencapai 5 sentimeter per tahun–– dikalikan dengan rentang kejadian gempa besar terakhir.

Aktivitas kegempaan di segmen megathrust Mentawai dikhawatirkan mendekati siklus gempa besar yang berpotensi tsunami. Kondisi Kota Padang, Rabu (6/2/2019), hampir dua pertiga atau sekitar 618.000 warga kota ini tinggal di kawasan pesisir yang rentan terdampak tsunami.
(Foto: Ahmad Arif/KOMPAS)

Di segmen ini sebenarnya pernah terjadi gempa berkekuatan M 7,9 pada tahun 2007 dan M 7,8 pada 2010. Namun demikian, masih ada duapertiga bagian yang belum runtuh sehingga potensi gempanya masih bisa mencapai M 8,8 jika dihitung dari energi yang tersimpan selama 222 tahun sejak gempa besar terakhir pada tahun 1797.

Catatan kolonial menunjukkan, gempa pada tanggal 10 Februari 1797 itu terjadi pada pukul 22.00 malam dan diikuti tsunami. Sekalipun memiliki pengetahuan lokal tentang gempa, namun orang Mentawai tak merekam tsunami. Catatan kolonial juga tak menyebut dampak tsunami di Mentawai. Hal ini karena hingga tahun-tahun itu, masyarakat di kepulauan ini masih tinggal di pedalaman yang aman dari sapuan tsunami.

Kehancuran akibat tsunami hanya terekam di pesisir Padang. Disebutkan, gelombang tsunami menghancurkan permukiman di Air Manis (Padang Selatan) dan menewaskan 300 orang. Satu kapal terbawa hingga 5,5 kilometer ke daratan (Soloviev dan Go, 1974).

Ahmad Arif
Wartawan Kompas
KOMPAS, 13 Februari 2019

Aerial view kota Padang.

Padang Rawan Gempa, Gubernur Setuju Wacana Pemindahan Ibu Kota Sumbar

Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IAKI) menyebutkan bahwa sejumlah daerah di Indonesia terdeteksi rawan gempa dan tsunami. Salah satunya adalah Padang. Dari sana, muncul wacana untuk memindahkan Ibu Kota Provinsi Sumatera Barat (Sumbar).

Terkait dengan wacana itu, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno mengaku setuju jika ibu kota dipindah ke dataran yang lebih tinggi. Namun, sebelum benar-benar diputuskan, harus ada kajian lebih mendalam. Sebab, proses pemindahan ibu kota butuh anggaran yang besar.

Tidak mudah memindahkan pusat ibu kota. Anggarannya tidak sedikit. Provinsi, daerah kabupaten/kota tidak punya anggaran banyak,” jelas Irwan, sebagaimana dikutip dari Jawapos.com, Sabtu (13/10/2018).

Gubernur dua periode itu tak menampik jika wacana pemindahan Ibu Kota Provinsi Sumbar cukup baik. “Dari segi ide, saya setuju 100 persen. Tapi, dari anggaran, kita tidak punya,” sambungnya.

Kota Bengkulu dan benteng Fort Marlborough, dilihat dari atas.
(Foto: Mukomuko_byplane_1530)

Pemindahan ibu kota bakal berdampak baik pada daerah di masyarakat tujuan ibu kota. Secara otomatis, geliat perekonomian akan meningkat dari berbagai sektor. “Kita butuh kajian lebih jauh lah untuk ini,” lanjut Irwan.

Sebelumnya, Anggota Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IAKI) Andi Renald mengungkapkan, sejumlah kota di Indonesia tidak layak dibangun menjadi kota besar karena berada di lokasi rawan bencana. Dia mencontohkan Padang dan Bengkulu juga rawan digoyang gempa karena terletak di patahan Sumatera.

Padang juga tidak layak jadi ibu kota. Kalau kita terus membangun, kita seperti menaruh untuk diterjang bencana,” ungkap Andi.

Wacana pemindahan ibu kota Provinsi Sumbar muncul ke permukaan usai kejadian tsunami yang menyapu Kota Palu. Para ilmuwan memperkirakan, gempa dan tsunami masih berpeluang terjadi di Kota Padang.

Pantai Purus Cimpago, Padang (Foto: K. Huda)

Apalagi, pusat pemerintahan Provinsi Sumbar di Kota Padang berada pada zona risiko bahaya tingkat tinggi dari bencana gempa bumi dan tsunami. Seperti wilayah Kecamatan Padang Barat, daerah pesisir dengan kepadatan penduduk sangat tinggi, mencapai 141.328 orang per kilometer persegi.

Saat ini, untuk kantor pemerintahan Kota Padang sudah bergeser dari wilayah Kecamatan Padang Barat ke Wilayah Kecamatan Koto Tangah sejak 2011 silam. Hal itu tertuang pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2011.

Kantor Pemerintahan Kota Padang dipusatkan pada bekas Terminal Bingkuang di Aie Pacah, Kota Padang. Sedangkan pusat perekonomian Kota Padang dan kantor pemerintahan Sumatera Barat masih di Padang Barat. Wilayah itu berada di zona merah tsunami.

Riauaktual.com
Sabtu,13 Oktober 2018
https://riauaktual.com/mobile/detailberita/52842/padang-rawan-gempa-gubernur-setuju-wacana-pemindahan-ibu-kota-sumbar.html

No comments: