Showing posts with label UUD 1945. Show all posts
Showing posts with label UUD 1945. Show all posts

Thursday, January 21, 2021

Indonesia Rumah Persaudaraan


Setiap tanggal 10 Desember kita merayakan Hari HAM Sedunia. Dan pada 10 Desember 2020 kemarin, kita peringati 72 tahun deklarasi universal hak asasi manusia (DUHAM). Dekalarasi ini merupakan kulminasi dari fakta kekerasan tak terkendali segelintir negara kuat. Selama masa ini, dunia menjadi arena pertarungan kekuatan fisik yang menumbalkan warga.

Dunia yang berjalan tanpa kepastian hukum dan norma yang berlaku umum telah mengubah kehidupan menjadi keadaan darurat yang konstan. Filsuf Thomas Hobbes melukiskan kondisi ini: bellum omnium contra omnes, perang semua melawan semua.

Para penguasa bertindak sewenang-wenang. Warga kehilangan kepercayaan pada para pemimpin. Hukum tak punya arti dan tak punya taring karena ditafsirkan sesuka hati seturut kuasa dan uang. Kondisi ini mengantar dunia ke jurang kehancuran tragis.

Situasi kelam ini memunculkan kesadaran pentingnya sebuah panduan bersama yang menggerakkan keyakinan para pemimpin negara Barat pada paruh pertama abad ke-20 untuk mendeklarasikan paham universal HAM. Ada kesadaran bersama bahwa kehidupan masyarakat global tidak dapat dibangun atas dasar kekuatan fisik.


Adagium usang, si vis pacem para bellum: jika mau berdamai, bersiap-siaplah berperang, tidak memiliki kekuatan lagi karena telah menelan jutaan korban. Totalitarianisme abad ke-20, baik totalitarianisme atas nama bangsa (fasisme), atas nama ras (rasisme) maupun atas nama kelas sosial (sosialisme), telah berakhir pada pembantaian massal jutaan manusia. Dalam bahasa Rousseau, kekuatan belaka harus diterjemahkan ke dalam bahasa hukum, ketaatan buta menjadi kewajiban rasional sebagai jaminan perdamaian sosial.

"Der Starkste ist nie stark genug, um immerdar Herr zu bleiben, wenn er seine Staerke nicht in Recht und den Gehorsam nicht in Pflicht verwandelt: Yang paling kuat sekalipun tidak pernah cukup kuat untuk tetap menjadi tuan jika ia tidak berhasil menerjemahkan kekuatan itu ke dalam hukum dan ketaatan menjadi kewajiban (JJ Rousseau, Der Gesellschaftsvertrag, I,3: 8)".

Maka, dalam konteks sosio-historis ini, deklarasi HAM merupakan bentuk protes moral dan jawaban politis atas sejarah penindasan yang mendera umat manusia. Deklarasi HAM dapat dipandang sebagai puncak prestasi intelektual abad pencerahan yang menjadikan martabat manusia sebagai basis legitimasi etis universal kehidupan bersama pada umumnya serta konsep negara hukum demokratis khususnya (Otto Gusti Madung: Dialektika antara Agama dan Teori Diskursus dalam Diskusi tentang Hak-hak Asasi Manusia, 2013).


Deklarasi universal melihat HAM sebagai hak-hak dasar yang melekat pada diri setiap manusia secara kodrati, universal, dan abadi. Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM mendefinisikan HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Hak asasi ini keberadaanya mendahului institusi negara. Maka, negara tidak berhak menghilangkan HAM setiap warga. Pengakuan negara atas hak setiap warga merupakan bukti negara menghormati martabat manusia.

Maka, hak adalah suatu klaim yang dapat dibenarkan, berdasarkan landasan moral dan hukum untuk memiliki atau memperoleh sesuatu atau untuk bertindak dengan cara tertentu (Dorkwin 267: 1978). John Locke menegaskan bahwa klaim-klaim HAM itu semata-mata karena kita adalah manusia (Natural Rights Theory, Locke).


Malu dan bosan
UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis (basic law) sebagai Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Deklarasi universal HAM termuat dalam UUD 1945 dalam Pasal 27-34 mencakup hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pasal-pasal ini telah merepresentasi empat elemen dalam deklarasi universal HAM, yaitu penghargaan terhadap individu tiap manusia berhadapan dengan kelompok sosial, penghargaan pada pribadi individual, kebebasan sipil dan hak politik, serta pemenuhan hak-hak sosial, ekonomi dan budaya (ecosoc).

Fakta ini membuktikan bahwa Deklarasi Universal HAM telah menjadi jantung konstitusi negara kita. Pertanyaannya adalah apakah jantung konstitusi itu masih berdegup atau tidak, di tengah realitas kehidupan berbangsa?

Sebagai rakyat kecil yang mengais hidup di pinggiran negeri ini, sejujurnya ada rasa bosan dan malu untuk menulis realitas bangsa yang diseraki perilaku tidak terpuji para pemimpin. Mata manusiawi telah lama sakit dan nurani kemanusiaan terkoyak oleh pesta pora elite di atas derita rakyat. Tragedi kemanusiaan yang menginspirasi lahirnya deklarasi HAM tetap eksis dalam kemasan baru.


Mengutip Antologi 100 Puisi Taufiq Ismail, "Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia" (YI, 2003), rakyat sekadar menjadi pasien penderita rasa malu di negeri yang sedang sakit dan dokter-dokternya gagap memberi terapi. Reformasi 1998 hanya sebentuk pil penenang.

Bangsa di negeri yang subur makmur kaya-raya nan molek permai ini terpuruk karena dongeng kebesaran ekonomi yang kehilangan daya bius; dan rakyat terus merasa sakit disuntik dengan retorika dan slogan-slogan yang kehilangan mujarabnya menyembuhkan amnesia sejarah.

Para elite kekuasaan, baik politik maupun ekonomi, dari Jakarta hingga ke daerah terus saja memerintah berbendera korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Mereka memerintah dengan cara korup (mencuri milik bersama dan makan sendiri), kolusi (mencuri milik bersama dan makan di antara sesama koruptor) dan nepotisme (mencuri milik bersama dan makan bersama keluarga). Hasil curian mereka terus melegenda, bahkan semakin menggila di tengah penderitaan rakyat akibat pandemi Covid-19.

Bosan itu bukan sekadar istilah psikologi. Ada riak politis yang membeku dalam perasaan muak terhadap cara elite mengelola bangsa. Bosan itu semacam manuver batin rakyat jelata yang menuntut perubahan dengan jalan membosani sepak terjang pengelola negara yang tak kunjung memberi solusi di tengah keterpurukan. Rasa bosan itu bisa saja memasuki wilayah populis berskala sosial politik, bahkan berpotensi menuju matinya rasa kebangsaan. (VOX, Ledalero, Seri 43/1/1999: 7).


Rumah rakyat
Indonesia adalah hasil konsensus bersama seluruh bangsa. Mereka adalah pribadi-pribadi yang dalam konsepsi HAM dan agama-agama didefinisikan sebagai wajah, citra Allah (Imago Dei). HAM mesti menjadi landasan demokrasi. HAM adalah ungkapan dari prinsip martabat manusia.

Dari perspektif ini, martabat manusia dipahami sebagai prinsip etis yang memiliki validitas transhistoris serta kriteria yang melampaui segala model masyarakat. Maka, proses kerja pemerintahan yang demokratis mesti memperhatikan eksistensi setiap individu yang diselaraskan dalam konstitusi negara.

Prinsip utama adalah kesetaraan, kebebasan, kesejahteraan, dan keamanan. Nilai-nilai dasar ini telah lama menjadi kemewahan bagi mayoritas rakyat. Kondisi ini semakin diperparah dengan perilaku elite yang terasing dari demokrasi dengan basis HAM yang menjadi jantung konstitusi.


Kembali ke rumah rakyat adalah sebuah solusi rasional atas rasa malu dan bosan bernada cemooh. Kebosanan rakyat lebih dahsyat dari teror terang-terangan sebab menyertakan unsur kompulsif yang oleh Sigmund Freud diidentifikasi sebagai "kompleks terdesak". Pemberontakan model ini cenderung irasional. Karena rakyat tetap dalam kesangsian abadi.

Dalam perspektif filsuf Rene Descartes, kembali ke rumah rakyat berarti menguji suatu kebenaran dengan pendekatan rasional-konstitusional sambil mempertanyakan segala hal yang terjadi menuju perubahan. Hal ini dapat mencegah kesangsian abadi versi kompleks dengan ekspresi keputusasaan yang parah, seperti misalnya sebagian rakyat Papua yang menuntut opsi kemerdekaan karena hak-hak dasarnya terabaikan.


Rumah rakyat adalah kota adil yang kembali menyatukan seluruh rakyat yang telah lama mengungsi karena bosan dan malu menjadi bagian bangsa ini. Rumah rakyat adalah Indonesia tempat rakyat hidup bersama sebagai satu keluarga yang demokratis di bawah hukum yang adil dan benar.

Mahatma Gandhi mengingatkan bahwa kita perlu memperluas hukum kekeluargaan untuk membentuk suatu bangsa, yaitu keluarga dalam lingkungan yang luas, tempat semua orang bisa hidup bersaudara (Gandhi, 2009: 145).

Steph Tupeng Witin,
Penulis,
Alumnus STFK Ledalero, Flores

KOMPAS, 10 Desember 2020

Wednesday, August 24, 2016

Krisis Kesadaran atas Keadaan Krisis


Dalam sambutan pertamanya, Arcandra Tahar selaku Menteri ESDM baru sedikit menyinggung tentang UU Minyak dan Gas Bumi. Dan kadarnya baru sebatas menyebut saja, belum ada kejelasan tentang langkah apa yang akan diambil.

Sangat wajar, karena sebagai menteri baru yang lebih dari 20 tahun berkarier di luar negeri, tentu masih dalam tahap penjajakan atas semua isu yang ada di dalam lingkup kerjanya. Melalui tulisan ini, sebagai anggota masyarakat biasa, saya ingin berbagi cerita, yang mungkin bisa bermanfaat untuk lebih memantapkan langkah dan kebijakan Menteri Arcandra Tahar merespons isu terkait UU Migas itu.


Terbengkalai
Begini lebih kurang ceritanya. Jika ada suatu UU, yang lebih kurang seperempat dari keseluruhan jumlah pasal di dalamnya telah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sejak 2013 tetapi masih tetap kita gunakan sebagai landasan penyelenggaraan pemerintahan di sektor yang sangat strategis, maka itu adalah UU No 22/2001 tentang Migas.

Jika ada proses revisi UU yang telah memakan waktu lebih kurang delapan tahun tetapi hingga kini belum selesai, bahkan proses legislasinya pun belum juga mulai memasuki tahap pembahasan resmi karena secara formal rancangan UU revisinya belum juga ada, maka itu adalah proses revisi UU No 22/2001 tentang Migas.


Sebagai masyarakat biasa, terus terang pemikiran saya tidak sampai untuk dapat memahami bagaimana bisa kita yang selalu mengatakan sektor migas adalah sangat strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak, para penyelenggara negaranya seperti membiarkan hal seperti itu terus berlangsung. Padahal, produksi minyak mentah sudah terus menurun selama hampir 20 tahun terakhir: dari kisaran 1,6 juta barrel per hari (1997) hingga hanya kurang dari separuhnya, yaitu di kisaran 780.000 barrel per hari saat ini.

Dari semula merupakan negara pengekspor minyak, anggota OPEC yang disegani, hingga sudah menjadi nett oil importer yang bahkan berpotensi menjadi negara pengimpor minyak dan BBM terbesar di dunia seperti saat ini.


Padahal, rasanya tak kurang juga sejumlah kalangan ––dari pakar, praktisi, investor, bahkan dari unsur pemerintah dan DPR sendiri–– telah sejak lama menyuarakan bahwa sektor migas nasional sejatinya telah berada dalam keadaan krisis atau darurat.

Sebagai awam, terus terang saya juga sulit mencerna bagaimana bisa kita yang punya segudang ahli di bidang migas seperti tak mampu menyelesaikan revisi UU Migas itu. Waktu delapan tahun, lebih kurang setara dua kali jangka waktu seseorang untuk dapat menyelesaikan pendidikan doktor yang berkualitas.

Tidak cukupkah waktu delapan tahun itu untuk menyelesaikan proses revisi sebuah UU dan menghasilkan UU penggantinya yang berbobot? Sedemikian komplekskah substansi persoalan UU Migas itu sehingga semua penyelenggara negara dan ahli di negeri ini tak mampu menangani dan menyelesaikannya?


Tak bersungguh-sungguh
Dalam keterbatasan jangkauan daya pikir yang ada, yang bisa masuk di logika sederhana saya tentang penyebab hal ini hanya satu: bahwa kita sejatinya memang tak bersungguh-sungguh di dalam menyelesaikan persoalan ini. Dalam istilah yang jujur dan sederhana, mungkin kita dapat dikatakan “malas” dan sejatinya memang tak sungguh-sungguh di dalam mengerjakan proses revisi itu. Dalam istilah yang lebih keren, mungkin kita sejatinya tidak memiliki sense of urgency, bahwa kita, di sektor migas, sedang dan telah dalam kondisi krisis.

Dalam permainan kata-katanya, kita sedang dalam krisis kesadaran atas keadaan krisis itu sendiri. Tagar #kamitidaktakut, dalam pengertian yang cenderung negatif sepertinya berlaku dalam kasus ini.


Maka, solusi dalam kasus ini sebenarnya sederhana, yaitu tak lain agar para penyelenggara negara, khususnya DPR, segera melakukan langkah konkret dan bekerja bersama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menyelesaikan proses revisi UU Migas ini. Sependek yang saya tahu, inisiatif atas revisi ataupun proses revisinya sejak 2009 hingga saat ini masih ada di DPR.

Namun, jika hal ini terus berlarut, katakanlah hingga akhir 2016 belum juga selesai, berangkat dari amanat UUD 1945 bahwa minyak dan gas adalah cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dan telah cukup lama dalam keadaan krisis, kiranya Menteri ESDM dapat memberi masukan dan usulan agar Presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang alias Perppu. Sebagaimana yang belum lama ini telah dilakukan Presiden untuk menyelesaikan isu dan permasalahan kritis lain di negeri ini.

Pri Agung Rakhmanto
Dosen Universitas Trisakti,
Pendiri Reformer Intitute

KOMPAS, 13 Agustus 2016

Wednesday, June 15, 2016

Simposium Anti-PKI Hasilkan 9 Butir Rekomendasi


Simposium Nasional Anti-PKI yang dilaksanakan di Balai Kartini, Jakarta, selama dua hari, 1-2 Juni, menghasilkan sembilan butir rekomendasi. Panitia berharap pemerintah mempertimbangkan rekomendasi tersebut bersama dengan hasil rekomendasi Simposium Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta, April lalu.

Wakil Ketua Umum Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI Polri (FKPPI) Indra Bambang Utoyo membacakan butir-butir rekomendasi hasil simposium. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Agus Widjojo berencana menyerahkan rekomendasi ini kepada pemerintah untuk dikaji bersama hasil simposium Tragedi 1965, April lalu.


Berikut butir rekomendasi simposium nasional anti-PKI dengan 'Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain' berserta penjelasannya:

1. Sejarah mencatat telah terjadi pemberontakan PKI pada 1948 di Madiun dan sekitarnya.

*Pemberontakan itu terjadi saat Indonesia sedang menghadapi ancaman agresi Belanda. Pemberontakan kembali terulang pada 1965 atau dikenal sebagai Gerakan 30 September 1965, saat Presiden Soekarno sedang gencar melaksanakan Dwi Komando Rakyat. Kedua pemberontakan itu dinilai sebagai sebuah pengkhianatan terhadap Pancasila dan rakyat, yang sedang berjuang demi kemerdekaan. Tujuannya, dikatakan adalah untuk merebut kekuasaan dan mengganti ideologi Indonesia.

2. Menuntut PKI dengan penuh kesadaran membubarkan diri dan menghentikan semua kegiatan dalam bentuk apapun.

*Rekomendasi itu menyebutkan, sepantasnya pihak PKI yang harus meminta maaf pada rakyat dan pemerintah Indonesia. PKI disebut masih berusaha eksis dengan melakukan kongres sebanyak 3 kali, berusaha memutar balik fakta sejarah, menyebar fitnah dan hasutan, serta melempar kesalahan ke pihak lain, seperti TNI dan umat Islam.


3. Bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa karena reaksi cepat rakyat dan pemerintah yang berhasil dua kali menggagalkan pemberontakan PKI.

*Namun, tetap ada penyesalan bahwa kedua pemberontakan tersebut menjatuhkan korban jiwa, baik dari pemerintah, TNI, rakyat, maupun dari simpatisan PKI. Banyaknya korban telah menjadi luka sejarah.

4. Hendaknya kita tak lagi mencari-cari jalan rekonsiliasi, tapi mari kita kukuhkan dan mantapkan rekonsiliasi sosial dan politik secara alamiah.

*Rekonsiliasi sosial politik secara alamiah sudah terjadi di kalangan generasi penerus dari mereka yang mengalami konflik masa lalu tersebut. Disebutkan saat ini tak terdapat stigma yang tersisa pada anak cucu eks PKI.

Butir keempat ini secara lengkap berbunyi: "Semua hak sipil mereka telah pulih kembali. Banyak di antara mereka yang berhasil menjadi anggota partai politik, anggota DPR, pegawai negeri, gubernur, anggota TNI dan Polri, dan jabatan penting lain, tanpa ada yang mempermasalahkan."


5. Diminta dengan sangat pada pemerintah, LSM, dan segenap masyarakat agar tak lagi mengutak-atik kasus masa lalu karena dipastikan dapat membangkitkan luka lama dan berpotensi memecah persatuan.

*Mengungkit masa lalu, disebutkan dapat memicu terjadinya konflik horizontal. Rekomendasi menyarankan masyarakat melihat masa depan, dan lebih memperhatikan kepentingan bangsa dibanding kelompok.

6. Hendaknya pemerintah konsisten menegakkan Pancasila, Ketetapan MPRS 25 tahun 1966, Undang Undang Nomor 27 Tahun 1999 yang mengatur pelarangan terhadap setiap kegiatan yang terindikasi sebagai upaya membangkitkan PKI.

*Aturan ini diperkokoh dengan Ketetapan MPR RI Nomor 1 tahun 2003 tentang Ketentuam Hukum untuk Pelarangan Paham Komunis di Indonesia. "Ke depan seyogyanya pelarangan terhadap PKI itu dimasukkan juga dalam Addendum 1945," kata Indra yang membacakan rekomendasi ini.


7. Mendesak pemerintah dan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk segera mengkaji ulang UUD 2002 agar kembali dijiwai Pancasila.

*Fenomena kebangkitan PKI dianggap tak lepas dari empat kali perubahan UUD 1945 mulai dari 1999-2000 yang dibajak oleh liberalisme. Indra mengatakan UUD hasil amandemen pada tahun 2002 itu diisi individualisme-liberalisme yang membuka kebebasan nyaris tanpa batas.

"Itu dimanfaatkan oleh simpatisan PKI serta kelompok anti Pancasila lain yang mendukungnya," kata Indra.

8. Kami mendesak pemerintah memasukkan atau meningkatkan muatan materi nilai Pancasila dalam kurikulum pendidikan formal mulai dari usia dini, pendidikan dasar, tingkat menengah dan sederajat, serta sampai pendidikan tinggi.

*Hal itu dimaksudkan untuk mengamankan Pancasila dari ancaman ideologi lain yang bertentangan. Dalam rekomendasi ini, kata Indra, pemerintah diminta melakukan sinkronisasi pada semua aturan terkait atau menerbitkan UU baru yang dapat mengikat semua pemangku kepentingan pendidikan.

9. Mengajak segenap komponen bangsa meningkatkan integrasi dan kewaspadaan nasional dari ancaman kelompok anti Pancasila, maupun pihak asing.

Yohanes Paskalis
Wartawan TEMPOKamis, 2 Juni 2016
https://nasional.tempo.co/read/news/2016/06/02/078776295/simposium-anti-pki-hasilkan-9-butir-rekomendasi

Tuesday, January 26, 2016

Dilema Konstitusional Gafatar


Bayangkan ini. Mbok Supri diusir dari rumah dan kampungnya karena dituduh berbuat mesum dengan suami orang. Padahal, dia tak punya rumah lain dan tak punya sanak saudara.

Alangkah buruk dan mengerikan jika ada orang atau sekelompok orang diserang dan diusir dari rumahnya, padahal dia tidak punya tanah lain atau tempat lain yang bisa menampungnya. Mau ke mana orang yang seperti itu? Mengeluh dan meminta tolong pun tidak ada yang menghiraukan. Itulah sebabnya kita sangat kaget ketika meluas berita bahwa pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Kalimantan Barat diusir dari kediamannya, bahkan ada yang rumahnya dibakar.

Tetapi, sebelum itu kita kaget juga dan sangat kesal ketika tahu bahwa Gafatar merupakan organisasi “sesat” yang mengatasnamakan agama, sangat merusak, bahkan membahayakan sehingga kita menjadi paham jika banyak orang yang marah atau emosional terhadap para pengikut Gafatar.

Salah satu tujuan mulia GAFATAR adalah: Program Ketahanan dan Kemandirian Pangan.

Masalahnya memang sangat dilematis. Mengapa? Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) memberikan jaminan kepada setiap orang untuk memilih tempat tinggal sesuai dengan kehendaknya sendiri. Hal itu diatur di dalam Pasal 28E Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak memeluk agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”.

Berita penyerangan, pembakaran rumah-rumah, dan pengusiran terhadap anggota Gafatar oleh sekelompok warga masyarakat jelas melanggar hak asasi manusia sebagaimana telah dipatri di dalam Pasal 28E UUD kita. Pematrian itu meniscayakan negara memberi perlindungan kepada setiap orang yang mengalami pengusiran.

Kita tak dapat membayangkan betapa buruk dan mengerikan nasib orang yang diusir dari tempat tinggalnya, sementara dia tak mempunyai tempat lain yang bisa ditinggali. Dalam kasus (bekas) anggota-anggota Gafatar misalnya, ada yang sudah menjual semua lahan yang dimilikinya di Jawa (daerah asalnya) dan uangnya sudah dibelikan lahan baru di daerah lain.

Sekarang mereka diusir secara beramai-ramai dari lahan sempit satu-satunya yang mereka miliki dan tinggali. Mau ke mana mereka? Siapa pun akan merasa ngeri menghadapi persoalan berat yang seperti itu karena mereka bukan hanya hidup tak nyaman, tetapi juga tak aman. Kita mendirikan negara merdeka agar tidak ada lagi di negeri ini orang hidup tersiksa karena tak punya tanah dan tak punya harapan.


Tetapi, dari sisi lain kita mencatat juga bahwa Gafatar merupakan perkumpulan sesat yang membahayakan dan mengancam. Mungkin dengan berpedoman pada konstitusi bahwa setiap orang bebas memeluk agama, kita tidak boleh merepresi pengikut Gafatar. Tetapi, gerakan mereka yang sangat menentang kemanusiaan memang bisa dilawan oleh banyak orang. Sebab langkah-langkah mereka bukan hanya merugikan mereka sendiri, tetapi juga merusak orang-orang lain yang dirayunya dengan penuh kesesatan.

Bayangkan saja, banyak orang yang harus menghilangkan diri demi perjuangan yang diajarkan oleh Gafatar. Banyak orang yang hilang dan pergi meninggalkan keluarganya, oleh Gafatar diajak berjuang dengan memaksa pergi diam-diam dari suami atau istrinya. Gafatar juga memaksa anak dipisahkan dari orang tuanya. Katanya demi perjuangan suci.

Pada sisi yang lain lagi harus diingat pula bahwa banyak orang yang ikut Gafatar karena keadaan ekonomi kita yang buruk, timpang, dan tidak berkeadilan. Mereka tidak memahami keadaan, tetapi tidak mampu menanggung beban. Mereka terperangkap untuk mencari jalan baru atau membuat jalan sendiri untuk mengatasi persoalan-persoalan berat yang dihadapi dalam hidup sebagai bangsa.

Kita sama sekali tidak setuju pada tindakan anarkistis masyarakat yang beramai-ramai menyerang dan mengusir anggota Gafatar karena hal itu jelas-jelas bertentangan dengan rasa kemanusiaan dan melanggar konstitusi. Tetapi, pada sisi lain kita paham atas munculnya kemarahan masyarakat terhadap pengikut Gafatar karena ajaran keyakinannya yang merusak.


Ada dilema. Karena, selain memberikan perlindungan terhadap setiap orang untuk memeluk agama masing-masing, konstitusi juga melarang setiap orang merusak kehidupan masyarakat karena hak asasi orang per orang tak bisa dilaksanakan secara terpisah dari hak masyarakat. Itulah sebabnya bahasa yang dipergunakan dalam konteks kebebasan beragama dalam konstitusi kita adalah “toleransi beragama yang berkeadaban”.

Itu juga yang dikatakan oleh Bung Karno dalam pidato di depan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945. Dalam konteks ini kita menjadi paham, mengapa pada 1965 Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 yang kemudian dikukuhkan menjadi UU No 1/PNPS/1965 yang berintikan larangan penistaan atau penodaan agama.

Kita memahami pembentukan penpres yang kemudian dikukuhkan menjadi UU tersebut didasarkan pada pandangan agar tidak ada orang dengan seenaknya melahirkan ajaran yang kemudian disebutnya sebagai agama, padahal ajaran yang disebut agama itu menyempal, menodai, dan merusak ajaran pokok dari agama yang sudah ada.

UU tersebut penting justru untuk melindungi warga negara dari tindakan main hakim sendiri oleh warga masyarakat lain yang merasa keyakinannya dirusak. Kita harus mendorong dan mendukung pemerintah untuk menyelesaikan masalah Gafatar ini dengan berpijak pada kemanusiaan dan kewajiban konstitusional negara.

Moh Mahfud MD,
Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO, 23 Januari 2016

Tuesday, April 15, 2014

Adil dan Makmur


Tujuan pembentukan negara Indonesia adalah rakyat yang adil dan makmur, begitu disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945. Apa maksudnya? Tentu semua negara di dunia tujuannya sama, yakni kemakmuran hidup rakyatnya dan keadilan tanpa pandang bulu. Namun, konsep adil dan makmur ini tidak sama artinya bagi semua bangsa karena bergantung pada struktur budayanya. Paling tidak itulah isi pidato Soepomo, doktor hukum adat, dalam rapat-rapat pembentukan UUD pada 31 Mei 1945.

Negara, menurut Soepomo, “bersifat barang yang bernyawa”. Sesuatu yang bernyawa atau “hidup” mengandung tiga elemen dasar yang merupakan satu kesatuan utuh, yakni kehendak (yang bebas), cara berpikir, dan tindakan yang mengandung kekuatan kekuasaan. Yang ini bukan dari Soepomo, melainkan dari masyarakat adat Baduy yang kalau ditelusuri lebih jauh mirip seperti yang ada di Brihad Upanishad, India kuno.

Lembaga tertinggi yang kekuasaannya tak terbatas adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Inilah lembaga negara yang mewakili kehendak, keinginan, dan cita-cita seluruh rakyat Indonesia. Di situ pula duduk para wakil daerah dan golongan. Lembaga ini memiliki kekuasaan tertinggi negara, tetapi tidak menjalankan kekuasaan rakyat tersebut secara langsung. Kekuasaan MPR ini dimandatkan kepada presiden yang menjalankan kekuasaan rakyat tersebut.


Itulah sebabnya presiden cukup dipilih oleh MPR dan tidak meniru Amerika Serikat yang dipilih langsung oleh rakyat. Konsep ini bersifat Indonesia, yakni pemilik kekuasaan tidak menjalankan kekuasaan, sedangkan yang menjalankan kekuasaan (presiden) bukan pemilik kekuasaan yang sebenarnya. Inilah konsep “pasangan” atau “jodoh” atau “kekeluargaan” yang ada di segala segi kehidupan kaum jadul itu. Jelas sekali bukan penganut faham liberalisme maupun individualisme.

Dalam praktik sehari-hari, yang melaksanakan kekuasaan tak lain adalah rakyat sendiri di bawah pimpinan lokal masing-masing. Dengan demikian, ada lingkaran kekuasaan dalam UUD 1945, seperti dirumuskan oleh Abraham Lincoln, bahwa pemerintahan dibentuk dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang diharapkan tidak akan lenyap dari muka bumi.

Rakyat tak mungkin memerintah dirinya sendiri. Mereka memilih wakil-wakil yang mereka percayai dan duduk dalam lembaga yang dapat dihitung jumlahnya, yakni MPR. Kemudian rakyat memilih presiden melalui MPR. Presiden inilah yang memerintah rakyat, yang jika pemerintahannya tak membawa keadilan dan kemakmuran bagi rakyat, rakyat tinggal mendesak MPR untuk mencabut mandatnya pada presiden. Kekuasaan itu sirkuler: dari rakyat kembali ke rakyat.

Tugas negara, dalam hal ini presiden dan pemerintahannya, mengantarkan seluruh rakyat menuju keadilan dan kemakmuran. Mengapa adil dan makmur? Inilah konsep pasangan atau jodoh dunia kuno kita, seperti pasangan kawula-gusti (rakyat-pemerintah), makro-mikro (rakyat-MPR), dan lahir-batin (makmur-adil).


Roh dan badan
Kemakmuran adalah persoalan lahir, tubuh (jasad), material yang di dunia kuno kita isinya hanya masalah “sehat” dan “kaya”. Keadilan adalah persoalan batin yang rohaniah atau spiritual yang isinya cuma satu: “masuk surga”. Tiga elemen tujuan negara ini dapat dijabarkan dalam puluhan item yang disesuaikan menurut kebutuhan setiap zaman, tetapi intinya tetap pasangan roh dan badan. Roh menghidupi badan, dan badan menjaga roh. Itulah sebabnya elemen hidup “sehat” amat esensial bagi manusia.

Kemakmuran dan kekayaan rakyat bukanlah satu-satunya tujuan negara. Pemerintah yang hanya mengklaim kesuksesannya berdasarkan meningkatnya pendapatan rakyat, tentu tak paham UUD 1945. Banyak masyarakat adat yang sudah “adil dan makmur” dalam budaya lokalnya justru terganggu karena program pemerintah yang hanya mencapai sasaran “kaya dan makmur”. Rakyat tidak hanya butuh yang lahir, tetapi pemenuhan kebutuhan yang batin seringkali justru lebih penting.


Keimanan dan kepercayaan agama apapun, dalam masyarakat religius, hal-hal yang rohaniah itu lebih utama daripada yang duniawi karena yang rohani menghidupkan, menggerakkan, dan memberikan tenaga pada tubuh. Tenaga, energi, kekuatan adalah esensi spiritual, begitu yang diungkapkan Leonardo da Vinci. Kita hidup dan bergerak karena yang rohani menyatu dalam tubuh. Gerak tubuh ini tak terpisahkan dari elemen pikiran dan keinginan manusianya. Dengan demikian, “adil” masuk dalam kategori hidup rohaniah.

Dunia modern kita saat ini telah jauh meninggalkan konsep-konsep kearifan lokal Indonesia ini. Kita memaksakan diri untuk hidup dalam “struktur budaya” masyarakat yang asal-usul dan perkembangannya berbeda dengan kita di Indonesia. Itulah sebabnya UUD 1945 kita bongkar dan disesuaikan dengan kebutuhan modern kita. MPR yang dirancang sebagai lembaga kehendak rakyat dan lembaga keinginan rakyat disingkirkan dan diganti dengan DPR yang justru dalam UUD hanya merupakan bagian dari MPR belaka.

Jika kelembagaan negaranya sudah seperti itu, bagaimana mungkin dapat jodoh dengan rakyat? Lantas, bagaimana mungkin masyarakat adil dan makmur dapat terwujud?

Jakob Sumardjo,
Budayawan
KOMPAS, 12 April 2014

Thursday, April 3, 2014

Duri dalam Putusan MK


Permohonan pemohon untuk menafsirkan Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 7C dikaitkan dengan Pasal 22 E ayat 1, ayat 2, dan ayat 3, dan penafsiran Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dapat diterima. Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya.

Itulah amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 108/PUU-XI/2013, atas permohonan Profesor Yusril Ihza Mahendra. Putusan ini dibacakan dalam sidangnya yang terbuka untuk umum pada tanggal 20 Maret 2014. Pasal-pasal yang dimohonkan oleh Profesor Yusril untuk diuji oleh MK adalah Pasal 3 ayat 5, Pasal 9, Pasal 14 ayat 2, dan Pasal 112 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Profesor Yusril menilai pasal-pasal ini bertentangan dengan Pasal 4 ayat 1, Pasal 6A ayat 2, Pasal 7C, Pasal 22E ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 UUD 1945. Tetapi dalam petitumnya, Profesor Yusril juga memohon MK menyatakan maksud Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C UUD 1945, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 adalah sistem presidensial.

Effendi Gazali Ph D, Prof Yusril Ihza Mahendra dan Dr Margarito Kamis.

Konsistensi Amburadul
Bila permohonan yang diajukan Effendi Gazali Ph.D dan kawan-kawan yang telah diputus oleh MK pada tanggal 23 Januari 2014 yang lalu dibanding dengan permohonan Profesor Yusril, terdapat sedikit persamaan juga sedikit perbedaan. Perbedaan paling fundamental terletak pada argumen dan Pasal-Pasal UUD 1945 yang dijadikan sebagai batu uji. Sedangkan Effendi Gazali dan kawan-kawan tidak menggunakan Pasal 7C sebagai batu uji, juga tidak memohon kepada MK untuk menafsir Pasal 4 ayat (1) dihubungkan dengan Pasal 7C UUD 1945.

Tetapi terlepas dari perbedaan dan kesamaan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji dan pasal UUD yang dijadikan batu uji oleh Effendi Gazali dan Profesor Yusril, terdapat satu hal menarik. Hal yang menarik itu adalah konsistensi MK dalam menilai dan memberi sifat hukum atas Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Oleh MK, pasal ini dinilai sah secara konstitusional, dan tidak bertentangan dengan Pasal-Pasal dalam UUD 1945.

MK menilai ketentuan yang terdapat pada Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 merupakan kebijakan hukum terbuka atau delegasi kewenangan terbuka, yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang. Penilaian ini telah dianut oleh MK sejak putusan nomor 51-52-59/PUUVII/ 2008 tanggal 23 Januari 2009, dan dinyatakan terakhir kalinya dalam putusan nomor 14/PUU-XI/2013 tanggal 23 Januari 2014 yang lalu.

Soal hukumnya adalah, pasal apakah dalam UUD 1945 yang memberi delegasi, yang oleh MK disifatkan sebagai “kebijakan terbuka” itu kepada pembentuk UU? Pasal 6 ayat 2 dan pasal 6A ayat 5 UUD1945 adalah dua pasal yang secara eksplisit mengatur delegasi kepada pembentuk UU. Pasal-pasal lain dalam UUD 1945 tidak memberi delegasi kepada pembentuk UU untuk mengatur pemilihan presiden dan wakil presiden. Pasal 6 ayat 2 mendelegasikan kepada pembentuk UU untuk mengatur lebih lanjut “syarat” yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk menjadi capres dan cawapres.

Profesor Yusril Ihza Mahendra, pernah berperan sebagai Laksamana Cheng Hoo.

Pasal 6A ayat 5 mengatur delegasi tentang tata cara. Nalarnya, Pasal 6 mengatur syarat yang harus dipenuhi oleh subyek –orang– untuk dapat diusulkan menjadi calon presiden atau wakil presiden. Maksud yang dituju oleh Pasal 6 ayat 2 adalah orang, dan hanya orang yang dapat menjadi presiden, bukan partai politik. Maksud itu terbaca dari frase “syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden” yang terdapat dalam Pasal 6 ayat 2 itu, yang sekali lagi, maknanya tidak lain, dan hanya itu, yaitu orang, bukan partai politik.

Konsekuensi hukumnya, pasal ini tidak bisa ditujukan kepada partai politik, dalam bentuk mewajibkan partai politik memenuhi syarat tertentu, dalam bentuk ambang batas peroleh kursi atau suara, untuk dapat mengusulkan seseorang menjadi calon presiden dan atau wakil presiden. Sayangnya, MK berpendapat lain. Pendapat ini, hemat saya, disebabkan oleh ketidaklogisan memaknai konsep “syarat”, dan konsep “tata cara”. Secara hukum, syarat dan tata cara adalah dua hal yang berbeda. Perbedaannya tidak bersifat semantik, melainkan substansial.

Syarat adalah hal-ihwal yang padanya hukum atau hak disandarkan atau digantungkan. Bila syarat itu terpenuhi, maka timbullah hak. Sebaliknya bila syarat itu tidak dipenuhi, maka haknya ditangguhkan pemenuhannya, atau hilang haknya. Berbeda dengan konsep syarat, tata cara adalah serangkaian tindakan hukum yang harus dilakukan oleh subyek hukum, yang diberi wewenang melakukan tindakan hukum itu.

Tindakan hukum apa? Tindakan hukum dalam rangka memenuhi Pasal 6A ayat 5 yaitu melaksanakan pemilu presiden dan wakil presiden. Kapan pemilu itu dilaksanakan, kapan pendaftaran dibuka, berapa hari waktu yang diperlukan untuk pendaftaran itu, kapan surat suara dicetak, siapa yang mencetaknya, kapan surat suara didistribusikan, siapa yang mendistribusikannya, dan lain sebagainya. Itulah makna norma dalam Pasal 6A ayat 5.

John F Kennedy dan Earl Warren beserta isterinya masing-masing.

Inilah Durinya
Andai MK memiliki kaliber setara Earl Warren, chief justice di dalam supreme court di Amerika pada masa Presiden Eisenhower, maka tak mungkin MK menemukan kabut hitam untuk mengualifikasi Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 itu sebagai inkonstitusional. Toh, kelak ketika pileg dan pilpres disatukan, pasal itu tidak memiliki relevansi sama sekali. Mau ambil 20% atau 25% dari mana? MK terlalu mengecilkan kapasitasnya dengan menceburkan diri ke dalam hipotesa kerumitan teknis. Sungguh disayangkan, MK tidak mendemonstrasikan kehebatan argumentasinya sebagai penafsir final atas konstitusionalitas pasal, ayat, atau frase dalam UU, khususnya Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 ini.

Namun nasi sudah jadi bubur, MK telah memberi kata putus atas masalah itu, dan sesuai sifatnya, putusan itu tidak dapat dilawan dengan upaya hukum apa pun. MK hanya mengutip pendapatnya yang terdahulu, khususnya yang tertuang dalam putusan Nomor 14/PUU-XI/ 2013 tanggal 24 Januari 2014. Itu pun, sekali lagi, sangat singkat. Oleh karena MK telah memiliki sikap final atas Pasal 9 itu, maka MK tidak memiliki pilihan lain, selain memberi putusan atas permohonan Profesor Yusril agar MK menafsir hubungan Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 7C UUD 1945 yang menurutnya kedua pasal ini bermakna sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 adalah presidensial.

Akankah putusan atas permohonan Profesor Yusril ini menyisakan “duri” dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang akan dilaksanakan pada bulan Juli mendatang? Sulit mengatakan ya. Mengapa? Karena, MK menyamakan esensi permohonan Profesor Yusril dengan permohonan Effendi Gazali. Sungguh pun begitu, pemilihan presiden dan wakil presiden mendatang bukan tak mungkin bisa tertusuk duri. Duri itu adalah dalam hal pemisahan pilpres dari pileg.

Mengapa? Karena MK dalam putusan atas permohonan Efendi Gazali telah mengualifikasi pemisahan pileg dan pilpres sebagai tindakan inkonstitusional. Memang, MK menangguhkan sementara pelaksanaan akibat hukum yang timbul dari putusan itu hingga pemilu 2019 yang akan datang. Tetapi, hal itu tetap saja menjadi duri dalam pilpres. Di situlah letak relevansi analisis Profesor Yusril tentang persoalan konstitusionalitas dan legitimasi pilpres mendatang.

Margarito Kamis,
Doktor Hukum Tata Negara,
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate

KORAN SINDO, 22 Maret 2014

Kegagalan Menjaga Konstitusi


Hanya dalam kisaran waktu dua bulan, Mahkamah Konstitusi (MK) telah dua kali memutuskan permohonan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Meski isu dan substansi hukumnya berada dalam wilayah yang nyaris sama, putusan MK itu bisa dinilai bertolak belakang dan di antaranya seperti bergerak ke wilayah yang berbeda.

Kamis (20/3/2014) sore, melalui Putusan No 108/PUU-XI/2013, MK menyatakan tidak dapat menerima permohonan pengujian konstitusionalitas ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang dimohonkan Yusril Ihza Mahendra. Dengan putusan tersebut, ambang batas pengajuan pasangan capres (dan wapres), sebagaimana termaktub dalam Pasal 9 UU No 42/2008, mendapat peneguhan baru dan tetap berlaku dalam Pemilu 2014.

Sebelumnya, 23 Januari, melalui Putusan No 14/PUU-XI/2013, ketika mengabulkan permohonan Effendi Gazali, MK menilai dan menyatakan pemilu anggota legislatif yang dipisahkan penyelenggaraannya dengan pemilu presiden bertentangan dengan UUD 1945. Dengan dikabulkannya permohonan Effendi Gazali, MK mengembalikan desain penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden pada makna dan semangat Pasal 22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945, yaitu pemilu diselenggarakan sekali dalam lima tahun.

Padahal, dalam batas penalaran yang wajar, meski diajukan oleh pemohon yang berbeda dengan pilihan pasal-pasal yang tak persis sama, keduanya berada dalam titik singgung sama, yakni: memutus tirani ambang batas pengajuan capres. Selama ini, ambang batas dinilai sebagai akal-akalan parpol besar di DPR untuk memonopoli pengajuan capres. Caranya, hasil pemilu legislatif dijadikan sebagai persyaratan yang niscaya. Karena itu, penyelenggaraan pemilu legislatif didahulukan dan dipisah dari pemilu presiden.

Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. (UUD 45, Pasal 6A, Ayat 2)

Menabrak UUD
Secara konstitusional, Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, pasangan capres dan wapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Ketentuan ini merupakan demarkasi dan sekaligus menjadi ambang batas konstitusional bagi parpol untuk mengajukan pasangan calon. Dengan ketentuan itu, semua parpol sepanjang memenuhi syarat menjadi peserta pemilu dapat mengajukan pasangan capres. Dengan pemahaman itu, menjadi tak tepat dan tak beralasan untuk membatasi kesempatan bagi parpol yang dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu.

Bentangan fakta yang ada selama ini, rezim ambang batas sengaja dipelihara terutama oleh parpol yang memiliki kursi besar di DPR. Bahkan, apabila dilacak perkembangan sepanjang munculnya desakan menghapus rezim itu di DPR tahun lalu, sulit dibantah, bahwa parpol besar tetap berada di balik penolakan ini. Celakanya, ide melestarikan ambang batas itu tak dibaca MK sebagai bentuk pengingkaran nyata terhadap UUD 1945.

Padahal, dengan membaca secara utuh desain yuridis Pasal 6A UUD 1945, maka tidak tersedia lagi ruang bagi pembentuk UU untuk menambah syarat yang dapat menegasikan hak konstitusional parpol peserta pemilu. Kalaupun tersedia ruang untuk mengatur dengan UU sebagaimana termaktub dalam Pasal 6A Ayat (5) UUD 1945, hanya dibenarkan sepanjang menyangkut tata cara pemilihan. Karena itu, menambah persyaratan yang berpotensi mereduksi hak parpol peserta pemilu dapat dikatakan sebagai bentuk pengingkaran nyata terhadap UUD 1945.

Karena itu, begitu pembentuk UU menambah syarat pencalonan yang menghilangkan kesempatan bagi semua parpol peserta pemilu, MK mestinya memakai kuasa konstitusionalnya untuk mengembalikan pada kehendak UUD 1945. Dalam konteks itu, jika dikaitkan dengan putusan dua bulan lalu, permohonan Yusril merupakan upaya lebih lanjut menjawab beberapa catatan yang tersisa dengan dikabulkannya permohonan Effendi Gazali. Sebagai penafsir dan penjaga konstitusi, permohonan Yusril menyediakan kesempatan bagi MK untuk mengembalikan makna konstitusional Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 yang telah lama mengalami mati suri.

Dengan dasar berpikir seperti itu, sebagaimana pernah dinukilkan dalam “(Bukan) Putusan yang Hambar” (Kompas, 27/1/2014), dikemukakan, hakikat diterimanya permohonan Effendi Gazali dengan mudah dapat diterapkan dalam permohonan Yusril. Artinya, dalam batas penalaran yang wajar, tak ada alasan bagi MK untuk menolak permohonan penghapusan ambang batas yang diajukan Yusril. Bagaimanapun, tatkala pemisahan pemilu legislatif dan pemilu presiden dinilai sebagai inkonstitusional, maka ambang batas pengajuan pasangan capres dan wapres (presidential threshold), menjadi kehilangan dasar argumentasi untuk terus dipertahankan.

Effendi Gazali dan Yusril Ihza Mahendra.

Kegagalan MK
Kritik utama yang niscaya dikemukakan dalam putusan Yusril, hakim MK lebih menjaga konsistensi dengan putusan sebelumnya dibandingkan menghidupkan kembali makna hakiki Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. Hal ini bisa dilacak dari putusan Effendi Gazali saat MK secara eksplisit menyatakan ambang batas menjadi kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk UU. Dengan membaca secara utuh konstruksi yuridis Pasal 6A UUD 1945, pilihan meneguhkan ambang batas sebagai kebijakan hukum terbuka inilah yang dinilai banyak pihak sebagai bentuk nyata kegagalan MK dalam menjaga konstitusi.

Padahal, sekiranya mau dan mampu membangun dalil baru, MK sangat mungkin mengoreksi putusan sebelumnya. Paling tidak, dalam putusan Effendi Gazali, hakim MK telah melakukan langkah tepat dengan mengoreksi beberapa putusan, terutama terkait ambang batas. Dalam pengertian itu, permohonan Yusril semestinya jadi upaya lebih lanjut membangun dalil baru guna mengakhiri masa mati surinya Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. Apalagi, secara substansial pemilu serentak dalam Putusan No 14/PUU-XI/2013 masih belum tuntas alias masih menggantung.

Sebagai lembaga yang diberi otoritas untuk mengoreksi semua UU yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945, semestinya MK terikat dengan pemenuhan otoritas dimaksud. Untuk itu, semestinya hakim MK lebih merasa terikat dengan konstitusi dibandingkan dengan putusannya sendiri. Masalahnya, dalam putusan Effendi Gazali upaya koreksi telah dilakukan, tetapi hal serupa tak dilakukan dalam permohonan Yusril. Adakah ini semata-mata karena alasan menjaga konsistensi dengan putusan sebelumnya? Atau, karena hakim MK memang tak punya keberanian untuk masuk lebih jauh ke dalam wilayah ambang batas?

Padahal, melihat bobot konstitusional pemilu serentak dan penghapusan ambang batas, semestinya MK memberikan perlakuan tak berbeda antara pemenuhan makna dan semangat Pasal 22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945 serta Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. Bahkan, sekiranya rezim ambang batas tidak hadir, sangat mungkin uji materi pemisahan pemilu legislatif dan pemilu presiden tidak pula diajukan ke MK. Karena itu, ketika permohonan Yusril tidak diterima, berarti hakim MK telah gagal memaknai amanah yang diberikan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Tidak hanya itu, hakim MK sekaligus tengah mempertontonkan kegagalan dalam menjaga UUD 1945.

Saldi Isra,
Guru Besar Hukum Tata Negara,
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

KOMPAS, 22 Maret 2014

Saturday, October 27, 2012

Negara Bongkar Pasang


Sebagai bangsa barangkali kita sudah solid. Bangsa Indonesia itu ada dan kita tidak mau Indonesia lenyap, menjadi tidak ada. Namun, sebagai negara kita masih main bongkar pasang struktur.

Struktur kenegaraan kita masih berubah-ubah di segala bidang. Ganti kepala negara ganti struktur. Kita belum menemukan bentuk negara yang baku, hingga kita tak mau mengubahnya lagi. Ibarat dalam tembang, struktur lagu adalah frase yang boleh berubah, namun pengaturannya tetap. Yang dimaksud baku di sini adalah bentuk atau format negara, sedangkan melodi adalah perubahan-perubahan yang didasari motivasi rasa.

Perubahan sebagai hal yang alamiah dalam kehidupan, memang tak terelakkan kalau negara dan bangsa ini tetap ingin berlanjut. Namun, perubahan yang cenderung liar ini, melodi yang demikian menggelora ini, perlu dikendalikan oleh struktur tetap, oleh frase-frase agar tembang dalam kehidupan bernegara ini punya irama peradaban.



Pemahaman yang Salah
Intinya, negara adalah perkawinan antara perubahan dengan keteguhan struktur tetapnya, antara perubahan dan kesinambungan. Dalam situasi Indonesia kini, perubahan yang deras ini tidak terwadahi oleh pengaturan negaranya yang kuat dan tetap, akibatnya chaos dalam chaos. Ini pula yang mengakibatkan jutaan ketidakpastian hidup terjadi tiap hari.

Kalau mau disebut negara gagal, pemerintahan yang sekarang adalah korban dari negara gagal yang kita bangun bersama selama ini. Masalahnya, kapan negara sebagai bentuk, sebagai frase lagu, benar-benar telah terwujud secara permanen dan kita tidak mau mengubahnya lagi karena memang benar-benar sudah jodoh dengan rakyat? Kalau bentuk negara ini sudah jodoh dengan rakyat dan bangsanya, tidak ada keraguan lagi bagi rakyat untuk memercayai lembaga-lembaga pemerintahannya. Jodoh itu ibarat suami-istri yang istri dan anak-anaknya selalu mengatakan “bapak selalu benar”. Yang terjadi sekarang: anak-anak bangsa mengatakan “bapak tak dapat dipercaya!”

Kapan “bapak tidak dapat dipercaya” ini mulai terdengar? Dua kepala negara kita yang awal, Soekarno dan Soeharto, sedikit banyak rakyat masih mengatakan “bapak selalu benar” dalam cara masing- masing. Sampai sekarang ini, kalau Anda pergi ke perdesaan, masih dapat kita jumpai rakyat memasang hiasan dinding potret Soekarno. Potret Soeharto jarang dijumpai meski presiden ini berhasil dipilih tujuh kali sebagai “bapak selalu benar”.

Kedua presiden kita itu mati-matian ngotot mempertahankan Pancasila dan UUD 1945; apa pun makna yang mereka lakukan. Bangunan struktur negara amat jelas. Kedaulatan seluruh rakyat diserahkan kepada MPR yang tiap lima tahun dipilih kembali. Jadi, MPR adalah pemilik kedaulatan rakyat yang sesungguhnya. Namun, sebagai pemilik mandat rakyat, MPR tak mungkin menjalankan pemerintahan karena begitu banyaknya jumlah anggota lembaga negara ini.


Mengikuti kearifan lokal Indonesia, pemilik kekuasaan ini memandatkan kekuasaannya kepada presiden. Jadi, presiden sebagai kepala negara memang melaksanakan kekuasaan dari rakyat, tetapi dia bukan pemilik kekuasaan itu. Itu sebabnya presiden dapat ditegur oleh MPR, bahkan dicabut mandatnya, apabila DPR -sebagai perpanjangan tangan MPR yang bertugas mengawasi- melaporkan ketidakberesan pemegang mandat rakyat ini kepada MPR. Angkatan bersenjata dan rakyat adalah penjaga kedaulatan istana negara.

Akibat makna kearifan lokal UUD 1945 ini dipahami secara budaya modern, terjadilah bongkar pasang struktur negara ini. UUD 1945 dicocok-cocokkan dengan trias politika Eropa. Karena lembaga MPR itu tak ada dalam literatur kenegaraan dunia, dinilai tak benar, lalu dibonsai peranannya dalam lembaga negara. Sebaliknya, DPR dihidupkan dengan cara meniru parlemen-parlemen Barat. Lebih parah lagi DPR ini diisi orang-orang partai yang menjamur dan buta pengalaman kenegaraan. Alhasil, semuanya jadi lembaga amatir.

Dalam kekacauan pikir campuran modern dan kearifan lokal ini, pemilihan umum diadakan berkali-kali: baik untuk legislatif maupun eksekutif, dari presiden sampai lurah desa. Soal biaya tidak masalah karena uang selalu tersedia.

Gelombang amatirisme ini melanda semua lini lembaga negara. The wrong man in the wrong place. The right man in the wrong place. Akan tetapi, tidak pernah jodoh dalam the right man in the right place.

Sejak awal kita telah salah memahami UUD 1945, terutama lembaga MPR yang agung ini. Lembaga ini seharusnya menampung semua aspirasi rakyat dari semua golongan yang ada. Bukan hanya partai politik. Memang ada perwakilan daerah (DPD), tetapi juga tetap dibaca sebagai perwakilan politik belaka. Seharusnya MPR adalah lembaga budaya rakyat. Ada perwakilan adat yang nyata-nyata masih hidup di tengah-tengah kita. Ada perwakilan raja-raja Indonesia, kaum tani, kaum buruh, kaum cendekia, kaum agama, kaum perempuan, kaum pengusaha, dan seabrek yang lain. Memang merepotkan karena masih harus dibangun lembaga-lembaga golongan tersebut.


Para Resi Bangsa
Penggagas UUD 45 rupanya memahami benar budaya dan adat Indonesia yang tak ada duanya di dunia ini. Mereka tidak mereduksi MPR sebatas golongan politik kepartaian. Kiranya mereka membayangkan bahwa orang-orang yang terpilih untuk duduk di MPR adalah kaum resi yang terpilih oleh golongannya sebagai telah kenyang makan garam di bidangnya masing-masing.

Presiden dan aparat eksekutif bawahannya adalah raja atau ratu, sedangkan angkatan bersenjata dan rakyat adalah pelindung dan penjaga kedaulatan negara.

Apa yang dipercayai sebagai “bapak selalu benar” adalah para resi bangsa ini. Usia tua tidak apa. Kita boleh meragukan presiden, tetapi kita memiliki pegangan kebenaran yang kokoh, yakni MPR. Gedung MPR yang bentuknya rumit seperti Pentagon di AS ini boleh rapat dan sidang siang-malam dengan uang sidang yang tinggi. Namun, semua keputusannya adalah kebenaran dan kekuatan karena diketuk palu oleh para resi bangsa.

Jakob Sumardjo
Budayawan
KOMPAS, 20 Oktober 2012