Thursday, May 8, 2014

Menikmati Kelahiran Generasi Joget


Hiruk-pikuk perpolitikan di negeri ini setelah coblosan anggota legislatif dan hangatnya suasana menyongsong Pilpres 9 Juli mendatang, sepertinya tidak berpengaruh terhadap fenomena baru di tengah masyarakat kita. Fenomena itu adalah “Indonesia berjoget”. Coba saja saksikan tayangan televisi kita mulai sore hingga menjelang malam.

Nuansa politik seolah-olah hilang, berganti dengan nuansa joget dan hura-hura. Dimulai pukul 17.00, stasiun televisi mulai membuka “pesta” masing-masing. Hanya news channel seperti  Metro TV dan TV One yang mengecualikan diri. MNCTV membuka pestanya dengan acara “Tunjuk Satu Bintang” pada pukul 16.00-20.00, disusul “Pesbukers” di Anteve pada pukul 17.00-19.00.

Pada saat Pesbukers belum selesai, pukul 18.00 Indosiar dan Transtv memulai pestanya masing-masing yakni: “D’Academy” dan “Yuk Keep Smile (YKS)”. Masing-masing tayang selama 5 jam dan 4 jam. Durasi yang sangat panjang untuk sebuah acara yang isinya hanya menyanyi, joget dan hura-hura. Pesta makin ramai dengan tayangan-tayangan sejenis seperti “Campur-campur”, “D’terong Show”, “@Show Imah” dan sebagainya.


Dalam acara ini, penonton diajak berjoget. Bahkan joget ini dikompetisikan. Pesertanya ya penonton yang sudah ada di studio. “Mirisnya”, banyak ibu-ibu ikut joget, berani menahan malu, atau bahkan mungkin sudah tidak punya lagi rasa malu (?) Hanya demi uang ratusan ribu rupiah, mereka “mengeksploitasi” diri, berjoget sebegitu heboh dengan kostumnya yang “aneh bin ajaib”. Tidakkah mereka menyadari itu disaksikan oleh jutaan pasang mata di seluruh pelosok Indonesia?

Banyak diantara pejoget baik yang ada di tribun penonton ataupun yang ikut maju ke panggung pentas adalah “muslimah”. Dengan kostum muslimahnya yang “nyentrik”, mereka tidak sungkan dan tanpa malu berjoget menggerakkan seluruh anggota tubuh. Ironisnya lagi, organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, dan ormas yang selama ini kritis terhadap hal-hal yang berbau “kebatilan” kok “tiarap” semua. Bahkan MUI seperti membiarkan tontonan yang seperti ini berlangsung terus tanpa reaksi sesuai kaidah-kaidah agama dan budaya bangsa kita yang adiluhung.


Jadi “Korban”
Contoh, di “D’Academy” tayangan tanggal 20 April lalu, tampil seorang bocah perempuan berusia 4 tahun, datang jauh dari Lampung. Di panggung ia menyumbangkan “Masa Lalu”, lagu tentang percintaan orang dewasa, dan syairnya tentu bukan untuk anak seusianya. Bocah cantik yang berani ini telah jadi “korban” dari tayangan itu, demikian juga orang tuanya.

Kemungkinan besar karena tiap malam orang tuanya selalu menyuguhkan acara ini, yang baru akan selesai tayang pada pukul 23.00. Apa yang ditonton orang tua di layar kaca televisi mereka, maka akan menjadi tontotan pula bagi anaknya.

Anak adalah individu yang sangat rentan dengan perilaku peniruan yang nantinya terinternalisasi dan membentuk kepribadian. Tayangan televisi yang dilihatnya tiap saat, niscaya akan masuk ke otaknya. Bagi anak yang berasal dari keluarga yang memiliki mutu kehidupan baik dan ter-literacy dengan baik, maka apa yang dilihat di layar televisi dapat disaring melalui keluarga, dengan orang tua menjadi anutan utama.

Komunikasi dan contoh orang tua dalam perilaku sehari-hari menjadi benteng paling kokoh dalam membendung semua pengaruh buruk televisi. Lalu apa jadinya untuk anak yang memiliki orang tua yang malah memberikan contoh dalam tontonan dan perilaku dalam tayangan-tayangan seperti ini? Lantas apa fungsi KPI/KPID selaku pengawas acara-acara televisi kalau tidak peka terhadap tayangan yang tidak ada unsur edukasinya itu namun dibiarkan berlanjut terus?


Mungkin inilah suatu era, dimana Indonesia telah melahirkan generasi baru, yaitu generasi joget. Padahal dengan segala potensi yang dimiliki, media harusnya dapat memberikan pengaruh positif kepada anak-anak dan remaja. Tentunya dengan menampilkan tayangan-tayangan yang menginspirasi dan memicu kreativitas anak dalam membuat terobosan-terobosan baru yang akan bermanfaat pula untuk banyak orang.

Memang, pada akhirnya peran orang tua sangatlah menentukan. Namun seharusnya pemerintah pun memiliki peran yang tak kalah penting. Seorang bijak pernah berkata, “untuk melihat seberapa cerdas dan pintar seseorang maka lihat apa bacaannya (buku)”. Kalimat yang mirip seperti itu bisa juga kita rangkai, “Untuk melihat seberapa kuat karakter anak bangsa maka lihatlah apa saja tontonannya (tayangan televisi di rumah)”.

Tak ada cara lain, pemerintah (dalam hal ini Kemdikbud, Kemenag, Kominfo) bersama organisasi massa yang peduli dengan budaya adiluhung dan nilai-nilai moralitas bangsa, insan pers/media harus duduk bersama menyelamatkan bangsa ini dengan merancang model tayangan televisi yang well educated, penuh muatan budaya yang luhur dan berkesenian tinggi, tidak asal goyang dan megal-megol.

Tjuk Subhan Sulchan,
Ketua Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI), Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 5 Mei 2014


Lirik Lagu Pokoke Joget
Soimah YKS

Pokok'e Joget
Pokok'e joget
Pokok'e joget

Krungu suorone gendang
Tung mbokmu tung mbokmu
Penontone goyang goyang
Tung mbokmu tung mbokmu
Penontone jingkrak jingkrak
Krungu suorone suling
Kepenak ono ning kuping
Penontone joget nganti ora eling

Pokok'e joget
Pokok'e joget
Pokok'e joget



Ono sing senggol senggolan
Ono sing sunggi sunggian
Sing penting tertib lan ora tawuran
Ning kene kabeh konco
Ora ono sing bedo
Sing tawuran berarti kuwi ndeso

Ora ngerti lagune
Ora ngerti syaire
Sing penting aku joget ae
Tak kenal penyanyine
Tak ngerti penciptane
Sing penting hore rame rame....

No comments: