Dunia yang berjalan tanpa kepastian hukum dan norma yang berlaku umum telah mengubah kehidupan menjadi keadaan darurat yang konstan. Filsuf Thomas Hobbes melukiskan kondisi ini: bellum omnium contra omnes, perang semua melawan semua.
Para penguasa bertindak sewenang-wenang. Warga kehilangan kepercayaan pada para pemimpin. Hukum tak punya arti dan tak punya taring karena ditafsirkan sesuka hati seturut kuasa dan uang. Kondisi ini mengantar dunia ke jurang kehancuran tragis.
Situasi kelam ini memunculkan kesadaran pentingnya sebuah panduan bersama yang menggerakkan keyakinan para pemimpin negara Barat pada paruh pertama abad ke-20 untuk mendeklarasikan paham universal HAM. Ada kesadaran bersama bahwa kehidupan masyarakat global tidak dapat dibangun atas dasar kekuatan fisik.
"Der Starkste ist nie stark genug, um immerdar Herr zu bleiben, wenn er seine Staerke nicht in Recht und den Gehorsam nicht in Pflicht verwandelt: Yang paling kuat sekalipun tidak pernah cukup kuat untuk tetap menjadi tuan jika ia tidak berhasil menerjemahkan kekuatan itu ke dalam hukum dan ketaatan menjadi kewajiban (JJ Rousseau, Der Gesellschaftsvertrag, I,3: 8)".
Maka, dalam konteks sosio-historis ini, deklarasi HAM merupakan bentuk protes moral dan jawaban politis atas sejarah penindasan yang mendera umat manusia. Deklarasi HAM dapat dipandang sebagai puncak prestasi intelektual abad pencerahan yang menjadikan martabat manusia sebagai basis legitimasi etis universal kehidupan bersama pada umumnya serta konsep negara hukum demokratis khususnya (Otto Gusti Madung: Dialektika antara Agama dan Teori Diskursus dalam Diskusi tentang Hak-hak Asasi Manusia, 2013).
Hak asasi ini keberadaanya mendahului institusi negara. Maka, negara tidak berhak menghilangkan HAM setiap warga. Pengakuan negara atas hak setiap warga merupakan bukti negara menghormati martabat manusia.
Maka, hak adalah suatu klaim yang dapat dibenarkan, berdasarkan landasan moral dan hukum untuk memiliki atau memperoleh sesuatu atau untuk bertindak dengan cara tertentu (Dorkwin 267: 1978). John Locke menegaskan bahwa klaim-klaim HAM itu semata-mata karena kita adalah manusia (Natural Rights Theory, Locke).
UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis (basic law) sebagai Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Deklarasi universal HAM termuat dalam UUD 1945 dalam Pasal 27-34 mencakup hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pasal-pasal ini telah merepresentasi empat elemen dalam deklarasi universal HAM, yaitu penghargaan terhadap individu tiap manusia berhadapan dengan kelompok sosial, penghargaan pada pribadi individual, kebebasan sipil dan hak politik, serta pemenuhan hak-hak sosial, ekonomi dan budaya (ecosoc).
Fakta ini membuktikan bahwa Deklarasi Universal HAM telah menjadi jantung konstitusi negara kita. Pertanyaannya adalah apakah jantung konstitusi itu masih berdegup atau tidak, di tengah realitas kehidupan berbangsa?
Sebagai rakyat kecil yang mengais hidup di pinggiran negeri ini, sejujurnya ada rasa bosan dan malu untuk menulis realitas bangsa yang diseraki perilaku tidak terpuji para pemimpin. Mata manusiawi telah lama sakit dan nurani kemanusiaan terkoyak oleh pesta pora elite di atas derita rakyat. Tragedi kemanusiaan yang menginspirasi lahirnya deklarasi HAM tetap eksis dalam kemasan baru.
Bangsa di negeri yang subur makmur kaya-raya nan molek permai ini terpuruk karena dongeng kebesaran ekonomi yang kehilangan daya bius; dan rakyat terus merasa sakit disuntik dengan retorika dan slogan-slogan yang kehilangan mujarabnya menyembuhkan amnesia sejarah.
Para elite kekuasaan, baik politik maupun ekonomi, dari Jakarta hingga ke daerah terus saja memerintah berbendera korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Mereka memerintah dengan cara korup (mencuri milik bersama dan makan sendiri), kolusi (mencuri milik bersama dan makan di antara sesama koruptor) dan nepotisme (mencuri milik bersama dan makan bersama keluarga). Hasil curian mereka terus melegenda, bahkan semakin menggila di tengah penderitaan rakyat akibat pandemi Covid-19.
Bosan itu bukan sekadar istilah psikologi. Ada riak politis yang membeku dalam perasaan muak terhadap cara elite mengelola bangsa. Bosan itu semacam manuver batin rakyat jelata yang menuntut perubahan dengan jalan membosani sepak terjang pengelola negara yang tak kunjung memberi solusi di tengah keterpurukan. Rasa bosan itu bisa saja memasuki wilayah populis berskala sosial politik, bahkan berpotensi menuju matinya rasa kebangsaan. (VOX, Ledalero, Seri 43/1/1999: 7).
Indonesia adalah hasil konsensus bersama seluruh bangsa. Mereka adalah pribadi-pribadi yang dalam konsepsi HAM dan agama-agama didefinisikan sebagai wajah, citra Allah (Imago Dei). HAM mesti menjadi landasan demokrasi. HAM adalah ungkapan dari prinsip martabat manusia.
Dari perspektif ini, martabat manusia dipahami sebagai prinsip etis yang memiliki validitas transhistoris serta kriteria yang melampaui segala model masyarakat. Maka, proses kerja pemerintahan yang demokratis mesti memperhatikan eksistensi setiap individu yang diselaraskan dalam konstitusi negara.
Prinsip utama adalah kesetaraan, kebebasan, kesejahteraan, dan keamanan. Nilai-nilai dasar ini telah lama menjadi kemewahan bagi mayoritas rakyat. Kondisi ini semakin diperparah dengan perilaku elite yang terasing dari demokrasi dengan basis HAM yang menjadi jantung konstitusi.
Dalam perspektif filsuf Rene Descartes, kembali ke rumah rakyat berarti menguji suatu kebenaran dengan pendekatan rasional-konstitusional sambil mempertanyakan segala hal yang terjadi menuju perubahan. Hal ini dapat mencegah kesangsian abadi versi kompleks dengan ekspresi keputusasaan yang parah, seperti misalnya sebagian rakyat Papua yang menuntut opsi kemerdekaan karena hak-hak dasarnya terabaikan.
Mahatma Gandhi mengingatkan bahwa kita perlu memperluas hukum kekeluargaan untuk membentuk suatu bangsa, yaitu keluarga dalam lingkungan yang luas, tempat semua orang bisa hidup bersaudara (Gandhi, 2009: 145).
Steph Tupeng Witin,
Penulis,
Alumnus STFK Ledalero, Flores
KOMPAS, 10 Desember 2020
No comments:
Post a Comment